Share

Bab 3

Di ruang tamu, Liara menatapi dua asisten rumah tangga yang sedang menangis. Dua wanita berusia 30 tahun itu terancam di pecat. 

Bersandar di salah satu pilar, Liara menggigit ibu jari. Dirinya iba dan juga bingung. Pegawai Hagan itu terancam kehilangan pekerjaan karena dirinya. 

Tadi, Liara hanya ingin membantu dua wanita yang bertugas mencuci pakaian itu. Seprei yang ia dan suaminya pakai kemarin, Liara cuci sendiri. Belum sempat kain lebar itu keluar dari mesin, Hagan pulang. 

"Apa yang kau lakukan di sini, Liara?" Pria itu bertanya dengan dua tangan bertumpu di pinggang. Menatap Liara seolah perempuan itu sedang melakukan sesuatu yang salah. 

"Mencuci seprei," jawab Liara kala itu seraya menarik keluar seprei putih tadi. Di luar dugaan, benda itu diambil Hagan. 

"Kalian kubayar untuk apa?!" Membentak, Hagan melempar kain tebal itu ke arah dua pegawainya. "Kalian berdua, tunggu aku di ruang tamu." 

Saat itulah Liara paham mengapa dua pegawai tadi, Arika dan Fredica, melarangnya untuk turun ke ruang cuci. 

Sekarang, Liara tengah memutar otak bagiamana cara membujuk Hagan untuk tidak memecat Arika dan Fredica. Karena katanya, setiap pegawai yang membuat Hagan marah, di hari itu juga akan dipecat. 

Belum beroleh solusi apa-apa, Liara menemukan Hagan sudah berjalan ke arah ruang tamu. Pria itu seperti habis mandi, karena rambutnya terlihat basah. Wajah lelaki itu segar, tetapi juga sangar. Di tangannya ada dua amplop coklat. 

"Tidak perlu memohon. Aku sudah memutuskan. Kalian berdua di--" 

"Hagan." Liara menyela. Ia mendekat pada sang suami. "Aku yang ingin mencuci. Mereka tidak bersalah. Jangan memecat mereka." 

Hagan hanya menoleh pada perempuan itu. Datar. "Aku sudah peringatkan mereka untuk tidak mengizinkanmu mengerjakan apa pun. Itu kesalahan mereka." Pria itu menatap Arika dan Fredica bergantian. 

Liara menekuk wajah. Tak terbantah ucapan Hagan tadi. Ia yakin, membujuk pria itu tak akan ada gunanya. "Kau tetap akan memecat mereka? Meski aku melarang?" 

Cepat Hagan mengangguk satu kali. Tak repot-repot menatap wajah Liara. 

"Dasar keras kepala! Berlebihan!" Menghentak kaki, Liara memutar tumit usai berucap dengan nada tinggi. 

Kepergian Liara dipandangi beberapa pegawai lain yang mengintip dari salah satu sudut rumah. Mereka menunjukkan raut bingung yang sama dengan yang Hagan miliki. 

Berani sekali si Nyonya membentak Tuan besar seperti itu. Begitu kira-kira isi kepala mereka. 

"Tuan, tolong jangan pecat saya. Saya perlu pekerjaan ini untuk membiayai anak saya." Arika menekuk lutut di depan Hagan. Menyatukan kedua tangan, memohon keajaiban. 

"Saya juga, Tuan. Tolong biarkan saya bekerja di sini. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan lagi." Fredica juga melakukan hal sama. Memohon dengan air mata berlinang. 

Hagan memundurkan langkah. Dua tangannya terlipat di belakang punggung. "Pergi kalian dari rumahku. Kalian tahu, memohon pun tak berpengaruh apa-apa. Ka--" 

"Hagan!" 

Si pria menggigit bibir. Lagi-lagi perempuan itu menyela ucapannya. Dilihatnya Liara berlari menghampiri. 

"Aku punya penawaran. Ikut aku." Ia meraih lengan si suami. Menoleh pada Arika dan Fredica, perempuan itu berkata, "Kuusahakan agar kalian tidak pecat. Tunggu di sini." 

Liara membawa Hagan--sedikit susah payah--ke kamar mereka. 

"Apa yang kau lakukan, Liara?" Sengit, tak senang, Hagan menarik tangannya. 

"Kau marah?" 

"Menurutmu? Aku membayar mereka. Kenapa aku tidak marah saat melihat kau berurusan dengan kain cucian?" 

"Aku yang mau melakukannya, Hagan." Liara memijat pangkal hidung. Akhirnya ia temukan satu hal salah dari sempurnanya sosok Hagan Arsenio. Berlebihan. 

"Aku tidak peduli. Mereka tetap salah." 

"Jadi, kau marah?" 

"Jangan membuang waktu, Liara." 

"Apa yang bisa kulakukan agar kau tidak marah lagi dan tidak jadi memecat mereka?" 

"Tidak ada. Tidak ada yang bisa membuatku berhenti marah. Kau puas?" Hagan sudah memutar tubuh, hendak berjalan ke arah pintu, sampai telinganya mendengar suara Liara lagi. 

"Ini juga tidak?" 

Berterima kasih pada mereka yang menemukan teknologi bernama internet. Setelah masuk kamar tadi, Liara iseng berselancar di dunia maya. Di mesin pencarian ia mencoba menemukan cara untuk membuat seorang pria berhenti marah. 

Satu artikel berhasil menarik perhatian si perempuan. Di sana dikatakan, untuk membuat pria yang marah kembali normal ada satu cara mumpuni. 

Liara sedang melakukannya sekarang. Melucuti dirinya sendiri di depan Hagan yang sedang marah. 

"Bagaimana? Kau masih marah? Kau masih akan memecat mereka?" 

Mata Hagan berkedip cepat-cepat. Ia terkejut, tetapi tak menyia-nyiakan pemandangan di depan mata. 

"Hagan! Kau masih marah? Masih akan memecat mereka? Kalau iya, aku juga akan marah. Kau kularang menyentuhku selama seminggu!" 

Rahang Hagan mengeras, Bukan hanya marah, sekarang ia uring-uringan. Ingin berteriak dan memukul apa saja. 

Menarik kata-kata sendiri bukan gaya Hagan. Tak pernah ia lakukan, meski taruhannya adalah sebanyak harta keluarga Arsenio. Namun, hari ini, prinsip itu akan Hagan langgar. 

Pria itu akan menarik perintahnya sendiri. Menjilat ludah sendiri karena seorang perempuan yang baru beberapa minggu diperistri.

"Hagan!" 

Yang dipanggil meremas rambut. "Belum pernah ada yang memanggil namaku seperti, Liara. Ayahku saja tidak pernah." Ia bersungut. 

"Keputusanmu?" Liara semakin tidak sabar. Wajahnya sudah terasa terbakar. Kalau bukan karena nasib dua orang di luar sana, tak akan mungkin Liara melakukan semua ini. "Hagan," panggilnya setengah mendesis. 

Panggilan itu membuat Hagan menyerah bertarung dengan dirinya. Pria itu meraih tubuh sang istri untuk dibawa mendekat. 

"Kau memang berbeda, Liara. Sedikit gila." Suara serak Hagan hilang beriringan dengan bibirnya yang menempel pada bibir Liara. 

Hagan akan mengubah keputusannya. Ia tidak akan memecat Arika dan Fredica. Akan ia umumkan nanti, setelah urusannya dengan Liara selesai. Hagan tak akan membiarkan istrinya menang dengan mudah, 'kan? 

*** 

Meja makan yang tadinya tenang itu berubah atmosfer menjadi mencekam. Di samping kursi utama, Liara sedang menatap sengit pada Hagan yang mengunyah dagingnya tenang. 

"Kau menikahi manusia, bukan robot," protes Liara. Kali ini perempuan itu menaruh sendok dan garpunya agak kasar. 

"Makan, Liara. Kau bahkan belum menghabiskan separuh dari makananmu." Hagan meraih gelas, menandaskan isinya dalam satu kali teguk. "Makan," ulangnya.

"Biarkan aku memasak tiga kali dalam seminggu." Liara kukuh pada keinginan. 

Awal perdebatan ini adalah karena Hagan benar-benar melarang Liara untuk turut campur dalam urusan rumah. Mencuci, memasak, membersihkan rumah, satu pun tidak ada yang boleh perempuan itu lakukan. Demikian perintah mutlak Hagan. 

Liara tidak terima. Ia merasa akan mati bosan jika sepanjang hari hanya tiduran di kamar. Minimal memasak dan mencuci piring di hari-hari tertentu jika ia bosan tidur siang dan membaca novel romantis. 

"Kalau bosan, kau bisa pergi jalan-jalan. Berbelanja, misalnya." Hagan melipat tangan di depan dada. Menatap datar pada perempuan di depan. 

"Aku tidak suka belanja. Aku tidak suka jalan-jalan. Jangan berlebihan, Hagan. Aku harus membayar uang yang kuterima darimu." 

"Bayar dengan cara yang lain." Pria itu mengerling nakal. 

"Itu juga akan kulakukan. Tapi, biarkan aku juga melakukan beberapa pekerjaan rumah. Oke? Oke. Jangan mendebatku lagi atau aku tidak akan makan?" Ragu Liara mengancam. Ia yakin yang barusan terdengar konyol. Untuk apa Hagan peduli ia makan atau tidak? 

Tak bersuara beberapa saat, Hagan terdengar menghela napas. Ia mendekat, mengambil garpu Liara. "Baik. Lakukan yang kau mau. Sekarang, makan." Ia menyuguhkan satu potong daging ke depan mulut si perempuan. 

"Sungguh? Kau mengizinkanku?" Liara menerima suapan itu. Tersenyum lebar saat tanya dijawab anggukan. 

"Kurasa kau itu adalah karma untukku." Hagan mengingat semua tindakannya sebelum ini. Betapa ia sesuka hati menentang perintah Orlando--ayahnya. 

Lagi, Liara tersenyum. "Jangan khawatir. Ini tidak akan lama." 

"Terserahmu. Makan yang banyak, agar aku bisa melakukan sesuatu padamu untuk balas dendam." 

"Baiklah." Liara mengambil sendok dari tangan Hagan dan mulai menghabiskan makanannya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status