Share

Liara
Liara
Penulis: Sinda

Bab 1

Warn! 18+

Mata Hagan melotot pada perempuan yang berlutut di depannya. Gegas lelaki bertubuh tinggi itu memundurkan langkah, menjauhkan asetnya dari wajah si perempuan. Lelaki itu hampir mati karena sebuah gigitan. 

"Kau mau membunuhku?!" 

Bentakan itu dibalas cengiran kaku oleh si perempuan. Ia mengusap mulut. "Biar kucoba lagi. Aku ini berpengalaman. Tadi itu aku cuma sedang ... gugup?" 

Hagan berseringai. Mau coba menipuku sejauh apa lagi, pikirnya. Dilihat sekali saja, dari cara berjalannya di kelab tadi, perempuan itu sama sekali belum berpengalaman. Hagan bisa jamin. 

"Dengar." Perempuan itu berdiri. Mengusap wajah frustrasi. 

Di tempatnya, Hagan menelan saliva, tetapi mata tak mau berhenti menelusuri tiap lekuk di sana. Di kamar ini, pendingin ruangan menyala di pengaturan paling rendah. Satu-satunya yang menjadi sumber panas adalah perempuan di hadapan. 

"Aku jamin bisa membuatmu senang malam ini. Kita langsung saja ke inti, hm?" 

Tatapan Hagan semakin tajam. Ia merasa harga dirinya tengah diinjak-injak. Sebab ia merasa begitu terbakar, sementara perempuan di hadapan bicara dengan intonasi tenang. Seolah keadaan mereka sekarang bukan apa-apa. 

Apa Hagan perlu mengingatkan perempuan itu bahwa mereka sama-sama tak berbalut sehelai benang sekarang? 

"Tuan? Bagaimana? Kau mau membeli atau tidak? Cepatlah putuskan agar aku bisa mencari orang lain jika kau tidak setuju." 

Enak saja. Sudah membuat Hagan begitu mendamba, perempuan itu malah berubah pikiran? Mengancam? Bukankah tadi perempuan itu yang mengajukan diri, menggoda Hagan lebih dulu. 

"Tuan!" 

Sialan. Malam ini agaknya akan Hagan ingat seumur hidup. Baru kali ini ada perempuan malam yang berani memanggilnya dengan nada tidak hormat begitu. 

"Tiga puluh juta?" Hagan berjalan ke arah ranjang. Dengan satu gerakan mantap ia menjatuhkan perempuan tadi hingga berbaring di sana. 

"Tidak bisa tiga puluh lima?" Perempuan itu melipat bibir ke dalam. 

Hagan ikut merebahkan diri. Menatapi wajah santapannya malam ini, kemudian menyeringai. "Kita lihat nanti," ucapnya serak seraya memulai kegiatan bersenang-senang. 

*** 

Pria itu mengamati sebentar punggung berbalut selimut di depannya, sebelum akhirnya bergerak. Hagan menyelipkan lengan di bawah kepala perempuan itu. Hati-hati si lelaki melakukannya. 

Perempuan itu bergerak mengubah posisi tidur, Hagan menahan napas. Mereka berhadapan sekarang. Satu senyum menghias wajah pualam si lelaki ketika satu tangan lainnnya mendarat mulus di pinggang si perempuan. 

Terkaan Hagan benar. Malam tadi tidak akan pernah ia lupakan. Terutama apa yang sudah dialami bersama perempuan bernama Liara itu. 

Menyenangkan. Begitu memuaskan. Bagi Hagan, Liara adalah wanita pertama yang memberikannya pengalaman semenarik beberapa jam lalu. 

Seperti yang diduga, perempuan itu sangat tidak berpengalaman. Mengejutkannya lagi, Hagan adalah lelaki pertama bagi Liara. 

"Katakan. Kau bukan seorang pro." Hagan mendesak perempuan itu berkata jujur di sela-sela kegiatan panas mereka tadi. "Kau menipuku?" 

Di bawah kungkungan Hagan, Liara mengernyit tak nyaman di penyatuan pertamanya dengan seorang lawan jenis. "A--aku butuh uang." 

"Lagu lama." Melihat raut kesakitan perempuan itu karena pergerakan pelannya, Hagan tiba-tiba saja merasa iba. Jadi, ia kecup kening Liara agak lama. 

"Kau akan membayarku, 'kan? Kita sudah sejauh ini." Kesulitan bernapas karena sensasi aneh yang baru pertama dirasa, Liara berusaha tetap fokus. 

Mengingat semua ekspresi Liara tadi, Hagan tanpa sadar melengkungkan bibir. Lelaki itu mengeratkan pelukan, sambil sesekali mencium pelipis si perempuan. 

Berbagi ranjang dengan wanita cantik, bukan pertama ini Hagan lakoni. Sebagai pebisnis sukses yang masih melajang, ia butuh kesenangan seperti ini. 

Paradise Club adalah tempat Hagan memilih teman tidurnya. Meski bisa membayar siapa saja, Hagan bukanlah tipe yang suka berganti-ganti partner. Ia masih sayang nyawa. 

Hagan punya satu teman tidur tetap. Namanya Jesi. Sudah setahun Hagan hanya memakai jasa Jesi dan begitu pun sebaliknya. 

Kemarin malam, Jesi sedang tidak ada. Entah ke mana perempuan itu pergi, Hagan tidak peduli. 

Kebutuhan biologisnya menuntut harus segera dipenuhi, Hagan melihat Liara. Malam itu adalah hari pertama Liara bekerja sebagai pelayan di Paradise Club. 

Di mata pria itu, Liara biasa saja. Tubuhnya tidak seperti gitar Spanyol. Cenderung rata bak papan tulis. Wajahnya juga biasa saja. Jenis perempuan-perempuan sederhana yang ke mana-mana tanpa riasan. 

Tidak ada niat untuk bersama Liara, sampai tanpa sengaja Hagan melihat perempuan itu nyaris diganggu di toilet pria oleh seorang pelanggan kelab. 

Menolak disentuh, tetapi Liara malah menawarkan jasa pada si pelaku. 

"Boleh menyentuhku, tapi kau harus membayar. Tiga puluh juta untuk semalam? Kau punya uang?" 

Tentu saja Hagan tertarik. Dia tidak pernah menemukan kejadian itu sebelumnya. Menolak disentuh, tetapi malah menawarkan diri untuk yang lain. Sungguh tidak biasa. 

Liara tidak berhasil membuat kesepakatan dengan pria tadi, maka Hagan menghampiri. Menyambut tawaran tadi dan mereka berakhir di salah satu hotel seperti sekarang. 

Dalam waktu beberapa jam, si lelaki sudah merasakan ada perubahan dalam diri. Ia tak lagi menginginkan Jesi. Hagan ingin Liara. Bukan hanya malam ini, tetapi malam-malam selanjutnya. 

Tidak tahu apa yang berbeda. Hagan hanya merasa dirinya pas dalam diri Liara. Perempuan itu amatir. Membuat Hagan senang karena keinginannya untuk mendominasi akan terpenuhi. Liara juga terlalu sukar ditebak isi kepalanya. Membuat si lelaki semakin ingin menerka. 

"Tiga puluh lima juta, 'kan?" 

Suara serak itu membawa Hagan kembali pada kenyataan. Lelaki itu sedikit menunduk untuk bisa membingkai wajah Liara. 

"Kau mengingau atau sudah bangun?" Ia bingung karena mata si perempuan masih tertutup rapat. 

"Aku sadar. Tiga puluh lima juta, 'kan? Kau nyaris mematahkan tulang pahaku." 

Di dini hari yang sepi, Hagan melepas tawa ringan. Sungguh sangat terus terang dan kasar, batinnnya. Tapi, ia suka, sambungnya lagi. 

"Tiga puluh lima juta. Mana nomor rekeningmu?" 

Secepat kilat perempuan itu duduk. Meski setelahnya harus meringis karena beberapa bagian tubuh yang luar biasa pegal. Ia bergerak untuk mengambil ponsel dari tas yang ada di nakas. Memberikan nomor rekening pada Hagan dan menatapi tak sabar pria yang juga tengah mengotak-atik ponsel di depannya. 

"Sudah." Hagan menaruh ponsel. 

"Sudah." Mata Liara berbinar melihat nominal di layar ponselnya. Perempuan itu segera menggerakkan jemari, mengirim pesan pada seseorang bahwa uangnya sudah bisa di ambil esok pagi. 

Melihat Liara tersenyum-senyum pada layar, Hagan mendekat dan menunduk ke sana untuk bisa mengintip. 

[Bayar uang sekolahmu besok. Beli juga keperluan rumah.]

Liara menjauhkan ponsel saat menyadari Hagan membaca pesan yang baru ia kirim. 

"Siapa?" 

"Adikku." Liara menyimpan ponsel di nakas. "Terima kasih," katanya dengan raut kelabu. 

Si pria menggeleng. "Kita belum selesai." Ia membawa tubuh Liara ke  pangkuan. 

"Tentu. Matahari belum datang." Liara merapatkan tubuh, menyandarkan kepala di bahu lelaki itu. Membiarkannya melakukan apa pun, hingga langit di luar sana terang. Liara sudah tak peduli apa-apa lagi. Adiknya sudah bisa ikut ujian besok. Selesai. 

"Aku bisa memberikan sepuluh juta setiap minggu. Menikah denganku." 

Tersentak, si perempuan menegakkan tubuh. Matanya membola. "Jangan bercanda. Lebih masuk akal jika kau menawarkan posisi sebagai simpanan." Liara berusaha menanggapi dengan candaan juga. 

Dua lengan Hagan membelit erat di pinggang Liara. "Aku tidak bercanda. Sepuluh juta seminggu, ayo menikah." 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
ceritanya menarik
goodnovel comment avatar
Ann
aku datang thor..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status