Bukan Biru. Orangnya Redrick adalah Fredica. Tukang cuci yang tempo hari sempat Liara selamatkan agar tidak dipecat.
Fredica adalah seorang ibu tunggal yang memang bekerja pada Redrick dulunya. Beberapa minggu lalu anaknya meninggal karena kecelakaan, jadi wanita malang itu hilang arah, setuju saja disuruh membunuh Hagan.
"Aku tidak punya alasan untuk hidup lagi. Bunuh saja aku." Fredica tertawa pada Biru di depannya. Meski tangan dan kakinya diikat ke sandaran kursi, ekspresi wajah wanita itu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau penyesalan.
Fredica dengan senang hati melaksanakan tugas dari Redrick untuk menghabisi Hagan atau Liara. Karena itu, kemarin subuh, ia yang terbangun dan melihat Hagan dan Liara ada di kolam renang langsung mengambil pisau dapur.
Wanita itu sudah berhasil membuat kehadirannya tidak diketahui pada awalnya. Namun, Liara malah memergoki. Jadi, ia berlari, sudah siap ingin menusuk punggung Hagan,
"Terima kasih, Pak Rayi." Mengucapkan terima kasih pada sang supir karena sudah diantar seharian penuh ke sana-kemari, Hagan menanggalkan blazer abu-abunya seraya berjalan masuk ke rumah. Beberapa pelayan menyambut pria itu dengan anggukkan sopan. Hagan hanya melewati dan bertanya di mana keberadaan istrinya. "Di uang baca, Tuan. Sejak tadi siang." Mendengar laporan tersebut, langkahnya berhenti sejenak. Liara baru pulang dari rumah sakit tiga hari lalu. Masih perlu istirahat untuk pemulihan. Di ruang baca, sejak siang? "Dia tidak melakukan hal lain? Tidka makan? Obatnya?" Getar dari saku sedikit menyita atensi. Ia periksa, ternyata satu lagi panggilan dari Redrick. Hagan menyeringai, memilih menggeser tombol merah di layar, lalu menyimpan lagi benda pipih tersebut di saku. Hari ini, tampaknya rencana si lelaki berhasil. Sejak pagi, Redrick dan Anjani terus berusaha menghubunginya. Bahkan, sang ibu tiri ne
"Itu pasti buku yang kemarin kubeli, Biru." Liara bangkit dari sofa, menghampiri Biru yang sedang memegang kotak coklat muda. Biru menjauhkan kotak tadi dari jangkauan Liara. "Biar aku periksa dulu, Nyonya." Laki-laki itu berjalan ke arah depan rumah. Di halaman, Biru berjongkok dan mulai membuka kotak tadi dengan pisau. Meski kotak itu datang diantar oleh kurir yang biasa membawakan pesanan buku Liara, tetap saja ia harus waspada. Setelah kotak terbuka dan tak terjadi apa-apa, ledakan misalnya, Liara terdengar mendengkus. "Aku sudah bilang." Perempuan itu memungut kotak tadi dari hadapan Biru. "Berlebihan, sama seperti bosmu," gerutunya pada sang pengawal pribadi. "Aku hanya tidak ingin gagal lagi menjalankan tugas, Nyonya." Biru mensejajari langkah Liara menuju ruang santai lagi. Pria berusia 27 tahun itu tersenyum kala Liara melempar sorot malas, seperti biasa. "Adikmu sudah baik-baik saja?" tanya
Liara menggeliat dalam tidur. Ingin sekali bergerak lebih leluasa, meregangkan beberapa otot, tetapi merasa tak bisa melakukannya karena dua tangan seperti diikat. Perlahan membuka mata, perempuan itu mendapati satu sosok sudah ada di samping. Berbaring sama sepertinya, memeluk tubuhnya erat. Jadi, Hagan yang membuatnya tak bisa bergerak? "Kapan kau datang?" Liara bertanya asal, tak menyangka akan dijawab, karena mata pria di sebelahnya masih tertutup. "Satu jam lalu." Perempuan itu terkesiap. Sedikit mendongak dan menyaksikan Hagan membuka mata. "Kenapa tidur di sini? Sempit." Liara mendorong bahu pria itu. Tiba-tiba saja sesuatu yang aneh melingkupinya. Tatapan Hagan beberapa saat tadi membuat dirinya merasa dicecari banyak tuduhan. Hagan menyelipkan satu tangan di bawah kepala Liara. Membawa perempuan itu semakin dekat padanya. "Apa yang kau lakukan itu buruk, Liara." Pria itu berucap pelan di tel
"Mungkin, dia stres karena bersamamu. Kau harus sadar, hidup bersama orang sepertiumu itu tidak mudah." Ucapan asal Max itu entah mengapa mengusik Hagan. Semalaman berpikir, pria itu pun mendapat satu ide. Mungkin, Liara bukan stres karena hidup bersamanya. Mungkin, istrinya hanya sedang punya banyak pikiran. Perlu jalan-jalan, merilekskan pikiran. Maka itu, malam ini Hagan menawarkan diri untuk mengantar Liara ke mana pun yang istrinya mau. Sudah seminggu juga sejak keluar dari rumah sakit. Kondisi Liara sudah lebih baik. "Ke mana? Kau ingin jalan-jalan ke mana?" Di gazebo, Hagan bertanya antusias. Terlihat bingung, Liara memastikan. "Pergi ke luar maksudmu?" Tidak biasanya si suami begini. Mengizinkannya bergerak melewati pintu rumah saja hampir tak pernah dilakukan. Kali ini, malah menawarkan jalan-jalan. Hagan menganggukkan kepala. Menekuk lutut dan memeluknya, Liara tampak berpikir
Tadinya berjalan di samping Liara, Tatiana sepenuhnya menghentikan langkah, berpindah tempat untuk bisa berdiri tepat di depan sang kakak.Sore ini ia mendapat kesempatan bertemu dengan Liara. Mereka sudah menikmati rujak dan es kesukaan, beberapa saat lagi, sang kakak sudah harus pulang katanya. Padahal, Tatiana masih belum puas melepas rindu."Jangan terlalu lelah. Jika pekerjaanmu sebagai asisten rumah tangga di sana terlalu berat, berhenti saja. Aku tidak ingin Kakak sakit hanya karena memikirkan uang sekolah dan biaya kuliahku nantinya."Gadis berusia 17 tahun itu bingung harus mengatakan apa. Teirma kasih saja agaknya kurang. Apa yang sudah Liara lakukan lebih dari apa yang bisa kakak kandung lakukan.Jika bukan karena perempuan itu, mungkin Tatiana sudah tidka bersekolah lagi. Juga, ia dan orang tuanya sudha dilempar ke penangkaran buaya karena tak mampu melunuasi pinjaman yang diambil Vicky untuk dihamburkan di meja judi.&n
Sedikit demam dan suasana hati sedang buruk, Liara yang tengah berkeliling dengan mobil disupiri Biru meminta mereka berhenti di salah satu mini market."Tunggu di sini saja. Aku hanya ingin membeli es krim." Liara bersuara, mencegah Biru ikut turun.Saat akan menuju pintu mini market, perempuan itu tak sengaja menemukan Redrick di sana. Laki-laki tengah bersandar di bagian depan mobil dan menikmati sabatang rokok.Liara melewati begitu saja usai mereka bertukar tatap sesaat.Liara sedikit kesal pada Redrick. Karena ulah pria itu, mengajaknya ke sungai tempo hari, Hagan jadi semakin diam.Sebenarnya, sejak hari mengunjungi pasar malam, entah mengapa Hagan seolah mengatur jarak. Sedikit bicara, terkadang memalingkan wajah ketika bertatapan dan terkesan seperti orang merajuk.Masalahnya di mana? Liara kira itu karena aduan Biru bahwa dirinya kembali bertemu Redrick berdua saja.Keluar dari
"Di mana Liara?" Hal pertama yang Hagan tanyakan setelah keluar dari kamar adalah keberadaan istrinya. Masih pukul enam pagi saat ia bangun dan menemukan sisi ranjang sudah kosong.Liara juga tidak ada di kamar mandi, maka ia meninggalkan ruang tidur."Sedang sarapan, Tuan."Kaki Hagan menuju ruang makan. Benar. Liara ada di sana. Sedang menikmati makanan, saat mereka bersitatap perempuan itu malah tersedak.Mendekatkan gelas berisi air, Hagan menepuk-nepuk punggung istrinya. Tumben sekali seterkejut ini melihat kehadirannya.Pria itu menarik kursi, memposisikan tepat di sebelah Liara. "Kau bangun lebih dulu dari aku hari ini."Biasanya, sehabis mereka bermesraan di ranjang, Liara pasti terlambat bangun. Hari ini sedikit berbeda agaknya.Kembali fokus pada makanan, Liara berdeham saja. Sebisa mungkin tak membalas tatapan Hagan.Liara malu. Hilang muka, sebab semalam
Ada saat di mana Liara mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin ia capai. Menjual diri, hidup bersama seorang pria, melayani di ranjang, berkedok sebagai istri. Sesungguhnya, apa yang ia cari?Uang? Awalnya memang. Liara tak ingin Tatiana tidak ikut ujian dan putus sekolah. Ia juga tak ingin berutang terlalu banyak pada Maya dan Vicky. Jadi, Liara bekerja, mengumpulkan uang yang banyak dan melunasi segala itu.Lalu, setelah semua itu, apa?Tabungan Liara sudah lumayan sekarang. Cukup untuk biaya Tatiana beberapa tahun ke depan. Lalu, apa?Tidak ada.Beberapa bulan lalu ia memang mendapat sebuah surat dari orang yang mengaku sebagai ibunya. Hanya pemberitahuan. Tidak memuat rencana apa-apa.Kesimpulan, Liara tak punya tujuan. Hanya bernapas dan berjalan di dunia ini. Menambah lukanya sendiri, menumpuk dosa.Hampa. Kosong. Liara putuskan mengakhiri hidup.Sore ini, alasan ingin jala