Share

Bab 2

Author: Jamilah
“Ridho, temani Lovina pergi coba gaun pengantin, ya. Biar kalian anak muda yang pilih sendiri saja, kami nggak ikut campur,” kata ayah Ridho.

Ridho berdiri dan mengulurkan tangan padaku. Aku menatap jari-jarinya yang panjang, teringat bahwa di kehidupan lalu, tangan inilah yang menulis kerinduan terhadap wanita lain dalam buku hariannya.

“Aku takkan pernah lupa bagaimana Yolanda berdiri di dermaga, angin laut menerbangkan gaun bermotif bunganya dan dia menangis begitu sedih.”

“Terkadang, saat menatap orang yang tidur di sampingku, aku berpikir kalau saja tidak kehilangan ingatan dulu, kalau saja tak bertemu dengan Yolanda, mungkinkah hidupku sekarang akan berbeda?”

Kalimat-kalimat itu terasa seperti pisau yang menyayat hatiku hingga berdarah-darah.

“Iya,” jawabku sambil tersenyum manis, lalu menggandeng lengan Ridho.

Aku bisa merasakan tubuhnya sedikit kaku, tapi pura-pura tidak menyadarinya.

Saat di dalam mobil, aku menyebutkan sebuah alamat.

Itu adalah butik gaun pengantin paling mewah di kota ini. Di kehidupan lalu, aku menghabiskan waktu seharian di sana untuk mencoba gaun-gaun indah, mengira diriku adalah calon pengantin paling bahagia di dunia.

“Katanya butik ini baru kedatangan koleksi gaun terbaru, ayo kita lihat-lihat dulu,” ujarku sambil menoleh padanya, lalu bertanya lagi, “Ridho, kamu suka model seperti apa?”

Tangannya yang memegang setir sedikit mengepal, lalu menjawab, “Yang penting kamu suka saja.”

Aku menahan air mata yang hampir menetes, lalu menoleh ke arah jendela.

Ridho, di kehidupan ini … aku tak mau menikah denganmu lagi.

Saat kami sedang mencoba gaun, ada seorang gadis lain yang kebetulan juga sedang mencoba gaun.

Dia mengenakan gaun potongan duyung yang simpel, menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah.

Begitu melihat kami masuk, tatapannya sempat tertuju pada Ridho beberapa detik, lalu tersenyum ramah padaku.

“Wah, kebetulan sekali! Kalian juga datang coba gaun, ya? Perkenalkan, namaku Yolanda, aku sudah mau menikah bulan depan,” katanya sambil mendekat, tampak sangat akrab.

Aku mengamati gadis itu, tatapan matanya sangat ekspresif. Saat tersenyum, sudut matanya sedikit melengkung, memberi kesan manis dan mempesona.

Di kehidupan lalu, aku tak pernah sadar tatapan seperti apa yang dia berikan pada Ridho?

“Iya, kami datang coba gaun pengantin juga. Namaku Lovina, ini Ridho, tunanganku,” jawabku sambil tersenyum.

Tatapan Yolanda kembali jatuh pada Ridho, kali ini lebih lama dari sebelumnya.

Ridho berdiri di sampingku, tampak sedikit bingung dan tidak fokus.

“Tunanganku sangat baik padaku,” ujar Yolanda yang langsung menggenggam tanganku dan mulai bercerita panjang lebar.

“Dia selalu ingat hari pertama kami bertemu. Dia selalu mengirim bunga mawar putih untukku setiap bulan. Minggu lalu, aku hanya iseng bilang mau makan kue dari toko di ujung kota, dia bela-belain putar jauh pulang kerja untuk belikan untukku ….”

Aku menyadari jari-jari Ridho yang sedikit mengencang, tanda kalau emosinya sedang tidak stabil.

Di kehidupan lalu, aku kira dia gugup soal pernikahan kami. Sekarang aku sadar, itu karena dia sedang menahan rasa cemburu.

“Lalu kamu? Kamu mencintainya?” tanya Ridho tiba-tiba dengan suara yang agak serak.

Yolanda terdiam, senyuman di wajahnya sempat membeku.

Secara reflek, dia menatap Ridho dengan pandangan yang agak panik.

“Ten … tentu saja cinta,” jawabnya, mencoba tenang, tapi jarinya mulai meremas ujung gaunnya.

Ridho terkekeh pelan, tatapannya menjadi tajam.

Aku hanya berdiri di samping, berpura-pura tenang menyaksikan semua ini.

Seberapa bodohnya aku di kehidupan lalu, sampai-sampai tak bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dari hubungan mereka?

Usai mencoba gaun pengantin, Ridho bilang ada urusan mendadak di kantor dan buru-buru pergi.

Aku beralasan pergi ke kamar mandi, tapi diam-diam mengikutinya dari belakang.

Di tempat parkir, aku melihat Ridho menarik Yolanda dan mendorongnya ke dinding, lalu mencium bibirnya dengan penuh emosi.

Awalnya, Yolanda sempat menolak, tapi tak lama kemudian, dia pun melemah dalam pelukannya.

“Kamu jelas-jelas nggak mencintainya, kenapa masih mau menikah dengannya?” tanya Ridho dengan penuh amarah yang tertahan.

Yolanda menjawab dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, “Lalu kamu? Bukannya kamu juga sudah mau menikah?”

“Itu beda ….” jawab Ridho dengan suara yang rendah, lalu mereka kembali saling berpelukan.

Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram jantungku begitu keras hingga aku nyaris tak bisa bernapas.

Aku terhuyung mundur beberapa langkah, menyandarkan tubuh ke dinding yang dingin dan air mata mulai mengalir tanpa bisa dihentikan.

Aku teringat saat berusia lima tahun, pertama kalinya Ridho datang berkunjung ke rumahku.

Dia mengenakan setelan jas kecil, mirip seperti orang dewasa mungil, lalu menggenggam tanganku dan dengan polos berkata, “Adik cantik sekali, aku mau menikahimu kalau sudah dewasa nanti.”

Waktu itu, dia belum mengerti apa itu perjodohan, dia hanya tulus menyukaiku.

Dia pernah berlari keliling kota hanya demi mencari jepitan rambut kesukaanku.

Ingat suatu kali, aku terpikat pada jepit rambut kristal di etalase toko. Tanpa ragu, dia langsung menarik sopirnya keliling kota untuk mencari yang serupa. Sampai akhirnya menemukannya di sebuah toko kecil yang terpencil, sepatu kulitnya bahkan sudah sampai lecet.

Saat aku demam, dia selalu diam-diam masuk kamarku dan berjaga semalaman di samping ranjangku.

Pernah suatu kali ketahuan orang tua, dia malah dengan yakin berkata, “Aku mau jaga calon istriku!”

Kata-katanya sampai membuat ayah Ridho marah besar.

Setiap hari perayaan, dia selalu menyiapkan kejutan dengan penuh perhatian.

Waktu natal di usia sepuluh, dia membuatkan kotak musik dengan foto kami berdua di dalamnya.

Begitu diputar, kotak itu memainkan sebuah lagu berjudul [Fur Elise].

Katanya, itu lambang cinta kami, aku harus menyimpannya baik-baik.

Saat ulang tahunku yang ke-16, dia menanam pohon sakura di halaman belakang rumah.

Katanya, kalau nanti sudah menikah, dia ingin acaranya digelar di bawah pohon itu.

Dulu, hanya ada aku di dalam hatinya.

Sekembalinya ke rumah, aku membakar semua kenangan kami.

Aku berdiri di halaman belakang, menatap pohon sakura yang kini telah menjulang tinggi. Aku pun menuangkan bensin di akarnya.

Api menyala tinggi, memantulkan cahaya merah di wajahku.

Janji masa kecil, kenangan indah, semuanya habis dalam kobaran api itu.

Aku melemparkan kotak musik ke dalam kobaran api, menyaksikan benda itu perlahan meleleh.

Semua hadiah yang dulu sangat berarti, semua benda yang menyimpan kenangan indah, satu per satu kulempar ke dalam api.

Terakhir, aku mengeluarkan cincin tunangan.

Berlian itu berkilau dingin di tengah nyala api, persis seperti tatapan terakhir Ridho padaku, dingin dan tak berperasaan.

Tanpa ragu, aku melemparkannya ke kobaran api, melihatnya ditelan oleh nyala api yang membakar.

Api perlahan padam, menyisakan tumpukan abu.

Aku berdiri di tengah reruntuhan, merasakan sebuah kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Kenangan yang dulu menghantuiku, semua masa lalu yang pernah membuatku menderita, lenyap tak bersisa bersama kobaran api.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 9

    Di rumah sakit, Ridho langsung dibawa masuk ke ICU.Aku duduk di bangku lorong, seluruh tubuhku gemetaran.Pemandangan ini ... terlalu mirip dengan kehidupan laluku.Yolanda sudah dibawa polisi.Yang menantinya sekarang adalah hukuman yang pantas.Ibu Ridho datang terburu-buru dan sempat terdiam saat melihatku.“Lovina ….” ucapnya dengan suara tertahan.Aku berdiri dan berkata, “Tante, maafkan aku ….”Ibu Ridho menggeleng pelan dan menggenggam tanganku, dia menjawab, “Nggak, kami yang seharusnya minta maaf.”Kami pun saling berpelukan sambil menangis.Nasib Ridho belum pasti.Dan di saat itulah, buku hariannya tersebar di internet, isi tulisannya adalah kenangan masa lalu kami berdua.Aku duduk di bangku luar ICU, ponselku terus bergetar.“Lovina, kamu sudah lihat berita? Buku harian Ridho viral!”“Ya ampun, ternyata kalian berdua punya kenangan yang begitu indah!”“Dia benar-benar mencintaimu ….”Aku membuka ponsel, di urutan pertama topik viral tertulis besar, [Kenangan Masa Sekolah

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 8

    Seminggu kemudian, Ridho keluar dari rumah sakit.Kami janjian bertemu di sebuah kafe pinggiran kota.Saat aku tiba, dia sudah duduk di dekat jendela dan menungguku.Dia terlihat sedikit lebih segar dibanding waktu di rumah sakit, tapi lingkar hitam di bawah matanya masih jelas terlihat.“Lovina,” panggilnya sambil berdiri dan menarik kursi untukku, “Terima kasih sudah mau datang.”“Sebenarnya … aku terus mencarimu selama ini.”Aku mengangkat alis, “Mencariku?”“Iya.” Dia tersenyum pahit dan melanjutkan, “Aku tahu kamu nggak mau ketemu aku, tapi aku tetap mau ….”“Ridho,”ucapku memotongnya, “Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Hidupku sekarang sangat baik, sungguh.”Dia menunduk, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku dan meletakkannya di depanku.Aku membuka kotaknya dan terdiam.Itu adalah liontin jimat giok.Permukaannya halus dan hangat, memantulkan sinar matahari dengan lembut.Persis seperti yang kuingat.“Aku menemukan ini di tumpukan barang lama rumah,” kata Ridho pela

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 7

    Aku tak berniat ikut campur urusan yang terjadi di sini. Setelah membereskan barang-barangku, aku bersiap melanjutkan perjalanan.Tiba-tiba ponselku berdering, telepon dari ibu Ridho.“Lovina,” terdengar ibu Ridho sedang menangis, “Ridho muntah darah dan sekarang dirawat di rumah sakit … kamu bisa datang menjenguknya?”Aku menggenggam ponsel dan terdiam.Dia sudah menyelamatkanku dua kali.Pertama kali, di tepi tebing kehidupan sebelumnya. Demi menyelamatkanku, dia sampai jatuh ke jurang.Kedua kalinya, di dalam mobil saat kami mau berangkat liburan, dia melindungiku dengan nyawanya.Aku menghela napas, “Iya, aku segera datang.”Di rumah sakit, Ridho terbaring di ranjang dengan wajah pucat.Begitu melihatku masuk, dia memaksakan senyumannya dan menyapaku, “Kamu datang juga.”Aku mengangguk, lalu duduk di samping ranjang dan bertanya, “Apa yang terjadi?”Dia tersenyum pahit dan menjawab, “Aku menemukan Yolanda bersama dengan laki-laki lain.”Aku mengangkat alis.“Hari itu aku pulang leb

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 6

    Begitu mendengar kata ‘cerai’, tubuh Yolanda langsung membeku. Dia menatap Ridho dengan mata terbelalak, tak percaya, bibirnya bergetar, “Apa … apa kamu bilang?”Ridho menarik napas dalam-dalam dan mengulanginya, “Kita cerai saja.”Seketika, wajah Yolanda langsung memucat.Dia terhuyung selangkah ke belakang, air matanya langsung menetes, “Nggak … kamu nggak boleh memperlakukanku seperti ini ….”Tiba-tiba, dia berlari menarik lengan baju Ridho erat-erat dan memohon, “Ridho, kamu sudah lupa? Anak kita … kamu lupa bagaimana anak kita meninggal ….”Seketika, tubuh Ridho menegang.“Kalau saja … kalau saja kamu nggak memaksaku periksa ke rumah sakit … kalau saja kamu nggak menyuruhku pergi sendiri ….” ujar Yolanda dengan suara tersendat oleh tangis.Ekspresi wajah Ridho berubah menjadi penuh penderitaan.Dia memejamkan mata, seolah tak ingin mengingat kembali masa lalu itu.“Aku benci denganmu … tapi aku juga mencintaimu … aku begitu mencintaimu ….” ujar Yolanda dengan suara yang semakin pe

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 5

    Enam tahun kemudian, aku diundang pulang ke dalam negeri oleh sahabatku untuk menghadiri reuni sekolah.Selama enam tahun ini, aku telah menjelajahi berbagai penjuru dunia, dari tempat bersalju hingga padang rumput yang luas, dari hutan hujan tropis sampai pantai-pantai yang hangat dan berpasir.Catatan perjalananku menjadi buku penjualan terlaris dan karya-karya fotografiku pun memenangkan penghargaan internasional.Aku menjalani hidup seperti yang selama ini aku impikan, bebas, mandiri dan penuh semangat.Acara reuni diadakan di sebuah restoran mewah.Aku datang mengenakan gaun putih sederhana dan riasan tipis. Meski penampilanku biasa saja, aku tetap jadi pusat perhatian.Teman-teman mengelilingiku, antusias mendengarkan kisah-kisah perjalananku yang penuh warna.“Lovina, kamu tahu nggak? Enam tahun ini, hidup Ridho benar-benar suram,” bisik Melisa, sahabatku di telingaku.Aku menaikkan alis dan bertanya, “Oh ya?”“Sejak kamu kabur dari pernikahan itu, dia nyaris gila mencarimu ke m

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 4

    Ingatan Ridho perlahan mulai pulih. Efek pengobatan mulai terlihat sedikit demi sedikit.Sehari sebelum pernikahan, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu menatapku lama sekali tanpa mengalihkan pandangan.“Lovina,” panggilnya pelan, suaranya terdengar agak ragu, “Belakangan ini … sepertinya aku mulai mengingat beberapa hal.”Nada suaranya mendadak menjadi serius, “Kotak musik yang pernah kukasih ke kamu, masih ada? Yang ada foto kita berdua di dalamnya.”Aku mendongak dan melihat harapan di matanya. Rasanya seperti ada yang menusuk hatiku.Kotak musik itu sudah lama menjadi abu, ikut terbakar bersama semua kenangan yang dulu pernah kusimpan.Aku memaksakan senyum, lalu menjawab pelan, “Nggak sengaja hilang.”Harapan dalam tatapannya langsung redup, tapi dia segera menenangkan diri, “Nggak apa-apa, kubelikan lagi untukmu nanti.”Aku tak menjawab, hanya menatapnya diam-diam.Tatapannya sudah tak lagi dingin seperti dulu, kini ada kelembutan dan juga rasa bersalah.Namun aku tahu,

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 3

    Pernikahan kami dipersiapkan dengan sangat meriah.Karena persiapan ini cukup menguras tenaga dan sumber daya, kami pun merekrut banyak orang baru.Di antara mereka, ada Yolanda. Saat Ridho melihatnya, dia tampak sangat terkejut.Aku berdiri di lorong lantai dua, menyaksikan adegan yang terjadi di aula.Yolanda mengenakan gaun putih sederhana, rambut panjang terurai dan sedang menunduk mengisi formulir pendaftaran kerja.Ketika Ridho berjalan melewatinya, langkahnya terlihat jelas terhenti sejenak.“Ini asisten perencana pernikahan yang baru,” ujar manajer personalia sambil memperkenalkannya, “Namanya Yolanda.”Yolanda mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan Ridho.Aku melihat jari-jari Ridho bergetar sedikit, itu kebiasaannya saat sedang emosional.“Selamat bergabung,” ujar Ridho dengan suara seraknya, lalu dia buru-buru pergi.Aku diam-diam mengikutinya dan melihat dia masuk ke gudang.Tak lama kemudian, Yolanda juga menyusul masuk.Aku berdiri di depan pintu dan bisa mendengar su

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 2

    “Ridho, temani Lovina pergi coba gaun pengantin, ya. Biar kalian anak muda yang pilih sendiri saja, kami nggak ikut campur,” kata ayah Ridho.Ridho berdiri dan mengulurkan tangan padaku. Aku menatap jari-jarinya yang panjang, teringat bahwa di kehidupan lalu, tangan inilah yang menulis kerinduan terhadap wanita lain dalam buku hariannya.“Aku takkan pernah lupa bagaimana Yolanda berdiri di dermaga, angin laut menerbangkan gaun bermotif bunganya dan dia menangis begitu sedih.”“Terkadang, saat menatap orang yang tidur di sampingku, aku berpikir kalau saja tidak kehilangan ingatan dulu, kalau saja tak bertemu dengan Yolanda, mungkinkah hidupku sekarang akan berbeda?”Kalimat-kalimat itu terasa seperti pisau yang menyayat hatiku hingga berdarah-darah.“Iya,” jawabku sambil tersenyum manis, lalu menggandeng lengan Ridho.Aku bisa merasakan tubuhnya sedikit kaku, tapi pura-pura tidak menyadarinya.Saat di dalam mobil, aku menyebutkan sebuah alamat.Itu adalah butik gaun pengantin paling mew

  • Lenyap Bersama Kenangan   Bab 1

    Kehidupan lama berlalu, aku pun kembali bertemu dengan Ridho.“Nona, kamu nggak mau pergi?” tanya kepala pelayan di belakangku dengan suara pelan.Aku menarik napas dalam-dalam, memaksa diri untuk tersenyum dan melangkah pelan ke arah Ridho.Setiap langkah terasa menyakitkan seperti menginjak ujung pisau. Kenangan dari kehidupan lalu silih berganti muncul di depanku, saat Ridho mendorongku menjauh dari tabrakan mobil, saat melihat catatan hariannya yang penuh dengan kerinduan pada Yolanda dan nama yang dia gumamkan tanpa sadar dalam tidurnya ….“Ridho,” panggilku pelan dengan suara lirih.Dia menoleh, sorot matanya sempat tampak linglung, lalu segera berubah menjadi senyuman sopan yang berjarak. Dia menjawab, “Lama nggak bertemu.”Aku memperhatikan tangan kanannya yang mengenakan gelang kerang, memantulkan cahaya hangat di bawah sinar matahari.Itu hadiah dari Yolanda. Dulu, aku tak pernah memperhatikan detail kecil ini, tapi sekarang rasanya begitu menusuk.“Kamu ….” Aku membuka mulut

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status