Mobil sedan hitam milik Kemal melaju pelan di tengah hiruk-pikuk sore di ibukota. Suara klakson bersahutan, deru mesin berlalu-lalang, dan matahari yang mulai turun ke ufuk barat mewarnai langit dengan semburat orangnya. Di dalam mobil suasana sangat kontras. Hening dan terasa sesak oleh emosi yang menggumpal namun tidak terucapkan.Andara duduk membisu di kursi penumpang. Tatapannya tertuju keluar jendela, mengikuti bayang-bayang pepohonan dan gedung-gedung tinggi yang berkelebat. Namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Wajahnya tampak pucat, dan jari-jemarinya mencengkeram erat tali tas di pangkuannya, seolah sedang menggenggam sisa-sisa kekuatan yang mulai rapuh.Kemal menyetir tanpa banyak bicara. Dari sudut matanya, ia sesekali melirik Andara, membaca isyarat-isyarat diam yang jelas menunjukkan ada luka yang sedang ditahan wanita itu. Ia tidak bertanya. Tidak juga mencoba menenangkan dengan basa-basi. Ia hanya memutar musik instrumental lembut dari playlist-nya, membiarka
Langkah kaki pria itu terdengar mantap memasuki rumah. Dengan satu tangan membawa botol minum gym besar, satu lagi menenteng handuk kecil. Rambutnya masih basah, kaus hitamnya melekat di badan karena keringat.Tatapan Ananta jatuh tepat ke arah ruang tamu. Dan di sanalah ia mendapati pemandangan yang tidak biasa.Andara bersimpuh di lantai. Clarin duduk angkuh di sofa, satu kakinya tengah dipijat oleh istri sahnya.Andara menghentikan gerakan tangannya. Tubuhnya tegang. Clarin justru menyambut Ananta dengan senyum lebar, tanpa sedikit pun merasa bersalah. Ia berdiri dari tempatnya lalu melangkah menghampiri Ananta dan mengecup pipinya lembut.Saat melihat itu Andara hanya bisa menahan perasaan."Dari tadi aku telepon nggak dijawab." Clarin memberengut."Aku nggak tahu. Tadi lagi di gym," jawab Ananta."Lebih penting gym emangnya daripada aku?" "Kenapa ke sini nggak bilang dulu?" Ananta mengabaikan pertanyaan Clarin dan balik menanyakan hal lain."Gimana mau bilang kalau aku nelepon n
Memasuki bulan kelima kehamilan Andara mulai merasakan gerakan-gerakan kecil dari dalam rahimnya. Sentuhan-sentuhan halus itu kerap datang tiba-tiba dan lebih seringnya tengah malam di saat ia akan beristirahat.Di pagi yang tenang ini ia sedang duduk di balkon, membelai perutnya pelan sambil menikmati udara segar. Hari ini hari Sabtu dan Lyncore tidak beroperasi pada hari tersebut, jadi ia bisa santai di rumah. Andara hanya sendirian. Ananta pergi sejak tadi. Waktu Andara menanyakannya, Ananta mengatakan pergi ngegym dengan teman-temannya.Andara tidak tahu siapa saja teman Ananta karena mereka tidak pernah datang ke rumah. Andara yakin Ananta melarangnya.Seulas senyum kecil membingkai bibir Andara ketika merasakan sebuah gerakan lagi dari dalam perutnya. Ia mengelusnya. Membisikkan di dalam hati bahwa ia akan selalu menjaganya. Andara sudah tidak sabar menunggu sore tiba. Ananta sudah berjanji akan menemaninya ke rumah sakit untuk kontrol kandungan.Andara terpaksa beranjak dari b
Andara terbaring lemah di sebelah Ananta. Setelah percintaan panas mereka barusan, energinya terserap habis. Tapi meski tubuhnya lelah, hatinya terasa ringan. Hangat. Damai.Di sebelahnya, Ananta mengelus lembut lengan Andara. Ia tidak berkata sepatah kata pun. Tapi bagi Andara, keheningan itu tidak lagi menakutkan. Justru menenangkan. Sebab segala perlakuan lelaki itu malam ini sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa dicintai.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Ananta bertanya pelan. “Kamu mau hadiah apa, Andara?”Andara menoleh. “Nggak usah, Mas. Diperlakukan seperti ini aja rasanya udah lebih dari cukup.”“Tapi aku tetap pengen ngasih sesuatu,” balas Ananta, suaranya tenang namun penuh ketegasan.Andara terdiam sejenak. Ragu. Tapi kemudian ia tersenyum kecil, lalu berbisik. “Kalau boleh minta aku pengen Mas Nata nyanyi buat aku sambil main gitar.”Ananta mengerjapkan mata. Tidak menyangka permintaan yang begitu sederhana tapi personal.“Sekarang?” tanyanya.Andara menga
Semua ini bagaikan mimpi yang sangat indah bagi Andara. Baju baru di tubuhnya, makan malam romantis, serta perlakuan manis Ananta yang tidak pernah dirinya duga. Andaipun ini mimpi, Andara tidak ingin bangun. Ia ingin terlelap selamanya.Sesekali Andara menatap dalam ke wajah suaminya. Mencari tahu bagaimana ekspresi lelaki itu. Perasaan khawatir masih melingkupinya kalau saja tiba-tiba sikap Ananta berubah. Tapi yang ditakutkannya tidak terjadi. Ananta tetap bersikap lembut. Ia bahkan tidak lelah memandangi Andara setiap kali perempuan itu bicara. Mendengarkan tanpa menyela. Tersenyum ketika Andara menceritakan hal-hal sepele dari kelas bahasa Inggrisnya. Tidak ada Ananta yang dingin dan tidak peduli padanya.Yang ada malam itu hanyalah kehangatan. Sesuatu yang nyaris membuat Andara lupa bahwa suaminya pernah menyakitinya.Setelah menyelesaikan makan malam, Ananta menggandeng tangan Andara menuju lift. Ia menggenggamnya erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi.Di dalam mobil, An
Sejak malam itu hubungan Andara dan Ananta kembali membaik. Setiap pagi mereka berangkat kerja bersama. Walaupun Ananta menurunkan Andara dua ratus meter sebelum kantor, namun sudah ada taksi yang menunggunya. Saat jam kerja berakhir biasanya Andara akan berjalan dengan jarak yang sama dan Ananta sudah menunggunya di sana. Dari hari ke hari bersembunyi seperti itu sudah menjadi rutinitas mereka.Senja ini sedikit berbeda. Sebelum Andara sempat keluar ponselnya bergetar dalam saku celana. Ada pesan dari Ananta yang langsung Andara baca.[Aku tunggu di parkiran basement.]Andara mengerutkan kening. Ini di luar kebiasaan. Biasanya Ananta tidak akan muncul di area kantor, apalagi masuk ke gedung parkir. Rutinitas mereka selalu rapi dan penuh perhitungan. Tapi hari ini kenapa berbeda?Andara menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum menguncinya kembali. Ia baru saja mengambil tas saat sebuah tepukan mendarat ringan di bahunya dari belakang."Belum pulang lo?" suara itu familiar. Ber