“Akhirnya satu nyamuk lagi berhasil ditepuk mati!” Amisha mendesah lega. Ia berdiri di depan cermin toilet, merapikan pakaiannya. “Kacamata ini, sungguh sangat berjasa!”
Amisha tersenyum menatap kacamata yang baru saja dilepasnya. Kacamata itu telah dilengkapi lukisan optik khusus yang memperlihatkan mata kanan Amisha seakan-akan juling. Sebuah cacat yang tentu saja tak ingin dimiliki oleh siapa pun, terutama kaum hawa.
“Oke. Saatnya merayakan kemenangan!” Amisha melangkah riang keluar dari toilet setelah memasang kembali kacamata samarannya. Di tangan kirinya tergenggam sebuah kantong plastik, berisi pakaian yang tadi dipakainya untuk menyamar.
Dari tempat persembunyiannya, lelaki yang mengikuti Amisha melirik sekilas jam tangannya. Pandangannya tak lepas dari pintu toilet.
“Kenapa gadis aneh itu lama sekali? Apa terjadi sesuatu?”
Sesaat kemudian, pertanyaannya terjawab dengan kemunculan Amisha. Ia nyaris tak mengenali gadis yang diikutinya jika saja ia tidak melihat kacamata yang dikenakan Amisha. Ia menyunggingkan senyum dan mendengkus. Matanya menyipit saat melihat Amisha mengeluarkan sesuatu dari kantong coat panjangnya.
“Ya, Ma,” ujar Amisha begitu mengangkat panggilan telepon.
“Apa yang kamu katakan sampai keluarga Taksa menolak perjodohan denganmu? Bukankah kalian baru saja bertemu?”
Amisha sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Suara mamanya benar-benar terdengar marah. Sejenak ia menghela napas panjang.
“Aku tidak mengatakan apa-apa, Ma. Aku hanya memperkenalkan diri dan dia langsung pergi begitu saja. Bukankah itu sudah sangat jelas bahwa dia tidak menginginkan aku, Ma?” Amisha berusaha tenang menjawab pertanyaan mamanya.
“Jangan membohongi mama, Misha!” bentak mamanya dari seberang telepon.
“Ma, aku mengatakan yang sebenarnya. Aku harap Mama menepati janji Mama untuk tidak menjodohkan aku lagi jika Taksa menolakku. Aku lelah dengan semua perjodohan ini, Ma!” Nada suara Amisha terdengar sendu, tetapi sedikit meninggi.
“Amishaaa!”
Amisha mengernyit. Ia menarik mundur kepalanya dan menjauhkan ponsel dari telinga mendengar teriakan sang mama dari seberang telepon. Ia tahu mamanya sekarang benar-benar murka.
Tak ingin terus berdebat dengan mamanya, Amisha menutup panggilan telepon dengan bibir tersenyum penuh kemenangan, lalu menyimpan kembali ponselnya. Tangan kanannya segera melepas kacamata dan memasukkan benda pusaka itu ke dalam tas.
HAH!
DEG! DEG! DEG!
Dari tempat persembunyiannya, lelaki yang masih saja terus mengamati gerak-gerik Amisha tercengang ketika menyaksikan gadis itu melepas kacamata samarannya. Jantungnya mendadak berdebar kencang.
“Menarik! Amisha Harist benar-benar cantik dan penuh kejutan!” pujinya dengan tatapan mata penuh hasrat.
Amisha berjalan mendekati tempat sampah dan membuang pakaian samarannya, lalu memakai kacamata hitam untuk menyembunyikan sebagian besar wajah cantiknya.
Sepeninggal Amisha, lelaki itu keluar dari tempat persembunyian, menghampiri tong sampah. Ia memungut kantong plastik yang dibuang Amisha, menyeringai seraya menatap pintu keluar darurat yang baru saja dilewati Amisha.
“Oh My God! Aku lupa ada janji!” Buru-buru lelaki itu menghubungi seseorang dan meminta orang itu mengambil kantong plastik di dekat pintu keluar darurat.
Lelaki itu masuk ke toilet pria. Ia berdiri di depan kaca dan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kulit sintetis yang sangat tipis dan elastis.
Ia menempelkan kulit sintetis itu ke pipi kirinya, lalu tersenyum licik menyaksikan wajah tampannya telah berubah wujud menjadi tampak sedikit mengerikan dengan bekas luka yang cukup besar dan menjijikkan. Ia meninggalkan toilet dan kembali ke dalam restoran.
Seorang wanita anggun, memakai gaun panjang berwarna merah fanta, duduk dengan gelisah di meja yang tadi dihuni lelaki itu. Rambutnya hitam, ikal sebahu. Kecantikannya menarik perhatian beberapa pengunjung pria yang berada di restoran itu. Membuatnya semakin pongah dan bangga dengan kecantikannya. Semua itu terlihat jelas dari raut mukanya.
TAP! TAP!
Wanita itu menoleh saat mendengar langkah kaki mendekati mejanya. Ia mengernyit, melihat seorang lelaki berbadan tegap dengan tinggi tidak kurang dari 180 cm tersenyum menatapnya. Penampilannya tampak elegan dengan setelan jas mahal. Namun, wajah lelaki itu membuat perutnya tiba-tiba berasa ingin muntah. Ia jijik melihat bekas luka besar di pipi kiri lelaki itu.
‘Tidak! Jangan ke sini! Aku menunggu Zain Adelino, bukan kamu!’ jerit wanita itu dalam hati.
Ia menggeleng kuat sembari memejamkan mata. Berharap lelaki itu akan menghilang begitu ia membuka mata. Detik berikutnya, ia dibuat melongo.
Lelaki itu telah duduk manis di depannya ketika ia membuka mata. Cepat-cepat ia meraih minuman untuk membasahi kerongkongannya, yang mendadak terasa kering.
“Anda Nona Maisie?” tanya lelaki itu, ramah.
Maisie hanya bisa mengangguk dan menatap lelaki di depannya dengan pandangan tidak suka.
“Oh, kenalkan! Aku Zain!”
Zain memperkenalkan diri, mengulurkan tangan kepada Maisie.
Maisie tak menyambut uluran tangan Zain. Rasa jijik membuatnya berdiri tegak dan langsung menyambar tasnya.
“Anggap kita tidak pernah bertemu, Tuan!” Maisie bergegas pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
“Berani-beraninya papa menjodohkanku dengan lelaki menakutkan seperti itu hanya karena dia kaya,” omel Maisie sepanjang langkahnya menuju mobil.
Ia mengeluarkan selembar foto dari tasnya dan menyobek foto itu, lalu membuang sobekannya ke tempat sampah yang dilewatinya.
“Cuih! Tak kusangka dia menipu keluargaku dengan selembar foto editan!” Maisie memaki kesal. Ia masuk ke mobil, mengenyakkan pantat dengan jengkel.
Dari mejanya, Zain dapat melihat mobil Maisie pergi meninggalkan restoran itu. Ia tersenyum puas. Dalam waktu singkat, ia pun meninggalkan restoran mewah tersebut.
Sambil memutar roda kemudi, Zain bertanya dengan earphone yang menempel di telinga, “Kau sudah mengambilnya?”
Sedari tadi Zain berjalan bolak-balik layaknya sebuah setrika yang sedang bekerja. Sebelah tangannya terkepal menutup mulut. Sesekali ia meniup kepalan tangan yang bergetar itu. Detak jantungnya memburu dan kian bergemuruh seiring waktu. "Duduk, Bro! Bawa tenang! Banyak-banyak berdoa!" bujuk Yoshi, menenangkan kegelisahan Zain. Tanpa membantah, Zain menjatuhkan pantat di atas kursi ruang tunggu. Namun, sedetik kemudian ia bangkit lagi dengan resah yang makin membuncah. Yoshi menghela napas panjang, prihatin dengan kondisi Zain. Ia tahu kakak sepupunya sedang dilanda panik. Sudah cukup lama Amisha dikurung di dalam ruangan bersalin, tetapi belum juga terdengar lengkingan tangis bayi. Ketenangan batin Zain terus tergerus detik demi detik. Gianna berlari tergopoh-gopoh melewati koridor rumah sakit menuju ruang bersalin. Ia harus menyelesaikan urusannya dengan klien sebelum datang menyusul Amisha.
"Aduh! Sakit banget!" keluh Amisha, mengaduh. Ia berjuang menahan nyeri dengan memegangi bagian bawah perutnya. Terpaksa ia pun membatalkan niatnya untuk turun, lalu kembali duduk di tepi ranjang. Tas kerja yang sudah ditentengnya ditaruhnya di atas kasur. Wajahnya memucat. Sebagian besar isi perutnya bagai ditarik dengan paksa ke bawah. "Astagfirullah. Ya Allah! Sakitnya!" jerit Amisha lagi. Ia mencoba meluruskan perutnya dengan menopangkan kedua tangan ke belakang. Namun, rasa nyeri itu tak berkurang sama sekali. Malah semakin menyentak. Zain yang saat itu sudah menunggu di bawah berdiri dengan gelisah. Biasanya Amisha tak pernah terlambat berangkat kerja. Diliriknya arloji yang melingkar di tangannya. Hampir sepuluh menit Amisha mundur dari kebiasaan disiplin waktunya. Raut muka Zain seketika berubah ketika teringat bahwa mereka baru kemarin pulang dari Bumi Rafflesia. Mendugas ia masuk kemb
“Mau ke mana dulu, Tuan? Non?” tanya Encep pada Zain dan Amisha. Mata paruh bayanya mengintip kemesraan sepasang suami istri itu melalui kaca spion. Tanpa sadar, ia mengulum senyum. Mungkin ikut terbayang masa mudanya bersama Imah. “Terserah Mang Encep ke mana baiknya,” sahut Amisha. “Non nanti mau belanja tidak?” tanya Encep lagi. Sesaat Amisha melirik Zain, meminta persetujuan suaminya lewat tatapan mata. “Up to you, Sweetie. Asal kau sanggup dan tetap sehat,” komentar Zain. “Mungkin cuma beli oleh-oleh khas daerah ini saja, Mang!” putus Amisha. “Oke. Mang Encep siap memandu Non Amisha dan Tuan Zain,” seru Encep, menambah kecepatan laju mobil yang dikendalikannya. Destinasi pertama, Encep membawa Amisha dan Zain ke Pantai Panjang. Panas mentari selepas zuhur sedang terik-teriknya. Alhasil, mereka hanya duduk manis menikmati deburan ombak sembari menikmati es kela
“Huh? Ponsel Glen?” tanya Amisha seraya mengulurkan tangan, meraih sebuah gawai yang berdering nyaring di atas meja ruang tengah.Ia baru saja akan melewati ruangan itu, menyusul Zain yang sudah keluar lebih dulu.Sesaat ia mengintip ke ruang makan. Memastikan kalau-kalau masih ada Glen di sana. Ternyata ruangan itu kosong.“Ke mana anak itu? Ponselnya malah ditinggal di sini?” heran Amisha.Karena Glen tak jua kunjung menampakkan batang hidungnya, dengan sangat terpaksa Amisha mengangkat panggilan kala ponsel Glen kembali berbunyi.Seraut wajah perempuan cantik yang muncul di layar monitor ponsel itu membuat alis Amisha sedikit mengerut.‘Pacar Glen?’ batinnya.“Ya?” sahut Amisha setelah menekan lambang telepon berwarna hijau.Hening sejenak. Mungkin gadis cantik di seberang telepon terkesima mendengar suara seorang perempuan yang menyahuti panggilannya.“Maaf, apa benar ini nomor telepon Glen?” tanya
Gee masih menanti jawaban Gianna dengan dada berdebar, harap-harap cemas. “Bagaimana, Nona Gianna? Anda tertarik?” "Oh, tidak! Terima kasih atas tawarannya. Aku demam panggung," tolak Gianna, terang-terangan. "Aku suka kejujuran Anda, walaupun harus kuakui bahwa aku juga kecewa ditolak mentah-mentah. Anda orang pertama yang menolak tawaran langsung dariku, Nona Gianna," sahut Gee disertai nada gurauan. "Fitting-nya sudah selesai, ‘kan?" tanya Gianna, mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, tentu saja. Calon suami Anda memilih mode terakhir," beritahu Gee. "Aiiyya, Anda mengabarinya?" kaget Gianna. "Jelas! Dia yang ingin menentukan sendiri seperti apa penampilan calon pengantinnya di hari istimewa itu," tukas Gee. "Terserah. Bagiku itu tidak penting," putus Gianna, tak ingin berlarut-larut membicarakan calon suaminya yang sok misterius itu. "Ini, Mr. Gee!
“Kak, boleh pinjam mobil?” tanya Glen pada Zain. Sementara sendok berisi makanan menggantung tepat di depan mulutnya.Zain menghentikan suapannya, melirik Glen dengan tatapan penuh tanya.“Mau ke mana?”“Tidak terlalu jauh sih. Cuma mau ke rumah Uncle Harist,” jawabnya, sedikit tak acuh. Tangannya sibuk mengumpulkan makanan yang berserakan di atas piring agar lebih mudah disendok.“Kamu masih di bawah umur, ‘kan?” tebak Zain.“Cuma kurang setahun,” sahut Glen santai.“Tetap masih kurang. Ini Jakarta, Bro!” tegas Zain.“Kesimpulannya nggak boleh nih?”“Aku akan mengantarmu ke sana,” putus Zain.“Okay. I have no choice, right?” sahut Glen, pasrah.Walaupun hati kecilnya sedikit kecewa, Glen terpaksa harus menerima keputusan Zain. Lagi pula, ia tidak ingin mendatangkan masalah bagi kakak sepupunya seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan dia berurusan dengan pihak berwajib.Ti