Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-06-04 17:34:03

Andara memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.

"Ha—"

"Kamu di mana?" Suara itu memutus perkataan Andara.

"Di rumah, Mas."

"Di rumah mana?"

"Di rumahku. Lagi ngobrol sama Abang."

Hening beberapa detik sampai Andara mengira Ananta mematikan sambungan. Ketika dia menjauhkan ponsel dari telinga, dia melihat panggilan masih terhubung.

"Pulang sekarang," titah Ananta datar tapi Andara tahu pria itu tidak ingin dibantah.

"Iya, Mas, sebentar lagi aku pulang."

"Aku bilang sekarang."

"Tapi aku baru nyam—"

"Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana. Aku jemput."

Andara belum sempat menjawab, Ananta sudah mematikan panggilan. Dia menghela napas lalu menyimpan ponsel ke dalam tas.

"Ananta?" tebak Shankara saat Andara mengembalikan atensi padanya.

Adiknya itu mengangguk lalu tertawa. "Dia mau jemput ke sini. Paling nggak bisa kalau aku telat pulang dikit aja."

Melihat Andara yang ceria perlahan-lahan mengikis keraguan di hati Shankara. Meski rasa bersalah itu tidak kunjung hilang, tapi mengetahui Andara bahagia dengan Ananta sudah cukup membuatnya tenang.

Mereka mengobrol ringan sampai Ananta muncul lima belas menit kemudian.

Lelaki itu tidak masuk ke rumah. Hanya membunyikan klakson mobilnya.

"Bang, aku pulang ya, itu Mas Nata udah datang," pamit Andara.

Shankara mengangguk. Dia sangat mengerti kalau Ananta tidak ingin bertemu dengannya.

Andara masuk ke mobil dan menemukan sosok Ananta yang duduk di belakang kemudi. Dia tidak berhasil membaca ekspresinya karena wajah lelaki itu terbingkai kacamata hitam.

Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang bersuara. Andara tidak berani bicara meski sejujurnya dia heran kenapa Ananta menjemputnya. Memang ke mana wanita yang menemani lelaki itu sampai dia punya waktu untuk Andara?

Andara pikir mereka akan melalui sore ini tanpa masalah. Namun ketika baru saja masuk ke rumah dan menutup pintu, Ananta langsung menyeretnya ke kamar dan menyandarkan tubuhnya ke dinding.

"Mas Nata...," lirih Andara sambil mendongak menatap lelaki itu.

"Siapa yang ngizinin kamu pergi ke sana?" Ananta mendesis dingin.

"Maksud Mas ke mana?"

"Ke rumah pengkhianat itu." Napas Ananta memburu.

"Jangan sebut abang pengkhianat, Mas. Dia kakakku."

"Jangan pergi ke sana lagi!" Ananta menaikkan intonasi suaranya. Tangan kanannya menghantam dinding, tepat di samping kepala Andara, hingga perempuan itu terlonjak kaget.

Andara menunduk, matanya berkaca-kaca. "A-aku cuma ngobrol, Mas. Nggak ada yang salah dengan itu."

"Jelas salah!" Ananta menatapnya dengan mata merah karena marah. "Karena dia hidupku hancur, tapi kamu malah enak-enak ngobrol sambil duduk-duduk dengan dia kayak nggak ada yang terjadi."

Air mata Andara mulai menetes. Digelengkannya kepala. "Aku datang karena rindu, Mas. Kami cuma ngobrol biasa, nggak ngomongin masa lalu kalian."

Ananta mencengkeram lengan Andara. Matanya menusuk tajam. Napasnya memburu. Bukan karena lelah, melainkan karena amarah yang tidak kunjung reda.

"Apa pun yang kalian bicarakan bukan urusanku. Kamu itu sekarang istriku, Andara. Kamu harus nurut sama aturanku. Minta izin aku dulu!"

"Tapi tadi kamu masih tidur, Mas. Aku nggak mau mengganggu kamu." Andara mengucapkannya dengan getir. "Aku udah minta izin. Aku tinggalin pesan di atas meja makan."

"Kamu hanya minta izin pergi kerja, bukan ke rumah bajingan itu!"

"Mas Nata, tolong jangan bilang Bang Shankara begitu. Dia kakakku, Mas," cicit Andara lirih. Hatinya terasa sakit oleh perlakuan Ananta.

Ananta terdiam. Matanya terpejam sesaat, menahan sesuatu yang tidak bisa dia ucapkan. Ketika kembali terbuka, tatapannya penuh bara.

Tatapan itu menusuk, membuat Andara menunduk. Dia tidak tahu apa harus membela diri atau menutup mulut. Saat ini, apa pun yang diucapkannya selalu salah di mata Ananta.

"Dengar Andara, aku nggak pernah lupa bagaimana dia menghancurkanku, mengkhianatiku dan merebut orang yang aku sayang. Tapi sepertinya kamu tidak mengerti hal itu. Kamu lebih memilih membela dia. Padahal aku ini suamimu!" tegas Ananta penuh penekanan.

Andara mengangkat wajahnya, membalas tatapan Ananta. "Suami? Kalau memang Mas Nata adalah suamiku, kenapa Mas memperlakukanku seolah aku nggak ada artinya?"

"Karena kamu memang nggak ada artinya. Kamu itu sampah, Andara. Kamu sama busuknya dengan kakakmu yang bajingan itu."

Andara kembali diam karena apa pun yang dikatakannya hanya percuma.

"Mulai hari ini kamu dilarang ke tempat itu. Kamu nggak boleh menemui dia. Kalau sampai aku tahu kamu melanggar aturanku, aku pastikan kamu akan menyesalinya."

"Kenapa aturan itu hanya berlaku untukku?" balas Andara berani.

Ananta menaikkan tangannya, mencengkeram dagu Andara. "Karena aku suamimu. Karena kamu milikku," klaimnya posesif. Deru napasnya terdengar memberat.

Namun, Andara tidak ingin hanya berdiam diri. Meski getar dalam suaranya tidak bisa disembunyikan, tapi ia berusaha membalas tatapan pria itu. 

 "Kalau aku memang milikmu, seharusnya kamu memperlakukanku selayaknya seorang istri. Kamu nggak akan membawa wanita lain ke sini lalu tidur di tempat tidurmu." Akhirnya Andara berhasil mengeluarkan sedikit sesak di dadanya.

Ananta menatapnya tanpa kedip. Kemudian dengan sekali sentakan, lelaki itu menarik Andara dan mendorongnya ke kasur.

Andara tergolek di sana. Matanya menatap bingung pada Ananta yang mengikis jarak dan ikut naik ke tempat yang sama dengannya.

Sekali Ananta maju, dua kali Andara mundur. Hingga tubuhnya membentur headboard. Andara kehilangan tempat menghindar.

"M-Mas … kamu mau apa?"

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 242

    Anak kecil itu memandangi pria dewasa di sebelahnya dengan benak dipenuhi pertanyaan. Ia berusaha menyerap informasi yang tidak sanggup ia cerna."Papa? Papa Kai, kan, lagi di Bandung, Om," ujarnya bingung.Shankara sempat terdiam sepersekian detik, lalu tersenyum kaku. "Oh iya, Om lupa. Om salah bicara. Bukan papa Kai maksudnya, tapi teman Om."Kaivan memiringkan kepalanya. “Teman Om?"“Iya, dia teman Om. Orangnya baik. Nanti Kai bisa kenalan,” jawab Shankara, mengusap kepala mungil itu.Bocah itu tampak belum sepenuhnya puas dengan jawaban sang paman, tapi akhirnya mengangguk kecil. “Kalau baik, Kai mau. Tapi Om ikut ya?”“Ikut dong. Om nggak bakal ninggalin Kai.”Shankara menggandeng tangan Kaivan menuju rumah. Setiap langkah kecil bocah itu terdengar jelas, seakan menambah degup jantung yang berkejaran di dada Shankara sendiri. Ia tahu cepat atau lambat kebenaran akan terungkap, tapi untuk saat ini ia memilih menjaga agar hati anak itu tidak kaget terlalu cepat. Dan tentu saja aga

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 241

    Andara menata pakaian Kaivan ke dalam koper kecil berwarna biru. Kaivan duduk di tepi ranjang. Kakinya yang mungil berayun-ayun. Sesekali ia mencoba memasukkan mainan dinosaurus kesayangannya ke dalam koper.“Kai, cuma boleh bawa satu mainan, sayang. Itu koper isinya baju, bukan kebun binatang,” ucap Andara sambil melipat kaus bergambar lumba-lumba.“Tapi Kai mau bawa T-Rex sama Triceratops juga,” rengek bocah itu dengan wajah penuh strategi.Andara menghela napas, lalu menatap matanya yang bundar. “Dua mainan, nggak lebih. Mama titip T-Rex, Kai boleh pilih satu lagi buat dibawa. Deal?”“Deal!” seru Kaivan ceria, lalu menyelipkan Triceratops kecil ke sudut koper.Shankara yang dari tadi bersandar di pintu setelah Kaivan memaksa melihat kamarnya yang estetik, hanya tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. “Ra, jangan terlalu keras, namanya juga anak-anak. Kalau bawa mainan segambreng juga nggak masalah.”Andara spontan memandang. “Abang gampang ngomongnya. Nanti kalau barangnya ke

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 240

    Sudah empat tahun Andara menetap di Paris. Tapi kota yang terkenal dengan julukan La Ville Lumiere itu bagaikan persinggahan sementara karena Andara sering bolak-balik ke negara-negara lain.Sejak usia Kaivan dua tahun, Andara memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan Lumiere Models. Ia berdiri sendiri karena sudah punya modal selain skill dan pengalaman, yaitu nama besar. Kini, ia mengelola karirnya secara mandiri, memilih klien sesuai visi kreatifnya, dan menetapkan tarif sendiri.Perjalanan profesional Andara membuatnya sering bolak-balik Indonesia. Bahkan belakangan ini ia lebih sering tinggal di Indonesia. Namanya sudah dikenal di tanah air. Banyak yang mengajaknya berkolaborasi dan menyewa jasanya secara pribadi. Ia juga semakin sering berkeliling dunia, karena setiap kali ada event yang mengundang klien yang ia tangani ke luar negeri, Andara juga wajib ikut.Dengan ritme hidup seperti itu, Andara belajar menyeimbangkan antara karir internasional dan kehidupan keluarg

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 239

    Butuh waktu enam minggu bagi Andara untuk mempersiapkan segalanya. Dimulai dari mengurus dokumen-dokumen pribadi hingga surat keterangan medis.Ia teringat pada masa ketika mengikuti summer course di Paris dulu. Waktu itu ia hanya perlu menyiapkan visa Schengen jangka pendek. Prosesnya lebih sederhana, hanya butuh bukti kursus, tiket pulang, dan akomodasi. Dalam waktu yang singkat semua sudah beres, dan ia bisa terbang ke Paris tanpa banyak prosedur tambahan.Sekarang, jalannya jauh lebih panjang. Karena Lumiere mengajukan visa kerja khusus untuknya, ada otorisasi dari pemerintah Prancis yang harus terbit terlebih dahulu sebelum kedutaan bisa menempelkan stiker visa di paspornya.Hari-hari Andara pun kembali dipenuhi penantian. Ia sering membuka portal imigrasi online, membaca ulang prosedur, mencari tahu kisah-kisah orang lain di forum. Ternyata ada yang menunggu sampai tiga bulan, ada juga yang hanya enam minggu. Semua tergantung pada keberuntungan dan kecepatan administrasi.Kadang

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 238

    Andara terpaku sepersekian detik begitu menyaksikan nama yang tertera di layar. Selama sesaat ia berpikir untuk menolak atau mengabaikan panggilan tersebut.Akhirnya ia putuskan untuk menjawab."Halo, El.""Aku dengar dari Mas Kemal kamu udah resign. Itu betul, Ra?" Ello langsung menyerbunya dengan pertanyaan tanpa basa-basi atau salam pembuka."Iya, yang dibilang Mas Kemal nggak salah," jawab Andara berterus terang."Kenapa mendadak? Ada masalah apa?" Sama seperti Kemal pada awalnya, Ello juga mengira Andara berhenti karena memiliki masalah."Nggak ada masalah apa-apa, El. Aku cuma pengen bersolo karir."Ello menghela napas panjang di ujung telepon. “Solo karir ya… Aku paham, Ra. Maksudmu kamu mau fokus sama studio sendiri dan brand kamu sendiri, kan?”Andara mengangguk meski Ello tidak bisa melihatnya. “Iya, El. Aku pengen membangun semuanya dari nol. Aku mau orang ngeliat hasil kerjaku sendiri.”“Aku ngerti, dan jujur, aku bangga sama kamu. Berani banget ambil risiko gini. Nggak se

  • Lelaki Yang Terpaksa Menikahiku   Bab 237

    Andara menatap pria yang sedang duduk di hadapannya. Dengan sabar ia menunggu pria yang sedang menelepon itu meskipun kata-kata yang tersusun di benaknya sudah tidak bisa menunggu untuk dilontarkan."Sorry, Ra, jadi nunggu," kata pria itu setelah meletakkan ponselnya begitu selesai menelepon."Nggak apa-apa, Mas, kalau masih ada yang mau ditelepon lanjutin aja," jawab Andara pada Kemal. "Nggak ada."Andara diam.Kemal menatapnya, seolah menunggu Andara membuka pembicaraan. Akhirnya, Andara menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian.“Mas, aku mau bicarain sesuatu,” katanya pelan."Apa itu, Ra?"“Aku mau resign dari Etoile Beauty.”Kedua alis Kemal naik sekaligus, matanya menatap Andara penuh tanya. "Resign? Kenapa, Ra? Ada masalah?"Andara menggeleng. “Nggak ada masalah apa pun, Mas. Aku senang kerja di sini. Cuma... aku ngerasa waktunya sudah tepat. Aku ingin fokus membangun studio makeup sendiri, mengembangkan brand aku sendiri. Dan aku berterima kasih sudah dikasih kesempatan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status