Share

Tenderly

Tadinya ia ingin ke klub untuk melepas penat, tetapi pada akhirnya ia tidak bisa membebani Juna dengan masalah hidupnya. Mana mungkin Tia menyampaikan keluh kesahnya ke sahabatnya itu, ketika si sahabat sedang memiliki masalah hidupnya sendiri?

Jadi ia menerima minuman tersebut, menyesapnya pelan. Meringis saat merasakan minumannya yang super manis. Tia belum pernah meminum ini sebelumnya. Dan, oh. Kandungan alkoholnya pasti kuat.

Si pria asing itu tersenyum melihat Tia yang menyesap minumannya sampai habis, walaupun dengan dahi yang berkerut.

“Lagunya asik nih, yuk, bareng gue?” tawarnya, menjulurkan tangannya ke Tia, mengajaknya menari bersama.

Kepala Tia agak pusing, minuman tersebut benar sangat kuat alkoholnya. Tanpa berpikir, ia menyambut tangan si lelaki dan membiarkan dirinya tertarik olehnya.

Di tengah orang-orang yang sedang menghabiskan waktu dengan saling menempelkan diri ke satu sama lain, ada Tia juga, yang sekarang sedang berdiri tanpa jarak dengan si pria asing. Badannya mengikuti alunan musik, tidak merasa terganggu dengan tangan si pria yang ada di pinggulnya.

“Lo dateng kesini sama siapa?” tanya si pria asing, mendekatkan wajahnya ke wajah Tia yang memerah, si alkohol sudah bereaksi pada tubuhnya.

“Temennn,” jawabnya, berteriak.

Si pria mengangguk paham. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh klub ini, mencari si “teman” yang disebutkan oleh Tia. Tapi tidak ada seorang pun yang melirik ke arah mereka, apalagi ke Tia.

“Temen lo mana?” tanyanya lagi. Kali ini ia menyentuh dagu Tia, mengangkat kepalanya agar ia bisa memandang wajah Tia.

Tia berusaha setengah mati untuk sadar, walau hanya sedikit. Tetapi bahkan ia tidak memiliki tenaga untuk menepis tangan si pria, dan tanpa sadar bersandar pada si pria, mencari pegangan agar tidak jatuh.

Melihat Tia yang sudah tidak bisa menopang dirinya sendiri, si pria asing tersenyum miring. Ia coba lagi mengajak ngobrol Tia.

“Hey, lo capek kah? Istirahat dulu yuk? Apartemen gue nggak jauh dari sini. Takutnya lo kalo ditinggal gaada temennya, nanti kenapa-napa,” ujarnya, bernada khawatir.

Tia tidak dapat menangkap omongannya secara penuh, kesadarannya hampir hilang. Entah apa yang dikatakan si pria asing, ia hanya mengangguk kecil. Dalam alam bawah sadarnya, ia tahu ia akan menyesali keputusannya kali ini.

---

Tia terbangun karena ponselnya yang terus bergetar di nakas. Ia meregangkan badannya di kasur tersebut, merasa dingin karena selimut yang tidak ada di atas tubuhnya. Tia menggigil, dia tidak bisa tidur dengan pendingin ruangan yang menyala sembari tidak menggunakan selimutnya.

Sambil mengucek pelan matanya, tangannya berusaha menggapai ponselnya yang belum berhenti bergetar. Nama Juna tertera disana selama 2 detik sebelum panggilan terputus. Layar ponsel Tia menunjukkan 7 panggilan tidak terjawab dari Juna, dan beberapa pesan yang belum terbaca olehnya, berisikan hal yang memiliki inti sama, menanyakan keberadaannya berulang kali. Tentu saja dari Juna.

Tia mengaduh pelan, kepalanya langsung pusing dipakai untuk melihat layar ponsel begitu membuka mata. Ia lalu menaruh kembali ponselnya, berniat menghubungi balik Juna ketika ia sudah sadar sepenuhnya.

Tangannya mencari-cari selimut yang seharusnya ada di atas kasur. Begitu ia tidak dapat mendapatkan selimutnya, Tia beranjak duduk perlahan. Ia mengedarkan pandangannya.

Ini bukan kamarnya. Bukan pula ruangan di rumahnya. Dan bukan ruangan di rumah Juna.

Merasakan pusing yang datang kembali, ia mengernyit. Saat itu ia tersadar bahwa bajunya sudah berubah menjadi sebuah kaos kebesaran. Baju yang kemarin ia pakai ada di.. lantai.

Demi Tuhan.

Tia berteriak frustasi, tidak memercayai bahwa setelah sekian lama, ia terbangun dalam keadaan seperti ini di sebuah ruangan yang ia yakin adalah milik si pria asing kemarin malam. Ia mengutuk si pria dalam hati, bisa-bisanya meninggalkannya begini tanpa dibangunkan. Memangnya ia jalang?

Setelah kesadarannya terkumpul, ia bangun dari kasur dan mengambil bajunya yang berserakan di lantai. Setelah mengecek bahwa kamar apartemen itu benar-benar kosong ditinggal penghuninya —mungkin si pria sedang kuliah atau kerja, Tia tidak mau ambil pusing—, ia langsung mengganti bajunya dengan baju yang tadi malam ia pakai. Lalu ia berpikir, bajunya agak terlalu mencolok untuk dipakai keluar di siang hari seperti ini.

Tia membuka lemari pakaian si pria yang berada di pojok ruangan. Tangannya memilah-milah pakaian yang digantung di dalam sana, dan mengeluarkan sebuah jaket varsity untuk kemudian ditempelkan ke tubuhnya. Menimbang-nimbang, jaketnya cocok tidak untuk dipakai bersama bajunya. Setelah tidak bisa menemukan luaran yang bisa ia pakai, dengan berat hati akhirnya Tia mengenakan jaket varsity tersebut. Semoga orang-orang tidak memperhatikannya.

Sebelum meninggalkan kamar tersebut, Tia mencari clutch­ yang ia bawa kemarin. Tia memindai kamar tersebut, mengambil ponselnya selagi ingat, dan menemukan clutch-nya di atas kursi komputer. Setelah merogoh uang yang ada di dalamnya, ia meninggalkan beberapa lembar uang dan merobek selembar kertas dari buku catatan yang ada di dekat keyboard lalu mengambil pulpen yang tergeletak di atas nakas. Menulis pesan untuk teman tidurnya tadi malam.

“Gue ambil jaket lo ya. Ini uangnya.” Tulisnya. Setelah menaruh mouse sebagai beban kertas, ia memastikan untuk mematikan pendingin ruangan dan juga lampu yang masih menyala. Lalu ia pergi dari kamar itu.

---

Tia memencet tombol lift gedung tersebut. Apartemen si pria ini memiliki restoran di lantai dasarnya. Tia berpikir untuk membeli makan siang sambil menghilangkan sakit di kepalanya.

Ketika lift terbuka, ia langsung masuk ke dalamnya dan menyenderkan kepala ke dinding setelah memencet tombol. Rasanya masih pusing, dan sedikit mual. Perutnya belum diisi makanan sejak kemarin siang, yang itu juga hanya beberapa suap kue dari sebuah kafe, juga es kopi yang sama sekali tidak membuatnya kenyang.

Tia masih memejamkan matanya saat lift berdenting, menandakan ia sudah sampai pada lantai dasar. Saat ia melangkahkan kaki keluar, pusingnya datang lagi. Tia hampir jatuh jika saja tangannya tidak sigap untuk memegang apapun yang bisa dipegang.

Sepertinya kali ini adalah orang.

“Kamu gapapa?” ucap seseorang itu, terdengar agak kaget karena tiba-tiba menjadi tumpuan badan perempuan yang terlihat hampir pingsan.

Tia masih menunduk dan mengatur napasnya, jangan sampai ia pingsan di tempat umum. Bakal jadi terlalu merepotkan.

Merasa tidak mendapat jawaban, seseorang itu menyejajarkan wajahnya dengan Tia, berniat mengecek keadaannya.

“Loh? Tia?” tanyanya kaget, tangannya otomatis berpindah memegangi bahu Tia yang melemas.

Tia menengadahkan kepalanya, kepalanya masih pusing. Ia melihat Arka, rekan kerja ayahnya, sedang memandangi dirinya dari atas hingga bawah, dan kembali lagi ke atas. Sekarang wajahnya diselimuti kekhawatiran yang kentara.

Entah Tia harus merasa bersyukur karena ia bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya, atau ia harus mengumpat karena orang ini adalah rekan kerja ayahnya. Maksudnya, ia paham jika ayahnya tidak akan peduli walaupun Tia menghancurkan hidupnya sendiri, tetapi Tia tidak ingin ada orang penting di kehidupan ayahnya yang menemukannya dalam kondisi seperti ini.

Ia tidak mau mempermalukan ayahnya.

Menampar pipinya sendiri cukup keras, ia berusaha berdiri tegak dengan bantuan Arka. Setelah itu, ia memberikan senyuman sopan sebelum menyapa orang pertama yang ia lihat hari ini.

“Halo, kak Arka. Lagi ngapain?” pertanyaan bodoh, Tia mengutuk dirinya dalam hati. Ini jam makan siang, dan ini di restoran. Apalagi yang dilakukan Arka selain makan siang? Tapi Tia tidak tahu harus bicara apa. Takut salah bicara, lalu image dia di mata rekan kerja ayahnya jadi jelek.

Arka masih memandangi Tia dengan khawatir. Ia baru saja ingin menanyakan apakah Tia baik-baik saja, sebelum perempuan itu memegangi mulut dan perutnya, seperti menahan mual.

“Ayo, saya temenin makan,” ajaknya ke Tia, merangkul perempuan itu ragu dan menuntunnya ke meja di pinggir.

Tia hanya membiarkan dirinya dibawa duduk, dan juga membiarkan Arka memesankan apa pun untuknya makan di siang hari ini.

Wajah si rekan kerja ayahnya ini menyiratkan kelelahan, Tia jadi tidak enak sudah menahan Arka untuk kembali ke kantornya. Setelan yang dipakai Arka hampir terlihat sama seperti yang Tia lihat sewaktu mereka bertemu di bis tempo hari. Celana dan jas berwarna senada, kali ini biru muda, dan dalaman kemeja berwarna hitam, kurang dasi saja untuk melengkapi tampilan formalnya. Tapi sama sekali tidak mengurangi ketampanan pria itu. Malah ia terlihat lebih muda, dengan poninya yang kali ini tidak terlihat disisir rapih ke belakang.

Merasa dirinya sudah memperhatikan Arka terlalu lama, Tia berdehem pelan. “Kak Arka bukannya harus balik ke kantor?” tanyanya, ia yakin harusnya Arka tidak sendirian disini. Kemana timnya yang lain?

Setelah menyampirkan jasnya yang sudah dilipat asal ke kursi sebelahnya, Arka tersenyum sebelum menjawab, “Tadi saya udah minta yang lain buat balik ke kantor duluan. Nggak apa, meetingnya udah selesai kok.” Imbuhnya cepat, saat Tia terlihat seperti ingin protes. Takut menghambat pekerjaan Arka dengan menemani Tia makan siang.

Mulut Tia menggumamkan “Oh, gitu” sebelum menopang kepalanya menggunakan kedua tangannya. Ia butuh minum secepatnya.

“Permisi, air mineralnya satu, dan teh peppermintnya. Makanannya mohon ditunggu sebentar lagi,” ujar seorang pelayan restoran tersebut, meletakkan kedua minuman di hadapan Tia sebelum kembali ke tempatnya setelah mendengar Arka berucap “Terima kasih” pelan.

Tia mendongak, “Ini tehnya buat aku?” tanyanya, memastikan sebelum meraih cangkirnya. Setelah melihat anggukan dari Arka, Tia langsung menyeruput tehnya pelan, mendesah puas dan terus menyesap sampai tehnya tinggal setengah. Ia merasa sedikit lebih baik, bahunya rileks dan tehnya ia taruh kembali di meja.

“Saya tadi pesenin kamu sop ayam. Suka, kan?” tanya Arka, memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah sebelumnya berkutat dengan si ponsel. Mungkin mengabari orang kantornya bahwa ia akan terlambat kembali ke kantor.

Tia mengangguk sebelum menjawab, “Suka kok kak. Apa aja oke, hehe”. Lalu ia mengedarkan pandangannya ke area restoran.

Restorannya cukup ramai kali ini, Tia tidak hanya bisa melihat beberapa orang berpakaian formal yang sedang menyantap makanan, tetapi juga bisa melihat beberapa keluarga yang sedang makan siang bersama. Sepertinya memang restoran yang terkenal. Tia hanya pernah mendengar namanya saja, tetapi belum pernah pergi kesini. Biasanya ia dan Juna lebih suka mampir ke kafe-kafe kecil untuk bersantai, dan memilih makan di rumah memesan delivery.

“Tia, ayo dimakan dulu,” ujar Arka, mengalihkan perhatian Tia dari melihat orang lain makan siang.

Di hadapannya sudah tersedia semangkuk sop ayam yang masih mengepul, dan semangkuk kecil nasi putih. “Lah kapan datengnya ini kak?” tanyanya sambil terkekeh, menyendokkan sesuap kuah sop dan meniupnya.

“Kamu aja yang bengong terus. Dihabisin ya makannya?” jawab Arka sambil menggelengkan kepalanya, menertawai Tia yang sekarang membakar lidahnya sendiri. Kuah masih panas begitu langsung dimasukkan mulut, jelas saja lidahnya tidak akan kuat. “Pelan-pelan aja nggak papa, Tia. Saya tungguin.” Ujarnya, mengambil sekotak tisu untuk didekatkan ke arah Tia.

Tia hanya menyengir dan menganggukkan kepalanya, “Sorry ya kak jadi nyusahin.” Ucapnya merasa sungkan.

Arka hanya mengibaskan tangan di depan wajah, mengisyaratkan bahwa tidak masalah ia menemani Tia makan siang sebentar.

Sambil mengambil ponsel dari dalam clutchnya, ia lanjut menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Lapar juga ternyata hampir seharian tidak makan apapun. Tia membuka pesan dari Juna, membalas singkat “Gue lagi makan siang. Nanti langsung pulang. Lo dimana?”. Tia masih ingin memastikan temannya itu tidak tidur dengan orang lain sembarangan (seperti dirinya). Tia tidak akan membiarkan orang asing mengambil kesempatan dari situasi Juna yang sedang patah hati. Tidak lama, ponsel Tia berdering. Nama Juna terpampang disana, Tia melihat ke arah Arka, lalu mendapati Arka yang juga sedang memerhatikan ponsel Tia yang masih berdering.

“Aku angkat dulu ya kak?” tanyanya ke Arka, tidak ingin terlihat tidak sopan mengangkat telepon saat sedang makan.

Arka tersentak, langsung menjawab, “Iya, angkat dulu aja,” dan meraih ponselnya sendiri dari dalam saku celana panjangnya.

“Halo, gimana Jun? Iya ini makan siang. Beneran makan, elah. Mau langsung pulang nanti, tidur palingan? Baru tidur bentar gue tadi pagi,” sesuap potongan ayam masuk ke dalam mulutnya. “Iyaa, nanti gue cerita. Lo gapapa kan? Perlu gue samper ke rumah nggak?” Botol air mineral dibuka (dengan bantuan Arka yang melihat Tia susah membuka karena satu tangannya memegang ponsel), lalu Tia menegak air di dalamnya banyak-banyak. “Yaudah, gampang nanti gue kabarin lagi ya? Dah..” Tia memutuskan panggilan, lalu meletakkan ponselnya di meja.

Arka canggung, ia tidak memesan apapun dan hanya menemani Tia makan siang. Mau pura-pura main ponsel, tapi tidak ada hal yang perlu ia lakukan. Jadi dia hanya melihat-lihat orang lain yang berlalu lalang.

“Makasih, kak, udah dibukain tadi,” ucap Tia, tadi tidak sempat bilang karena masih tersambung di telepon dengan Juna.

“Ah, iya. Santai,” jawab Arka

Dia baru ingin membuka mulutnya untuk bicara lagi sebelum ia melihat Tia yang menutup mulutnya, wajahnya sedikit tegang, dan lalu langsung berlari ke toilet, sedikit sempoyongan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status