Angin dingin malam menusuk kulit Liu Feng saat ia berdiri di tepi jurang yang menghadap lembah luas. Suara desiran angin berpadu dengan suara gemericik air terjun di kejauhan, menciptakan harmoni yang misterius namun menenangkan. Lembah itu tampak tak berujung, diterangi oleh sinar bulan yang pucat. Di kejauhan, bayangan pohon-pohon besar tampak seperti penjaga tua yang menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.
Liu Feng merasakan dadanya sesak, bukan karena ketinggian atau udara dingin, tetapi karena perasaan aneh yang terus menghantuinya sejak ia tiba di tempat ini. Perasaan itu seperti panggilan, suara tanpa wujud yang berbisik lembut di telinganya, memintanya untuk melangkah lebih jauh, lebih dalam. Namun, ia tahu bahwa setiap langkah ke depan berarti meninggalkan kehidupannya yang lama—sebuah kehidupan yang sudah hancur sejak keluarganya dihabisi oleh tangan-tangan kejam orang-orang yang ia percaya. Malam ini adalah titik balik. “Apakah aku benar-benar siap untuk ini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tertelan oleh suara angin. Bayangan gurunya, seorang lelaki tua bernama Tuan Lei, muncul dalam pikirannya. Gurunya selalu mengatakan bahwa setiap orang memiliki takdir, tetapi hanya mereka yang berani menghadapi ketakutan mereka yang dapat menyingkapnya. Kata-kata itu yang membawanya ke sini, di depan lembah yang disebut sebagai Lembah Kaisar Takdir—tempat yang menurut legenda dapat mengungkap rahasia terbesar dunia dan memberikan kekuatan tak terbatas. Namun, legenda itu juga datang dengan peringatan: tidak semua yang memasuki lembah ini kembali. Liu Feng menggenggam pedang tua di pinggangnya dengan erat. Pedang itu adalah satu-satunya peninggalan keluarganya, sebuah simbol kekuatan sekaligus beban. Selama bertahun-tahun, ia hanya tahu cara bertahan hidup, tetapi malam ini ia harus belajar untuk bertarung. Langkah pertamanya menuju lembah disertai dengan desahan napas panjang. Tanah di bawah kakinya terasa basah, licin oleh embun malam. Setiap langkah terasa berat, seolah lembah itu sendiri mencoba menolak kehadirannya. Namun, Liu Feng tidak berhenti. Setiap langkah adalah pernyataan, sebuah penolakan terhadap nasib yang telah menghancurkan segalanya. Ketika ia mencapai mulut lembah, suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya dingin kini terasa hangat, bahkan panas, seperti napas dari makhluk raksasa yang sedang tidur. Liu Feng berhenti sejenak, matanya menyipit saat ia melihat sesuatu yang aneh. Di tengah lembah, sebuah cahaya merah redup bersinar seperti api kecil. Cahaya itu menariknya, seperti magnet yang memanggil besi. “Liu Feng…” Liu Feng membeku. Suara itu jelas, hampir seperti seseorang sedang berbisik langsung di telinganya. Ia menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Dadanya terasa sesak, kali ini karena ketakutan. Namun, ia segera mengguncang kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk. “Ini hanya imajinasiku,” katanya pada dirinya sendiri. Namun, saat ia melangkah lebih dekat ke arah cahaya, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. “Liu Feng… takdirmu menunggumu…” Ia berhenti. Keringat mulai mengalir di dahinya meskipun udara di sekitarnya semakin dingin. Cahaya merah itu semakin dekat, tetapi suara itu semakin kuat, memenuhi pikirannya. Tiba-tiba, tanah di bawahnya berguncang. Sebuah retakan muncul di tanah, memanjang seperti ular yang merayap menuju cahaya merah itu. Liu Feng melompat mundur dengan refleks, matanya terbelalak saat melihat retakan itu mengeluarkan asap tipis. Dari dalam retakan, sebuah bayangan muncul. Bayangan itu bukan manusia, tetapi berbentuk seperti makhluk berkaki empat dengan mata merah menyala. Makhluk itu berdiri diam, mengawasi Liu Feng dengan intensitas yang menakutkan. “Siapa kau?!” teriak Liu Feng, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Makhluk itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju, dan setiap langkahnya membuat tanah di bawahnya retak lebih dalam. Liu Feng merasakan hawa panas yang membakar dari makhluk itu, seperti api yang tersembunyi di balik kulitnya. Dalam sekejap, makhluk itu melompat ke arah Liu Feng dengan kecepatan yang mengejutkan. Liu Feng menghunus pedangnya dengan cepat, menangkis serangan yang datang seperti badai. Dentingan logam melawan cakar makhluk itu terdengar nyaring, menggema di seluruh lembah. Pertarungan itu berlangsung cepat dan brutal. Liu Feng menyadari bahwa makhluk ini bukan hanya penjaga biasa; ia adalah ujian pertama bagi siapa pun yang mencoba memasuki lembah ini. Setiap serangan makhluk itu terasa seperti serangan langsung ke jiwanya, seolah-olah makhluk itu mencoba menghancurkan keberanian yang tersisa dalam dirinya. Namun, Liu Feng tidak mundur. Dengan setiap serangan, ia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah kekuatan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Pedangnya, yang sebelumnya hanya tampak seperti logam tua, mulai bersinar lembut, seolah merespons tekad Liu Feng. Saat makhluk itu melompat untuk menyerang lagi, Liu Feng melihat celah. Dengan seluruh kekuatannya, ia mengayunkan pedangnya, membelah udara dengan kecepatan yang mematikan. Pedangnya menghantam makhluk itu tepat di dada, mengeluarkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan sebelum akhirnya runtuh ke tanah. Tubuhnya menghilang menjadi asap, meninggalkan aroma terbakar yang menyengat. Liu Feng terengah-engah, kakinya gemetar saat ia mencoba tetap berdiri. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan mengancam. “Kau telah melangkah terlalu jauh, Liu Feng. Takdirmu baru saja dimulai.” Liu Feng merasakan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah cahaya merah yang kini semakin terang, hampir menyilaukannya. Namun, sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk terus maju, meskipun ia tahu bahwa setiap langkah berikutnya akan membawa bahaya yang lebih besar. Ia mengepalkan pedangnya dengan erat dan melangkah maju, memasuki lembah dengan tekad yang tak tergoyahkan. Saat bayangan pedang teratai perlahan menyatu dengan tubuh Liu Feng, rasa dingin menusuk langsung menyergap dirinya. Namun, di balik rasa dingin itu, kekuatan besar yang tidak diketahui asal-usulnya mulai bangkit. Dalam keheningan malam yang semakin gelap, tubuh Liu Feng mulai bersinar lembut, seperti nyala api yang baru saja dinyalakan. Ia tidak menyadari, jauh di dalam lembah itu, mata yang mengintai telah memperhatikannya dengan penuh minat.Di bawah langit yang tak berujung, di mana awan gelap dan sinar rembulan saling bertarung untuk menguasai cakrawala, terdapat sebuah lembah yang terlupakan oleh waktu. Lembah itu dipenuhi oleh sisa-sisa pertempuran kuno dan keheningan yang menyimpan rahasia masa lampau. Setiap sudutnya bercerita tentang perjuangan para penyihir, kesatria, dan makhluk ajaib yang pernah bertarung demi melindungi keseimbangan alam. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah, dedaunan yang layu, dan secercah harapan yang masih tersisa di antara reruntuhan zaman.Di tengah lembah itu, berdirilah sebuah danau kecil yang airnya berkilauan dengan cahaya aneh, seolah-olah memantulkan energi dari semesta yang jauh. Air danau itu tampak hidup, bergerak perlahan, menyatu dengan irama alam yang misterius. Di sekelilingnya, tumbuh pepohonan purba yang akarnya menembus batu, seakan menyimpan rahasia dari dalam bumi. Suasana itu begitu hening sehingga hanya ada suara gemericik air dan desir angin yang menemani
Langit di atas Kerajaan Lembah Elysia tampak seperti kanvas raksasa yang dihiasi warna-warna senja, namun di balik keindahan itu terselubung bayang-bayang misterius yang selalu mengancam. Angin malam yang sejuk mengalir lembut menyusuri lembah, membawa aroma bunga-bunga liar dan embun pagi yang masih menempel pada dedaunan. Di antara keheningan alam, terdengar suara gemericik sungai kecil yang mengalir di antara bebatuan, seolah-olah memberikan irama bagi kisah yang akan segera terungkap.Di sebuah dataran tinggi yang menghadap lembah, berdirilah sekelompok kesatria yang tampak kelelahan, namun matanya menyala dengan tekad yang membara. Di antara mereka, seorang pemuda bernama Armand, dengan rambut hitam legam dan mata biru yang tajam, memimpin barisan itu. Wajahnya, meski dipenuhi bekas luka pertempuran, memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia mengenakan baju zirah berlapis perunggu yang berkilau samar di bawah sinar rembulan, dan di tangannya terhunus pedang pusaka yang tela
Di balik awan gelap yang menyelimuti langit, fajar perlahan mulai memecah kegelapan malam. Namun, sinar yang menyusup itu bukanlah cahayanya matahari yang hangat, melainkan kilauan magis yang datang dari dalam jiwa para pejuang yang telah lama terlupakan. Di tengah medan pertempuran yang hancur lebur, di antara reruntuhan dan debu yang menutupi tanah, para penyintas berkumpul dengan harapan yang tertinggal dari masa lalu. Suasana itu terasa seperti perisai terakhir yang memisahkan dunia dari kehancuran mutlak.Awan-awan berarak di langit dengan gerakan lambat namun pasti, seolah-olah menyaksikan sebuah pertunjukan yang telah ditentukan oleh takdir. Di antara debu dan sisa-sisa kehancuran, Armand berdiri tegak, meskipun tubuhnya dipenuhi luka dan kelelahan. Mata Armand yang dulunya menyala dengan semangat kini menunjukkan jejak penderitaan, namun tekadnya tetap menggelora. Di balik setiap luka, ada cerita tentang pertempuran, pengorbanan, dan janji untuk tidak pernah menyerah.Di sisi
Di antara reruntuhan sebuah dunia yang telah lama terpuruk dalam kegelapan, muncul secercah cahaya yang tak terduga. Langit yang dahulu suram kini mulai menunjukkan secercah fajar, meskipun bayang-bayang masa lalu masih menghantui setiap sudut. Di tengah medan pertempuran yang hancur, di mana batu-batu retak berserakan dan tanah basah oleh darah para pejuang, berdiri seorang pria dengan tatapan penuh tekad. Namanya adalah Rasyid, sang Penjaga, yang tak pernah mengingkari janjinya untuk melindungi sisa-sisa harapan dunia ini.Rasyid mengenakan baju zirah yang berkilauan meskipun sudah banyak goresan dan retak, tanda pertempuran yang tak terhitung jumlahnya. Di tangannya, tersandang pedang legendaris yang telah mengantar ribuan jiwa menuju keabadian atau kehancuran. Pedang itu, yang dikenal sebagai "Sinar Purnama", memancarkan cahaya lembut di tengah kegelapan, seolah menandakan bahwa meskipun dunia telah terbenam dalam kehancuran, masih ada secercah harapan yang takkan pernah padam.Da
Di suatu pagi yang kelabu, ketika embun masih menempel di dedaunan dan udara terasa dingin menyelinap ke dalam setiap celah, dunia seolah-olah sedang mengalami pergeseran. Di balik langit yang kelabu dan megah, terdapat sebuah kekosongan yang menggantung, seolah-olah alam semesta sedang menahan nafas. Di sinilah titik balik yang selama ini dinanti telah tiba, di mana segala sesuatu yang telah terjadi mulai menemukan maknanya dan jalan menuju keabadian mulai terbuka.Di tengah kekacauan itu, Armand berdiri di atas reruntuhan sebuah kota kuno yang pernah menjadi pusat peradaban. Tubuhnya yang penuh luka menandakan betapa pertempuran yang telah ia lalui sangatlah berat. Meski begitu, matanya yang tajam tetap menyala, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan untuk melanjutkan perjuangan. Di sekelilingnya, puing-puing bata, potongan-potongan kayu, dan debu-debu halus berterbangan, menorehkan gambaran dari kehancuran yang melanda dunia. Namun, di balik setiap reruntuhan itu tersimpan harapan—
Di ufuk timur, matahari perlahan muncul dari balik awan mendung, menyinari dunia yang telah lama didera kegelapan. Setiap sinar cahayanya seolah membawa harapan baru bagi tanah yang hancur dan jiwa-jiwa yang terluka. Angin pagi menyapa dengan lembut, membawa aroma bunga liar yang mulai mekar kembali di tengah reruntuhan zaman yang penuh penderitaan.Di sebuah lembah yang dulunya pernah dipenuhi kebahagiaan, kini tersisa hanya puing dan kenangan pahit. Armand, Aveline, dan beberapa penyintas lain berjalan perlahan melewati medan pertempuran yang sunyi. Langkah mereka berat, namun semangat mereka tetap menyala, seperti bara api yang tidak pernah padam. Setiap jejak kaki mereka menorehkan kisah perjuangan, sebuah bukti bahwa walaupun dunia ini telah dihantui oleh kegelapan, masih ada cahaya yang tak terpadamkan.Armand menatap jauh ke depan, ke arah cakrawala yang perlahan berubah warna. Ia teringat akan janji yang telah diikrarkannya kepada mereka yang ia cintai, janji untuk membebaskan