Tia baru saja selesai mandi dan sedang bersiap untuk duduk santai di depan televisi ketika ponselnya berdenting terus menerus. Memutar jalan balik menuju kamarnya, ia meraih ponsel yang sedang diisi ulang dayanya dan mengernyit.
3 missed call from unknown.
4 new messages from unknown.
Tia memilih membuka pesannya terlebih dulu, sambil mengusakkan handuk di rambutnya yang masih basah. Ia membelalakkan matanya saat membaca pesan-pesan tersebut.
Tia, lagi dimana? Pintunya dibukain, itu saya pesen makanan buat kamu.
Halo? Bener kan ini Tia? Ini Arka
Tia.. ini kamu nggak ngasih saya nomor palsu kan..
Tia itu bapaknya udah nunggu di depan lama, kasian..
Tia melepas sambungan ponselnya dengan kabel, lalu melempar handuknya ke sembarang arah. Ia celingukan mencari sweater agar penampilannya tidak terlalu gembel. Tia berlari ke gantungan pintu kamar dan meraih sweater hijau dengan gambar kermit the frog kecil di pojok sampingnya. Ia menyempatkan diri berkaca dan menggulung rambutnya ke atas asal. Penampilannya tidak lebih baik sebelumnya, celana pendek Tia sudah belel, sangat tidak cocok dengan sweater yang dipakainya.
Ia mendengar suara bel berbunyi tidak sabaran, dan memutuskan kalau penampilannya tidak sepenting si orang yang sudah menunggunya membuka pintu sejak belasan menit yang lalu.
Sambil berlari kecil ke depan pintu, ia berteriak “Sebentarrr,” pada siapapun yang berada di balik pintu tersebut.
Pintu dibuka, menampilkan seorang kurir makanan yang masih menggunakan helmnya dan mukanya terlihat lega ketika pintu dibuka.
“Akhirnya mbak, saya pikir ini yang pesen mau nipu,” ujarnya dengan kelegaan yang kentara dan mengarahkan tas plastik bening dengan rice bowl di dalamnya.
Tia meringis meminta maaf, ”Maaf ya pak ini nggak denger tadi,” katanya sambil menerima makanan yang diberikan si bapak kurir. “Ini siapa yang kirim, pak?” tanyanya memastikan.
Si bapak kurir merogoh ponsel di saku jaketnya, mengotak-atikannya sebentar lalu menjawab, “Mas Arka, mbak.”
Tia mengangguk paham, dan mengucapkan terima kasih setelah sebelumnya meminta maaf sekali lagi kepada bapak pengantar makanan.
Setelah memastikan si bapak sudah pergi, ia mengunci gerbang dan masuk ke dalam rumah lalu mengunci pintu. Ia tadi lupa mengunci gerbang rumahnya karena biasanya ada bapak yang membantu merapihkan taman kecil di belakang rumah yang selalu berjaga di gerbang. Hari ini si bapak sedang cuti, dan Tia lupa sama sekali akan fakta itu. Untung saja rumahnya selalu aman.
---
Berjalan menuju dapur, ia mengeluarkan rice bowl dan membukanya. Isinya ada nasi dengan topping ikan yang digoreng tepung dan juga dilumuri dengan saos. Entah saos apa, Tia akan mencicipinya nanti. Harumnya menguar sampai seluruh dapur.
Ponselnya yang ia taruh di counter dapur berdenting lagi, sebuah pesan masuk.
Tia teringat ia belum mengabari Arka yang mengirimkan makanan ini. Mungkin yang barusan itu dia. Ia meraih ponselnya dan mengecek, betul saja barusan adalah pesan dari Arka. Isinya masih sama, meminta Tia membukakan pintu untuk si bapak pengantar makanan. Padahal si bapak itu sudah pulang. Huh, gimana sih Arka ini.
Tia terkekeh kecil menyadari ia barusan mengomeli orang yang berbaik hati mengiriminya makanan. Lalu ia langsung menggeleng, menyadarkan dirinya sendiri. Tentu saja karyawan ayahnya pasti akan peduli dengannya. Setelah meyakinkan dirinya bahwa ini hanya basa-basi rekan kerja semata, ia mengetikkan balasan untuk Arka.
Udah aku terima ya kak makanannya. Makasih banyak, sori tadi lagi mandi.
Send.
Balasan dari Arka datang tidak sampai 1 menit, isinya bahkan bisa Tia baca dengan nada Arka yang lembut tetapi sambil sedikit mengomel, dengan bibir yang mengerucut. Lucu.
Saya kira kamu kasih nomor palsu.. Oke selamat makan, dihabisin ya!
Tia tersenyum dan mengetikkan Yep, thanks! Lalu mematikan layar ponselnya. Ia membawa rice bowl-nya dan mengambil sebuah sendok dari dalam laci, dan berjalan senang ke arah sofa.
Setelah menemukan saluran televisi yang akan ia tonton sambil makan, Tia mulai melahap makanan di tangannya. Berdoa semoga ia bisa menghabiskannya setelah siang tadi makanannya keluar semua.
Butuh waktu lama sampai Tia menghabiskan makanannya, yang penting adalah ini kali pertama setelah sekian lama dimana Tia bisa menghabiskan makanannya tanpa perlu membuang sisanya.
---
Tia baru saja mau menyeruput kopi instannya pagi itu. Bukan betulan pagi hari, tapi Tia baru saja bangun, jadi ia akan mengkategorikan saat ini adalah pagi hari. Yang sebetulnya sudah jam 1 siang.
Ah iya, kembali lagi. Jadi kegiatannya menyeruput kopi hitam panas itu diganggu oleh suara pesan yang berdenting dari ponselnya.
Ia mengerang kesal, dengan menghentakkan kakinya berjalan ke sofa dimana ponselnya tadi ia geletakkan begitu saja. Oh, pesan dari Arka. Tia membukanya sambil melanjutkan menyesap kopinya. Isi pesan dari Arka membuatnya hampir saja tersedak.
Ajakan makan siang.
Oke mungkin ini hal yang biasa dilakukan oleh teman terhadap teman lain. Tetapi masalahnya adalah, mereka bukan teman. Dibilang hanya kenalan pun sepertinya tidak cocok karena Arka sudah berbaik hati menolongnya kemarin. Jadi, apa niatnya kali ini mengajaknya makan siang?
Tia menimbang-nimbang, ia tidak terlalu merasa nyaman makan siang dengan orang yang tidak ia kenal dekat. Oh, dan ia masih ada hutang cerita ke Juna! Oke, alasan sudah ada.
Ia mengetikkan balasannya, berujar maaf dan mengatakan sudah ada janji dengan orang. Padahal Juna sedang ada dimana juga Tia tidak tahu.
Setelah selesai memberi jawaban ke Arka —yang langsung dibalas dengan Yah.. Okay, next time ya— ia langsung mengetikkan pesan ke Juna, bilang akan mampir ke kafenya satu jam lagi.
Tanpa menunggu balasan dari Juna, ia kembali duduk di sofa dan menyesap kopinya siang itu. Rumahnya sepi, dan Tia diliputi ketenangan yang entah kapan terakhir kali ia rasakan. Kenapa ya? Apakah ini efek dari kopi? Atau efek dari perhatian seseorang yang sudah lama tidak Tia rasakan?
Sebenarnya kesepian Tia ini tidak disebabkan oleh orang-orang yang menjauhinya. Sebaliknya, Tia tidak nyaman menghabiskan waktu dengan orang-orang yang bermuka dua dan melabeli diri mereka sebagai teman Tia. Teman yang Tia anggap betulan teman hanyalah Juna, dan Tia sangat menyayangi sahabatnya itu. Ah, ia jadi rindu dengan Juna.
---
Tia duduk manis di salah satu kursi yang langsung bersebelahan dengan kaca transparan dengan pemandangan orang yang berlalu-lalang. Ia menunggu minuman pesanannya sambil memperhatikan orang-orang yang lewat. Tia paling suka memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Pemikiran bahwa mereka semua sedang menuju ke tempat yang berbeda-beda membuat Tia merasa seperti hanya tinggal dirinya sendiri yang tidak memiliki tujuan di hidupnya.
Tia terkekeh dengan pemikirannya sendiri, merasa ironis. Entah apakah ia benar merasa senang memperhatikan orang-orang, ataukah ia iri dengan mereka semua? Apakah Tia menyukai perasaan tidak punya beban ini, atau ia sebetulnya membutuhkan suatu “beban” yang membuatnya menjadi seorang manusia dewasa yang normal?
Ia tidak bisa melanjutkan berkhayal tentang dirinya menjadi salah satu dari mereka yang sibuk itu karena di depannya sudah ada Juna yang datang sambil mengomel.
“Sumpah ya lo tuh, gue buru-buru kesini tau nggak!” omelnya, menegak botol air mineral yang dipegangnya sampai setengah.
Tia tertawa keras, penampilan Juna terlihat seperti anak kuliahan di akhir bulan yang sedang dikejar deadline skripsi. Amat berantakan, kemeja berwarna krem yang tidak dikancing sampai atas, celana hitam yang terlihat agak kusut, dan rambut yang terus-terusan disisir ke atas karena tidak sempat ditata.
Juna menatap Tia kesal, tetapi omelannya harus berhenti karena pelayan sudah mengantarkan minuman yang dipesan oleh Tia. Satu teh chamomile hangat, dan satu ice americano untuk Juna yang Tia yakin belum meminum kopinya hari ini.
Setelah melihat ice americanonya di depan mata, Juna urung melanjutkan omelannya. Ia hanya menyedot minuman tersebut dan menopangkan tangan kanannya di dagu, memusatkan perhatiannya pada Tia.
“Cerita.” Ucapnya singkat.
Tia menyesap minumannya sebelum mengikuti pose Juna, bedanya kedua tangannya menopang kepalanya.
“Gue ketemu orang. Aneh,” ucapnya sebagai pembuka dengan wajah serius.
Juna menaruh gelas yang tadi dipegangnya, dan memajukan tubuhnya. Biasanya Tia tidak akan cerita tentang “orang”. Biasanya hanya kejadian-kejadiannya, dan tidak menjelaskan mengenai orang-orang yang terlibat dalam ceritanya itu.
Menceritakan tentang kejadian kemarin siang (sampai sore) dan juga pesan dari Arka siang tadi, teh yang tadi masih hangat pun menjadi dingin. Tia tidak memedulikannya dan menegak habis teh tersebut.
“Menurut lo aja nih ya, emang ada rekan kerja ayah lo yang perhatian sampe segitunya?” tanya Juna, memilih untuk tidak mengomentari kejadian Tia yang “tidur” dengan lelaki asing setelah sekian lama, dan memfokuskan ke si bintang utama dalam cerita Tia kali ini.
Tia berpikir sebentar, yah, posenya sih berpikir, tapi Juna tahu Tia sudah paham dengan niat Arka yang sesungguhnya. Hanya saja anak itu belum mau mengakuinya.
“Daripada lo kebanyakan pura-pura mikir, nih ya, gue kasih tau aja,” ujar Juna, menyingkirkan gelas-gelas ke samping dan mengarahkan kepala Tia ke arahnya. “Tuh mas-mas, demen sama lo,” sambil menyentil pelan dahinya.
Tia meringis, menyentuh tempat Juna menyentilnya di dahi dan mengaduh pelan.
“Tapi kenapa?” tanya Tia.
Juna menghela napasnya, ia bingung juga mau menjelaskan bagaimana ke sahabatnya ini. Ini jelas bukan pertama kali ada lelaki yang menunjukkan ketertarikan terhadap Tia, tetapi mereka semua memang sudah jelas mengincar sosok Tia yang “dingin” dan berlomba-lomba untuk membuat Tia bertekuk lutut di hadapan mereka, mencoba menjadikan Tia lebih dari sekedar teman menghabiskan malam di kamar hotel dan memenangkan hatinya. Yang tentu saja belum ada yang berhasil karena tembok Tia terlalu tinggi bahkan mereka sedikitpun tidak ada kesempatan untuk melompatinya.
“Ini bukan pertama kalinya ada cowok yang perhatian ngirimin lo makanan,” jawab Juna, tidak menghiraukan pertanyaan Tia sebelumnya. “Tapi ini pertama kalinya lo terima makanan itu, dan diabisin. Orang lain kirim makanan kan lo selalu buang tuh makanan, takut diracun,” ujarnya lagi, terkekeh.
Mau tak mau Tia juga ikut terkekeh, memang kemarin ia sudah terlalu berani untuk memakan makanan yang dikirim oleh orang yang tidak terlalu dikenalnya. Tapi dari penampilan Arka, sikapnya terhadap Tia, dan nada suaranya yang selalu menenangkan itu seolah menyuruh Tia untuk percaya pada lelaki itu, dan menanamkan dalam otaknya kalau tidak apa-apa untuk menerima kebaikan orang satu kali saja tanpa berprasangka buruk.
“Tia, nggak selamanya orang yang deketin lo itu berniat jahat sama lo,” kata Juna, menggenggam tangan kanan Tia dan mengelus punggung tangannya dengan lembut.
“Tapi orang-orang manfaatin lo yang terlalu baik sama mereka,” sanggah Tia, matanya menatap Juna sedih. Ia benci sekali dengan perempuan-perempuan yang sempat menjalin hubungan dengan sahabatnya. Mereka sama sekali tidak berhak untuk mendapatkan kasih sayang dari Juna, menurutnya.
Juna tersenyum manis, matanya menyipit. “Jangan salahin mereka dong, kan guenya aja yang emang gampang jatuh cinta,” ujarnya.
“Ya maka dari itu, Jun, gue takut mereka bersikap sama kayak mantan-mantan lo. Ngebiarin gue jatoh sendiri, dan mereka langsung pergi bukannya ikut jatoh bareng gue,” Tia menatap kosong ke tangannya yang masih digenggam oleh Juna, kali ini lebih erat. “Gue gamau ngerasain patah hati sama cowok lain, Jun. Cukup patah hati dari ayah gue aja, ini udah sakit banget.” cicitnya, suaranya di akhir retak, tangisnya ditahan sekuat mungkin. Tia sudah tidak mau menangisi sikap ayahnya terhadapnya, cukup kehancuran hatinya di tahun pertama ibunya meninggal, selebihnya ia akan melakukan apapun untuk mendistraksi kesedihannya akan kesunyian dalam keluarganya yang dulu hangat.
Juna bangkit dari duduknya, berpindah ke sebelah Tia sebelum menariknya dalam dekapan, menenggelamkan kepala Tia di dadanya. Ia paham jika Tia akan merasa tenang lebih cepat jika ia merasakan orang lain ada di sampingnya secara fisik. Sebuah pelukan dan tepukan pelan di belakang kepalanya selalu membantu Tia untuk dapat bernapas dengan lebih tenang, dan seakan menarik kembali air mata yang sebelumnya hendak turun membasahi pipinya.
Tia terbangun siang itu dengan Juna yang masih mendekapnya dari belakang. Tia tersenyum, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun di setiap jamnya kali ini. Mengusap matanya perlahan, ia membalikkan badannya pelan agar tidak membangunkan Juna yang masih terlelap. Sahabatnya ini sudah dipastikan akan dapat protes dari karyawan kafenya karena melewatkan briefing tiap pagi mereka.Merapatkan badannya lebih dekat ke tubuh Juna, Tia mengalungkan tangannya ke punggung Juna dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Tia menghembuskan napasnya lega, ia paling suka bangun tidur dengan Juna disampingnya karena ia yakin Juna tidak akan meninggalkannya saat pagi datang.Tia mengingat lagi kejadian kemarin sore. Setelah Tia bercerita tentang Arka (dan juga rasa rendah dirinya terhadap kata cinta), mereka memutuskan untuk berbelanja bersama di sebuah pusat perbelanjaan. Katanya untuk menjauhkan Tia dari pikiran-pikiran buruknya, alasan lainnya adalah Juna membutuhkan bantu
Usai membaca pesan tersebut, Tia hanya bisa tertawa keras. Juna yang mendengarnya melongokkan kepalanya dari dalam kamar mandi, wajahnya menuntut penjelasan dari tawa kerasnya. Tia hanya menggesturkan tangannya agar Juna lanjut mandi, dan Juna hanya menggumamkan “Oke..” sebelum menutup pintu kamar mandi kembali.Tia ingat, hari ini adalah hari dimana perusahaan papanya rutin mengadakan makan malam dengan keluarga karyawannya. Hanya plus one, sih. Dan biasanya mereka membawa pasangan mereka; suami, istri, maupun kekasih mereka. Tiga tahun lalu, ayahnya masih pergi ke acara tersebut dengan ibunya. Dua tahun lalu, Tia diajak ikut dan berakhir dengan Tia yang pulang kelelahan meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Tetapi dari tahun lalu, Tia sudah tidak diajak untuk datang ke acara tersebut.Harusnya Tia tidak perlu merasa kecewa, toh tahun lalu juga sama. Walau begitu, Tia tidak bisa menahan rasa kecewa bercampur sedihnya. Satu tahu
Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih pre-school sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga
“Takdir nggak sih, ketemu terus gini?” tanya si penyelamatnya sambil tersenyum lebar, senyum manis khasnya yang selalu membuat Tia kehilangan napasnya selama sepersekian detik saat melihatnya.Salah tingkah, Tia hanya bisa tertawa garing dan berdiri dengan benar lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Arka masih melihat kearahnya tanpa menghilangkan senyumannya, matanya melengkung lucu dan Tia harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas tulang pipinya yang tinggi itu.“Mau jajan, kak?” tanya Tia mengalihkan pembicaraan, ia melihat Arka memegang sebuah kaleng kopi instan di tangan kanannya.Arka hanya menggoyangkan kaleng kopi tersebut di depan wajah Tia, mengiyakan.Tia mengernyit, ia tidak menyangka kalau Arka memilih membeli minuman instan di minimarket dibandingkan kopi di kedai kopi dekat kantornya.“Tadi saya liat kamu dari depan situ,” jelasnya menunjuk ke warung makan di seberang mini market.
Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi
Tia yang melihatnya merasakan hatinya sedih juga. Ia melepas tangan Juna dari pipinya lalu meraih leher pria itu, memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya. “Kenapa gue yang ditepuk-tepuk kepalanya?” tanya Juna, ia kini menekuk lututnya agar Tia bisa memeluknya lebih nyaman. “Soalnya gue belum mau sedih-sedih, sedangkan lo keliatan sedih.” Tia melepas pelukannya, meraih kedua tangan Juna dan menggoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. “Nggak sekarang ya, Jun, gue ceritanya? Gue mau seneng dulu. Boleh, kan?” “Bolehh, lo butuh waktu berapa lama juga gue jabanin.” “Makasih ya Jun,” kata Tia, senyumnya mengembang. Tertular senyuman Tia, Juna juga ikut tersenyum. Kali ini senyuman pasrah, ia akan ikut Tia untuk menghabiskan hari dengan senang, dan mengundur kesedihan yang pasti akan turut ia rasakan jika Tia memutuskan untuk menceritakan apa yang membuatnya sampai menunggu Juna di luar berjam-jam, dan tidak masuk ke apartemennya walaupun ia tahu kode sandinya.
“Juna, jadi pacar gue yuk?” bisik Tia serius. “Nyebut, anjing.” Jawabannya datang tidak lebih dari satu detik. “Juna seriusan!” bisiknya lagi. Tia mengekor Juna ke bagian dapur untuk menaruh notes pesanan baru. Berbalik badan menghadap Tia yang kini memasang wajah khawatir? Takut? Grogi? Juna menyejajarkan wajahnya dengan Tia, ia ikut memasang wajah serius. “Mending gue pacarin mas Arka lo itu,” bisiknya. “AW!” pukulan Tia datang lagi, kali ini keras sekali karena suara PLAK terdengar mungkin sampai tempat duduk para pelanggan. Wajah Tia memerah lebih kentara dari pada sebelumnya. Juna bersumpah ia bisa melihat asap keluar dari hidung dan telinga perempuan itu. “Dia bukan mas Arka GUE,” desisnya kesal. Terdiam sebentar, Juna paham kalau hal ini cukup sensitif untuk Tia. Ia memang pernah meminta Tia untuk membuka hatinya agar Arka bisa masuk, tetapi apa yang terjadi kemarin kemungkinan besar membuat segala kesempatan untuk Arka
Langkah kaki Arka terasa sedikit lebih enteng hari ini. Tadi sore, ia sedang penat sekali dengan urusan kantornya. Ditambah kejadian kemarin dimana ia bertemu Tia di tengah jalan dalam keadaan yang tidak dapat dibilang baik-baik saja. Sebetulnya tadi ia hanya berniat mengambil uang tunai di salah satu minimarket, lalu ia melihat sebuah kedai kopi yang terlihat cukup ramai. Tanpa ia sadari, ia sudah meninggalkan mobilnya di parkiran minimarket itu dan memasuki kedai kopi yang tadi menarik perhatiannya. Tidak terbesit di dalam pikirannya bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang akhir-akhir ini selalu memenuhi pikirannya. Ia khawatir sekali dengan keadaan Tia kemarin, tetapi pemandangan yang terpajang seperti mengejek kekhawatirannya. Disana, Tia terlihat mesra dengan seorang lelaki tampan dan berpostur tubuh tidak jauh dengannya. Kulitnya lebih terang dan seketika Arka merasa tidak percaya diri dengan kulitnya yang lebih gelap. Dari bahasa tubuh Tia, Arka bisa