Ananta menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Shankara. Masih dari dalam mobil, matanya memindai keadaan di sekeliling. Tempat itu sepi. Para penghuni rumah kebanyakan sudah tidur, apalagi cuaca sangat mendukung untuk bermalas-malasan di balik selimut.Setelah beberapa menit berdiam diri Ananta memutuskan untuk keluar dari mobilnya. Diketuknya pintu rumah sederhana itu.Tidak menunggu lama Calista keluar. Wajah perempuan itu semringah. Seulas senyum terulas di bibirnya."Thanks udah datang, Ta. Masuk yuk," ajaknya sembari menarik tangan Ananta."Langsung ke rumah sakit aja," tolak Ananta sambil melepaskan tangannya dari perempuan itu.Calista terlihat ragu namun akhirnya mengangguk."Bentar ya, aku ganti baju dulu.""Aku tunggu di mobil." Ananta beranjak dari tempat itu, kembali ke mobilnya.Selagi menunggu Calista, Ananta membuka ponselnya. Matanya fokus pada sebuah aplikasi. Entah apa yang dilihatnya, tapi ekspresi wajahnya tetap datar dan tidak terbaca.Pintu mobil yang dibuka
Kelopak mata perempuan itu terbuka pelan-pelan. Lalu menutup kembali, seolah menolak kenyataan yang menyambutnya pagi ini. Namun saat kesadaran perlahan merambat ke seluruh tubuhnya, ia kembali membuka mata dengan lebih lebar.Ternyata ia masih di sini.Tidur di samping suaminya.Andara menarik napas lalu mengembuskannya melalui hidung.Pikiran Andara kembali pada tengah malam tadi. Pada suara Ananta yang berat karena alkohol. Pada racauannya yang membingungkan.Namun, yang Andara lakukan bukanlah pergi.Ia memilih bertahan.Karena apa?Karena hatinya masih terlalu penuh oleh cinta untuk pria itu. Cinta yang entah sejak kapan menjadi lemah dan kuat dalam waktu bersamaan. Cinta yang sudah terlalu dalam untuk bisa ditarik kembali.Dan jujur saja, Andara tidak punya alasan yang tepat untuk meninggalkan Ananta. Dia telah berubah. Ananta tidak lagi memperlakukannya seperti dulu.Mungkin Ananta belum sempurna. Tapi ia telah berusaha. Dan itu sudah cukup. Andara menatap sosok di sampingnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi tidak sepicing pun Andara sanggup memejamkan mata. Bagaimana tidak? Sudah selarut ini suaminya masih belum pulang.Andara mencoba menghubungi Ananta untuk ke sekian kalinya. Tapi hasilnya masih sama. Tidak ada respon dari Ananta.Bosan menunggu di kamar, Andara putuskan untuk menanti di luar.Ia melangkah perlahan sambil mengelus perutnya lalu duduk sendiri di beranda.Selagi menanti, Andara membaca majalah kehamilan. Tapi tidak ada satu pun yang menempel di kepalanya. Bahkan, ia tidak tahu apa yang ia baca.Tiga puluh menit kemudian saat Andara mulai menguap mobil Ananta akhirnya muncul. Andara langsung berdiri dan menunggu dengan tegang.Ananta keluar dari mobil. Jalannya sedikit sempoyongam. Wajahnya tampak kasut. Dan ya... dia pulang dalam keadaan mabuk. Lagi."Kenapa belum tidur?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya ketika tiba tepat di depan istrinya."Aku nunggu kamu pulang, Mas. Kamu dari mana?" Andara begitu khawatir."Kelab.
"Bukan siapa-siapa. Hanya partner bisnis biasa," jawab Ananta yang membuat Andara lega seketika."Tapi baru pertama kali ke sini ya?""Iya.""Terus tadi Mas Nata sama dia pergi ke mana?" Andara yang masih belum puas terus bertanya."Makan siang di luar."Andara menutup mulut setelahnya. Sebagai seorang pengusaha tentu Ananta memiliki banyak relasi. Bahkan di keseharian pergaulan Ananta sangat luas. Ia tidak pernah memilih-milih teman. Itulah sebabnya dulu ia dan Shankara bersahabat. Walau sekarang hubungan itu hanya tinggal nama."Ada lagi yang mau ditanyain?" ujar lelaki itu."Nggak ada, Mas." Kemudian Andara memeriksa waktu melalui jam tangannya. Sudah saatnya pulang. "Mas, aku pulang ya?" Ia meminta izin."Hari ini kamu les?"Andara mengiyakan dengan anggukan kepala."Aku nggak bisa ngantar. Nggak apa-apa kamu pergi sendiri?""Iya, nggak apa-apa."Andara akan beranjak dari pangkuan Ananta tapi lelaki itu mengatakan, "Cium lagi."Andara menahan senyum di bibirnya melihat tingkah Ana
Andara sedang berada di pantry. Satu jam lagi waktunya pulang. Sedangkan semua pekerjaannya sudah selesai dikerjakan. Jadi ia bisa sedikit santai.Ia sedang menyeduh teh ketika suara-suara itu mampir di telinganya."Gue tadi ngeliat Pak Ananta sama cewek," celetuk Kelin."Mbak Clarin maksudnya?" Mia menimpali."Bukan. Yang ini sih lagi hamil."Andara berdiri mematung di depan dispenser. Uap dari air panas teh yang baru diseduh mengepul di cangkirnya, tapi pikirannya membeku."Serius lo, Mbak? Hamil?" Suara Mia terdengar lagi."Iya. Gue juga kaget.""Lo ngeliat di mana emang?""Tadi di lobi. Mereka keluar nggak tahu ke mana. Mau makan siang kali ya?""Gila sih. Masa cewek hamil dibawa jalan sama bos?" gumam Mia setengah tidak percaya.Andara masih berdiri diam. Tangannya yang memegang cangkir sedikit gemetar, hingga teh panas di dalamnya bergoyang nyaris tumpah."Ya udah sih. Hak dia juga, kan, mau jalan sama siapa?" Mirza yang sejak tadi hanya diam, mengomentari."Tapi ini cewek lagi
Calista sedang sibuk memilih-milih baju dipandu oleh seorang staf butik, sedangkan Ananta duduk menunggu di sofa panjang dekat fitting room. Di tangannya ada ponsel. Sesekali matanya memandang ke arah Calista yang tengah mengangkat satu per satu baju hamil berwarna pastel.Beruntung butik itu menyediakan koleksi maternity wear dengan ukuran besar dan desain yang tetap stylish. Calista mencoba beberapa helai baju, lalu keluar dari balik fitting room."Nata, gimana? Cocok nggak?" serunya sambil berputar pelan, memperlihatkan gaun midi berbahan katun berwarna sage green.Ananta mengangkat wajah. Ia memandang sejenak, lalu mengacungkan jempol dari jauh.Calista tersenyum puas. "Yang ini aku ambil, ya?""Terserah kamu."Ia masuk lagi, mengganti baju yang lain. Setelah beberapa kali keluar masuk, akhirnya Calista mengumpulkan lima pakaian yang paling ia sukai. Ia menyerahkannya ke staf butik untuk dibawa ke kasir, lalu menghampiri Ananta dan duduk di sebelah pria itu.Ia melirik Ananta. Har