Share

Lend Me Your Wings
Lend Me Your Wings
Penulis: Araitara

Coincidence?

Matahari sudah tenggelam, di jalanan hanya ada segelintir kendaraan yang berlalu lalang. Jam tangan yang digunakan oleh Tia menunjukkan arah angka 9 di jarum pendeknya, dan angka 8 di jarum panjangnya. Tia mendesah malas sambil mengetuk-ngetukkan tongkat baseballnya ke aspal.

Ia baru selesai bermain dengan teman-temannya di lapangan tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Walaupun lapangan masih lumayan ramai, tapi di halte tempat Tia menunggu bis ini agak sepi. Mungkin karena penerangan yang kurang? Atau karena jam yang sudah malam untuk para pekerja bertransportasi?

Mungkin yang kedua, karena jam segini di area ini tidak terlalu menyenangkan, orang-orang pasti memilih untuk pulang menggunakan taksi.

Tia masih memainkan ponselnya saat samar-samar ia mendengar suara orang yang berteriak. Saat ia menolehkan kepalanya ke kanan, ada seorang laki-laki yang sedang berlari ke arahnya. Dan dikejar oleh lelaki lain tidak jauh di belakangnya. Ia coba memerhatikan apa yang diteriaki oleh lelaki yang mengejar di belakang.

“PENCOPET!!! WOY JANGAN LARI LO BANGSAT!”

Mendengarnya, Tia otomatis melayangkan tongkat baseballnya ke arah kaki pencopet yang akan melewatinya.

BUK.

Pukulan Tia memang tidak bisa diremehkan. Sekarang pencopet tersebut sedang mencoba bangun ketika Tia menginjak tengkuknya dan menekannya keras.

“Aaaaahh lepas!!” si pencopet berteriak tertahan. Tangannya mencoba menggapai kaki Tia yang menahan kepalanya untuk bangun. Sepertinya kakinya tidak berfungsi secara sementara dilihat dari bokongnya yang terangkat, tetapi kakinya tidak bisa bergerak banyak.

Melihat itu, Tia memukul kepala si pencopet agak keras. Bahaya kalau kekuatannya sama seperti sebelumnya ketika ia memukul kakinya, bisa-bisa lehernya patah.

Nyatanya pukulan “agak keras” dari Tia ini membuat si pencopet pingsan. Saat itu, si pengejar sudah terengah-engah menghampiri Tia.

“Santai, napas dulu,” ujar Tia sambil turun dari badan si pencopet dan memperhatikan lelaki yang sekarang sudah bernapas dengan agak lebih santai. “Apa yang dicopet?” tanyanya.

“Hape. Hape saya diambil, dek,” katanya. Ia menghampiri badan si pencopet dan merogoh saku jaketnya. Sambil mengeluarkan ponselnya, ia lantas berterima kasih. “Dek, makasih banget ya udah dibantuin. Disini sepi banget saya udah hampir nyerah ngejernya,” ia mendongak ke arah Tia.

“Nelfon siapa, dek?” tanyanya bingung karena ia mendengar sepenggal kata “Halo, polisi?” dari Tia.

“Polisi. Diem dulu,” Tia pun menyelesaikan laporannya atas pencopetan itu agar si pencopet ditahan

oleh polisi. Setelah selesai, ia memasukkan ponselnya ke saku celana trainingnya dan melihat bis yang

ditunggunya sudah sampai. “Duluan ya, nanti kalau ada polisi tinggal cerita aja gimana-gimananya. Dah,” lalu ia menghilang di balik pintu bis yang langsung menutup. Meninggalkan lelaki tersebut berdua dengan pencopet. Dan dengan mulut yang menganga. Bingung setengah mati.

---

“Halo? Iya pah? Hah apa? Nggak kedengeran, bentar” Tia melangkah keluar dari klub sambil berteriak

“Bentar angkat telepon dulu!” ke teman-teman di mejanya yang sedang setengah mabuk. Entah mereka bisa mendengar suaranya atau tidak.

Di luar klub ini ada sebuah bar kecil, suasananya jauh lebih tenang daripada klub tadi. Ia mendudukkan dirinya di sebuah barstool. “Gimana pah?” ucapnya ke ayahnya di seberang sana. “Oh iya, yaudah ati- ati. Iya, santai pah masih ada uangnya. Hmm. Iya. Dah,” beep. Sambungan terputus.

Lalu malam Tia kali itu dilalui dengan bergelas-gelas alkohol.

---

“Tia, bangun, jam 11 ini. Lo minta dibangunin jam 11 kemaren,” ujar Juna sambil menepuk-nepuk paha Tia yang tertutup selimut.

Tia bergumam pelan dan berusaha membangunkan dirinya sendiri. Ia ada rencana bermalas-malasan di kamar rumahnya menonton serial Netflix yang sedang ia ikuti.

“Ngg Junaaaa peluuukk,” gumamnya sambil melepaskan diri dari selimut. Juna yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya dan berbaring di samping Tia, memeluknya dan mengusap pelan surai hitamnya.

“Pusing nggak?” Tanya Juna sambil menyingkirkan poni di dahi Tia. Tia mendesah puas dan menggelengkan kepalanya pelan. Hanya sedikit alkohol tidak akan membuatnya pusing. Toleransinya cukup kuat untuk seseorang yang memasuki usia 26 tahun. Belum terlalu tua memang, tetapi ia sudah rajin mengonsumsi itu sejak masih di bangku kuliah. Harusnya badannya sudah tidak boleh diisi dengan bergelas-gelas alkohol.

“Gue anter mau?” tawar Juna. Dijawab dengan gelengan lagi.

“Gausah, lo kan harus buka kafe bentaran lagi,” ujar Tia, berdiri dari kasur dan meregangkan badannya. “Numpang mandi bentar,” dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

---

Panas terik menyinari kota tempat Tia tinggal siang ini. Suasananya berbeda sangat jauh dibandingkan kemarin malam dimana hanya ada suara samar kendaraan di jalan. Sekarang, suara kendaraan tersebut amat ramai sampai hampir semua orang berbicara dengan suara keras untuk bisa didengar oleh lawan bicaranya.

Di dalam salah satu bis di jalan yang padat tersebut, ada Tia yang sedang mendengarkan musik melalui earphone-nya. Memandangi jalanan yang dipenuhi oleh orang-orang yang mencari makan siang. Ia tak paham kenapa orang-orang mau berpanas-panas di siang hari ini, ketika mereka bisa berdiam santai di tempatnya dan memesan layanan delivery.

“Namanya juga pekerja kantoran, pasti bosen di dalam ruangan. Jam makan siang jadi satu-satunya kesempatan buat keluar dari kantor sebentar,” ucap seseorang di belakangnya. Tia menoleh cepat, kaget. Lelaki itu terkekeh pelan. “Iya, kamu nggak ngomong dalam hati barusan,” ucap lelaki itu sambil memamerkan senyuman lebarnya.

Tia memerhatikan lelaki itu sekilas, penampilannya seperti orang kantoran pada umumnya, kemeja rapih berdasi, celana krem panjang dan jas berwarna senada yang disampirkan di lengannya yang juga

menenteng tas kerjanya. Ia tersenyum kecil sambil berujar, “Masnya terlalu rapih buat ukuran pekerja kantoran yang udah kerja dari jam 9 tadi.”

Giliran lelaki itu yang menunduk sambil tersenyum malu. Tangannya menggaruk belakang kepalanya, “Saya kesiangan, dan tadi mobil saya mogok. Jadi.... gini deh. Haha,” ucapnya tanpa menghilangkan senyumannya.

Tia hanya tersenyum sopan, tidak berniat menanggapi. “Duluan, mas,” ucapnya sambil berjalan ke arah pintu bis karena tujuannya sudah sampai.

“Dek sebentar!” pria tadi menahan lengannya. Dengan wajah setengah panik (dan memerah, mungkin karena cuaca sedang sangat panas di luar), ia berkata “Saya Arka,”. Wajahnya menyiratkan harapan agar perkenalannya di balas.

Tetapi Tia, ia hanya mengangguk, tersenyum, dan melepaskan genggaman tangan Arka di lengannya. Sebelum ia menghilang di balik pintu bis, ia sempat berujar lumayan keras “Dah, kak Arka,”.

Suaranya hanya terdengar samar dari Arka karena ramainya suasana di dalam bis.

---

Hari ini Tia bangun pagi. Hal yang amat sangat tidak biasa dilakukannya. Ia membuka matanya —yang baru bisa terpejam satu jam yang lalu itu— dan langsung bergegas turun begitu si bibi membangunkannya sambil berkata “Papah di bawah, ayo sarapan bareng.”

Ia bergegas turun ke ruang makannya, disana ia melihat ayahnya yang sedang menyantap sarapan. Tapi ia tidak sendirian. Ada seorang lelaki yang duduk membelakanginya. Ia mengusap matanya pelan, mencoba menghilangkan kantuknya.

Ayahnya yang sedang meminum teh berdongak ke arahnya, “Tia, ayo sini sarapan bareng,” ujarnya, mengendikkan kepalanya ke bangku di sampingnya yang kosong.

Di saat yang sama ketika ayahnya membuka mulutnya, si pria asing menolehkan kepalanya dengan cepat. Tia  mengernyit, takut lehernya sakit melihat seberapa cepat lelaki itu menoleh ke arahnya. Satu detik mereka bertatapan, si pria asing tersedak makanannya. Tia yang belum sepenuhnya sadar itu langsung panik dan menepuk punggung si pria keras-keras dan mengarahkan gelas ke arahnya.

“Pelan-pelan, nih minum,” katanya sambil mengelus punggung pria itu. Wajahnya anehnya familiar. Dimana Tia melihat wajah itu?

Ayahnya hanya melihat ke arah mereka berdua dengan raut wajah bingung. “Duduk, adek,” ujarnya lagi.

Tia menoleh ke arah ayahnya, dan setelah memastikan si pria tidak kenapa-kenapa, ia duduk di sebelah ayahnya, di seberang lelaki tersebut. Si bibi menaruh piring berisi nasi setengah porsi dan juga alat makan. Tia memindai lauk yang ada di depannya dan mengambil sepotong sosis dan juga sedikit sayur wortel tumis. Ia menyendokkan makanan itu ke dalam mulutnya dan mendengarkan ayah juga si pria mengobrolkan entah apa. Sepertinya si pria ini rekan kerja ayahnya.

Ketika ia akan menyendokkan sesuap nasi lagi, ayahnya berdiri dari kursinya. “Oke kalau gitu saya tinggal ya. Lanjutin aja makannya, maaf udah bikin kamu mampir pagi-pagi gini,” ayah Tia merapihkan jasnya dan mengisyaratkan si bibi untuk memberikan tas kerjanya.

Tia hanya memandang ayahnya.

“Mau kemana, pah?” tanyanya, menurunkan sendok yang hampir masuk mulutnya. Matanya mengikuti gerakan ayahnya.

“Sidney, kayaknya 5 hari lagi pulang. If everything went smoothly, of course.” Jawab ayahnya sambil berlalu ke pintu. “Dah, adek. Hati-hati, pintu jangan lupa dikunci,” adalah perkataan terakhir yang terdengar sebelum pintu depan tertutup rapat.

Tia melepaskan genggamannya dari sendok dan mendesah pelan. Sambil mengusap kasar wajahnya, ia bergumam “Asli baru balik kemarin padahal.”

Setelahnya, Tia beranjak dari kursinya dan berniat kembali ke kamarnya. Itu, sebelum ia mendengar suara yang menahannya.

“Tia?”

Ah iya, ia melupakan orang lain yang tadi sarapan bersama ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status