Share

BAB 2

Aku menghela nafas panjang— entah ke berapa kalinya. Menahan air mata pun sedang aku lakukan. Terkadang, menyesakkan saat Kei bertindak egois seperti saat ini.

Kei mengeraskan rahangnya, pertanda ia sedang menahan emosinya. “Mama cuman mau kita ke rumah loh, Frey! Ngggak susah kan?!” desisnya menahan emosi.

“Aku tau, Kei. Kalau hari ini aku free, aku pasti mau kok. Tapi, jadwalku hari ini padat banget.”

“Yaudah batalin! Bisa kan?!” spontan aku memejamkan mataku takut saat Kei membentakku. Sekelilingku pun turut berhenti sejenak melihat ke arah kami, penasaran.

“Bisa kan, Frey?! Jawab!" bentaknya dengan tangan yang mencengkram kuat bahuku seperti tidak memperdulikan orang-orang sekitar yang mulai berbisik sembari melihat ke arah kami.

“Oke.” putusku dengan nada lirih bersamaan dengan cengkraman Kei yang mulai luruh. Lagi-lagi aku lebih memilih untuk mengalah. Mengesampingkan ego ku demia dia.

Kei menggenggam tanganku, dengan sedikit tergesa membawaku ke dalam mobilnya. Aku hanya bisa diam, masih mencerna ini semua. Di dalam mobil hanya keheningan yang menemani suasana kami. Tanpa bisa kucegah, air mataku turun begitu saja. Dengan segera aku mengusap cepat air mataku.

Deringan telfonku memecahkan keheningan, kulihat nama Reyhan ada di layar ponselku. Tanpa babibu aku mengangkat panggilan dari Reyhan.

“Ya, Rey? What’s wrong?”

“Lo dimana? Ini Pak Han dari Fenomena Agensi nyariin lo.”

“Gue ada urusan mendadak, Rey. Tolong gantiin gue ya?”

“Lo serius? Yang tau konsepnya kan elo, Frey?!”

Aku melirik ke arah Kei, benar saja, dia juga diam-diam sedang mengamatiku. Memberi tatapan tidak suka.

“Emm— Coba deh minta diundur jam meeting-nya bisa nggak, Rey? Gue bener-bener nggak bisa kalau sekarang.” pintaku dengan nada memelas.

“Gue nggak tau dia mau apa engga, tapi gue coba ngomong baik-baik dulu sama dia.” jawab Reyhan dengan pasrah. “Lagian lo kemana sih?! Kan jadwal lo hari ini padet banget, Frey!”

Aku berdeham, membasahi tenggorokanku yang entah mengapa terasa kering. “Gue ada acara keluarga dadakan.”

“Pasti urusannya sama Kei kan?! Gila deh lo! Mau sampe kapan lo mengalah terus sih Frey?! Bahkan sampai-sampai lo nggak profesional kayak gini!”

“Udah dulu ya, Rey. Bye!”

“Frey tunggu—“ aku memutus sambungan telfon tanpa menunggu Reyhan menyelesaikan kalimatnya.

Aku menoleh ke arah Kei yang masih memfokuskan dirinya ke jalan. “Kei, maaf. Aku nanti nggak bisa lama-lama ya? Aku nggak bisa nunda jadwal meeting lagi.” ucapku hati-hati.

Kei tidak menanggapi ucapanku, namun kulihat tangannya mencengkram stir mobil dengan kencang hingga guratan urat di tangannya bermunculan. Aku tak brani bersuara lagi. Hanya diam, menatap ke arah luar jendela. Tak lama kemudian, akhirnya kami sampai di depan rumah mewah bernuansa Eropa klasik yang merupakan rumah Kei.

“Turun.” suruhnya dengan nada datar tanpa melihat ke arahku. Mau tak mau aku turun dari mobil, berjalan bersama Kei memasuki rumahnya.

“Mama, Kei pulang!”

Mama Kei, Tante Mora dengan semangat menghampiri kami. “Akhirnya, Tante ketemu kamu lagi, Freya. Kamu apa kabar?” sambut Tante Mora semangat sambil memelukku.

“Baik, Tante. Maaf ya, Freya akhir-akhir ini lagi sibuk di studio.”

Tante Mora tersenyum kecil, “Gapapa, dinikmatin dulu kesibukannya. Nanti kalau sudah nikah sama Kei, kamu nggak perlu repot-repot kerja lagi, Frey.” senyumku pun mulai pudar, berganti senyum masam.

Sungguh aku mencintai pekerjaan ini. Melebihi rasa cintaku terhadap Kei? Entahlah. Namun, membayangkan saat dimana aku menikah dnegannya dan harus melepaskan semua pekerjaan-pekerjaanku— Aku tidak bisa membayangkannya. Aku rasa, aku tidak bisa.

“Tuh, dengerin kata Mama. Kamu itu nantinya cuman tinggal ngurus rumah sama anak aja, Frey. Cari uang itu tugasku sebagai suami kamu nantinya.” ujar Kei memecah lamunanku.

“Sudah-sudah, Kei. Mama yakin, Freya pasti ngerti kok. Sekarang makan yuk, Mama udah masak banyak banget buat kalian.” kami pun berjalan kearah meja makan. Dan benar saja, sudah tersaji banyak makanan yang mungkin cukup untuk porsi makan lima orang.

Seperti biasa, Kei menarik kursi disebelahnya untuk aku duduk. Aku sedikit heran, mungkin dia memiliki kepribadian ganda. Sebelum sampai di sini, sikapnya sangat-sangat dingin terhadapku. Sekarang lihatlah, dia bahkan bisa berkata dan bertindak lembut. Aku juga curiga mungkin dia bukan hanya seorang business man tapi juga seorang aktor!

Selama makan, aku hanya menanggapi pembicaraan ibu dan anak ini dengan senyum tipis atau jawaban seadanya. Pikiranku terfokus bagaimana meeting nanti. Apakah—

Drttt…… Drrrtttt……

“Ah, maaf. Aku angkat telfon dulu.”

Saat aku hendak berdiri mengangkat telfon, Kei menahan tanganku. Menatapku dengan sorot mata menyuruhku untuk tidak mengangkatnya. Aku balik menatapnya, memelas. Namun, dia tetap kukuh pada pendiriannya, aku menghela nafas panjang, melihat layar hp ku sejenak dan kembali menatap mata Kei.

“Maaf, takutnya penting. Aku angkat dulu.” aku melepas paksa genggaman, ah tidak cengkraman tangannya yang menahan pergelangan tanganku.

Aku berdiri cepat dan berjalan menjauh dari meja makan.

“Halo, Rey”

“Frey, lo dimana?”

Aku melihat kea rah meja makan sebentar lalu kembali membalikan badan, “Dirumah Kei. Kenapa?”

“Buruan ke studio sekarang! Pak Han udah on the way ke studi bareng tim nya.”

Aku menggigit bibir bawahku gusar, “Rey, gue belum selesai. Takutnya nanti—“

Rey mendesah kasar, “Lo gila Frey! Sori aja gue bilang kayak gini. Ini bukan cuman buat studio lo doang, banyak anak-anak yang harus lo urus juga Frey! Lo tau kan, Pak Han salah satu klien terbesar kita?!”

“Iya gue tau, Rey. Tapi—“

Lagi-lagi, Reyhan tidak membiarkan aku menyelesaikan omonganku. “Dan lo tau kan, konsekuensinya kalau Pak Han kecewa sama studio kita? Kita bisa bangkrut Freya! Nggak ada klien yang percaya lagi sama kita! Nasib anak-anak karyawan gimana?! Mikir dong, Frey!”

Tanpa sadar, air mataku menetes. Dititik seperti inilah rasanya aku ingin menenggelamkan diriku. Selamh itukah kamu Freya?!

“Maaf, Rey. Ini gue usahain langsung cabut ke studio.” jawabku lemah.

“Oke.” Tut. Dan begitu saja Reyhan menutup telfon secara sepihak.

Aku mengatur nafas, menyiapkan mental untuk menghadapi Kei setelah ini. Setelah merasa lebih tenang, aku berjalan cepat kembali ke ruang makan. Dan benar saja, Kei sudah menatapku dengan tatapan tajamnya.

“Maaf, Tante. Bukannya Freya nggak sopan, tapi Freya harus pergi ke studio sekarang. Ada meeting sama klien penting.”

“Aku ga ijinin kamu pergi, Frey! Duduk sekarang, kamu nggak menghargai Mama aku?! Udah capek-capek masak buat kita, terus kamu tinggal gitu aja?! Keterlaluan kamu, Frey!”

Aku melihat ke arah Tante Mora, “Tante, sekali lagi Freya minta maaf. Bukan bermaksud nggak menghargai Tante. Tapi ini demi studio Freya dan karyawan-karyawan lainnya. Maaf ya Tante. Freya pamit dulu. Permisi.”

Secepat kilat aku mengambil tasku lalu beranjak pergi dari rumah Kei. Tak kuhiraukan teriakan Kei yang terus memanggil-manggil namaku. Untungnya, tak jauh dari rumah Kei ada pangkalan taksi, dnegan cepat aku masuk ke salah satu taksi dan menyebutkan alamat studioku.

Untuk pertama kalinya, aku berani melawan Kei. Dan entahlah, perasaanku campur aduk. Aku tau setelah ini Kei akan sangat marah terhadapku. Tapi aku tak memungkiri bahwa ada secuil perasaan lega.

*****

“Nantinya, studio kami yang akan mengurus semua mengenai tempat photoshoot, peralatan dan semacamnya. Tim kami juga nantinya akan mencari beberapa tempat yang memungkinkan cukup sesuai dengan tema photoshoot. Jadi dari pihak Fenomena Agensi hanya cukup menyediakan beberapa model yang nanti akan kita tes, mana yang cocok dengan photoshoot kali ini.” jelaksu dengan hati harap-harap cemas, berdoa agar Pak Han tetap mau menerima konsep dari studio ku, walaupun karena aku, mereka harus menunggu sepuluh menit untuk meeting ini.

“Untuk keseluruhan konsep dengan menggunakan gaya retro vintage seperti itu sih, saya setuju-setuju saja. Hanya yang masih saya ragukan, apakah kalian bisa mencari tempat yang memang pas untuk tema ini? Dengan ketentuan-ketentuan yang diminta pihak kami.” Tanya Pak Han dengan raut wajah ragu.

Aku mengambil beberapa lembar kertas di depanku, “Ini ada beberapa contoh tempat yang sudah kami survey sebelumnya.” aku membagi lembaran tersebut untuk Pak Han dan timnya.

“Ada beberapa tempat yang memang lokasinya berada di luar kota. Tapi, untuk menghemat biaya, lokasi yang disekitar kota ini saja sudah cukup cocok menurut kami.” ucapku setelah mereka melihat kertas yang kubagi.

Pak Han mengangguk-angguk kecil setelah mendengar penjelasanku dan juga melihat beberapa foto venue.

“Baiklah. Saya rasa, studio ini cukup cekatan dan matang dalam konsep. Terimakasih untuk kerja kerasnya. Untuk kelanjutannya, tim saya nanti akan menghubungi langsung. Mengenai persiapan model dan yang lainnya. Semoga kerjasama ini bisa berbuah hal baik ya.”

Aku menghela nafas lega, akhirnya. Usahaku dan tim tidak sia-sia. Sejenak aku melupakan permasalahanku dengan Kei yang baru saja terjadi. Keberhasilan kerjasama ini sudah cukup membuatku lupa.

Kami pun berjabat tangan, dan berbincang-bincang sedikit. Tak lama setelah itu, Pak Han dan tim nya pamit undur diri. Aku menghampiri Rey yang masih ngambek denganku.

Saat aku berjalan ke arahnya, dia pura-pura sibuk membereskan kertas-kertas di depannya. Mengacuhkanku yang sudah memasang wajah memelas. “Reyhaannnn—“

“Berisik!” ketusnya. Huh!

“Sori, Rey. Gue udah berusaha banget loh ini. Gue lari-lari cari taksi, keringetan. Lo nggak kasian sama gue?”

“Ck! Siapa suruh, mau-mau aja di kekang kayak gitu? Coba aja lo punya pacar yang nggak begitu, nggak akan deh lo kayak gini. Dulu sebelum lo kenal dia, lo orang paling profesional disini. Sekarang?”

Raut wajahku berubah saat Rey mulai membahas topik ini. Aku dan rey memang bersahabat sejak masa kuliah. Lalu dia sempat pergi ke US bersama orangtuanya selama dua tahun, lalu kami bertemu lagi saat aku mulai merintis studio ini. Dan, dia menjadi partnerku dalam menjalankan studio ini.

“Nggak usah bawa-bawa urusan pribadi deh, Rey.”

Rey melotot ke arahku, “Eh! Sebelum ngomong kayak gitu, ngaca dulu. Lo yang bawa-bawa urusan pribadi lo di kerjaan.”

Aku merutuki mulut bodoh ini. Ya memang benar apa yang dikatakan Rey, aku memang mulai merasa tidak profesional semenjak bertemu dengan Kei. Aku sering mengundurkan jadwal meeting hanya untuk menyempatkan waktu makan siang bersama Kei. Atau bahkan aku sering telat ke studio karena malamnya, aku menemani Kei menghabiskan waktu.

“Hah, baru nyadar kan lo?!” gerutu Reyhan yang membuyarkan renunganku.

“Udah ah, jangan marah-marah terus ih. Gue laperr, makan yukk!”

“Tadi bukannya lo makan siang di rumah Kei?” tanya Reyhan penuh selidik.

“Dikit doang, kan langsung lo telfon buat cepet-cepet kesini. Jangan bawel deh, Rey. Mending buruan makan ayok!” Aku menyeret tangan Rey dengan sedikit paksaan. Aku masih bisa mendengar decakan kesal keluar dari mulutnya. Walaupun begitu bawelnya, aku tau dia begitu karena perhatian denganku. Ah— Rey benar-benar sudah seperti kakak bagiku.

*****

Karena waktu makan siang sudah lewat,  dan jam sudah menunjukkan pukul empat sore, aku dan Reyhan memutuskan untuk makan di cafe depan studio. Setelah memesan makanan dan minuman, aku dan Reyhan berbincang-bincang sedikit sembari menunggu.

“Rey, lo nggak ada rencana cari pacar gitu?” tanyaku menarik fokusnya yangs edari tadi memainkan ponsel.

“Ada lah. Gue juga butuh penyemangat hidup tau.”

“Terus? Mana? Kok nggak dikenalin ke gue sih?”

“Ya lo kira cari cewe segampang beli kuaci?” sewotnya.

Aku memutar bola mataku kesal. “Sewot amat jadi laki.”

“Sekarang gantian gue tanya sama lo. Kapan lo mau bertindak tegas sama pacar lo? No, sama diri lo sendiri dulu.”

Aku menatap mata Rey, “Maksud lo?”

“Hidup lo itu punya lo, Freya. Bukan milik pacar lo! Lo berhak nentuin apa yang lo mau, lo berhak nentuin sendiri jalan hidup lo gimana.” balas Reyhan dengan nada lembut.

Aku berusaha keras menahan air mataku agar tidak tumpah. Aku terdiam, tak bisa menjawabnya. Lebih tepatnya, aku pun  juga tidak tau, bagaimana keinginan diriku sebenarnya. Hati dan otakku saat ini benar-benar tak sejalan.

“Gue bukan mau menghakimi lo, Frey. Lo sahabat gue, makanya gue mau yang terbaik buat lo. Gue nggak mau lo jadi orang lain. Freya yang gue kenal nggak kayak gini.” lanjutnya masih dengan nada lembut. Dan aku tak kuasa lagi menahan air mataku. Buru-buru aku menghapusnya.

Aku menunduk, memperhatikan tanganku yang bertaut di pangkuan. Menarik nafas dalam-dalam dan berusaha keras menahan rasa sakit di hatiku. “Gue baik-baik aja, Rey.”

“Gue sayang sama Kei. Lo juga tau kan, Kei nggak kayak gitu orangnya pas diawal ketemu sama gue. Mungkin dia perlu waktu.” jelasku.

“Mungkin juga, karena dia udah mau serius sama gue makanya dia protect banget ke gue. Itu emang bentuk sayangnya dia, Rey.” lanjutku saat kulihat Reyhan ingin membantah perkataanku sebelumnya.

Makanan kami pun datang dan Reyhan langsung mengurungkan niatnya untuk membantah perkataanku, terlihat dari mulutnya yang langsung terkatup rapat. Kami pun langsung menyantap makanan yang sudah tersaji di depan kami dalam diam.

Saat sedang menikmati makananku, tiba-tiba ponselku bordering. Kulihat layar ponselku dan tertera nama Kei disana, seperti paham, Rey berdecak kesal sambil melihat kearah ponselku.

“Gue angkat dulu.”

“Hmm”

Aku pergi menjauh sedikit dari Reyhan, setelah kurasa Reyhan tidak bisa mendengar pembicaraanku, aku pun  menjawab panggilan telfon dari Kei dengan jantung berdegup kencang.

“Halo, Kei.” sapa ku.

“Dimana?” balasnya datar.

“Aku di cafe depan studio, Kei. Lagi makan sore sama Reyhan.” jelasku tanpa diminta. Entahlah sudah seperti kebiasaan.

“Aku diruangan studiomu.”

Lagi-lagi setelah mengatakan hal itu, sambungan telfon diputus sepihak oleh Kei. Cukup dnegan tiga kata itu, aku sudah tau maksudnya. Aku harus cepat menghampirinya ditambah mood nya yang pasti sangat kacau hari ini. Aku kembali ke meja tempatku dan Reyhan duduk, lalu menghabiskan makanku dengan cepat.

“Udah sana, samperin. Gue yang bayar.” ujar Reyhan tiba-tiba.

Aku sempat terkejut sebentar, “Makasi banyakk Reyhanku yang tersayang tapi jomblo.” ucapku dengan sedikit candaan untuk meleburkan suasana kami. Dengan buru-buru aku melangkahkan kakiku ke studio kembali.

Setelah sampai di depan ruanganku, aku membuka pintu dengan perlahan. Kulihat Kei sudah duduk dengan manisnya di balik meja kekuasaanku. Sedetik aku terkesima dengan ketampanannya. Ku anyakui pacarku itu memang sangat tampan.

“Udah lama disini?” tanyaku sambil berjalan masuk kedalam ruanganku. Meletakkan tasku di meja dan menghampirinya.

“Barusan sampe.”

“Kamu udah makan? Kalau belum, ayok aku temenin makan.”

Kei bangkit dair posisi duduknya lalu berdiri di depanku. Sedetik kemudian, kusadari tubuhku sudah berada dalam pelukannya. Dibalik bahunya aku melihat wajah Kei sebelah dengan bertanya-tanya.

“Maaf aku terlalu keras sama kamu.” ucapnya disela-sela pelukan kami.

Dia membelai lembut rambutku dengan tangannya yang besar. Dapat kurasakan juga dia sesekali mencium lembut kepalaku.

“Gapapa Kei, aku ngerti kok.” aku membelai lembut punggungnya.

“Kamu tadi udah sempet makan kan? Aku anter kamu pulang ya?”

Aku mengangguk tanda setuju. Badanku juga sudah cukup lelah ditambah dengan meeting hari ini yang menguras kinerja sel-sel otakku.

*****

“Kamu mau mampir dulu?” tanyaku saat mobil Kei sudah berada di depan rumahku.

“Boleh.”

Kami pun bergegas turun, dengan Kei yang membukakan pintu mobil untukku dan langsung menggenggam erat tanganku.

“Aku ganti baju bentar.” Aku langsung masuk ke kamarku dan mengganti baju kerjaku dengan piyama ku. Ah— nyamannya.

Kulihat Kei sedang menonton televisi di ruang tengah, ku hampiri lalu duduk di sebelahnya. Tanpa aba-aba tangannya langsung melingkar dibahuku.

“Kei.”

“Hm?”

“Aku minta maaf soal kejadian di rumah Mama kamu. Maaf aku terkesan nggak menghargai Mama kamu.” ucapku dengan menatap dirinya, tak sedetik pun kualihkan pandanganku darinya. Harap-harap cemas, respon apa yang akan dia berikan.

Kei menoleh kearahku, menatap mataku dengan raut muka yang tak dapat kutebak. Kemudian, dia merubah posisi duduknya menghadapku.

“Udah gapapa. Aku ngerti, Sayang.” balasnya dengan senyum tipis menghiasi bibirnya.

“Bukan salah kamu kok. Aku nya yang terlalu maksain kamu. Aku pengen banget supaya kamu akrab sama Mama aku. Secara, kamu kan calon mantunya, masa nggak akrab dari sekarang?” godanya sembari menggenggam kedua tanganku.

“Aku bakal berusaha buat lebih deket lagi sama Mama kamu. Kalau ada waktu, aku bakal sempetin terus ke rumah Mama kamu.” janjiku

Kei menarikku ke dalam pelukannya, membelai lembut rambutku. “Makasih banyak, Sayang. Kamu selalu ngertiin kemauanku. Aku sayang kamu.”

Aku mngeratkan pelukanku di pinggang Kei. “Aku juga sayang kamu.”

“Aku tidur sini boleh ya?”

Aku menarik tangan Kei menuju kamarku, pertanda menyetujui kemauannya kali ini. Sudah lama sekali, kita tiak menghabiskan waktu berdua seperti ini. Tidur dan berpelukkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status