Ananta tidak menjawab. Tidak ada kata sepatah kata pun. Juga suara. Hanya tangannya yang bergerak cepat melucuti helai demi helai penutup tubuh Andara.
Andara hanya bisa membiarkan. Dia tidak berontak ataupun memohon untuk dilepaskan seperti malam itu. Karena Andara paham posisinya sebagai istri Ananta. Istri yang hanya sekadar status. Tanpa pernah ada di dalam hati lelaki itu.
Saat Ananta mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya, Andara membeku. Jari-jemari lelaki itu sedingin salju. Begitu pun dengan ciumannya--hampa, liar, dan tanpa jejak kasih.
Tatapan mengintimidasi pria itu menelanjangi Andara lebih dari tubuhnya. Membuat Andara tidak tahan. Dipalingkannya muka.
"Lihat aku, Andara. Aku ada di sini, bukan di dinding." Ananta merengkuh dagu Andara hingga tatapan mereka bertemu.
Andara menahan napas. Yang dia lihat di mata Ananta bukan cinta kasih. Hanya kemarahan. Dendam yang dalam. Luka yang belum sembuh dan ingin dibalas.
"Mas mau apa dari aku?" Andara berbisik lirih dengan suara yang hampir tidak terdengar. Suaranya tenggelam oleh rasa lelah dan luka yang terus dipendam.
"Aku ingin kamu menderita. Selamanya." Suara itu mendesis dingin, membuat sekujur tubuh Andara menggigil.
Ketika Ananta menyatukan tubuh dengannya dalam keheningan yang memekakkan, Andara memejamkan mata. Dia tidak sanggup membalas tatapan dingin penuh kebencian itu. Dia tidak menangis. Tidak juga merintih.
Tidak ada bisik manja. Tidak ada kelembutan. Yang ada hanya keheningan dan pelampiasan perasaan.
Saat semuanya selesai Ananta menarik selimut lalu membelakangi Andara. Lelaki itu diam membisu. Seolah yang barusan mereka lakukan hanyalah aktivitas fisik tanpa arti. Sesaat kemudian lelaki itu bangkit dari ranjang. Dia membersihkan diri di kamar mandi.
Sementara Andara hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri. Dia menatap langit-langit kamar. Matanya basah. Bukan karena sakit, tapi karena menyadari kenyataan pahit. Dia hanya menjadi pelabuhan untuk dendam yang membara, bukan rumah untuk cinta yang indah.
"Turun dari tempat tidurku. Sebentar lagi kekasihku datang." Suara dingin Ananta menyentak Andara dari lamunan singkatnya.
Andara menatap suaminya. Lelaki itu sudah selesai mandi dan saat ini sedang berpakaian. Aroma khas parfumnya yang sudah sangat Andara hafal menguar ke udara.
"Tunggu apa lagi?" tanya lelaki itu melihat Andara masih diam termangu.
Andara turun dari tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia memungut pakaiannya yang dibuang Ananta ke lantai lalu mengenakannya dengan perasaan terluka.
Tadinya Andara pikir setelah apa yang mereka lakukan Ananta akan tetap bersamanya. Tidur satu ranjang dengannya. Nyatanya itu hanya sekadar angan belaka.
"Kekasih yang mana maksudnya, Mas?" tanyanya hati-hati. Saking banyaknya wanita yang Ananta bawa ke rumah, Andara tidak tahu yang mana kekasih lelaki itu.
"Bukan urusanmu," jawab Ananta dingin. Pria itu berkaca di cermin membelakangi Andara. "Siapkan makan malam untukku dan kekasihku," titahnya.
Andara diam di tempat. Dan itu membuat Ananta marah padanya.
"Kenapa masih di sini? Nggak dengar aku bilang apa?"
"B-baik, Mas." Dengan pakaian yang belum sepenuhnya rapi Andara keluar dari kamar Ananta, membawa sisa-sisa dirinya yang rapuh.
**
Andara sedang sibuk di dapur. Matanya terfokus pada bahan-bahan masakan. Tangannya sibuk memotong, mengulek, menumis, tapi jiwanya kosong. Dia bahkan tidak mencicipi apa pun hari ini. Yang dipikirkannya hanya satu, menyiapkan hidangan terbaik untuk Ananta, seperti yang diperintahkan lelaki itu.
Andara memutuskan untuk memasak udang saus tiram dan cumi. Keduanya adalah makanan favorit Ananta. Andara mengetahuinya karena dulu saat masih bersahabat dengan Shankara, Ananta sering datang ke rumah dengan membawa udang atau cumi mentah lalu menyuruh Andara untuk memasaknya.
Selang satu jam kemudian meja makan sudah tertata rapi. Aroma seafood memenuhi ruang makan. Hangat, gurih dan menggoda.
Tawa renyah terdengar, bersamaan dengan itu Ananta muncul. Dia tidak sendiri. Ada wanita bersamanya.
Andara sempat terpukau. Wanita yang ini jauh lebih cantik dibandingkan para perempuan yang pernah dibawa Ananta ke rumah. Kulitnya putih. Tubuhnya tinggi semampai. Rambut hitamnya hitam lurus sepunggung dengan highlight berwarna burgundy.
"Hai, aku Marcella. Kamu pasti Andara, kan?" sapanya hangat pada Andara seolah mereka berteman dekat.
Andara menganggukkan kepala.
"Wah, makanannya enak-enak." Mata Marcella menyapu meja makan.
Ananta menarikkan kursi untuk Marcella. Perempuan itu duduk.
"Thanks, Ta."
Ananta tersenyum. Senyum menawan yang dulu juga Andara rasakan.
"Hm, udang ya?" Marcella menggumam.
"Kamu suka?" tanya Ananta.
"Suka sih, tapi--"
"Tapi apa?"
"Oh, nggak, nggak. Nggak apa-apa."
Ananta menyendokkan udang dan cumi ke piring Marcella. Sedangkan Andara hanya diam menyaksikan semua itu. Alangkah bahagianya menjadi Marcella atau para wanita Ananta yang lain.
Marcella memandangi udang dan cumi di piringnya. Senyumnya masih terpatri. Tapi ada gurat keraguan terselip di sana.
"Aku coba ya," ujarnya lalu mencolek saus tiram dengan potongan udang.
Awalnya Marcella tampak menikmati. Namun beberapa menit kemudian tubuhnya mulai bereaksi. Perempuan itu menggaruk di sana sini.
"Kamu kenapa, Cell? Kenapa leher kamu merah? Ini juga, tangan kamu," heran Ananta yang melihat perubahan perempuan di dekatnya.
"Ananta, sebenarnya aku alergi seafood," aku Marcella jujur sambil terus menggaruk bagian tubuhnya yang bengkak dan merah.
"Astaga, Cell, kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" Ananta ikut membantu menggaruk tangan Marcella.
"Aku pengen bilang sih, tapi kayaknya udang sama cumi yang ini enak banget, jadi aku nekat." Marcella menjelaskan sambil terus menggaruk.
Ananta menggeser tatapannya pada Andara yang saat ini berdiri mematung memandanginya dan Marcella. Melihat ekspresi lugu istrinya itu membuat emosinya naik seketika.
**
Shankara yang membukakan pintu ketika malam itu Andara tiba di rumah. Ia lihat wajah adiknya lesu yang membuat Shankara tidak bisa tenang."Capek banget ya, Ra?" tanyanya."Lumayanlah, Bang." Andara menjawab sambil menjatuhkan diri di sofa.Shankara ikut duduk di sana. "Kalau memang rasanya udah nggak sanggup sebaiknya kamu minta cuti lebih awal, Ra."Shankara tidak tahu bahwa saat ini Andara tidak hanya lelah secara fisik. Ada yang lebih jauh membuat Andara kelelahan. Pikirannya."Tapi kalau aku cuti aku nggak bakal tahu mau ngapain di rumah, Bang. Aku pasti bakalan bosan. Lagian nggak mungkinlah aku dikasih cuti di usia kandungan segini. Paling nanti cutinya bakal dikasih bulan-bulan mau lahiran.""Peraturan itu berlaku untuk karyawan lain. Pengecualian untuk kamu, Ra, istrinya Pak CEO."Andara tersenyum canggung menutupi kegugupannya. Andai saja Shankara tahu bahwa dirinya adalah istri rahasia yang disembunyikan dari dunia."Nggak bisa gitulah, Bang. Itu namanya nepotisme." Andara
Demi membuktikan dugaan orang-orang, Andara terpaksa bolos les malam ini. Padahal biasanya, sekalipun kelelahan, ia tetap berusaha hadir. Tapi kali ini berbeda. Terlalu banyak yang mengganggu pikirannya yang ia rasa sudah tidak bisa diabaikan begitu saja.Ia menunggu jam pulang kantor dengan gelisah. Berkali-kali menatap layar ponselnya yang sepi dari pesan Ananta. Ia hanya ingin kepastian. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah menyelidiki sendiri.Begitu jam kerja selesai, Andara keluar gedung dengan langkah cepat. Ia langsung memesan taksi menuju Primavera Medical Center, rumah sakit swasta bertaraf internasional yang selama ini hanya ia dengar dari cerita orang-orang.Setibanya di rumah sakit, Andara berdiri ragu di depan lobi utama. Gedungnya tinggi dan megah, berlapis kaca dan lampu tinggi yang membuat siapa pun merasa kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menemui petugas resepsionis. “Permisi,” sapa Andara dengan suara setenang mungkin.Perempuan berseragam biru m
Andara melangkah lunglai memasuki gedung Lyncore. Ia langsung menuju toilet. Di sana ia akan mengganti pakaian. Andara sengaja tidak mengenakan seragam kerjanya di rumah. Ia tidak akan membiarkan Shankara dan Calista melihat tulisan 'Office Girl' di punggungnya.Setiba di toilet Andara tidak langsung berganti pakaian. Ia berkaca di cermin wastafel. Seorang perempuan berwajah sedikit pucat dan raut tanpa semangat membalas tatapannya. Dia adalah refleksi dirinya sendiri.Semalam Andara tidak bisa tidur. Ia baru mampu memejamkan mata sesaat sebelum subuh dan tak lama setelahnya ia pun harus bangun. Tidak hanya pikirannya yang kacau. Tubuhnya juga terasa lemas saat ini akibat tidak sarapan. Tadi Shankara mengomelinya karena itu. Agar omelan kakaknya itu tidak melebar ke mana-mana Andara mengatakan akan sarapan di kantor.Andara mengingat lagi percakapannya dengan Calista sebelum berangkat tadi ketika tahu Andara akan menggunakan ojek."Ra, ini serius kamu mau pake ojek?"Andara mengiyaka
"Nggak jadi tidur, Ra?" sapa Calista saat melihat Andara muncul dan duduk di sebelahnya. Ia sedang menyetrika di ruang tengah karena juga tidak bisa tidur.Andara menggelengkan kepala. "Nggak bisa tidur.""Kenapa?""Lagi kepikiran Mas Nata aku, Kak."Calista meletakkan setrika dalam posisi berdiri, lalu melipat sebuah kaus dan menaruhnya di atas tumpukan kain. Andara melanjutkan. "Dari tadi pagi pergi sampai sekarang nggak ada kabar. Katanya sih mau hubungi aku kalau udah sampai, tapi..."Calista tertawa kecil, namun mungkin Andara tidak menangkap nada sinis di dalamnya. "Dulu waktu masih sama aku Nata nggak pernah kayak gitu. Tiap sampai di tempat baru pasti langsung kirim kabar. Satu pesan bisa lima foto. Entah itu foto boarding pass, makanan hotel, bahkan pemandangan dari jendela kamar. Dia juga selalu beliin aku sesuatu terus kirim fotonya, nanya aku suka atau enggak. Tapi kadang dia nggak bilang-bilang sih. Tiba-tiba pas pulang aku dikasih oleh-oleh segunung. Dan yang paling ber
Andara berdiri di beranda melepas mobil yang membawa Ananta meluncur pelan keluar dari gerbang. Beberapa detik setelah mobil menghilang dari pandangan, Andara masih berdiri diam di tempat. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi lebih dingin lagi adalah perasaan di dalam dadanya. Ada ruang kosong yang tiba-tiba menganga begitu saja.Ia menghela napas, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Menutup pintu pelan-pelan, seolah takut membangunkan kesunyian.Hari pertama tanpa Ananta terasa kosong. Andara melalui sarapan berteman sepi, meski ia menyalakan televisi dengan volume tinggi, pura-pura sibuk menikmati berita pagi. Tapi mata dan telinganya tidak benar-benar menyimak.Ia berjalan menyusuri rumah, melihat-lihat sudut yang biasanya tidak diperhatikan. Ranjang tempat mereka bergumul kini tampak sangat rapi. Ia juga melihat baju-baju Ananta yang tersusun di lemari seolah itu bisa menggantikannya. Bahkan bau sabun yang biasa dipakai Ananta masih menempel di hidung Andara.Tiba-tiba ia
Berpergian untuk urusan bisnis entah itu ke luar negeri atau masih di dalam negeri atau disebut juga dengan business trip itulah yang akan Ananta lakukan. Bukan hal baru sebenarnya. Tapi selama mereka menikah ini adalah kepergian pertama laki-laki itu yang diketahui Andara."Aku pergi tiga hari," ucap Ananta tanpa menoleh. Ia sibuk melipat baju dan memasukkannya ke koper dengan tangan cekatan. "Mas pergi sama siapa?" tanya Andara. Tadi saat ia ingin membantu mengemas pakaian yang akan dibawanya, Ananta menolak."Sendiri.""Masayu nggak ikut?""Nggak.""Kalau aku ikut boleh nggak, Mas?"Ananta menghentikan gerakannya. Hanya sebentar. Lalu kembali sibuk menggulung dasinya."Ada meeting pagi dan malam. Waktunya padat. Nggak enak kalau kamu ikut tapi cuma ditinggal sendirian di hotel.""Aku nggak keberatan kok sendirian."Kali ini Ananta menoleh, menatap pada Andara. "Kenapa ngotot mau ikut? Kamu takut sendiri di rumah?""Nggak. Aku cuma pengen nemenin Mas Nata." Andara bangkit dari dudu