Kulihat Dini memegang rantang urap tadi dan hampir menuangkan isinya, kedalam tong sampah.
Kurebut rantang dari tangan Dini, dan meletakkannya di atas meja.
"Kenapa, kamu mau buang urap dari Wita?" tanyaku kesal.
"Tadi, Dini coba cicip, ternyata gak enak, jadi Dini mau buang!" jawab Dini tanpa perasaan bersalah.
"Wita, kalau masak urap selalu enak. Lagipula itu, kan untuk mak. Kalau kamu dak suka, ya sudah, jangan main buang gitu!" ucapku kesal.
"Halah, timbang urap murahan gitu! Sudahlah!" ucap Dini akhirnya seraya berlalu dari dapur.
Tingkah Dini tambah hari kian menjadi. Gak ada sopan dan hormatnya kepadaku, mertuanya. Kusimpan urap tadi di lemari makan. Hilang rasa laparku berganti kesal karena ulah Dini. Mending aku istirahat saja. Aku pun berlalu menuju kamar.
Tok! Tok! Tok!
Baru saja aku ingin merebahkan tubuh tuaku ini, terdengar pintu kamar diketuk. Aku beranjak dari pembaringan, berdiri dan membuka pintu.
"Mak, itu kenapa cucian gak dijemur. Cucian tadi, kan?" tanya Dini sambil melipat kedua tangannya ke dada.
Aku tersentak. Aku kelupaan, karena tadi buru-buru masak, jadi kutinggalkan pakaian yang sudah kucuci.
"Eh, iya, mak lupa. Mak, minta tolong, Din! Tolong kamu jemurin, ya, cuciannya! Mak capek banget, badan rasanya sakit-sakit semua," pintaku memelas.
Dini mencebik. Terlihat raut wajah tidak suka yang kutangkap dari tatapannya.
"Jemur itu, apa susahnya sih, Mak. Dini udah mandi, ntar keringetan lagi, males, ah! tolak Dini.
Aku hanya menggeleng gelengkan kepala. Kenapa Dini tidak bisa sedikit saja pengertian padaku.
"Mak … minta tolong, Din," ucapku lirih. "Mak beneran gak enak badan. Lagipula, hanya tinggal menjemur, gak akan buat kamu sampe banjir keringat. Cucian itu pun, banyak punya kamu, daripada mak," ucapku lagi.
"Jadi, Mak hitung-hitungan sama Dini! Kan, Mak sendiri yang minta, agar Dini jangan capek-capek, biar bisa cepat punya momongan! Sekarang, kenapa Mak malah menyuruh Dini!" cecar Dini padaku.
"Astaghfirullah, Din." Kuelus dada menahan sesak.
" Mak, minta tolong baru sekali ini, itupun karena badan mak gak enak! Kenapa kamu ngomong kayak gitu?" tanyaku menahan tangis.
Anak-anakku, Imron dan Wita tidak pernah berkata kasar dan membangkang ucapanku. Mereka selalu santun dalam berucap. Jadi, aku sangat kaget, karena Dini tiba-tiba berkata seperti itu.
"Ya, sudahlah! Kalau kamu tidak mau, biar nanti saja, mak jemur. Mak mau istirahat dulu!" ucapku lirih.
"Gitu kek, dari tadi. Bikin emosi aja!" gerutu Dini. Dini beranjak meninggalkanku. Baru saja aku akan menutup pintu, ternyata Dini menahan pintu kamar.
"Mak, jemurnya jangan sampe sore! Keburu mas Imron datang. Jadi habis zuhur nanti, langsung Mak kerjain!" perintah Dini.
"Iya, nanti Mak kerjain. Mak mau istirahat."
Dini membalikkan badan menuju kamarnya. Kututup pintu kamar dan duduk disisi ranjang. Ya Allah, cobaan apa ini? Kenapa Imron, anakku tidak menyelidiki lagi, bagaimana perilaku Dini dalam kesehariannya. Apa yang harus hamba lakukan, ya Allah?.
Terdengar pintu diketuk kembali. Apa maunya anak itu. Apa tidak bisa, dia membiarkanku istirahat sebentar.
Pintu kubuka. Terlihat lagi, wajah Dini menahan kesal. Apalagi ini. Kupiijit-pijit pelipisku.
"Mak, itu kenapa, dari kemarin baju gak disetrika? tanya Dini ketus.
"Oh … itu, mak gak sempat. Kemarin rewang tempat bu Salamah, jadi, mak gak nyetrika," jelasku.
"Jadi, kapan Mak mau nyetrika? Ntar keburu mas Imron datang. Dini gak mau ya, Mak, ujung-ujungnya malah Dini yang ngerjain."
"Kenapa, kamu gak mau ngerjain?" Terdengar suara seseorang yang menimpali ucapan Dini. Ternyata Wita yang tiba-tiba kembali muncul. "Kamu pikir, Mak, babumu apa!" ucap Wita dengan nada tinggi.
"Kamu gak usah ikut campur urusanku! Walaupun usiaku lebih muda dari kamu, aku tetap kakak iparmu! Jadi, kamu tetap harus menghormati aku!" ucap Dini ketus.
"Lantas, apa kamu sudah menghormati Ibu suamimu?! Kenapa, seenaknya saja, kamu nyuruh-nyuruh Mak melakukan semua pekerjaan, sedangkan kamu, enak-enak bersantai!" balas Wita.
"Mak yang mau, tanya sendiri sama orangnya! Mak sendiri yang minta, supaya aku gak capek-capek, biar aku bisa hamil!" Raut wajah Dini memerah menahan marah.
"Gak gitu juga, seharusnya kamu ikut bantuin Mak, bukan bikin Mak, jadi babu gratisan," timpal Wita.
"Sudah … sudah, Wit. Jangan bertengkar, malu didengar tetangga!" pintaku.
"Mak, gak bisa gitu, Mak! Dia harusnya sadar, sebagai menantu, dia yang seharusnya melayani Mak, bukan sebaliknya."
Kulihat, dada Wita naik turun menahan geram, pada iparnya itu. Kuelus punggung anak perempuanku itu.
" Sudah, Wit. Mak dak papa, sudah, Nak!" ucapku memelas.
"Mak, Wita gak rela, Mak jadi babunya dia! Wita selama ini diam, gak ngomong apa-apa ke mas Imron! Tapi, semakin didiemin, semakin ngelunjak ni orang!" ucap Wita emosi, sambil mengacungkan telunjuknya dihadapan Dini.
"Sudah kubilang, bukan urusanmu! Mas Imron, juga gak bakalan percaya dengan ucapanmu itu!" Dini tersenyum sinis.
"Mau nyoba?" tantang Wita.
"Coba saja, aku istrinya, jelas dia lebih percaya padaku ketimbang kamu!"
"Oke, tunggu mas Imron pulang, akan kuadukan semua kelakuanmu itu!" ancam Wita.
"Wit, sudah, Nak, jangan bertengkar lagi! pintaku memohon.
Dini menghentakkan kakinya dan segera pergi dari hadapan aku dan Wita.
" Mak, kita gak bisa kek gini terus. Dini udah kelewatan, Mak!" ucap Wita masih dengan nada emosi.
"Iya, mak tau, tapi kalau kita mengadukan sikapnya pada masmu, nanti mereka bertengkar. Mak gak mau nambah pikiran masmu!" jelasku pada Wita.
"Tapi, Mak, kita gak bisa cuma diam aja! Kita harus cari cara, supaya mas Imron tau dan bisa menasehati istrinya itu! Wita juga gak mau, Mak diperlakukan seperti tadi, seenaknya saja, dia nyuruh-nyuruh Mak, berlagak nyonya besar saja!"
"Nantilah, mak pikirkan lagi. Untuk saat ini biarkan saja, selagi mak sanggup, mak kerjain."
Bibir Wita manyun. Masih terlihat kekesalan di wajahnya. Tak puas dengan jawabanku.
"Kamu, ngapain balik lagi, Nduk?" tanyaku penasaran.
"Eh, iya, ada titipan mas Bagas. Wita lupa kasih ke Mak tadi, gara-gara Dini datang," jelas Wita.
Kuterima pemberian Wita dan membuka isinya. Uang, ada beberapa lembar di dalam amplop itu.
"Uang untuk apa? Setiap bulan juga, Bagas udah ngasih mak," tanyaku kebingungan.
"Mas Bagas baru dapat rezeki lebih, Mak. Dapat komisi, dari bantuin temen jual rumah. Jadi, mas Bagas pingin berbagi sama Mak."
"Alhamdulillah, lancar dan berkah rezeki Bagas ya, Nduk!" timpalku.
"Aamiin," ucap Wita.
"Oh ya Mak, biar Wita aja yang ngelanjutin kerjaan. Mak, istirahat saja dulu."
"Eh, dak usah, Nduk. Mak bisa kok. Mak pingin istirahat sebentar saja," tolakku.
"Sudah, Mak, biar Wita saja. Mak istirahat atau makan dulu, gih."
Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Wita membantuku. Kulihat Wita bergegas ke belakang menjemur cucian tadi. Aku yang tadinya ingin istirahat urung kulakukan. Mending aku makan saja. Perutku protes minta diisi.
Kubuka lemari tempat menyimpan urap tadi. Mengambilnya dan meletakkannya lagi di meja. Kuambil nasi dan menikmati urap pemberian Wita tadi.
Tiba-tiba, Dini datang dan melemparkan sesuatu ke arahku.
"Astaghfirullah, apa-apaan, kamu Din!?" teriakku.
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini