Para petinggi Lyncore berdatangan ke rumah sakit hari itu. Wajah-wajah tegang mereka menambah suasana mencekam di koridor ICU yang sudah penuh dengan aroma obat-obatan.Satu per satu, mereka menyalami Shankara yang berdiri di depan pintu ruang perawatan intensif."Bagaimana kondisi Pak Ananta, Pak?" tanya salah satu direktur.Shankara menarik napas dalam. "Masih kritis. Dokter belum mengizinkan siapa pun masuk selain keluarga inti."Mereka semua terdiam. Hanya suara mesin monitor jantung dari balik pintu ICU yang terdengar samar-samar, membuat dada setiap orang semakin berat.Beberapa petinggi memilih duduk di kursi tunggu, sebagian lagi berdiri, menundukkan kepala. Ada yang berdoa dalam diam, ada pula yang tampak menahan perasaan.“Pak Ananta itu pondasi kita semua. Lyncore nggak akan ada tanpa beliau,” ucap direktur keuangan dengan wajah sedih.Shankara mengangguk singkat. Ia tidak menampik bahwa Ananta memang dihormati banyak orang.Seorang dokter keluar dari ruang ICU, membuat sem
Ponsel Andara hampir lepas dari genggamannya mendengar kabar dari Shankara. Tubuhnya hampir saja limbung saking terkejut mengetahui berita tersebut."Abang minta kamu ke sini bukan buat balikan. Kamu jangan salah paham. Tapi sebagai manusia yang memiliki hati nurani Abang harap kamu bisa datang. Lihat kondisinya, sekaliii aja." Suara Shankara begitu memohon.Andara hampir saja luluh. Namun seketika adegan demi adegan masa lalu melintas di depan mata. Rasa sakit yang ditorehkan Ananta masih membekas hingga saat ini."Ke mana hati nuraninya waktu nyakitin aku?" ucap Andara dengan perasaan perih. "Waktu aku hancur sendirian dia di mana?!""Ra--"“Cukup, Bang!” potong Andara cepat. “Aku nggak mau dengar lagi. Jangan paksa aku untuk peduli sama dia. Aku sudah mati-matian bangun hidupku lagi tanpa dia. Sekarang Abang mau jatuhin aku ke jurang yang sama?”Keheningan kembali menyelimuti percakapan itu. Hanya terdengar helaan napas berat Shankara."Andara... iya Abang tahu kamu terlalu sakit k
Acara makan malam adalah waktu yang sering digunakan sebuah keluarga untuk berkumpul dan berbagi cerita. Begitu pula dengan keluarga kecil Hermawan.Saat ini mereka tengah makan malam bersama. Topik pembicaraan tidak jauh-jauh dari kuda milik Kaivan. Anak itu berceloteh riang tanpa henti yang ditimpali oleh opa dan omanya. Sedangkan Andara lebih banyak diam. Suasana hatinya belum membaik pasca pengkhianatan Shankara. Sampai detik ini Shankara masih belum merespons panggilan darinya. Andara tahu kakaknya itu pasti sengaja karena takut kebusukannya terbongkar."Kai, ayo satu suap lagi, Nak." Ello yang sejak tadi makan sambil menyuapi Kaivan, menyodorkan sendok ke depan mulut anak itu.Kaivan menggeleng kuat-kuat. "Kai udah kenyang, Pa.""Satu sendok lagi aja, ayo.""Nggak mau." Kaivan menutup mulutnya rapat-rapat."Papa janji nanti kalau Kai ngabisin semua nasinya Papa bakal jadi kuda kayak biasa." Ello terus membujuk agar anak itu mau menghabiskan nasinya."Tapi Kai udah punya kuda."
Hati siapa yang tidak sakit ketika orang yang diberi kepercayaan, yang selama ini dianggap berpihak padanya diam-diam berkhianat?Dengan membawa perasaan marah yang begitu besar Andara masuk ke kamar.Ia mengambil ponsel, mencari nama Shankara. Kemarahannya yang tidak bisa lagi ditahan membuat jari-jemarinya gemetar.Panggilannya tersambung, tapi Shankara tidak menjawab, sampai berkali-kali Andara mengulangnya."Angkat dong, Bang!" serunya jengkel.Andara mengulangi sekali lagi, dan hasilnya sama saja.Tidak kuat lagi menahan emosi, Andara mengiriminya pesan.[Aku nggak nyangka ternyata Abang tega berkhianat!]Setelah menekan kirim, Andara menatap layar ponsel, menunggu balasan yang tak kunjung datang.Ia menepuk-nepuk meja, mencoba menenangkan diri, tapi percuma. Perasaannya tidak tenang.Ia menatap Kaivan yang sedang bermain di halaman dengan Snow melalui jendela kamar. Senyum polos anak itu seolah mengingatkan Andara bahwa dunia di sekelilingnya tetap berjalan meski hatinya begitu
Tawa riang Kaivan dan Thalia terdengar begitu bahagia. Membuat Ananta dan Shankara yang menyaksikannya sama-sama terdiam, seakan hanya menjadi penonton dari kebahagiaan yang sederhana itu.Saat ini keempatnya sedang menyaksikan atraksi lumba-lumba yang diidam-idamkan Kaivan.Beberapa lumba-lumba muncul bergantian dari permukaan air, melompat tinggi lalu mendarat kembali dengan cipratan yang membuat anak-anak kecil di barisan depan berteriak girang. Ada pula yang berenang cepat, seakan berlomba, kemudian secara serempak meloncat melewati lingkaran besar yang digantung pelatih.Kaivan menepuk-nepuk tangan, wajahnya bersinar penuh kekaguman ketika seekor lumba-lumba dengan cekatan menyeimbangkan bola besar di ujung moncongnya. Sedangkan Thalia tidak kalah riang, bersorak keras saat dua lumba-lumba lain berputar-putar sambil mengeluarkan suara khas mereka, seolah sedang bernyanyi."Pa, aku mau pipis," celetuk Thalia tiba-tiba."Ayo kita ke toilet," jawab Shankara. "Kai, Om nemenin Kak Tha
Lebih kurang seratus lima puluh kilometer dari kota itu, sebuah keluarga harmonis sedang berkumpul bersama. Mereka adakah Andara, Rani, dan Hermawan--suami Rani."Ra, Ello mana? Kok nggak keliatan?" tanya Rani pada Andara yang baru saja menata piring di atas meja makan. Mereka akan sarapan pagi bersama."Masih tidur kayaknya, Ma." Andara melirik ke arah tangga menuju lantai dua, di mana kamar Ello berada."Begadang lagi dia semalam?""Mungkin, Ma.""Hm, anak itu." Rani geleng-geleng kepala. "Sampai kapan coba dia mau kayak gitu?""Lebih baik disuruh nikah biar berubah. Biar ada yang ngurusin." Hermawan yang duduk di salah satu kursi menimpali."Ra, coba deh kamu bangunin Ello, sekalian suruh sarapan bareng kita," suruh Rani."Iya, Ma." Andara meninggalkan ruang makan untuk kemudian naik ke lantai dua.Sepeninggalnya, Rani berbicara serius dengan suaminya."Aku mikirnya juga