Share

Bab 2

Author: Lathifah Nur
last update Huling Na-update: 2024-05-15 07:55:22

“Akhirnya satu nyamuk lagi berhasil ditepuk mati!” Amisha mendesah lega. Ia berdiri di depan cermin toilet, merapikan pakaiannya. “Kacamata ini, sungguh sangat berjasa!”

Amisha tersenyum menatap kacamata yang baru saja dilepasnya. Kacamata itu telah dilengkapi lukisan optik khusus yang memperlihatkan mata kanan Amisha seakan-akan juling. Sebuah cacat yang tentu saja tak ingin dimiliki oleh siapa pun, terutama kaum hawa.

“Oke. Saatnya merayakan kemenangan!” Amisha melangkah riang keluar dari toilet setelah memasang kembali kacamata samarannya. Di tangan kirinya tergenggam sebuah kantong plastik, berisi pakaian yang tadi dipakainya untuk menyamar.

Dari tempat persembunyiannya, lelaki yang mengikuti Amisha melirik sekilas jam tangannya. Pandangannya tak lepas dari pintu toilet.

“Kenapa gadis aneh itu lama sekali? Apa terjadi sesuatu?”

Sesaat kemudian, pertanyaannya terjawab dengan kemunculan Amisha. Ia nyaris tak mengenali gadis yang diikutinya jika saja ia tidak melihat kacamata yang dikenakan Amisha. Ia menyunggingkan senyum dan mendengkus. Matanya menyipit saat melihat Amisha mengeluarkan sesuatu dari kantong coat panjangnya.

“Ya, Ma,” ujar Amisha begitu mengangkat panggilan telepon.

“Apa yang kamu katakan sampai keluarga Taksa menolak perjodohan denganmu? Bukankah kalian baru saja bertemu?”

Amisha sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Suara mamanya benar-benar terdengar marah. Sejenak ia menghela napas panjang.

“Aku tidak mengatakan apa-apa, Ma. Aku hanya memperkenalkan diri dan dia langsung pergi begitu saja. Bukankah itu sudah sangat jelas bahwa dia tidak menginginkan aku, Ma?” Amisha berusaha tenang menjawab pertanyaan mamanya.

“Jangan membohongi mama, Misha!” bentak mamanya dari seberang telepon.

“Ma, aku mengatakan yang sebenarnya. Aku harap Mama menepati janji Mama untuk tidak menjodohkan aku lagi jika Taksa menolakku. Aku lelah dengan semua perjodohan ini, Ma!” Nada suara Amisha terdengar sendu, tetapi sedikit meninggi.

“Amishaaa!”

Amisha mengernyit. Ia menarik mundur kepalanya dan menjauhkan ponsel dari telinga mendengar teriakan sang mama dari seberang telepon. Ia tahu mamanya sekarang benar-benar murka.

Tak ingin terus berdebat dengan mamanya, Amisha menutup panggilan telepon dengan bibir tersenyum penuh kemenangan, lalu menyimpan kembali ponselnya. Tangan kanannya segera melepas kacamata dan memasukkan benda pusaka itu ke dalam tas.

HAH!

DEG! DEG! DEG!

Dari tempat persembunyiannya, lelaki yang masih saja terus mengamati gerak-gerik Amisha tercengang ketika menyaksikan gadis itu melepas kacamata samarannya. Jantungnya mendadak berdebar kencang.

“Menarik! Amisha Harist benar-benar cantik dan penuh kejutan!” pujinya dengan tatapan mata penuh hasrat.

Amisha berjalan mendekati tempat sampah dan membuang pakaian samarannya, lalu memakai kacamata hitam untuk menyembunyikan sebagian besar wajah cantiknya.

Sepeninggal Amisha, lelaki itu keluar dari tempat persembunyian, menghampiri tong sampah. Ia memungut kantong plastik yang dibuang Amisha, menyeringai seraya menatap pintu keluar darurat yang baru saja dilewati Amisha.

Oh My God! Aku lupa ada janji!” Buru-buru lelaki itu menghubungi seseorang dan meminta orang itu mengambil kantong plastik di dekat pintu keluar darurat.

Lelaki itu masuk ke toilet pria. Ia berdiri di depan kaca dan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kulit sintetis yang sangat tipis dan elastis.

Ia menempelkan kulit sintetis itu ke pipi kirinya, lalu tersenyum licik menyaksikan wajah tampannya telah berubah wujud menjadi tampak sedikit mengerikan dengan bekas luka yang cukup besar dan menjijikkan. Ia meninggalkan toilet dan kembali ke dalam restoran.

Seorang wanita anggun, memakai gaun panjang berwarna merah fanta, duduk dengan gelisah di meja yang tadi dihuni lelaki itu. Rambutnya hitam, ikal sebahu. Kecantikannya menarik perhatian beberapa pengunjung pria yang berada di restoran itu. Membuatnya semakin pongah dan bangga dengan kecantikannya. Semua itu terlihat jelas dari raut mukanya.

TAP! TAP!

Wanita itu menoleh saat mendengar langkah kaki mendekati mejanya. Ia mengernyit, melihat seorang lelaki berbadan tegap dengan tinggi tidak kurang dari 180 cm tersenyum menatapnya. Penampilannya tampak elegan dengan setelan jas mahal. Namun, wajah lelaki itu membuat perutnya tiba-tiba berasa ingin muntah. Ia jijik melihat bekas luka besar di pipi kiri lelaki itu.

Tidak! Jangan ke sini! Aku menunggu Zain Adelino, bukan kamu!’ jerit wanita itu dalam hati.

Ia menggeleng kuat sembari memejamkan mata. Berharap lelaki itu akan menghilang begitu ia membuka mata. Detik berikutnya, ia dibuat melongo.

Lelaki itu telah duduk manis di depannya ketika ia membuka mata. Cepat-cepat ia meraih minuman untuk membasahi kerongkongannya, yang mendadak terasa kering.

“Anda Nona Maisie?” tanya lelaki itu, ramah.

Maisie hanya bisa mengangguk dan menatap lelaki di depannya dengan pandangan tidak suka.

“Oh, kenalkan! Aku Zain!”

Zain memperkenalkan diri, mengulurkan tangan kepada Maisie.

Maisie tak menyambut uluran tangan Zain. Rasa jijik membuatnya berdiri tegak dan langsung menyambar tasnya.

“Anggap kita tidak pernah bertemu, Tuan!” Maisie bergegas pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.

“Berani-beraninya papa menjodohkanku dengan lelaki menakutkan seperti itu hanya karena dia kaya,” omel Maisie sepanjang langkahnya menuju mobil.

Ia mengeluarkan selembar foto dari tasnya dan menyobek foto itu, lalu membuang sobekannya ke tempat sampah yang dilewatinya.

“Cuih! Tak kusangka dia menipu keluargaku dengan selembar foto editan!” Maisie memaki kesal. Ia masuk ke mobil, mengenyakkan pantat dengan jengkel.

Dari mejanya, Zain dapat melihat mobil Maisie pergi meninggalkan restoran itu. Ia tersenyum puas. Dalam waktu singkat, ia pun meninggalkan restoran mewah tersebut.

Sambil memutar roda kemudi, Zain bertanya dengan earphone yang menempel di telinga, “Kau sudah mengambilnya?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 302

    Keikutsertaan Zaina dalam pameran lukisan di Bastille Design Center tergolong sukses. Gelombang pujian terus bergulir mengagumi bakat istimewa Zaina.Pagi ini, Zain dan keluarganya mengikuti Deanis ke Desa Mittelbergheim. Mereka ingin tahu seperti apa tempat tinggal Zaina selama lima tahun berpisah dari mereka.Amisha dan Zain terkagum-kagum menyaksikan keindahan desa tempat tinggal Zaina. Jajaran rumah bernuansa klasik dikelilingi hamparan kebun anggur sungguh sangat menyegarkan mata.Dengan bangga, Zaina membawa Amisha dan Kaina memasuki sanggar seninya dan Deanis. Ia berceloteh riang memamerkan hasil karyanya. Bahkan, ia menawarkan Amisha dan Kaina untuk menjadi model lukisannya.Sementara Deanis mengajak Zain berjalan menyusuri perkebunan anggur di dekat tempat tinggal mereka.“Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih atas jasamu merawat Zaina selama ini,” cetus Zain.“Aku malu mendengarnya,” balas Deanis.

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 301

    Yoshi tengah duduk santai di sela jam kerjanya. Ia merilekskan otot-otot lehernya yang terasa kaku. Selang beberapa waktu, ia meraih tablet yang tergeletak di atas meja. Ia membawa tablet itu ke sofa dan berbaring di sana. Meluruskan otot pinggangnya yang terasa penat akibat duduk lama.Tangan Yoshi bergerak lincah, mencolak-colek layar tablet. Ia sibuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba matanya melotot, menyaksikan artikel sebuah berita. Ia pun langsung terlonjak duduk.“Mirip sekali!” desisnya.Ia memperbesar potret yang terpampang pada artikel berita itu. Ia juga mendekatkan wajah pada layar monitor agar dapat melihat dengan lebih jelas.“Tak salah lagi! Ini pasti dia!” teriaknya.Yoshi langsung bangkit berdiri, berlari menuju ruang kerja Zain. Ia merangsek masuk ke dalam ruangan bosnya tanpa mengetuk pintu. Tak ia pedulikan tatapan sinis Zain kepadanya.“Zain, lihat ini!” serunya, menyodorkan potret seorang gadis kecil dari

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 300

    Di atas sebuah sofa, seorang gadis kecil usia tujuh tahun tertidur pulas sambil memeluk boneka kelinci.Sementara tidak jauh dari gadis kecil itu, seorang lelaki usia akhir tiga puluhan terlihat sibuk dengan tarian kuas di atas sebuah kanvas. Rupanya ia tengah mengabadikan pose gadis cilik itu. Sesekali ia menoleh pada gadis kecil itu dengan tatapan penuh kekaguman. Kejelian mata seninya merekam dengan teliti gurat-gurat ekspresi gadis kecil yang menjadi modelnya.Lelaki itu tersenyum dan meninggalkan tempat duduknya, beranjak mendekati gadis kecil itu untuk membetulkan posisi gaunnya yang sedikit tersingkap. Diusapnya kening gadis kecil itu penuh kasih, lalu kembali ke hadapan kanvasnya.Gadis kecil itu masih tertidur lelap. Namun, perlahan raut mukanya berubah. Sepertinya ia tengah bermimpi.Sesosok bocah perempuan usia dua tahun tengah berdiri di samping mamanya sembari mendekap sebuah buku gambar.Merasa bosan menunggu mamanya yang ma

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 299

    Kabut pagi telah berlalu tersaput hangatnya sinar mentari. Zain dan keluarganya baru saja bersiap hendak mengikuti Kadir meninjau sawah yang lain ketika ponselnya berdering nyaring.“Ya?” sahut Zain, mengangkat panggilan teleponnya.Dadanya berdegup kencang ketika membaca nama salah seorang aparat polisi tertera di sana. Bayangan wajah Zaina langsung terlintas di benaknya.“Seseorang baru saja melaporkan penemuan anak hilang ke kantor kami, Pak. Usia dan ciri-cirinya mirip sekali dengan anak Bapak. Kami harap Bapak bisa segera datang untuk mengecek langsung,” beritahu aparat polisi itu dari seberang telepon.“Baik, Pak. Tunggu! Aku akan melesat ke sana,” sahut Zain, sigap.Detak jantungnya makin berpacu cepat. Ia sungguh memendam harap bahwa gadis kecil yang ditemukan itu benar-benar Zaina.“Sayang, Kai sama mama dan bibi ya. Papa pergi sebentar,” pamit Zaina pada Kaina yang tiba di sisinya. Ia berjongkok sembari mengusap lembut

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 298

    “Ayo, Nona Cilik … habiskan sarapannya ya … biar cepat besar,” rayu Siti, membujuk Kaina agar mau membuka mulut.Alih-alih termakan rayuan Siti, Kaina malah membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Kepalanya menggeleng kuat.“Sedikit lagi,” bujuk Siti.Kaina kembali menggeleng. Semenjak kembarannya menghilang, selera makan Kaina pun terbang. Saat Zaina masih ada, ia dan Zaina akan berlomba menghabiskan makanan mereka, disuapi Zain dan Amisha. Keduanya tampak bersemangat untuk menjadi pemenang.“Sudahlah, Bi. Tidak usah dipaksa kalau memang dia tidak mau,” ujar Amisha, menengahi Siti dan Kaina yang saling bersitegang dengan keinginan masing-masing.“Tapi, perjalanannya cukup jauh, Non. Nanti Non Kaina kelaparan,” kilah Siti.“Tidak apa-apa, Bi. Bawa bekal saja.”Siti tak lagi membantah. Ia meletakkan piring nasi yang dipegangnya di atas meja makan.Kaina menurunkan kedua tangan yang masih menutupi mulutnya.

  • Lelaki Penakluk Nona Muda   Bab 297

    "Aaargh! Zainaku mana? Zaina!" jerit Amisha histeris sambil menjambak rambut dengan kasar. Kedua bola matanya bergerak liar ke segala arah, mencari keberadaan sosok Zaina.Kaina yang baru muncul di kamar mamanya sontak berdiri dengan tubuh gemetar. Wajah imutnya seketika memucat. Kaki mungilnya spontan menapak mundur secara perlahan.Zain refleks menyambar tubuh Kaina dan mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya."Bawa Kaina bermain, Bi!" pinta Zain pada Siti.Asisten rumah tangganya itu juga sekonyong-konyong berlari ke lantai atas begitu mendengar jeritan Amisha.Zain menghampiri Amisha, mendekapnya dengan penuh kasih."Ini semua salahku. Aku yang membawanya ke mal itu. Aku yang membuat Zaina menghilang," racau Amisha dalam isak tangisnya.Sudah tiga bulan waktu berlalu. Namun, Amisha masih belum bisa menerima kenyataan hilangnya Zaina dengan lapang dada. Setelah melewati fase kehilangan yang membuatnya tampak li

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status