"Kita sudah sampai." Hagan berucap sedetik sebelum mobilnya berhenti di depan sebuah rumah megah.
Di samping pria itu, Liara mendongak setelah beberapa saat lalu pandangan terpaku pada kartu identitas Hagan yang dipegang.
"Silakan turun, Nyonya Hagan Arsenio."
Bibirnya menipis, tangan pria itu meremas jemari Liara. Senang? Mungkin bisa dibilang begitu. Kalau pun Hagan senang, itu wajar. Hari ini ia dan Liara resmi menjadi suami istri.
Terlalu nekat? Menggebu-gebu? Sepertinya begitu. Sekarang saja, pikiran lelaki itu sudah berkelana jauh. Liara dalam balutan gaun sederhana berwarna putih itu benar-benar cantik di matanya.
"Kau serius dengan ini?" Dari kaca jendela, Liara menatap rumah megah di depannya. Empat pilar besar di bagian depan rumah itu tiba-tiba saja membuat nyalinya menciut.
Kepala Hagan mengangguk satu kali. "Turunlah duluan, Pak Rayi," ucapnya pada si supir.
Suara pintu ditutup terdengar, Hagan langsung meraup bibir istrinya. Rakus. Seolah ingin benar-benar menggigit lepas benda itu dari wajah Liara.
"Tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran, Liara." Lelaki berjas abu-abu itu tersenyum puas saat lawannya tampak tersengal. Seduktif, tanpa mengalihkan tatap dari Liara, ia mencium lengan si perempuan yang sudah mengalung di leher.
Liara turun ketika Hagan membukakan pintu untuknya. Perempuan tersebut kembali takjub pada bangunan di depan mata. Benar-benar bagus. Satu lantai, tetapi tampak seperti istana di cerita-cerita dongeng yang pernah Liara baca di perpustakaan sekolah.
Mereka berjalan menaiki tangga kecil dengan marmer warna hitam. Mendekat ke arah pintu kaca dengan warna bingkai emas, Liara melihat lima orang berdiri menyambut.
Tiga di sisi kiri, sisanya di kanan. Tiga laki-laki, dua perempuan. Berpakaian warna coklat dengan desain yang sama, mereka menunduk pada Hagan.
"Selamat datang, Tuan."
Sapaan itu membuat Liara menelan saliva pelan-pelan. Ini sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.
Bertemu Hagan itu diluar dugaan. Liara tahu pasti jika pria bermata tajam itu orang kaya. Orang-orang yang ada di Paradise Club bukan orang sembarangan. Ditambah, Hagan menggelontorkan tiga puluh lima juta dengan mudah.
Liara yakin Hagan adalah orang berpunya. Namun, tidak sebanyak ini. Maksudnya, lihat saja rumahnya. Megah, mewah. Bukan hanya di luar, di dalam bangunan itu semua perabot tampak mahal. Sofa, meja, bahkan lampu besar di atas sana.
"Kau bisa melihat-lihat semuanya nanti. Aku sudah tidak sabar mengajakmu ke satu ruangan."
Sadar istrinya sedang mengagumi rumah mereka, Hagan menarik tangan perempuan itu untuk dibawa berjalan ke arah kamar utama. Hagan mengunci pintu ruangan itu dari dalam setelah mereka masuk.
"Kau tinggal sendiri di sini?" Liara bertanya setelah mendaratkan bokong di tepian ranjang. Perempuan itu sempat terperanjat saat merasakan tekstur super lembut di sana. Lain sekali dengan kasur di rumahnya.
Melepas jas-nya, Hagan mengangguk satu kali. Ia melepas sepatu, lantas berjalan ke arah Liara. Berjongkok, lalu menanggalkan high heels dari kaki jenjang yang sejak tadi membuat air liurnya nyaris jatuh.
Berani sekali. Pria itu mengatai diri berlebihan. Sejak kapan begitu memuji seorang perempuan sampai begini?
"Orang tuamu bagaimana? Mereka tahu kau menikahiku? Kau sadar, kan, aku ini bukan perempuan terpandang apalagi baik-baik." Perempuan itu terkesiap saat satu kecupan mendarat di betisnya.
Hagan menatap sang istri. Menunjukkan seberapa panasnya ia sekarang lewat sorot mata. "Kau hanya perlu mengurusiku dan dia." Pria itu melirik ke arah bawah sabuk. "Jangan pedulikan yang lain. Kau paham?"
"Aku hanya tidak ingin mendapat jambakan atau tamparan seperti yang sering kulihat di TV."
Kepala si pria menggeleng. "Tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Pegang kata-kataku."
Alis Liara menukik. "Termasuk kau?" Ia tertawa saat Hagan menyeringai. Pria itu berdiri, mengangkangi pahanya dan duduk di sana.
"Kau berbeda, Liara. Kau tahu itu?" Perempuan itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melewati semua hal tidak baik. Maksud Hagan, peristiwa di hotel dan pernikahan mereka ini.
Liara menopang tubuh dengan dua tangan di belakang. "Karena sekarang aku bisa memangkumu? Kau tidak seberat itu." Mata perempuan itu membola saat merasakan sesuatu di antara paha.
Hagan meringis, menggigit bibirnya, seraya menatap Liara penuh damba. "Bisa aku melakukannya sekarang? Kau tidak melakukan apa-apa dan aku sudah akan meledak."
Liara tertawa saja. Ia memangkas jarak, menyibak sedikit kerah kemeja putih Hagan. Ia tempelkan mulutnya di sana beberapa saat. "Lakukan sesukamu. Uang muka lima puluh jutamu sudah masuk ke rekeningku."
"Sesuai perintahmu, Nona Pecinta Uang," balas Hagan bersamaan dengan gerakannya yang membuat mereka jatuh ke atas ranjang.
***Liara menggeliat, matanya mulai terbuka. Perempuan itu mendapati diri masih terbaring di atas ranjang, sendirian.
Menarik selimut hingga dada, ia mengubah posisi menjadi menyamping. Di hadapan ada sebuah jendela. Dari balik tirai krem di sana, Liara bisa melihat bahwa di luar sudah gelap.
Tatapan perempuan itu masih di sana, tetapi pikirannya sudah berjalan jauh. Ia bertanya pada diri sendiri. Apa yang saat ini dirasa?
Apa ia ingin menangis? Bagaimana pun, akhirnya kehilangan kegadisan di usia 26 tahun dengan cara tidak baik pantas ditangisi, 'kan? Atau, tidak? Perasaan sedih sekarang adalah kelemahan yang harusnya dihanguskan oleh amarah yang juga bercokol di hati?
Entah. Tidak tahu. Liara bingung dengan hatinya sendiri. Atau, dia memang sudah tidak punya hati, seperti yang selama ini diucap pada Tatiana.
"Sudah bangun?"
Suara yang mulai Liara kenali itu membuat si perempuan mengubah raut. Ia menoleh ke arah pintu. "Kenapa selalu aku yang bangun terakhir?"
Senyum miring menghiasi wajah si lelaki. "Karena aku yang selalu di atas? Lain kali kuajarkan."
Dahi si perempuan berlipat. "Apa hubungannya?"
Duduk di samping Liara, Hagan terkekeh. "Aku tidak tahu. Kurasa ada yang salah dengan otakku." Pria itu berbaring, kepalanya di atas perut Liara.
"Terjebak dengan orang tidak waras, bukan masalah," tandas Liara. "Selagi dia punya uang banyak."
Hening beberapa saat, saat ini Hagan menarik tangan Liara untuk ditaruh di atas kepalanya.
"Sekarang jam berapa?" Tangan Liara menuruti kemauan si lelaki. Memberi usapan pelan di rambut hitam itu.
"Tujuh."
"Pantas. Aku lapar."
Kepalanya Hagan angkat untuk bisa berpandangan dengan Liara. "Makan aku saja. Tetap di sini. Jangan ke mana-mana, jangan pakai bajumu." Lelaki itu tertawa. Semakin yakin jika ada yang salah pada kepalanya.
"Kalau aku mati, kau akan main sendiri? Kau ingin begitu?" Liara mengulurkan lengan pada si lelaki yang sudah duduk tegak.
Hagan menarik tangan Liara, hingga perempuan itu duduk.
"Oh, ya, ampun. Apa yang kau lakukan pada kakiku, Hagan," protes si perempuan saat rasa nyeri menyerang beberapa titik di tubuh. Menurunkan kaki ke lantai, bisa ia lihat tanda kemerahan di sekitar betis dan tulang kering.
Hagan tak menjawab. Pria itu hanya menontoni Liara yang berjalan pelan seraya meringis menuju kamar mandi di kamar itu.
Pria itu juga heran. Seminggu berlalu sejak kejadian di hotel dan lihat bagaimana caranya menatapi Liara sekarang.
Pintu kamar mandi terbuka. Kepala Liara menyembul dari sana. "Ada pakaian yang bisa kukenakan? Apa aku harus keluar dan makan dengan selimut ini?" Seingat Liara ia belum membereskan barang-barangnya di rumah. Pada Tatiana, ia hanya beralasan akan melamar pekerjaan hari ini. Bukan menikah.
"Tidak perlu pakai apa-apa," balas Hagan asal.
"Benarkah? Kau sejahat itu membiarkan aku dipandangi aneh para pegawaimu di luar sana?"
Cepat-cepat lelaki yang ditanyai menggeleng. Enak saja. "Di sana. Aku sudah membelikan pakaian untukmu." Tunjuknya dengan dagu ke arah ruangan di samping kamar mandi.
Pintu kembali di tutup, Hagan menggigit bibir. Menahan diri. Namun, gagal. Pada akhirnya pria itu berdiri. "Liara. Jika kau tidak mengunci pintu, itu salahmu." Kakinya melangkah lebar menuju ruangan yang tengah si istri tempati.
Ini gila. Liara membuatnya gila.
Di ruang tamu, Liara menatapi dua asisten rumah tangga yang sedang menangis. Dua wanita berusia 30 tahun itu terancam di pecat.Bersandar di salah satu pilar, Liara menggigit ibu jari. Dirinya iba dan juga bingung. Pegawai Hagan itu terancam kehilangan pekerjaan karena dirinya.Tadi, Liara hanya ingin membantu dua wanita yang bertugas mencuci pakaian itu. Seprei yang ia dan suaminya pakai kemarin, Liara cuci sendiri. Belum sempat kain lebar itu keluar dari mesin, Hagan pulang."Apa yang kau lakukan di sini, Liara?" Pria itu bertanya dengan dua tangan bertumpu di pinggang. Menatap Liara seolah perempuan itu sedang melakukan sesuatu yang salah."Mencuci seprei," jawab Liara kala itu seraya menarik keluar seprei putih tadi. Di luar dugaan, benda itu diambil Hagan."Kalian kubayar untuk apa?!" Membentak, Hagan melempar kain tebal itu ke arah dua pegawainya. "Kalian berdua, tunggu aku di ruang tamu."Saat itula
"Pilih saja yang kau suka." Hagan memegangi dua bahu Liara dari belakang. Menghadapkan perempuan itu pada rak sepatu.Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi.Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam.Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah."Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya."Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. P
"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran."Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah."Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu norma
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m