Andara tidak tahu entah berapa lama dirinya berbaring di sofa. Yang ia tahu saat ini Shankara sudah berada di dekatnya, menanyakan keadaannya karena melihat kondisinya yang tampak begitu lemah."Dek, kamu sakit?"Andara menggeleng cepat dan menyunggingkan senyum tipis. Ia memang tidak pernah mengizinkan dirinya membuat kakaknya khawatir. "Abang lihat muka kamu pucat."Andara menaikkan tangan mengusap wajahnya, seolah dengan begitu ia bisa merasakannya sendiri. "Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak, Bang," ucapnya dan berharap kakaknya itu akan percaya.Tatapan Shankara masih belum lepas dari wajah adiknya. "Oh, gitu ya?""Iya, Bang. Lagian selama hamil wajahku ya kayak gini.""Iya deh, Abang percaya. Tapi Abang minta kalau ada apa-apa, ada yang sakit, walau sakitnya cuma dikit jangan ditahan sendiri. Bilang sama Abang, dan terutama sama Nata.""Iya, Bang. Tenang aja. Mas Nata udah sering aku repotin kok. Kalau ada apa-apa aku nggak pernah simpan sendiri. Mas Nata pasti jadi orang
Andara membawa daging ayam yang telah dibumbui dan menyerahkan pada Ananta yang sibuk mengipas bara."Ini ayamnya, Mas."Lelaki itu menerimanya kemudian melanjutkan kegiatannya.Tidak jauh dari mereka Shankara sedang memotong-motong timun. Dan Calista, bukannya menemani suaminya malah ikut duduk di sebelah Ananta. Sedangkan Andara berada di hadapan mereka berdua."Aku berasa deja vu sekarang," ujar Calista sembari menjepit rambutnya tinggi-tinggi dengan jepitan bunga kamboja berwarna kuning hingga menampakkan lehernya.Dan Andara, ia tidak bisa menghentikan pikiran buruknya. Apa saat melihat leher perempuan itu Ananta akan berfantasi macam-macam? Dan apakah Calista sengaja melakukannya untuk menarik perhatian Ananta?'Astaga. Gimana mungkin aku bisa mikir gitu sama suami dan kakak iparku sendiri.' Andara buru-buru mengusir pikiran itu sebelum tumbuh semakin liar di benaknya. Andara kembali mendengar Calista berceloteh.“Masih ingat nggak, Ta? Waktu malam tahun baru dua tahun yang l
Andara membuka kulkas, melihat apa saja yang ada di sana. Tidak banyak yang tersedia. Tapi ada beberapa daging ayam yang sudah dipotong-potong dan siap diolah. Sebelum mengeluarkannya Andara bertanya ke depan."Bang, jadi nggak ayamnya dibakar?""Jadi, Ra," jawab Shankara. "Tapi di rumah ini nggak ada alat buat bakar-bakaran," sela Calista yang terlihat keberatan. "Mas Nata kayaknya bisa bikin alatnya kayak dulu. Iya kan, Mas?" Andara melirik ke arah Ananta yang duduk santai di kursi ruang tamu sambil memainkan ponselnya.Lelaki itu mendongak. Belum sempat ia mengatakan apa pun, Calista dengan cepat mendahului."Masa Pak CEO disuruh ngurus beginian sih, Ra?"Andara tersenyum tipis. "Aku cuma ingat aja sih, Kak, dulu kita juga sering barbeque-an Mas Nata yang nyiapin alat-alatnya."Andara tidak menyadari bahwa ucapannya itu akan memantik kembali kenangan masa lalu."Iya, aku juga ingat. Tapi statusnya beda. Waktu itu aku dan Nata masih pacaran dan lagi mesra-mesranya." Calista menjaw
Perkataan Ananta tak pelak membuat suasana yang sudah canggung menjadi tegang. Semuanya terdiam. Shankara kehilangan kata untuk menjawab. Perasaan bersalah yang tidak kunjung pergi semakin menusuk-nusuk hatinya. Sementara di sebelahnya Calista tidak kalah kikuk. Ucapan Ananta tadi tidak hanya tertuju pada Shankara, tapi juga pada dirinya."Eh, Bang, gimana bengkel? Rame nggak?" celetuk Andara memecah suasana tegang yang tercipta di antara mereka."Nggak juga sih, Ra. Tapi lumayan daripada nggak ada," jawab Shankara. Bibirnya mengembangkan senyum miris."Tetap semangat ya, Bang. Segala sesuatunya pasti berproses, nggak mungkin langsung rame. Nggak mungkin langsung sukses dan berhasil." Lagi, Shankara menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. Adiknya itu memang sering memberinya semangat dan motivasi dibandingkan istrinya sendiri."Tapi bengkelnya Abang udah lama, Ra, udah dua tahun lebih. Agak nggak wajar sih kalau sampai selama itu masih belum berhasil," sela Calista merusak suasana.
Senyum yang tadi merekah lebar di bibir Calista pudar saat itu juga bersama tubuhnya yang membeku.Sial. Ini Ananta kenapa harus setinggi tiang listrik sih?"Eh, ada kamu juga, Ra. Asli aku nggak tahu. Masuk, masuk." Calista buru-buru memundurkan tubuhnya sambil menyibak rambut panjangnya ke belakang, mencoba bersikap santai. Tapi ekspresi gugupnya tidak bisa disembunyikan. Ia tidak menyangka Ananta akan datang. Dan lebih dari itu, ia tidak menyangka Andara juga datang bersamanya.Andara yang juga terkejut akibat ucapan Calista tadi melangkah di belakang Ananta sambil tersenyum menyapanya."Abang ada, Kak?""Belum pulang sih." Perempuan itu melirik jam dinding. "Kayaknya bentar lagi nyampe deh.""Biasanya jam segini Abang udah pulang," kata Andara yang ikut melihat jam tangannya. Andara tidak tahu jika semakin ke sini Shankara semakin sering pulang larut."Iya." Hanya itu yang disampaikan Calista sebelum mengalihkan pembicaraan. "Eh, pada mau minum apa nih?""Air putih aja, Kak." Anda
Andara melihat jam tangannya untuk ke sekian kali. Tapi Ananta belum juga datang. Padahal sudah empat puluh menit berlalu dari jam pulang les. Para peserta les yang sekelas dengannya sudah keluar sejak tadi. Saat ini hanya tinggal satu kelas lagi sebagai sesi terakhir.Apa Ananta masih bersama Clarin sehingga melupakan Andara?Andara tidak dapat menjawab pertanyaan itu, sama dengan ketidakmampuannya mencegah pikiran buruk tumbuh di benaknya.Seberapa keras pun ia mencoba memercayai Ananta, selalu ada sudut-sudut gelap dalam hatinya yang mempertanyakan, 'Apakah dia pernah benar-benar menganggap bahwa aku adalah istrinya?'Ia duduk di kursi lobi gedung dengan ponsel di genggaman. Notifikasinya sunyi. Tidak ada pesan baru. Juga panggilan masuk. Apalagi dari Ananta. Seolah dunia bersekongkol membungkam kepedihan yang ingin meledak dari dalam dirinya.Diembuskan napas berat. Sesekali ia menatap jalan di depan, berharap ada mobil hitam yang dikenalnya berhenti. Tapi yang lewat hanya motor-m