Share

BAB 1

BAB 1

“Aku udah sampe. Kamu dimana? Masih lama nggak?”

Terdengar suara kekehan kecil di ujung telfon, “Tanyanya satu-satu dong, Sayang.”

“Ini aku bentar lagi sampe kok. Tunggu bentar ya, Sayang.” lanjutnya.

“Oke deh. Jangan lama-lama ya! Hati-hati.” Aku pun memutuskan sambungan telfon.

Sembari menunggu, aku berjalan mencari meja yang masih kosong. Pelayan langsung menyodorkan menu setelah aku menempati tempat yang kosong.

Aku membolak-balik halaman demi halaman menu di depanku. Mencari menu yang terlihat menarik.

“Hai Sayang! Maaf nunggu lama ya.” Dia mencium pipiku sekilas lalu duduk dihadapanku.

Aku melihatnya yang sedang mengatur nafas, “Abis lari-lari apa gimana sih? Sampe kayak gitu nafasnya?”

“Iya, abis lari-lari, soalnya kalau kelamaan ada yang ngamuk nanti.” Ledeknya

Aku berdecak gemas mendengar ucapannya, “Kamu mau pesen apa?” tanyaku sembari menyodorkan buku menu di hadapannya.

“Aku mau Steik aja.”

“Oke. Wine mau?”

“Boleh, Hon. Yang biasa ya.”

Aku mengangguk mengerti lalu memanggil pelayan untuk memesan.

“Gimana kerjaan kamu? Ada masalah?” tanyaku setelah pelayan pergi dari meja kami.

“Nggak gimana-gimana sih, kayak biasa aja. Pagi tadi meeting sama beberapa client terus udah deh, aku kesini.”

“Kamu gimana? Masih pusing sama pemotretan bulan depan?” tanyanya balik.

Aku menghela nafas panjang, “Yahh— Masih sama aja. Kadang kesel sendiri kalau modelnya banyak mau.”

“Apalagi kalau dari kantor memberi kebebasan untuk modelnya ikut berkonsep. Konsepnya jadi nggak matang.” keluhku.

Saat Aku menceritakan keluh kesahku, dia mendengarkan sembari mengelus telapak tanganku lembut. Hal yang selalu dia lakukan jika aku sedang berkeluh kesah padanya. Untuk membantu menenangkan perasaanku, katanya. Dan itu membuatku makin jatuh hati padanya.

“Sabar aja, Hon. Ya namanya orang ngga begitu berpengalaman pasti begitu. Semaunya sendiri kan?”

Hal ini juga yang membuatku jatuh hati padanya. Dia merupakan pacar yang bisa menjadi tempatku berkeluh kesah. Disaat bersamaan, dia bisa menjadi temanku bicara. Sampai aku merasa, hanya memiliknya aku tidak butuh apapun lagi.

Tak lama, pesanan kami pun datang.

“Aku suka banget steik-nya disini. Enak.” kataku yang disetujui juga olehnya.

Kami berdua menikmati makanan yang ada didepan kami.

“Oh ya, Hon, Mama tadi telfon aku, katanya Mama kangen sama kamu. Kamu disuruh ke rumah, sama Mama.” Ucapnya sembari memasukan potongan daging kemulutnya.

Weekend ya, aku ke rumah Mama. Aku harus mengurus beberapa project dulu. Takutnya nggak sesuai sama deadline-nya.”

“Iya, gapapa, Sayang. Aku cuma kasih tau pesen Mama aja. Soalnya, kamu-nya juga kadang susah dihubungi kalau lagi kerja. Jadi Mama titip pesen aja.” Jelasnya.

Aku memasang raut wajah bersalah, “Maaf ya, bukannya aku ga peduli sama Mama kamu. Tapi minggu-minggu ini emang Aku lagi sibuk banget di kantor.”

Dia tersenyum tulus lalu mengelus lembut pipiku, “Aku tau. It’s Okay.”

Aku tersenyum nyaman, menikmati perlakuan lembutnya.

*****

Saat ini kami berdua sudah berada di dalam mobil. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Seperti biasa, saat kami menghabiskan waktu bersama, dia akan selalu mengantarku pulang.

Aku menatapnya yang sedang fokus menyetir. Dia, Kei Sagara, lelaki tampan yang berhasil merebut hatiku, Freya Amelia, empat tahun yang  lalu. Kei datang begitu saja, seolah takdir memang mempertemukan kita untuk menjalin sebuah kisah bersama. Dia lelaki yang baik, sangat bertanggung jawab terhadap apapun. Dari awal bertemu dengannya, menatap matanya, seolah aku terjerat didalamnya dan tak mau lepas. Tatapan lembutnya mampu membiusku, memporak-porandakan pertahananku hingga aku mampu mengatakan ‘Aku mencintaimu!’

Aku tersadar dari lamunanku saat terasa cubitan kecil di pipiku. “Kenapa?” Kei menoleh sebentar ke arahku lalu tersenyum kecil, “Kamu yang kenapa?”

“Bengong sambil liatin aku terus. Dipanggil nggak jawab.”

“Oh— Maaf.”

“Gapapa, Sayang.” Jawabnya sambil tersenyum. “Besok kamu mau aku anter ke kantor? Aku pagi free kok.” Lanjutnya bertanya.

Aku menggelengkan kepala, “Engga usah, Kei. Aku bisa sendiri kok.”

“Iya aku tau, kamu bisa sendiri. Tapi kan, nggak ada salahnya kalau aku mau anter kamu kan?”

“Aku sendiri gapapa, Kei. Harusnya kamu manfaatin waktu free kamu buat istirahat. I’m Okay kok.” Dia berdecak pelan, “Istirahat berlebihan juga nggak bagus, Frey. Mending aku anter kamu. Udah ya, nggak ada penolakan. Besok aku jemput jam tujuh pagi.”

Bersamaan dengan keputusan final yang Dia buat, mobil pun tepat berhenti di depan rumahku. Aku hanya menghela nafas panjang. Mencoba sabar dengan sifat over protective nya.

“Yaudah, aku turun ya. Good night!” aku mengecup singkat bibirnya sembari turun dari mobil.

Melambaikan tangan sebentar kearahnya lalu beranjak masuk kedalam rumah. Badanku sudah terasa lengket dan aku butuh mandi air hangat untuk berendam.

*****

Setelah selesai membersihkan badan, aku membaringkan tubuhku di kasur. Menatap langit-langit kamarku. Terkadang, aku merasa tidak nyaman dengan perlakuan berlebih Kei. Terkadang pun, dia terlalu keras kepala dan tidak suka jika apa yang menurutnya benar, dibantah. Disaat aku mempermasalahkan hal itu, Kei selalu memberi pembelaan bahwa itu merupakan bentuk perhatiannya terhadapku.

Ddddrtt….. Ddddrrrtttt……

Aku mengambil ponselku, kulihat nama Kei disana.

“Halo, Kei.” sapaku saat menjawab panggilan darinya.

“Belum tidur?”

“Setelah ini, abis bersih-bersih dan mandi tadi. Badanku—“

“Aku sudah bilang Frey, nggak baik mandi malam-malam! Kamu bisa sakit.” potongnya.

“Tapi aku nggak bisa tidur kalau badannya lengket, Kei.” jelasku pelan.

“Harus dibiasakan dong! Dari dulu aku udah sering bilang loh!”

Oke, jika seperti ini cara satu-satunya hanya mengalah. Jika perdebatan ini diteruskan, maka Kei akan naik pitam dan mala mini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena mendnegar omelan-omelannya sepanjang malam. “Iya, aku minta maaf. Bakal aku coba untuk nggak mandi malam.”

“Oke. Sekarang tidur, sudah malam. Besok aku jemput. See you.”

Tut!

Hhhh— Dia yang menelfon malam-malam lalu mengajak berdebat, dia juga yang memutuskan panggilan. Sabarrrrr…. Freya!

Aku pun memejamkan mata, bersiap untuk menuju alam mimpi. Berharap hari esok akan lebih baik.

*****

Dddrrtttt…. Dddrtttt…..

Aku mengerjapkan mataku, mengambil ponselku di sebelah kasur. Siapa sih yang telfon pagi-pagi begini?!

“Halo, Rey.” jawabku dengan suara parau..

“Halo, Frey. Gue mau kasi tau kalau tim nya Sofia minta meeting lagi di studio. Lo bisa kan sampe studio jam 7?”

Aku membelalak kaget, dengan otomatis aku menjauhkan layar ponsel dari telingaku, lalu melihat jam disana.

“Gila ya? Ini jam setengah 7 loh!” pekikku panik. “Mendadak banget sih anjir!” sambungku.

“Ya gimana!? Gue juga barusan banget dikabarin sama mereka. Mereka masih rada-rada enggak sreg sama kostum yang terakhir kemarin.” jelas Reyhan dengan nada jengkel.

Aku mengehela nafas kasar sembari memijit batang hidungku. Pusing melandaku tiba-tiba karena mendengar kabar dari Reyhan. “Yaudah deh, gue siap-siap dulu.”

“Oke, Frey! Gue juga udah mau otewe ke studio. See y!”

Aku dengan gerakan super kilat langsung melompat dari kasurku menuju kamar mandi. Berusaha mandi secepat kilat. Sialan! Kenapa juga mereka se-enaknya menentukan jadwal-jadwal meeting seperti ini sih?!

Hanya butuh waktu 10 menit untuk aku mandi, lalu buru-buru aku mengeringkan rambut sambil bersiap-siap. Aku sempatkan menelfon Kei untuk mengabarinya bahwa aku harus berangkat sekarang.

“Halo Kei?”

“Hm?” sahutnya cuek. Rupanya mood nya masih tidak baik-baik saja.

“Kei, aku harus berangkat sekarang. Tim Sofia minta buat meeting jam tujuh ini. Jadi aku berangkat sendiri dulu aja ya. Kalau nunggu kamu takut nggak—“

“Aku udah di depan. Cepetan” potongnya lalu mematikan sambungan telfon.

Apa-apaan dia? Kei jika sedang berada di ­mood yang jelek, sikapnya akan melebihi perempuan PMS, MENYEBALKAN!!!

Setelah memastikan rambutku kering, aku menyiapkan keperluan yang harus kubawa, memastikan lagi tidak ada yang tertinggal.

“Laptop— Ponsel— Dompet— Oke, sudah semua!” absenku satu-satu

Tanpa bisa sarapan terlebih dahulu, aku langsung berlari keluar rumah, benar saja, mobil Kei sudah berada di depan rumahku.

Thanks, Kei!” ucapku setelah masuk ke dalam mobil.

Dia hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu segera melajukan mobilnya. Untung sekali jalanan tidak begitu padat. Jadi aku masih bisa berharap sampai di studio tepat waktu.

Dengan cemas, sesekali aku memperhatikan jam yang melingkar di tanganku. Takut jika jarum jam terus bergerak. Menandakan waktuku untuk bisa datang tepat waktu semakin menipis.

Tiba-tiba Kei meletakkan sekotak susu almond di pahaku. “Diminum, biar nggak kosong-kosong banget perutnya.”

Walaupun dia ngambek denganku, dia tetap memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatku selalu tersentuh.

Aku mencium pipi kirinya, “Terimakasih, Sayang.” aku tersenyum kecil meeelllihat semburat merah yang muncul di pipinya.

Ahhh— lucunya kekasihku ini. Aku mengotak-atik ponselku sembari meminum susu almond pemberian Kei. Kulihat postingan demi postingan sosial media ku, hingga pandanganku berhenti di satu postingan.

“Kei?”

“Apa?” sahutnya tanpa menoleh ke arahku. “Mama kamu—“ Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, mobil Kei sudah sampai di depan studioku. Buru-buru aku turun dari mobil setelah melirik sekilas jam tanganku.

Dengan langkah lebar, aku berlari kecil menuju lantai tempat meeting. “Ah shit! Udah mepet banget jam nya.” omelku sambil melihat jam tanganku.

Sambil terengah-engah, akhirnya aku sampai di depan ruangan meeting, kuatur nafasku, merapikan penampilanku sedikit, lalu aku menarik nafas.

Good morning!”

Morning, Frey!”

Aku menarik kursi di sebelah Reyhan yang sedang mencari-cari inspirasi di laptopnya.

“Mereka belom dateng?”

Reyhan melihat ponselnya, “Tadi katanya udah mau sampe. Cuman gatau deh.”

“Hhhh— Untung deh, gue dateng duluan.”

Tak lama, Sofia dan tim nya pun datang dan langsung memposisikan diri mereka.

Sorry kalau kita minta meeting dadakan seperti ini sebelumnya. Tapi, setelah hasil diskusi dari tim kami, kostum yang kemarin itu nggak sesuai banget sama seleranya Sofia. Jadi kita kecewa dengan hasilnya.” jelas manajer Sofia to the point.

“Untuk permasalahan kostum, kita nggak bisa asal mengganti. Karena kostum disediakan oleh pihak sponsor. Jadi sudah ada ketentuan-ketentuannya dan kita tidak bisa seenaknya saja mengubah tema maupun kostum—“

“Tapi kalian sebagai fotografer pasti paham dong kalau beberapa kostum ada yang nggak cocok untuk dijadikan photoshoot!” bantah Sofia langsung tanpa mengijinkan aku menyelasaikan kalimatku. Dia ini benar-benar menyebalkan!

“Dari awal kontrak, kan sudah dijelaskan. Bahwa semua konsep foto maupun kostum itu keputusan pihak sponsor.” sahut Reyhan.

Sebenarnya dari awal, aku tidak setuju jika memakai Sofia sebagai model photoshoot kali ini. Reputasinya dalam dunia model terbilang cukup buruk. Dia terkenal suka se-enaknya sendiri, suka merendahkan karyawan dan sombong.

Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya pihak Sofia mengalah. Walaupun raut tidak senang sangat terlihat jelas di wajah mereka semua. Tapi apa boleh buat? Peraturan tetap peraturan kan?

Aku menghempaskan tubuhku di kursi, "Kan ujung-ujungnya sama aja! Ngotot banget sih, astaga!” omel Reyhan. “Udah bukan hal biasa lagi kan kalau berurusan sama Sofia? Selalu aja bikin drama gajelas.” sahutku malas.

“Gue masih ngantuk banget, ya ampun!” aku mengusap wajahku kasar. “Beli kopi di cafe depan yuk, Rey? Nggak kuat nih mata gue!”

Reyhan mengangguk menyetujui ajakanku.

Sembari berjalan beriringan menuju cafe seberang, aku dan Reyhan ngobrol-ngobrol santai sambil bercanda. Dan langkahku terhenti ketika melihat Kei duduk di kursi sebelah pintu masuk studioku.

Tatapan tidak suka terlihat jelas di matanya, aku menghampirinya dengan memasang senyum yang sedikit dipaksakan. “Kamu masih disini?”

“Mau kemana kamu?” Kei tidak menjawab pertanyaanku malah berbalik mengintrogasiku dengan melirik kea rah Reyhan yang terlihat salah tingkah.

“Ke cafe depan sama Reyhan. Beli kopi, Kei. Mataku berat banget soalnya.” jelasku.

“Mama mau kita ke rumah sekarang.”

Aku melotot kaget, “Nggak bisa sekarang, Kei. Aku masih ada—“

“Kamu nolak kemauan Mamaku?”

“Bukan gitu, Kei! Tapi, hari ini memang jadwalku nggak bisa ditinggal. Banyak yang harus aku urus dulu.” Tanpa kusadari, Reyhan sudah menghilang, meninggalkan kami berdua yang masih adu argumen.

“Sebentar saja. Apa nggak bisa kamu luangin waktu sebentar? Ini buat Mamaku loh, Frey?!”

“Kei— Please?” aku memelas di hadapannya, mencoba agar dia mau mengerti kondisiku saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status