Share

Bab 2

"Kita sudah sampai." Hagan berucap sedetik sebelum mobilnya berhenti di depan sebuah rumah megah. 

Di samping pria itu, Liara mendongak setelah beberapa saat lalu pandangan terpaku pada kartu identitas Hagan yang dipegang. 

"Silakan turun, Nyonya Hagan Arsenio." 

Bibirnya menipis, tangan pria itu meremas jemari Liara. Senang? Mungkin bisa dibilang begitu. Kalau pun Hagan senang, itu wajar. Hari ini ia dan Liara resmi menjadi suami istri. 

Terlalu nekat? Menggebu-gebu? Sepertinya begitu. Sekarang saja, pikiran lelaki itu sudah berkelana jauh. Liara dalam balutan gaun sederhana berwarna putih itu benar-benar cantik di matanya. 

"Kau serius dengan ini?" Dari kaca jendela, Liara menatap rumah megah di depannya. Empat pilar besar di bagian depan rumah itu tiba-tiba saja membuat nyalinya menciut. 

Kepala Hagan mengangguk satu kali. "Turunlah duluan, Pak Rayi," ucapnya pada si supir. 

Suara pintu ditutup terdengar, Hagan langsung meraup bibir istrinya. Rakus. Seolah ingin benar-benar menggigit lepas benda itu dari wajah Liara. 

"Tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran, Liara." Lelaki berjas abu-abu itu tersenyum puas saat lawannya tampak tersengal. Seduktif, tanpa mengalihkan tatap dari Liara, ia mencium lengan si perempuan yang sudah mengalung di leher. 

Liara turun ketika Hagan membukakan pintu untuknya. Perempuan tersebut  kembali takjub pada bangunan di depan mata. Benar-benar bagus. Satu lantai, tetapi tampak seperti istana di cerita-cerita dongeng yang pernah Liara baca di perpustakaan sekolah. 

Mereka berjalan menaiki tangga kecil dengan marmer warna hitam. Mendekat ke arah pintu kaca dengan warna bingkai emas, Liara melihat lima orang berdiri menyambut. 

Tiga di sisi kiri, sisanya di kanan. Tiga laki-laki, dua perempuan. Berpakaian warna coklat dengan desain yang sama, mereka menunduk pada Hagan. 

"Selamat datang, Tuan." 

Sapaan itu membuat Liara menelan saliva pelan-pelan. Ini sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. 

Bertemu Hagan itu diluar dugaan. Liara tahu pasti jika pria bermata tajam itu orang kaya. Orang-orang yang ada di Paradise Club bukan orang sembarangan. Ditambah, Hagan menggelontorkan tiga puluh lima juta dengan mudah. 

Liara yakin Hagan adalah orang berpunya. Namun, tidak sebanyak ini. Maksudnya, lihat saja rumahnya. Megah, mewah. Bukan hanya di luar, di dalam bangunan itu semua perabot tampak mahal. Sofa, meja, bahkan lampu besar di atas sana. 

"Kau bisa melihat-lihat semuanya nanti. Aku sudah tidak sabar mengajakmu ke satu ruangan." 

Sadar istrinya sedang mengagumi rumah mereka, Hagan menarik tangan perempuan itu untuk dibawa berjalan ke arah kamar utama. Hagan mengunci pintu ruangan itu dari dalam setelah mereka masuk. 

"Kau tinggal sendiri di sini?" Liara bertanya setelah mendaratkan bokong di tepian ranjang. Perempuan itu sempat terperanjat saat merasakan tekstur super lembut di sana. Lain sekali dengan kasur di rumahnya. 

Melepas jas-nya, Hagan mengangguk satu kali. Ia melepas sepatu, lantas berjalan ke arah Liara. Berjongkok, lalu menanggalkan high heels dari kaki jenjang yang sejak tadi membuat air liurnya nyaris jatuh. 

Berani sekali. Pria itu mengatai diri berlebihan. Sejak kapan begitu memuji seorang perempuan sampai begini? 

"Orang tuamu bagaimana? Mereka tahu kau menikahiku? Kau sadar, kan, aku ini bukan perempuan terpandang apalagi baik-baik." Perempuan itu terkesiap saat satu kecupan mendarat di betisnya. 

Hagan menatap sang istri. Menunjukkan seberapa panasnya ia sekarang lewat sorot mata. "Kau hanya perlu mengurusiku dan dia." Pria itu melirik ke arah bawah sabuk. "Jangan pedulikan yang lain. Kau paham?" 

"Aku hanya tidak ingin mendapat jambakan atau tamparan seperti yang sering kulihat di TV." 

Kepala si pria menggeleng. "Tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Pegang kata-kataku." 

Alis Liara menukik. "Termasuk kau?" Ia tertawa saat Hagan menyeringai. Pria itu berdiri, mengangkangi pahanya dan duduk di sana. 

"Kau berbeda, Liara. Kau tahu itu?" Perempuan itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melewati semua hal tidak baik. Maksud Hagan, peristiwa di hotel dan pernikahan mereka ini. 

Liara menopang tubuh dengan dua tangan di belakang. "Karena sekarang aku bisa memangkumu? Kau tidak seberat itu." Mata perempuan itu membola saat merasakan sesuatu di antara paha. 

Hagan meringis, menggigit bibirnya, seraya menatap Liara penuh damba. "Bisa aku melakukannya sekarang? Kau tidak melakukan apa-apa dan aku sudah akan meledak." 

Liara tertawa saja. Ia memangkas jarak, menyibak sedikit kerah kemeja putih Hagan. Ia tempelkan mulutnya di sana beberapa saat. "Lakukan sesukamu. Uang muka lima puluh jutamu sudah masuk ke rekeningku." 

"Sesuai perintahmu, Nona Pecinta Uang," balas Hagan bersamaan dengan gerakannya yang membuat mereka jatuh ke atas ranjang. 

*** 

Liara menggeliat, matanya mulai terbuka. Perempuan itu mendapati diri masih terbaring di atas ranjang, sendirian. 

Menarik selimut hingga dada, ia mengubah posisi menjadi menyamping. Di hadapan ada sebuah jendela. Dari balik tirai krem di sana, Liara bisa melihat bahwa di luar sudah gelap. 

Tatapan perempuan itu masih di sana, tetapi pikirannya sudah berjalan jauh. Ia bertanya pada diri sendiri. Apa yang saat ini dirasa? 

Apa ia ingin menangis? Bagaimana pun, akhirnya kehilangan kegadisan di usia 26 tahun dengan cara tidak baik pantas ditangisi, 'kan? Atau, tidak? Perasaan sedih sekarang adalah kelemahan yang harusnya dihanguskan oleh amarah yang juga bercokol di hati? 

Entah. Tidak tahu. Liara bingung dengan hatinya sendiri. Atau, dia memang sudah tidak punya hati, seperti yang selama ini diucap pada Tatiana. 

"Sudah bangun?" 

Suara yang mulai Liara kenali itu membuat si perempuan mengubah raut. Ia menoleh ke arah pintu. "Kenapa selalu aku yang bangun terakhir?" 

Senyum miring menghiasi wajah si lelaki. "Karena aku yang selalu di atas? Lain kali kuajarkan." 

Dahi si perempuan berlipat. "Apa hubungannya?" 

Duduk di samping Liara, Hagan terkekeh. "Aku tidak tahu. Kurasa ada yang salah dengan otakku." Pria itu berbaring, kepalanya di atas perut Liara. 

"Terjebak dengan orang tidak waras, bukan masalah," tandas Liara. "Selagi dia punya uang banyak." 

Hening beberapa saat, saat ini Hagan menarik tangan Liara untuk ditaruh di atas kepalanya. 

"Sekarang jam berapa?" Tangan Liara menuruti kemauan si lelaki. Memberi usapan pelan di rambut hitam itu. 

"Tujuh." 

"Pantas. Aku lapar." 

Kepalanya Hagan angkat untuk bisa berpandangan dengan Liara. "Makan aku saja. Tetap di sini. Jangan ke mana-mana, jangan pakai bajumu." Lelaki itu tertawa. Semakin yakin jika ada yang salah pada kepalanya. 

"Kalau aku mati, kau akan main sendiri? Kau ingin begitu?" Liara mengulurkan lengan pada si lelaki yang sudah duduk tegak. 

Hagan menarik tangan Liara, hingga perempuan itu duduk. 

"Oh, ya, ampun. Apa yang kau lakukan pada kakiku, Hagan," protes si perempuan saat rasa nyeri menyerang beberapa titik di tubuh. Menurunkan kaki ke lantai, bisa ia lihat tanda kemerahan di sekitar betis dan tulang kering. 

Hagan tak menjawab. Pria itu hanya menontoni Liara yang berjalan pelan seraya meringis menuju kamar mandi di kamar itu. 

Pria itu juga heran. Seminggu berlalu sejak kejadian di hotel dan lihat bagaimana caranya menatapi Liara sekarang. 

Pintu kamar mandi terbuka. Kepala Liara menyembul dari sana. "Ada pakaian yang bisa kukenakan? Apa aku harus keluar dan makan dengan selimut ini?" Seingat Liara ia belum membereskan barang-barangnya di rumah. Pada Tatiana, ia hanya beralasan akan melamar pekerjaan hari ini. Bukan menikah. 

"Tidak perlu pakai apa-apa," balas Hagan asal. 

"Benarkah? Kau sejahat itu membiarkan aku dipandangi aneh para pegawaimu di luar sana?"

Cepat-cepat lelaki yang ditanyai menggeleng. Enak saja. "Di sana. Aku sudah membelikan pakaian untukmu." Tunjuknya dengan dagu ke arah ruangan di samping kamar mandi. 

Pintu kembali di tutup, Hagan menggigit bibir. Menahan diri. Namun, gagal. Pada akhirnya pria itu berdiri. "Liara. Jika kau tidak mengunci pintu, itu salahmu." Kakinya melangkah lebar menuju ruangan yang tengah si istri tempati. 

Ini gila. Liara membuatnya gila. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Sartika
kerennn... ya ampun Thor semua ceritamu bagus semua beda2 tapi bagus semua....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status