Share

Bab 3

“Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei.

“Jadi abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki.

“Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar.

“Aku enggak percaya saja Bang. Abang itu kece parah, pintar, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri.

Ketiganya kembali tertawa, mengejek Kei.

“Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” sahut Kei, kesal.

“Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” ujar Fajar.

“Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki.

“Abang kalian itu kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia?” Fajar menjelaskan.

Fiki dan Hendri saling bertatapan.

“Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki.

“Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-lihat begitu?” tanya Fajar, heran dengan sikap Fiki dan Hendri.

“Kebetulan banget ya, Bang. Di kampus, ada juga dosen yang dingin banget sama lawan jenis. Persis abang Kei,” cerita Hendri. “Dan lucunya lagi, dosen itu kesayangan Fiki, Bang, haha.”

Tawa Hendri semakin pecah. Wajah Fiki memerah, malu.

“Waduh, adik-adik Abang ini. Kok berani, sukanya sama dosennya sendiri ya? Bingung Abang. Kompak banget kalian ini,” ucap Fajar.

“Abang Kei, ke sini dong. Aku mau bertanya. Ayo dong Bang,” pinta Hendri.

Dengan wajah terpaksa, Kei pun mendekat dan memenuhi permintaan Hendri.

“Bang, apa benar yang abang Fajar kata tadi?” tanya Hendri setelah Kei berada di sampingnya.

“Iya!” jawab Kei, pasrah.

Hendri, Fiki dan Fajar, kembali tertawa melihat tingkah Kei.

“Bang, kenapa sih? Enggak minat sama cewek? Abang normal kan?” ejek Fiki.

“Astagfirullah, kok kamu ngomongnya begitu? Normal-lah!” sahut Kei, dongkol.

“Terus, kenapa Abang enggak suka dekat dengan cewek? Punya pengalaman pahitkah? Atau apa Bang?” tanya Hendri.

Kei bingung memulai kalimatnya.

“Ya begitu. Abang ini kan, anak bungsu. Punya dua kakak cewek. Duh, punya kakak cewek itu bikin pusing. Maka-nya, dari situ, Abang merasa enggak nyaman dekat dengan cewek. Mereka cerewet, suka ngatur, dan Abang enggak suka diperlakukan kayak begitu.”

“Abang Kei memang aneh bin ajaib. Kok ada ya, manusia kayak gini?” canda Hendri, disertai tawa ketiganya. “Iya. Abang ini aneh. Cowok malah suka diperhatikan, Abang justru sebaliknya. Abang benar-benar aneh,” sambung Fiki.

“Ya inilah Abang. Kenyamanan masing-masing orang kan berbeda. Jadi ya, seperti inilah Abang!”

“Terus, mau jomblo seumur hidup?” tanya Fiki, kembali.

“Kalau waktunya sudah tiba, akan ada saja cara Allah mempertemukan, Fik,” jawab Kei, bijak.

“Abang Kei memang mantap sekali,” sahut Fajar, mengangkat jempol. “Ah kalian ini, yang dibahas, ceweeek terus. Payah!” lanjut Kei, sinis.

Fajar tertawa. “Memang beda ya, kalau yang punya perasaan, dengan yang tidak punya perasaan,” ucap Fajar.

“Terserahlah kalian!” Kei kembali ke meja kerjanya.

“Jadi rencana kalian berdua setelah selesai, bagaimana?” tanya Fajar. “Boleh enggak, kami berdua bantu-bantu Abang di sini?” sahut Hendri.

“Boleh sih, cuma ya itu. Usaha ini kan, masih begini-begini saja. Kalau kalian mau berjuang dari bawah.”

“Iya Bang, aku dan Fiki, sudah pikirkan masalah itu,” jawab Hendri.

“Hen, aku balik ya?” pinta Fiki. “Kita bareng saja. Aku juga mau balik,” jawab Hendri.

“Bang, kami balik ya?” ucap Hendri ke Fajar.

“Oke, hati-hati ya.”

“Bang Kei, kami pamit. Jangan melamun terus dong Bang,” ujar Fiki, mengejek.

“Kalian itu. Untung Abang ini, orang sabar dan ikhlas,” jawab Kei disertai tawa. “Oke, hati-hati.”

“Assalamu’alaykum,” ucap Fiki dan Hendri meninggalkan kantor Fajar dan Kei. “Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar dan Kei, serentak.

Suasana kantor kembali sepi seperti sebelumnya. Tinggallah Kei dan Fajar, kembali pada kesibukan masing-masing.

“Enggak terasa banget ya Jar, adik kamu itu sudah mau selesai saja.” Kei mendekati meja kerja Fajar.

“Iya, waktu berlalu begitu cepat.”

“Bukan cuma mau selesai, dia juga lebih berani dari abangnya. Jatuh cinta sama dosennya, haha,” sambung Kei.

“Ah, kamu Kei.”

“Jadi kamu siap, Hendri lebih dulu menikah dibanding kamu?”

“Jodoh tidak mengenal kata cepat atau lambat, Kei. Semua Allah yang punya kuasa."

“Iya. Kamu belum juga move on ya Jar?”

Fajar menghela napas.

“Sulit sekali melupakan cinta pertama Kei. Sosok yang membuatmu banyak berubah, lebih dekat dengan Tuhan. Justru, saat aku telah jauh lebih baik, dekat dengan Tuhan, takdir malah berkata lain,” sebut Fajar, dengan sorot mata penuh haru.

“Seperti yang kamu bilang tadi, jodoh. Itu semua di bawah kuasa Allah. Tidak bisa ditunda dan tidak bisa dipercepat.”

“Terlalu banyak kenangan yang Allah titipkan tentangnya. Kamu ingat, saat aku menemuinya di kantin kampus? Aku mengajak dia makan siang, dia malah mengajak aku ke musala, salat duhur. Kamu tahu kan, aku bandel banget saat itu. Salat jarang, nakal iya. Tapi pesonanya, membuatku benar-benar kembali pada dunia yang sebenarnya.”

Kei tersenyum mendengar setiap kata-kata penuh kenangan dari bibir sahabatnya itu. Sorot mata haru lantas berubah penuh cahaya.

Senyuman itu, terbit di bibir Fajar. Kenangan, membawa keindahan yang sama.

“Kamu ingat Kei? Aku yang jarang masuk kuliah, berubah menjadi mahasiswa yang rajin banget. Yang semula hanya mendapat IPK 2,0 bisa meningkat menjadi 3,0. Karena siapa? Dia, Kei!” sambung Fajar.

Jeda.

“Salah satu momen terbaik, saat aku mengenalnya, saat dia memberikan sarung dan sajadah, sebagai hadiah, aku mendapatkan IPK tertinggi di akhir perkuliahan kita. Dan ternyata, itulah pertemuan kami yang terakhir.”

Mata Fajar berkaca-kaca. Kerinduan dan keharuan, kembali menyatu di sana.

“Aku cuma menyesali satu hal, Kei. Aku tidak pernah menceritakan yang sebenarnya. Aku sangat menyesal, meninggalkannya dalam kondisi terluka. Aku malu.”

“Siapa tahu, takdir kembali mempertemukan kalian. Sampaikanlah yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Walaupun tidak bisa lagi bersama, setidaknya kebenaran, bisa membuat hubungan akan kembali baik.”

“Iya Kei.”

Kenangan, akan selalu menyisakan haru bagi mereka yang meninggalkan jejak kebahagiaan dan impian di sana. Kenangan yang hanya sebatas masa lalu, yang tidak lagi menjadi bagian hari ini, dan tidak menjadi bagian dari masa depan.

Di masa lalu, Fajar jatuh cinta. Namun, ternyata cinta itu, tidak ditakdirkan menjadi bagian dirinya hari ini.  Fajar terbawa perasaan. Dia menatap foto yang menempel di pojok layar komputernya. Foto seorang wanita, dari masa lalu.

“Kamu kenapa masih menyimpan fotonya? Ini sudah terlalu lama Fajar. Lima tahun, bisa saja sudah banyak yang terjadi. Bisa jadi dia sudah berkeluarga, bahagia.”

“Aku hanya bisa melakukan ini Kei. Perasaanku padanya belum berubah sampai sekarang. Kalau pun saat ini dia sudah bahagia, biarlah aku kenang foto ini, hanya bagian dari masa lalu. Sambil menunggu takdir masa depan, yang Allah tetapkan untukku.”

“Ternyata jatuh cinta itu menyakitkan, ya? Aku bersyukur, tidak melalui hal yang sama sepertimu. Kamu seperti kehilangan kewarasan karena jatuh cinta.”

“Nantilah, kamu akan merasakan nikmatnya kegilaan ini, Kei!”

“Enggak-lah! Aku enggak mau, seperti kamu! Mungkin hidup sendiri, bisa jadi pilihan terbaik.”

“Oke! Kita buktikan ya. Sampai kapan kamu bisa menjaga hatimu, sedingin ini!”

Kei menyeringai.

Azan kembali berkumandang, membut obrolan ke dua sahabat itu berakhir. Keduanya bersegera menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka.

***

Rumah Aara

Malam ini, Ibunda Aara mengundang Citra, untuk ikut makan malam bersama, dalam rangka syukuran ulang tahun Aara.

Sedari tadi, wajah Aara terus saja tampak suram. Tak tampak bahagia sedikit pun, dengan acara, yang telah Ibunya persiapkan.

“Sebenarnya, aku sudah bilang ke Ibu, tidak usah acara-acara begini segala. Aku bukan anak kecil lagi, pake acara seperti ini!” keluh Aara pada Citra.

“Ra, namanya Ibu. Ikuti sajalah. Kan, kamu juga enggak rugi!”

“Cuma aku risih saja, judul makan malam ini. Syukuran ulang tahunku!”

Citra hanya tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya mendengar semua kalimat Aara. Dia sudah terbiasa menghadapi sikap Aara yang selalu banyak protes.

“Terima kasih ya, Nak Citra sudah datang malam ini,” sapa ibunda Aara, melihat kehadiran Citra.

“Iya Tante. Citra malah senang banget, bisa mencicipi masakan lezat Tante,” ucap Citra, yang membuat senyuman Ibunda Aara merekah.

“Kamu tuh paling pintar gombal!” bisik Aara. “Kenapa sih? Sedari tadi sewot melulu?”

“Aku enggak suka diperlakukan seperti ini Cit, enggak suka!”

“Ra, enggak usah dibahas!” tegas Citra. Dia kembali menikmati makanan yang disajikan ibunda Aara. Dia terlihat sangat lahap.

“Oh ya Cit,” lanjut Ibunda Aara, setelah kembali ke meja makan. “Kamu kenal tante Dewi?”

“Iya Tante, kenal.”

“Aara sudah cerita belum, tante Dewi akan menikah?”

Aara menunjukkan sikap tidak nyaman dengan pembahasan ibunya.

“Iya Tante, sudah. Bulan depan kan, Tante?” tanya Citra, memastikan. “Iya, bulan depan. Tante sangat bahagia Nak, adik bungsu Tante itu akhirnya menikah juga. Belum lagi, calon suaminya itu, baik banget. Orangnya ramah, dan mudah menyatu dengan keluarga.”

Memang kalau di awal, semua akan tampak sangat indah! batin Aara.

“Syukurlah Tante. Semoga semuanya dilancarkan sampai hari pernikahan nanti.”

“Iya Nak, insyaaAllah.”

Aara menghela napas. Dia jenuh dengan pembahasan sang ibu.

“Ira di mana, Bu?” tanya Aara.

“Ada di kamar,” sahut ibundanya.

“Kenapa enggak sekalian makan di sini?”

“Katanya dia belum lapar. Dia mengerjakan tugas kuliah dulu.”

“Ira?” tanya Citra, berbisik.

“Iya, Ira. Anak saudara jauh ibu. Mulai sekarang, dia tinggal di sini menemani aku dan ibu.”

“Alhamdulillah, kamu dan ibu tidak lagi sepi.”

Aara membalas dengan senyuman datar.

“Dia kuliah?” tanya Citra.

“Iya, semester satu.”

“Kuliah di mana?”

“Di kampus tercinta kamu!”

“Jurusan?”

“Jurusan kamu!”

“Masa sih? Kok aku enggak pernah bertemu?”

“Memangnya kamu sudah tahu orangnya?”

“Belum sih.”

Aara tertawa. “Ya bagaimana kamu bisa bertemu, kalau kamu enggak kenal orangnya.”

Citra tersenyum, malu.

“Bu, bisa minta tolong, Ira dipanggil dulu ke sini?”

Ibu menuju dapur, dan singgah di kamar Ira.

“Kamu tuh Ra, kok nyuruh-nyuruh ibu kayak gitu?” ujar Citra, sewot.

“Enggak, kan ibu mau ke dapur juga. Kamar Ira itu di sana, sebelum dapur.”

Citra menggelengkan kepala, dengan sikap Aara.

“Iya Mbak,” ucap Ira, setelah berada di depan Aara.

“Ini saya mau kenalin!” Aara memperkenalkan Citra. “Ibu Citra, kan?” tebak Ira.

“Kamu kenal saya?” tanya Citra. “Ibu yang mengajar di kelas Ekonomi 1.”

“Ha? Kamu mahasiswa di kelas saya?” Citra seakan tidak percaya, bahwa Ira adalah mahasiswanya.

“Iya Bu.”

Citra tersenyum, tidak menyangka.

“Beginilah jadinya, kalau terlalu banyak fans. Mana ada waktu mengenal mahasiswanya sendiri,” ejek Aara.

“Kamu tuh, Ra,” sahut Citra. “Salam kenal ya Ira. Saya sahabatnya Mbak judes ini,” ejek Citra, kembali, disertai tawa.

“Iya Bu.”

“Kalau Ira masih ada kerjaan, balik ke kamar saja,” ucap Aara.

“Iya Mbak.”

Ira pun berbalik dan kembali ke kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status