Share

Fear

Arka tergesa membuka pintu penumpang dengan satu tangan, tangan lainnya menopang tubuh Tia yang masih lemas setelah mengeluarkan semua makanan yang sudah ia makan barusan.

Sebelumnya, begitu Tia keluar dari toilet, sudah ada Arka yang berdiri menatap ke arahnya cemas, dengan tangan yang membawa clutch milik Tia. Tia baru mau berbicara sebelum Arka menghampirinya, langkahnya lebar.

“Saya anter kamu ke dokter,” ujarnya singkat, berdiri tegap di depan Tia.

Tia mendongak, wajahnya tidak suka. “Nggak usah, ini mah dibawa istirahat juga baikan, kak.” Jelasnya, demi Tuhan, ia sekarang hanya ingin bergelung di dalam selimut dan tidak beranjak dari kasurnya setidaknya sampai malam nanti.

Tetapi Arka ini ternyata sedikit pemaksa. Lengan Tia dipegang erat, dan ia dituntun ke parkiran di luar.

Sepertinya usaha Tia untuk menolak hanya akan menjadi sia-sia. Ia memutar bola matanya malas, dan mau tak mau merelakan dirinya diseret oleh rekan kerja ayahnya itu.

Usai si clutch dilemparkan ke kursi tengah, Tia duduk di kursi penumpang dibantu oleh Arka. Berlebihan sekali dia, Tia ini hanya habis muntah saja, bukannya pingsan.

Tia menopangkan kepalanya dengan satu tangan dan bersender ke pintu mobil, memalingkan wajahnya dan menikmati pemandangan di luar sana. Karena Tia malas meladeni Arka yang sekarang sedang memberitahu Tia bahwa mereka akan pergi ke rumah sakit terdekat, jadi Tia hanya bisa memilih untuk melihat kendaraan yang berjalan dengan kecepatan sedang di luar sana. Tidak ada yang spesial, tapi lebih baik daripada membuka mulut dan bercengkrama dengan Arka. Tenaga Tia sedang tidak cukup untuk melakukan hal itu.

Senandung musik dari radio terdengar pelan, Tia melirik ke samping dan mendapati Arka sedang mengotak-atik tombol di layar mobilnya untuk mencari saluran radio yang dia inginkan. Tangan kanannya masih memegang setir mobil dan pandangannya berusaha menatap lurus ke depan, agak kesusahan mencari stasiun radio yang diinginkan. Akhirnya Arka menyerah, membiarkan suara radio yang menyetel lagu pop internasional.

Tia menimbang, selama ini ia sudah berusaha untuk bersikap sesopan mungkin terhadap rekan kerja ayahnya ini. Tetapi ia bukan orang yang bisa berlama-lama memakai topeng dan memamerkan senyumnya terus-terusan. Sial, bahkan orang-orang di kampusnya dulu mencapnya dengan orang yang minim ekspresi. Sekarang ia harus bersikap manis tiap bertemu dengan orang-orang yang ada hubungannya dengan ayahnya.

Sudahlah, mari kita tunjukkan sifat asli Tia. Semoga ini kali terakhir bertemu dengan Arka.

Tidak lama, mobil yang dikendarai Arka sampai di parkiran rumah sakit. Tia langsung melangkah keluar setelah membawa clutch-nya, dan berjalan ke dalam lobby. Arka terlihat terburu-buru menyusulnya di belakang.

Setelah Tia selesai mendaftar, ia duduk di kursi panjang yang disediakan rumah sakit. Arka juga menyusul duduk di sebelahnya.

“Jaketnya jelek,” ucap Arka.

Tia menoleh, ekspresinya tersinggung, sebelum menyadari bahwa memang jaket ini terlihat belel. Dan lagi ini bukan miliknya. Untuk apa tersinggung?

Ia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju, dan bergerak untuk mengeluarkan ponselnya untuk membunuh waktu.

Tia berhenti bergerak saat jaketnya ditarik ke arah Arka, dan si pria itu mengisyaratkan Tia untuk melepas jaketnya. Tia menggeleng, berucap “Nggak mau.” Lalu menarik jaketnya agar lepas dari tangan Arka.

Ia melihat Arka melepaskan jas biru mudanya, dan berkata “Ganti sama ini aja, lebih cocok pake ini. Lagian punya siapa sih jaketnya? Saya yakin bukan punyamu.”

Tia menimbang, jas Arka sudah pasti lebih nyaman dan juga lebih bagus daripada jaket belel si teman tidurnya. Setelah Arka menyerahkan jasnya ke pangkuan Tia, akhirnya Tia mengalah. Toh ia tidak rugi apa-apa dengan mengganti luarannya.

Seusai melepas jaket dan menggantinya dengan jas, Arka mengambil jaket varsity tersebut dan berjalan menjauh. Tia memperhatikannya dengan bingung. Ia membelalakkan matanya saat Arka ternyata membuang jaket tersebut di tempat sampah samping meja dimana beberapa suster berada.

Ia sudah siap-siap untuk marah, saat Arka berujar terlebih dahulu, “Bukan punya kamu, nggak perlu marah.” dan membuang mukanya ke arah lain.

Tia memutar bola matanya malas dan tertawa mengejek. Sikap Arka lucu sekali di mata Tia.

Malas berdebat, Tia hanya menjawab “Iya iya, terserah aja deh,” dan menyenderkan punggungnya ke kursi.

Setelah itu, namanya di panggil oleh salah seorang suster yang berdiri di depan ruang dokter. Tia bangun dari duduknya dan menoleh ke arah Arka.

“Titip,” ucapnya singkat, menyerahkan clutch-nya lalu berjalan menuju ruangan dokter.

---

“Kapan terakhir makan 3 kali sehari?” tanya dokter saat semua pemeriksaan sudah selesai.

Tia meringis, tahu betul bahwa dirinya pasti hanya akan diomeli oleh dokter jika ia pergi berobat, makanya tadi Tia awalnya tidak mau diseret kesini.

Dokter hanya menggelengkan kepalanya saat melihat Tia yang tidak menjawab dan hanya cengengesan.

“Kamu ini, makannya jarang, dan minuman paling banyak masuk perut kamu itu cuma alkohol. Nona Tia, mungkin sekarang ini hanya masalah sepele, kamu mungkin jarang merasa mual dan pusing berlebih setelah konsumsi alkohol, tapi saya yakin kamu paham kalau kamu terus seperti ini, bakal terkena penyakit yang serius,” ujar dokter, menatap Tia dengan sungguh-sungguh.

Tia menunduk, tentu saja ia paham betul dengan fakta itu. Ia paham, tetapi tetap ia lanjutkan gaya hidup tidak sehatnya. Memang pada dasarnya manusia itu bodoh.

Dokter memanggil suster yang berdiri untuk mendekat, dan menyerahkan resep obat untuk Tia. Ia berkata “Untuk saat ini kamu belum butuh obat, jadi saya hanya resepkan kamu vitamin. Kalau untuk kamu makan 3 kali sehari itu berat, paling nggak makanlah 2 kali sehari, dan usahakan jangan makanan cepat saji, lebih baik jika makanannya penuh nutrisi. Kurangi konsumsi alkoholnya, perbanyak minum air putih.” Lanjut si dokter menasihati.

Tia mengangguk, tidak terlalu memperhatikan ucapan sang dokter, ia hanya ingin cepat selesai. Lalu ia berucap “Oke Dokter, makasih ya. Saya permisi dulu,” dan keluar mengikuti suster ke arah loket obat.

---

Disana, sudah ada Arka yang duduk sambil menonton televisi yang menggantung di dekat jam dinding.

Saat melihat Tia mendekat, Arka langsung duduk tegap.

“Gimana?” tanyanya langsung.

Tia ingin mengomel karena kunjungan dokter ini amat membuang waktu baginya. Ia hanya mendengar hal yang sudah ia pahami dan mengurangi waktunya untuk beristirahat di rumah.

Akhirnya Tia hanya mengatakan, “Suruh minum vitamin aja. Sama makan yang bener,” pada Arka.

Arka bergumam “Ooh” pelan, dan langsung menyerahkan ponselnya ke Tia.

“Apa?” tanya Tia bingung.

“Nomor hape kamu. Saya belum punya, biar saya bisa hubungi kamu, atau kamu yang hubungi saya.” Jawab Arka.

“Buat apa sih kak?” tanya Tia lagi, kali ini suaranya berisikan kelelahan. Ia malas berhubungan dekat dengan orang lain seperti ini.

“Katanya kamu makannya nggak rutin? Saya bisa bantu,” ujarnya, dan mendorong lagi ponselnya ke arah Tia.

Tia menerimanya, tetapi tidak langsung mengetikkan nomornya disitu.

“Bantu gimana?” Demi Tuhan, apa mau Arka? Tia hanya ingin semuanya cepat selesai dan keluar dari rumah sakit ini.

“Nanti juga kamu tau, Tia. Udah, cepet,” paksa Arka pada akhirnya.

Tia menghela napasnya kasar, sangat lelah menghadapi kekeraskepalaan Arka. Sepertinya rekan kerja ayahnya ini amat sangat mencintai perusahaannya sampai-sampai ia memperhatikan kesehatan putri dari direkturnya. Cih, jika Tia berada di posisi Arka, Tia tidak mau bersusahpayah seperti ini. Mending kabur dan pura-pura tidak kenal saja saat melihat putri direktur di luar kantor.

Tetap, pada akhirnya Tia mengetikkan nomornya di ponsel Arka, mengosongkan namanya agar Arka sendiri yang menyimpan nomornya. Setelah Tia menyerahkan ponsel Arka, namanya dipanggil oleh petugas. Ia langsung berdiri dan mengambil vitaminnya.

“Udah semua?” tanya Arka di sampingnya, badannya condong ke arah Tia karena mengintip obat yang diterimanya.

Tia mundur sedikit, badan Arka terlalu dekat dengannya. “Udah, tinggal bayar aja.” Jawabnya, melangkah lagi ke loket pembayaran dengan Arka yang berjalan di sampingnya.

---

Semua urusan di rumah sakit selesai, dan kini Tia dan Arka sedang membelah jalanan menuju rumah Tia. Perjalanan kali ini sama seperti sebelumnya, hanya diisi dengan suara DJ dari radio yang mengalun samar untuk menghilangkan kesunyian.

Mobil sedang berhenti di lampu merah saat Arka melemparkan pertanyaan ke Tia, “Kamu paling suka makan apa, Tia?”

Tia melirik Arka, dan ternyata Arka sedang melihat ke arahnya.

“Nggak ada yang spesial, semuanya oke aja,” jawabnya, karena memang dirinya tidak ada makanan yang paling disuka. Seingatnya.

Mobil berjalan perlahan saat lampu sudah berubah jadi hijau. Arka terlihat berpikir, dan Tia tidak memikirkan pertanyaan Arka lebih jauh.

Saat sampai di rumahnya, Tia melepaskan jas Arka yang tadi dipakainya. Setelah menyerahkan jas ke Arka, dan mengucapkan terima kasih. Arka hanya mengangguk, tersenyum dan melambaikan tangannya saat Tia beranjak keluar.

Tia berdiri di depan gerbang rumahnya, menunggu Arka untuk kembali berjalan. Sesaat sebelum Arka menginjak pedal gas, ia menurunkan kacanya dan berteriak, “Ditunggu ya!” lalu melaju ke jalanan, tidak menghiraukan teriakan “Apa yang ditungguuu, kak?” dari Tia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status