Hujan menampakkan diri malam ini. Menunda Liara untuk bisa segera pulang dan tahu apakah Naura sudah pergi dari rumahnya atau belum.
Kemarin, usai sama-sama menangis banyak, naura limbung dan hampir pingsan. jadi, Liara menyarankan wanita itu menginap dulu. Tidak seperti sebelumnya, hari itu Naura datang sendirian tanpa supir.
Liara sudah menitipkan kunci, jadi sepertinya Naura memang sudah pulang. Untuk apa juga ia tetap di sana?
Berdiri di depan toko yang sudah tutup, Ayu yang melewatinya hanya melirik sekilas. Liara menatap minta pada payung yang wanita bawa. Berharap Ayu mengerti dan mau meminjmakn agar ia bisa berjalan ke depan untuk mengambil taksi atau bus. Namun, Ayu hanya pergi begitu saja.
Cukup lama berdiri di sana, hawa dingin mulai mengsuik. Liara yang hanya mengenakan kaus polos memeluk dirinya sendiri. Tak ada tan hujan akan reda. Bulir yang menghantam tanah masih saja rapat dan deras.
Tak lama, seorang
"Tunggu sebentar, Ibu akan bersiap sebentar."Melihat Naura pergi ke kamar, Liara hanya mengangguk dan menghela napas. Perempuan itu mengernyit, merasa aneh dengan dirinya sendiri.Ia berusaha bersikap dewasa. Naura sudah memulai, maka harusnya Liara tidak keras hati. Tawaran sang ibu kandung untuk tinggal bersama ia turuti.Sudah dua hari Liara hidup satu atap dengan Naura. Di sebuah rumah yang cukup mewah, tetapi berada di pinggir kota.Aneh. Sebab beberapa hari ini Liara merasa sangat gelisah. Bukannya senang, bahagia, karena akhirnya punya sosok seorang ibu yang bersedia mengurusi semua keperluannya, walau sedang sakit. Liara malah merasa kosong dan resah.Hari ini saja, ia sangat tak bersemangat ketika diajak berbelanja. Ia bersedia ikut hanya agar Naura tidak merasa kecewa.Liara kasihan. Beberapa kali ia melihat sang ibu nyaris pingsan. Mungkin, sakitnya makin parah.Ternyata tidak seen
Silau. Saat pertama kali terjaga, Liara cukup terganggu dengan sinar yang mengenai mata. Perempuan itu mengerjap, lalu membawa tubuh untuk duduk.Ini di mana? Pertanyaan pertama yang muncul di benak. Namun, tak lama jawaban atas tanya itu segera terjawab.Ini rumah Hagan, kamar di mana ia dan si lelaki pernah tidur.Bersandar di kepala ranjang, Liara merajut memori. Hal terakhir yang diingat adalah ia menangis karena mengetahui siapa Anjani sebenarnya dan rencana buruk wanita itu. Lalu, Liara kabur dari rumah ibu kandungnya, berlari sejauh mungkin dan tanpa sadar datang ke rumah Hagan.Hal terakhir yang Liara lakukan adalah memeluk Hagan. Setelahnya tidak lagi ia ingat, termasuk bagaimana dirinya bisa sampai ada di kamar ini sekarang."Kau sudah bangun?" Hagan terlihat melewati pintu. Membawa langkah masuk dan akhirnya duduk di tepian ranjang. Ia memeriksa suhu tubuh si mantan istri. "Ada yang sakit? Sebena
Tak banyak yang Tatiana ketahui soal kebenaran pernikahannya dengan Hagan. Maka saat ia bertemu sang adik hari ini, Liara sebisa mungkin menjelaskan secara sederhana.Mereka sudah berpisah. Alasannya, karena sudah merasa kurang nyaman dan tak sepaham lagi mengenai beberapa hal.Mengernyit, bingung dan tak percaya. Demikianlah reaksi yang Tatiana berikan. Berulang kali ia juga menghela napas."Padahal, kalian terlihat serasi saat bersama." Tatiana berusaha menerima. Ia menatapi wajah kakaknya lekat. "Kau juga terlihat bahagia bersamanya."Liara menyipitkan mata. "Benarkah?"Si adik mengangguk. "Dia baik. Aku masih ingat percakapan terakhir kami."Ah, itu. Liara masih tak mendapat ide apa-apa soal apa yang Tatiana dan Hagan bicarakan saat itu. "Sebenarnya, apa yang kalian bicarakan waktu itu?""Dia minta maaf. Katanya, aku tak boleh marah padamu karena merahasiakan pernikahan kalian." Tati
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.