Warn! 18+
Mata Hagan melotot pada perempuan yang berlutut di depannya. Gegas lelaki bertubuh tinggi itu memundurkan langkah, menjauhkan asetnya dari wajah si perempuan. Lelaki itu hampir mati karena sebuah gigitan.
"Kau mau membunuhku?!"
Bentakan itu dibalas cengiran kaku oleh si perempuan. Ia mengusap mulut. "Biar kucoba lagi. Aku ini berpengalaman. Tadi itu aku cuma sedang ... gugup?"
Hagan berseringai. Mau coba menipuku sejauh apa lagi, pikirnya. Dilihat sekali saja, dari cara berjalannya di kelab tadi, perempuan itu sama sekali belum berpengalaman. Hagan bisa jamin.
"Dengar." Perempuan itu berdiri. Mengusap wajah frustrasi.
Di tempatnya, Hagan menelan saliva, tetapi mata tak mau berhenti menelusuri tiap lekuk di sana. Di kamar ini, pendingin ruangan menyala di pengaturan paling rendah. Satu-satunya yang menjadi sumber panas adalah perempuan di hadapan.
"Aku jamin bisa membuatmu senang malam ini. Kita langsung saja ke inti, hm?"
Tatapan Hagan semakin tajam. Ia merasa harga dirinya tengah diinjak-injak. Sebab ia merasa begitu terbakar, sementara perempuan di hadapan bicara dengan intonasi tenang. Seolah keadaan mereka sekarang bukan apa-apa.
Apa Hagan perlu mengingatkan perempuan itu bahwa mereka sama-sama tak berbalut sehelai benang sekarang?
"Tuan? Bagaimana? Kau mau membeli atau tidak? Cepatlah putuskan agar aku bisa mencari orang lain jika kau tidak setuju."
Enak saja. Sudah membuat Hagan begitu mendamba, perempuan itu malah berubah pikiran? Mengancam? Bukankah tadi perempuan itu yang mengajukan diri, menggoda Hagan lebih dulu.
"Tuan!"
Sialan. Malam ini agaknya akan Hagan ingat seumur hidup. Baru kali ini ada perempuan malam yang berani memanggilnya dengan nada tidak hormat begitu.
"Tiga puluh juta?" Hagan berjalan ke arah ranjang. Dengan satu gerakan mantap ia menjatuhkan perempuan tadi hingga berbaring di sana.
"Tidak bisa tiga puluh lima?" Perempuan itu melipat bibir ke dalam.
Hagan ikut merebahkan diri. Menatapi wajah santapannya malam ini, kemudian menyeringai. "Kita lihat nanti," ucapnya serak seraya memulai kegiatan bersenang-senang.
***
Pria itu mengamati sebentar punggung berbalut selimut di depannya, sebelum akhirnya bergerak. Hagan menyelipkan lengan di bawah kepala perempuan itu. Hati-hati si lelaki melakukannya.Perempuan itu bergerak mengubah posisi tidur, Hagan menahan napas. Mereka berhadapan sekarang. Satu senyum menghias wajah pualam si lelaki ketika satu tangan lainnnya mendarat mulus di pinggang si perempuan.
Terkaan Hagan benar. Malam tadi tidak akan pernah ia lupakan. Terutama apa yang sudah dialami bersama perempuan bernama Liara itu.
Menyenangkan. Begitu memuaskan. Bagi Hagan, Liara adalah wanita pertama yang memberikannya pengalaman semenarik beberapa jam lalu.
Seperti yang diduga, perempuan itu sangat tidak berpengalaman. Mengejutkannya lagi, Hagan adalah lelaki pertama bagi Liara.
"Katakan. Kau bukan seorang pro." Hagan mendesak perempuan itu berkata jujur di sela-sela kegiatan panas mereka tadi. "Kau menipuku?"
Di bawah kungkungan Hagan, Liara mengernyit tak nyaman di penyatuan pertamanya dengan seorang lawan jenis. "A--aku butuh uang."
"Lagu lama." Melihat raut kesakitan perempuan itu karena pergerakan pelannya, Hagan tiba-tiba saja merasa iba. Jadi, ia kecup kening Liara agak lama.
"Kau akan membayarku, 'kan? Kita sudah sejauh ini." Kesulitan bernapas karena sensasi aneh yang baru pertama dirasa, Liara berusaha tetap fokus.
Mengingat semua ekspresi Liara tadi, Hagan tanpa sadar melengkungkan bibir. Lelaki itu mengeratkan pelukan, sambil sesekali mencium pelipis si perempuan.
Berbagi ranjang dengan wanita cantik, bukan pertama ini Hagan lakoni. Sebagai pebisnis sukses yang masih melajang, ia butuh kesenangan seperti ini.
Paradise Club adalah tempat Hagan memilih teman tidurnya. Meski bisa membayar siapa saja, Hagan bukanlah tipe yang suka berganti-ganti partner. Ia masih sayang nyawa.
Hagan punya satu teman tidur tetap. Namanya Jesi. Sudah setahun Hagan hanya memakai jasa Jesi dan begitu pun sebaliknya.
Kemarin malam, Jesi sedang tidak ada. Entah ke mana perempuan itu pergi, Hagan tidak peduli.
Kebutuhan biologisnya menuntut harus segera dipenuhi, Hagan melihat Liara. Malam itu adalah hari pertama Liara bekerja sebagai pelayan di Paradise Club.
Di mata pria itu, Liara biasa saja. Tubuhnya tidak seperti gitar Spanyol. Cenderung rata bak papan tulis. Wajahnya juga biasa saja. Jenis perempuan-perempuan sederhana yang ke mana-mana tanpa riasan.
Tidak ada niat untuk bersama Liara, sampai tanpa sengaja Hagan melihat perempuan itu nyaris diganggu di toilet pria oleh seorang pelanggan kelab.
Menolak disentuh, tetapi Liara malah menawarkan jasa pada si pelaku.
"Boleh menyentuhku, tapi kau harus membayar. Tiga puluh juta untuk semalam? Kau punya uang?"
Tentu saja Hagan tertarik. Dia tidak pernah menemukan kejadian itu sebelumnya. Menolak disentuh, tetapi malah menawarkan diri untuk yang lain. Sungguh tidak biasa.
Liara tidak berhasil membuat kesepakatan dengan pria tadi, maka Hagan menghampiri. Menyambut tawaran tadi dan mereka berakhir di salah satu hotel seperti sekarang.
Dalam waktu beberapa jam, si lelaki sudah merasakan ada perubahan dalam diri. Ia tak lagi menginginkan Jesi. Hagan ingin Liara. Bukan hanya malam ini, tetapi malam-malam selanjutnya.
Tidak tahu apa yang berbeda. Hagan hanya merasa dirinya pas dalam diri Liara. Perempuan itu amatir. Membuat Hagan senang karena keinginannya untuk mendominasi akan terpenuhi. Liara juga terlalu sukar ditebak isi kepalanya. Membuat si lelaki semakin ingin menerka.
"Tiga puluh lima juta, 'kan?"
Suara serak itu membawa Hagan kembali pada kenyataan. Lelaki itu sedikit menunduk untuk bisa membingkai wajah Liara.
"Kau mengingau atau sudah bangun?" Ia bingung karena mata si perempuan masih tertutup rapat.
"Aku sadar. Tiga puluh lima juta, 'kan? Kau nyaris mematahkan tulang pahaku."
Di dini hari yang sepi, Hagan melepas tawa ringan. Sungguh sangat terus terang dan kasar, batinnnya. Tapi, ia suka, sambungnya lagi.
"Tiga puluh lima juta. Mana nomor rekeningmu?"
Secepat kilat perempuan itu duduk. Meski setelahnya harus meringis karena beberapa bagian tubuh yang luar biasa pegal. Ia bergerak untuk mengambil ponsel dari tas yang ada di nakas. Memberikan nomor rekening pada Hagan dan menatapi tak sabar pria yang juga tengah mengotak-atik ponsel di depannya.
"Sudah." Hagan menaruh ponsel.
"Sudah." Mata Liara berbinar melihat nominal di layar ponselnya. Perempuan itu segera menggerakkan jemari, mengirim pesan pada seseorang bahwa uangnya sudah bisa di ambil esok pagi.
Melihat Liara tersenyum-senyum pada layar, Hagan mendekat dan menunduk ke sana untuk bisa mengintip.
[Bayar uang sekolahmu besok. Beli juga keperluan rumah.]
Liara menjauhkan ponsel saat menyadari Hagan membaca pesan yang baru ia kirim.
"Siapa?"
"Adikku." Liara menyimpan ponsel di nakas. "Terima kasih," katanya dengan raut kelabu.
Si pria menggeleng. "Kita belum selesai." Ia membawa tubuh Liara ke pangkuan.
"Tentu. Matahari belum datang." Liara merapatkan tubuh, menyandarkan kepala di bahu lelaki itu. Membiarkannya melakukan apa pun, hingga langit di luar sana terang. Liara sudah tak peduli apa-apa lagi. Adiknya sudah bisa ikut ujian besok. Selesai.
"Aku bisa memberikan sepuluh juta setiap minggu. Menikah denganku."
Tersentak, si perempuan menegakkan tubuh. Matanya membola. "Jangan bercanda. Lebih masuk akal jika kau menawarkan posisi sebagai simpanan." Liara berusaha menanggapi dengan candaan juga.
Dua lengan Hagan membelit erat di pinggang Liara. "Aku tidak bercanda. Sepuluh juta seminggu, ayo menikah."
"Kita sudah sampai." Hagan berucap sedetik sebelum mobilnya berhenti di depan sebuah rumah megah.Di samping pria itu, Liara mendongak setelah beberapa saat lalu pandangan terpaku pada kartu identitas Hagan yang dipegang."Silakan turun, Nyonya Hagan Arsenio."Bibirnya menipis, tangan pria itu meremas jemari Liara. Senang? Mungkin bisa dibilang begitu. Kalau pun Hagan senang, itu wajar. Hari ini ia dan Liara resmi menjadi suami istri.Terlalu nekat? Menggebu-gebu? Sepertinya begitu. Sekarang saja, pikiran lelaki itu sudah berkelana jauh. Liara dalam balutan gaun sederhana berwarna putih itu benar-benar cantik di matanya."Kau serius dengan ini?" Dari kaca jendela, Liara menatap rumah megah di depannya. Empat pilar besar di bagian depan rumah itu tiba-tiba saja membuat nyalinya menciut.Kepala Hagan mengangguk satu kali. "Turunlah duluan, Pak Rayi," ucapnya pada si supir.Suara pintu ditutup te
Di ruang tamu, Liara menatapi dua asisten rumah tangga yang sedang menangis. Dua wanita berusia 30 tahun itu terancam di pecat.Bersandar di salah satu pilar, Liara menggigit ibu jari. Dirinya iba dan juga bingung. Pegawai Hagan itu terancam kehilangan pekerjaan karena dirinya.Tadi, Liara hanya ingin membantu dua wanita yang bertugas mencuci pakaian itu. Seprei yang ia dan suaminya pakai kemarin, Liara cuci sendiri. Belum sempat kain lebar itu keluar dari mesin, Hagan pulang."Apa yang kau lakukan di sini, Liara?" Pria itu bertanya dengan dua tangan bertumpu di pinggang. Menatap Liara seolah perempuan itu sedang melakukan sesuatu yang salah."Mencuci seprei," jawab Liara kala itu seraya menarik keluar seprei putih tadi. Di luar dugaan, benda itu diambil Hagan."Kalian kubayar untuk apa?!" Membentak, Hagan melempar kain tebal itu ke arah dua pegawainya. "Kalian berdua, tunggu aku di ruang tamu."Saat itula
"Pilih saja yang kau suka." Hagan memegangi dua bahu Liara dari belakang. Menghadapkan perempuan itu pada rak sepatu.Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi.Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam.Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah."Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya."Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. P
"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran."Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah."Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu norma
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep