Andara memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.
"Ha—"
"Kamu di mana?" Suara itu memutus perkataan Andara.
"Di rumah, Mas."
"Di rumah mana?"
"Di rumahku. Lagi ngobrol sama Abang."
Hening beberapa detik sampai Andara mengira Ananta mematikan sambungan. Ketika dia menjauhkan ponsel dari telinga, dia melihat panggilan masih terhubung.
"Pulang sekarang," titah Ananta datar tapi Andara tahu pria itu tidak ingin dibantah.
"Iya, Mas, sebentar lagi aku pulang."
"Aku bilang sekarang."
"Tapi aku baru nyam—"
"Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana. Aku jemput."
Andara belum sempat menjawab, Ananta sudah mematikan panggilan. Dia menghela napas lalu menyimpan ponsel ke dalam tas.
"Ananta?" tebak Shankara saat Andara mengembalikan atensi padanya.
Adiknya itu mengangguk lalu tertawa. "Dia mau jemput ke sini. Paling nggak bisa kalau aku telat pulang dikit aja."
Melihat Andara yang ceria perlahan-lahan mengikis keraguan di hati Shankara. Meski rasa bersalah itu tidak kunjung hilang, tapi mengetahui Andara bahagia dengan Ananta sudah cukup membuatnya tenang.
Mereka mengobrol ringan sampai Ananta muncul lima belas menit kemudian.
Lelaki itu tidak masuk ke rumah. Hanya membunyikan klakson mobilnya.
"Bang, aku pulang ya, itu Mas Nata udah datang," pamit Andara.
Shankara mengangguk. Dia sangat mengerti kalau Ananta tidak ingin bertemu dengannya.
Andara masuk ke mobil dan menemukan sosok Ananta yang duduk di belakang kemudi. Dia tidak berhasil membaca ekspresinya karena wajah lelaki itu terbingkai kacamata hitam.
Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang bersuara. Andara tidak berani bicara meski sejujurnya dia heran kenapa Ananta menjemputnya. Memang ke mana wanita yang menemani lelaki itu sampai dia punya waktu untuk Andara?
Andara pikir mereka akan melalui sore ini tanpa masalah. Namun ketika baru saja masuk ke rumah dan menutup pintu, Ananta langsung menyeretnya ke kamar dan menyandarkan tubuhnya ke dinding.
"Mas Nata...," lirih Andara sambil mendongak menatap lelaki itu.
"Siapa yang ngizinin kamu pergi ke sana?" Ananta mendesis dingin.
"Maksud Mas ke mana?"
"Ke rumah pengkhianat itu." Napas Ananta memburu.
"Jangan sebut abang pengkhianat, Mas. Dia kakakku."
"Jangan pergi ke sana lagi!" Ananta menaikkan intonasi suaranya. Tangan kanannya menghantam dinding, tepat di samping kepala Andara, hingga perempuan itu terlonjak kaget.
Andara menunduk, matanya berkaca-kaca. "A-aku cuma ngobrol, Mas. Nggak ada yang salah dengan itu."
"Jelas salah!" Ananta menatapnya dengan mata merah karena marah. "Karena dia hidupku hancur, tapi kamu malah enak-enak ngobrol sambil duduk-duduk dengan dia kayak nggak ada yang terjadi."
Air mata Andara mulai menetes. Digelengkannya kepala. "Aku datang karena rindu, Mas. Kami cuma ngobrol biasa, nggak ngomongin masa lalu kalian."
Ananta mencengkeram lengan Andara. Matanya menusuk tajam. Napasnya memburu. Bukan karena lelah, melainkan karena amarah yang tidak kunjung reda.
"Apa pun yang kalian bicarakan bukan urusanku. Kamu itu sekarang istriku, Andara. Kamu harus nurut sama aturanku. Minta izin aku dulu!"
"Tapi tadi kamu masih tidur, Mas. Aku nggak mau mengganggu kamu." Andara mengucapkannya dengan getir. "Aku udah minta izin. Aku tinggalin pesan di atas meja makan."
"Kamu hanya minta izin pergi kerja, bukan ke rumah bajingan itu!"
"Mas Nata, tolong jangan bilang Bang Shankara begitu. Dia kakakku, Mas," cicit Andara lirih. Hatinya terasa sakit oleh perlakuan Ananta.
Ananta terdiam. Matanya terpejam sesaat, menahan sesuatu yang tidak bisa dia ucapkan. Ketika kembali terbuka, tatapannya penuh bara.
Tatapan itu menusuk, membuat Andara menunduk. Dia tidak tahu apa harus membela diri atau menutup mulut. Saat ini, apa pun yang diucapkannya selalu salah di mata Ananta.
"Dengar Andara, aku nggak pernah lupa bagaimana dia menghancurkanku, mengkhianatiku dan merebut orang yang aku sayang. Tapi sepertinya kamu tidak mengerti hal itu. Kamu lebih memilih membela dia. Padahal aku ini suamimu!" tegas Ananta penuh penekanan.
Andara mengangkat wajahnya, membalas tatapan Ananta. "Suami? Kalau memang Mas Nata adalah suamiku, kenapa Mas memperlakukanku seolah aku nggak ada artinya?"
"Karena kamu memang nggak ada artinya. Kamu itu sampah, Andara. Kamu sama busuknya dengan kakakmu yang bajingan itu."
Andara kembali diam karena apa pun yang dikatakannya hanya percuma.
"Mulai hari ini kamu dilarang ke tempat itu. Kamu nggak boleh menemui dia. Kalau sampai aku tahu kamu melanggar aturanku, aku pastikan kamu akan menyesalinya."
"Kenapa aturan itu hanya berlaku untukku?" balas Andara berani.
Ananta menaikkan tangannya, mencengkeram dagu Andara. "Karena aku suamimu. Karena kamu milikku," klaimnya posesif. Deru napasnya terdengar memberat.
Namun, Andara tidak ingin hanya berdiam diri. Meski getar dalam suaranya tidak bisa disembunyikan, tapi ia berusaha membalas tatapan pria itu.
"Kalau aku memang milikmu, seharusnya kamu memperlakukanku selayaknya seorang istri. Kamu nggak akan membawa wanita lain ke sini lalu tidur di tempat tidurmu." Akhirnya Andara berhasil mengeluarkan sedikit sesak di dadanya.
Ananta menatapnya tanpa kedip. Kemudian dengan sekali sentakan, lelaki itu menarik Andara dan mendorongnya ke kasur.
Andara tergolek di sana. Matanya menatap bingung pada Ananta yang mengikis jarak dan ikut naik ke tempat yang sama dengannya.
Sekali Ananta maju, dua kali Andara mundur. Hingga tubuhnya membentur headboard. Andara kehilangan tempat menghindar.
"M-Mas … kamu mau apa?"
**
Ananta mendongak. Mata mereka kembali bertemu di titik yang sama. Tapi hanya sesaat.Ananta tidak berkata apa-apa. Wajahnya datar, tidak menunjukkan keterkejutan apalagi perasaan bersalah. Ia juga tidak merasa perlu menjelaskan apa-apa seolah Andara hanyalah orang asing baginya."Mas, siapa dia?" tanya wanita di sebelah Ananta.Ananta mengedikkan bahu tidak tahu."Tapi dia tahu nama kamu, Mas," ujar wanita itu lagi dengan nada heran.Ananta menoleh sebentar ke arah Andara lalu menjawab dengan satu kalimat yang menghancurkan. "Oh, dia bekas office girl di kantorku."Pandangan Andara berubah nanar. Ucapan itu begitu menghantam hatinya. Bukan hanya karena tidak mengakuinya, tapi juga karena menempatkannya pada posisi paling rendah.Tangannya meremas kertas resep dalam genggaman, mencari kekuatan di sana. Tapi ia menahan semuanya. Andara tidak ingin menangis di depan Ananta. Tidak di depan wanita hamil itu. Tidak di tempat umum seperti ini.Ananta kemudian berbisik di telinga wanita di s
Ananta memarkir mobilnya di sudut parkiran. Cukup jauh untuk terlihat. Tapi cukup dekat untuk mengamati.Ia tidak turun. Hanya diam, membiarkan matanya mengamati ketiganya yang keluar dari mobil.Shankara membuka pintu untuk Calista lalu pindah membukakan pintu untuk Andara.Saat melihat Calista dan perut buncitnya, Ananta berdecih jijik.Ananta memperhatikan itu semua tanpa kedip. Ia menggenggam lingkar setir dengan satu tangan. Urat-uratnya menegang.Ketiga orang di sana semuanya adalah pengkhianat.Pikirannya menggema dalam diam. Ada kekosongan di wajahnya tapi benaknya tidak benar-benar kosong.**Ruang tunggu poli kandungan saat itu cukup ramai. Andara duduk menunggu di sebelah Calista. Shankara ikut menemani keduanya.Ini adalah pengalaman pertama Andara memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit. Selama ini ia hanya berpegang pada hasil testpack."Deg-degan?" tanya Calista pelan.Andara menoleh dan memaksa seulas senyum. "Sedikit."Calista mengusap punggung tangan Andara, menenan
Andara terbangun pagi ini oleh sinar matahari yang menembus melalui sela-sela tirai. Cahaya hangat menari pelan di dinding kamar, seolah sedang membangunkannya secara lembut.Ia membuka matanya perlahan. Mengerjap sekilas untuk beradaptasi dengan cahaya. Tubuhnya terasa berat tapi tidak selemah kemarin. Tangannya turun meraba perutnya. Masih datar dan belum membuncit. Namun demikian ada kehidupan di dalam sana. Dan kehidupan itu, entah bagaimana, menjadi alasan baginya untuk terus bertahan hari demi hari.Beberapa detik kemudian pintu kamar diketuk pelan. Bersama dengan itu terdengar suara."Andara, boleh Kakak masuk?"Itu Calista. Kemarin malam akhirnya Andara tidur sendiri tanpa ditemani kakak iparnya itu. Calista juga sedang hamil. Andara tidak ingin terlalu banyak merepotkannya.Andara duduk di atas kasur, merapikan rambutnya yang berantakan. "Masuk aja, Kak," jawabnya.Pintu kemudian terbuka, memperlihatkan Calista yang membawa nampan. Di atas nampan tersebut ada roti panggang,
Shankara memandangi layar ponselnya. Lima kali panggilan keluar. Dan semuanya tidak dijawab.Shankara menduga, mungkin Ananta sengaja tidak menjawabnya. Ia sangat mengerti alasannya. Masalahnya kali ini bukanlah soal ego lama, melainkan mengenai Andara yang sedang hamil dan pingsan di tempat kerja.Shankara mengirimi iparnya itu pesan.[Ta, Andara pingsan. Sekarang lagi di rumah sakit Sehat Bersama. Lo bisa ke sini?]Shankara menunggu hingga bermenit-menit lamanya, namun jangankan dibalas, dibaca juga tidak.Ia menggertakkan gigi. Satu tarikan napas berat mengisi dadanya."Gimana, Bang?" tanya Andara yang sejak tadi memerhatikan Shankara.Shankara mengesahkan napas. "Nggak dijawab. Abang kirim pesan juga nggak dibaca.""Mungkin Mas Nata lagi sibuk," lirih Andara.Ya, sibuk dengan wanitanya.Shankara memanjang arloji. Sudah lewat jam sebelas malam. Ia tahu Andara seorang CEO dan workaholic. Tapi ini hampir pukul dua belas. Sudah saatnya lelaki itu beristirahat di rumah. "Abang nggak u
Dalam gandengan tangan Marcella, Ananta terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Seorang lelaki yang mengenakan pakaian yang Ananta tahu merupakan pakaian seragam petugas bioskop yang sama dengan Andara, membopong tubuh Andara keluar dari lift. Tangan lelaki itu melingkari tubuh istrinya, tubuh yang seharusnya ia jaga.Detik itu dada Ananta berdenyut. Sebuah rasa menyesak di sana. Ia tidak tahu apa namanya. Tapi cukup untuk membuatnya membeku.Seharusnya Ananta menghampiri ketiga orang itu dan menanyakan apa yang terjadi. Nyatanya kaki Ananta melangkah ke arah lain. Untuk apa dia peduli pada Andara? Lagipula sudah ada laki-laki itu.*Setibanya di rumah sakit terdekat Andara langsung ditangani oleh dokter.Tian dan Berlin menanti dengan perasaan harap-harap cemas."Tadi aku udah curiga kalau dia nggak baik-baik aja, tapi dia bilang cuma capek sedikit," kata Berlin menceritakan percakapannya dengan Andara beberapa jam yang lalu."Aku mikirnya juga gitu," balas Tian. "Hari ini Andar
Udara dalam ruang bioskop itu sejuk. Aroma popcorn melekat di udara. Di layar besar di hadapan mereka terpampang adegan romantis yang membuat para penonton larut dalam suasana. Namun, Ananta tidak fokus pada film yang ditayangkan. Dia bahkan tidak peduli bagaimana ceritanya.Marcella bersandar manja di bahu Ananta. Tangannya menggenggam erat jemari lelaki itu. Kemudian saat musik di dalam film mengalun lembut dan kamera di layar menyorot dua pemeran utama yang tengah berciuman, Marcella menengadah menatap Ananta."Happy birthday, Nata," bisiknya.Ananta menoleh. Lalu saat bibir Marcella mendekat, dia tidak dapat menolak.Ciuman itu terjadi begitu saja.Lalu di sela ciuman itu Ananta membuka matanya. Terkejut ketika mendapati Andara sedang berdiri di dekatnya.Di tangan perempuan itu tergenggam dua bungkus popcorn. Tubuhnya kaku. Sepasang matanya memandang pada keduanya.Sorot matanya menusuk. Tidak ada teriakan atau isakan. Hanya luka yang terlihat dari caranya memandang.Ananta menj