Share

Goodnight n go

Tia menolehkan kepalanya ke arah si tamu yang juga berdiri, mungkin dia tak ingin ditinggal sendiri di ruang makan keluarga lain.

Ia berpikir sebentar. Familiar sekali rasanya. Wajahnya familiar, dan ia samar mengingat wangi yang menguar dari tubuh pria itu. Yang akhirnya bisa ia fokuskan setelah sedari tadi fokus ke ayahnya sendiri.

Belum terpikirkan siapa gerangan lelaki familiar ini. Ah, sudahlah, lebih baik ia duduk dulu saja dan menemani si tamu melanjutkan sarapannya. Tia pun kembali duduk, dan mengisyaratkan agar tamunya itu juga duduk. Dan melanjutkan sarapannya, tentu saja.

Setelah si tamu melanjutkan sarapannya, Tia berpikir keras. Siapa tamu ini? Apakah ia mengenalnya? Tetapi dia tidak terlihat seperti salah satu pengujung klub tempatnya biasa menghabiskan malam, dan juga tidak terlihat seperti teman dari temannya (kalau pria ini adalah temannya, tidak mungkin ia tidak mengenalnya).

Ketika si tamu sudah selesai menghabiskan sarapannya dan sedang meminum jus jeruk, Tia tersentak. “OH! Yang di bis ya?” yang menghasilkan si tamu lagi-lagi tersedak karena suara Tia yang mengagetkan. Tia buru-buru menghampirinya dan mengelus pelan punggungnya, wajahnya bersalah. “Maaf, maaf.. Duh ini jadi belepotan. Coba liat sini sebentar,” katanya sambil mengarahkan kepala si tamu ke wajahnya untuk di lap bibirnya menggunakan tisu.

Si tamu hanya diam memerhatikan Tia.

“Arka,” ucapnya.

Tia bingung. “Apa?”

“Arka,”

“Siapa?”

“Saya.”

“Oh,” Tia melempar tisu ke tempat sampah di belakangnya, sebelum tersadar yang tamunya maksud.

“Ohhh iya! Arka! Nama kamu Arka.” Katanya antusias. Membuat Arka tersenyum lebar. “Eh, kemarin kayaknya aku panggil kakak? Usia berapa?”

“Halo, Tia. Eh, bener kan namanya Tia? Tadi denger pak direktur manggil Tia,” kepalanya ia miringkan, menunjukkan rasa bingungnya.

Tia ikut memiringkan kepalanya, reflek. Sebelum tertawa pelan dan mengangguk, “Iya, Tia. Maaf kemarin nggak sempat ngenalin diri.”

Lalu ia tawarkan tangannya untuk berjabat tangan. Tentu saja disambut oleh Arka.

“Ngomong-ngomong, saya tahun ini usia 29. Oh, sama makasih yang waktu malem-malem bantuin nangkep pencopet,” ujarnya. “Berkat kamu, polisi dateng tepat waktu soalnya si pencopet sadar diri waktu polisi datang.”

Wah, memori otak Tia ini memang patut dipertanyakan. “Kakak yang waktu itu? Yang si pencopet aku pukul pake tongkat baseball?” tanyanya antusias.

Arka terkekeh sambil mengangguk.

“Gila aku bangga banget waktu itu! Rasanya kayak pahlawan hahahahaha,” Tia tertawa lepas, hidungnya mengkerut dan matanya sampai terpejam. “Eh tapi ini bisa lepas nggak ya,” katanya, langsung lupa sama dirinya yang baru saja tertawa keras.

“Apanya?” tanya Arka.

“Ini,” jawab Tia, mengangkat tangannya yang masih belum terlepas usai berjabat tangan dengan Arka.

“OH. Maaf maaf,” ujar Arka, langsung melepaskan tangannya dan memalingkan wajah ke sisi kirinya.

“Ini, makannya. Saya udah. Maksudnya, saya udah selesai makannya. Makasih ya, saya pergi dulu.” Ujarnya cepat-cepat, langsung berdiri dan melesat begitu saja ke luar rumah.

Tia memandangi punggungnya yang menghilang seiring bunyi pintu yang tertutup. Dan menghela napas lagi.

Hening rumah ini harusnya menyesakkan, tapi sepertinya bantuan obat tidur tadi malam masih bereaksi, karena alih-alih merasa sesak, ia hanya merasakan kantuk yang sedari tadi ditahannya demi menit berharga dihabiskan bersama ayahnya.

---

Musik keras memekakkan telinga langsung menyambut Tia begitu ia memasuki klub. Ia mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang mungkin dikenalnya. Ini hari ke-3 ayahnya pergi ke Sidney, dan Tia sudah menghabiskan waktu selama itu juga untuk menjadi satu dengan kasur. Biasanya ia tak betah tinggal di rumah sendirian dalam waktu yang lama, tetapi teman-temannya sedang sibuk, jadi ia tak ada orang yang bisa diajak keluar untuk sekedar jalan-jalan.

Begitu sampai di depan bar counter, ia langsung duduk di salah satu barstool yang kosong. Tia tidak dapat melihat satu pun kenalannya disini. Sembari mengeluarkan ponsel dari dalam clutch yang dipangku, ia juga memesan minuman pembukanya untuk malam ini ke bartender.

Tia mencari kontak seseorang yang akan ia suruh untuk menemaninya. Ia tidak terlalu suka dengan ide untuk bergabung berdansa dengan orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal. Karena biasanya, mereka yang tidak mengenalnya itulah yang suka memaksa Tia untuk terus menemaninya sepanjang malam. Duh, membayangkannya saja sudah lelah.

“Junaaa lo dimanaa?” sapanya dengan suara keras, berusaha mengalahkan suara musik yang diatur untuk menulikan telinga. “Oh? Kok rame? Lo lagi dimana temenin gue dong.” Satu sesapan dari gelas setelah ia selesai berbicara di telepon.

“Halo, Juna? Gue nggak kedengeran asli, text aja—ANJIR” Tia berjengit, seseorang baru saja berteriak “DOR” di telinganya, yang ternyata adalah Juna. Dasar anak itu.

“Hahahahaha harusnya gue rekam muka lo barusan! Gila lawak banget!” Juna masih tertawa terpingkal-pingkal, membuat Tia jengkel dan mengerucutkan bibirnya. Setelah memberi Juna sebuah lirikan singkat, sepertinya ada yang janggal dari Juna malam ini.

“Lo kenapa, Jun?” tanya Tia khawatir. Temannya sejak masih SMA itu terlihat berantakan. Juna yang biasanya selalu mengutamakan penampilan itu hari ini datang ke klub menggunakan kaos oblong bekas kepanitiaan jaman kuliah dulu, dan celana training yang Tia hafal biasanya dipakai untuk Juna tidur. Rambutnya dibiarkan jatuh begitu saja, dan sepertinya ia baru saja mandi dilihat dari rambutnya yang agak basah.

Alih-alih menjawab, Juna hanya mendudukkan dirinya di samping Tia dan memesan minuman ke bartender. Matanya tidak terlihat bersemangat sebagaimana Juna biasanya.

Tia juga ikut bungkam. Terpikirkan apa yang menjadi kemungkinan Juna bersikap seperti ini. Toh ini bukan pertama kalinya Juna tampil dengan penampilan seperti ini. Sekarang yang Tia pikirkan, apakah lebih baik ia tanyakan langsung, atau tunggu saja sampai Juna cerita sendiri?

“Gue putus sama Nadia,” ujar Juna singkat, menyesap minumannya pelan.

Entah Tia harus menjawab apa. Pasalnya, ia paham betul hal ini akan terjadi dalam waktu dekat. Tia sudah beberapa kali mencoba menyinggung tentang sikap Nadia di luar saat tidak bersama Juna. Mantan kekasih temannya itu bukan perempuan yang bisa dikategorikan perempuan manis yang akan sanggup meladeni Juna yang tidak terkontrol energinya.

“Dia bilang katanya gue nggak bersikap dewasa. Nggak pernah ada di samping dia saat dia butuh.” Ujar Juna lagi dengan sendu. Matanya menerawang. Kalau saja Juna sedang tidak sepatah hati ini, Tia ingin sekali menempeleng kepalanya karena Juna sama sekali tidak cocok bersikap melankolis seperti ini.

Akhirnya Tia memilih tidak menanggapi curhatan Juna. Ia tahu, Juna juga tidak suka dikasihani, itu membuat hatinya jauh lebih sakit. Di saat-saat seperti ini, Tia biasanya memilih untuk sekadar mendengarkan apapun yang lelaki itu ingin ungkapkan. Tapi kali ini, Juna tidak melanjutkan curhatannya. Sepertinya yang sekarang agak susah dilupakan, mengingat hubungan Juna kali ini bisa bertahan sampai 1 tahun lebih.

Bukan, bukan Juna masalahnya disini. Juna adalah temannya yang memiliki banyak cinta di hatinya. Tetapi sampai saat ini, perempuan yang sempat menjalin hubungan dengannya, selalu tidak pernah bisa akrab dengan Tia. Eksistensinya di hidup Juna itu selalu menjadi alasan nomor satu akan kecemburuan pasangan Juna.

“Jun, ayok, lagunya lagi enak,” akhirnya Tia bangkit dari tempatnya duduk, menarik Juna bersamanya untuk bergabung dengan puluhan orang lainnya. Sedikit waktu bersenang-senang pasti akan membuat Juna melupakan sejenak permasalahan asmaranya.

Walaupun ogah-ogahan saat ditarik oleh Tia, sekarang Juna sudah lebih rileks karena alkohol yang tadi sempat diminumnya. Ia menari bersama banyak orang, dan dalam sekejap menjadi bintang malam ini.

Tia tersenyum, ia lebih senang melihat Juna menikmati malamnya seperti ini dibandingkan tenggelam dalam rasa sedihnya.

Lagu yang barusan dimainkan membuat Tia berkeringat, temponya membuat orang-orang berebut untuk menari lebih ke tengah. Tia yang merasa cukup sesak, akhirnya melipir ke agak pinggir.

Di bagian sini orangnya tidak sebrutal mereka yang berebut spotlight. Tia lanjut menari kecil, mengikuti musik yang sekarang berubah menjadi lebih pelan. Ia menolehkan kepalanya saat merasa bahunya ditepuk oleh seseorang.

“Hai, haus nggak? Ini gue pesenin buat lo.” Tawar seorang lelaki yang belum pernah Tia lihat sebelumnya.

Seharusnya Tia tidak menerimanya. Hey, itu sudah hal yang umum diketahui semua orang, bahkan anak kecil yang diwanti-wanti oleh orang tua mereka. Tidak boleh menerima sembarang makanan atau minuman dari orang lain.

Tapi Tia hari ini juga sedang sedih. Sedang merasa kesepian. Sedang tidak ingin bergabung untuk menemani Juna di lantai dansa.

Dan juga, Tia haus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status