Share

Tamparan untuk Dini

"Mak, yang apa-apaan! Coba liat gamis Dini, tuh! Itu gamis mahal dan favorit Dini, Mak! Kenapa, sampe kena luntur gitu?" tanya Dini murka. 

Kuambil gamis yang dilempar Dini ke arahku dan memeriksa gamis tersebut. Hanya kena luntur sedikit di bagian bawah, itu pun tidak terlalu kelihatan. 

"Sedikit cuma, Din. Lagipula ini bagian bawah, gak bakal keliatan juga," jawabku. 

"Sedikit, kata Mak! Gamis itu mahal, Mak! Enak aja, Mak ngomong!" cecar Dini emosi. 

Mm … Mak minta maaf, mak gak tau, sewaktu nyuci minggu lalu, kayaknya mak masuki ke mesin cuci. Gak tau kalau ada yang luntur." jawabku. 

"Kan, sudah pernah Dini bilang, kalau gamis-gamis Dini, dicuci pake tangan, jangan masukin ke mesin cuci! Mak ngerti gak sih!" bentak Dini. 

Kulihat kemarahan di wajah Dini. Ya Allah, apa sebegitu besarnya kesalahanku, hanya gara-gara gamis ini, Dini membentakku. 

Kulihat Wita berdiri tak jauh dari pintu belakang. Mungkinkah dia mendengar bentakan Dini. 

Wita berjalan memasuki dapur dan mendekat ke arahku. Menggumpal gamis tadi dan melempar kembali ke Dini. 

"Apaan, kamu!" Dini terkejut. 

Wita mendekat, kemudian tiba-tiba melayangkan satu tamparan ke pipi Dini. 

Kubekap mulutku. Tak menyangka Wita melakukan itu. Dini tak kalah terkejut. Dia memegang pipinya yang mungkin terasa panas. Kelihatan jejak tangan Wita di pipinya. 

"Ka– kamu! Beraninya kamu menampar aku!" pekik Dini. 

"Apa?! Mau nambah lagi?" ujar Wita dengan mata melotot. 

"Itu belum seberapa, dibanding perlakuanmu pada Mak! Seperti anak yang tidak punya etika! Apa tidak pernah diajari cara menghormati orang tua! Apa perlu, aku yang turut mengajarimu! Bukan hanya kau jadikan babu, tapi Mak kau perlakukan dengan sangat tidak sopan! Kau bentak seenak perutmu!" ucap Wita murka. 

"Sudah kubilang, bukan urusanmu!" sahut Dini sambil mengelus pipinya yang kelihatan memerah. 

"Tentu saja urusanku! Dia, orang yang kau bentak-bentak, kau maki-maki, dia Ibuku sekaligus Ibu suamimu! Kau menyakitinya, sama saja menyakitiku dan mas Imron!" balas Wita. 

Aku hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Aku tau, Wita bermaksud membela. Tapi, aku kuatir ini akan membuat hubungan Wita dan Imron bermasalah. Aku tak mau hubungan persaudaraan mereka, menjadi renggang karena hal ini. Sebab selama ini mereka berdua sangat dekat. 

"Kuperingatkan! Jangan, pernah perintah Mak lagi! Urus dirimu sendiri! Cukup sampai hari ini perlakuanmu terhadap Mak!" ucap Wita lagi. 

"Kau, denger ya! Aku akan bales perbuatanmu ini! Lihat saja nanti!" ancam Dini seraya berlalu. 

Wita berbalik memandangku dengan rasa kasihan. Dia mendekat dan langsung memelukku.

"Maaf, Mak, Wita emosi! Dini dah benar-benar kelewatan, gak bisa lagi ditolerir!"

Kurasakan bahunya berguncang. Wita menangis. Aku tahu, pasti dia menyesal. Tapi, memang sikap Dini keterlaluan sekali. 

"Sudahlah, Nduk! Mak tau, kamu cuma mau membela, Mak. Tapi, lain kali jangan pake kekerasan. Mak kuatir, Dini mengadu macam-macam pada masmu, dan kalian jadi bertengkar," ujarku. 

  

"Mas Imron, pasti mengerti, Mak! Wita yakin setelah tau alasannya, pasti mas Imron, akan memarahi istrinya itu," ucap Wita yakin. 

"Ya, sudah! Sekarang, mending kamu balik dulu, Nduk! Kasian, anak-anakmu ditinggal terlalu lama. Bagas juga pasti nungguin kamu."

"Ta— tapi. Mak, gimana?" tanya Wita bingung. 

"Mak, gak apa-apa. Setelah ini, mak mau solat dulu dan istirahat. Sore nanti, masmu pulang,"

Wita mengangguk lalu menyalamiku dan berpamitan. 

Selepas kepergian Wita, aku bereskan meja makan. Lalu aku bersiap untuk menunaikan ibadah zuhur. 

***

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara salam dari depan. Aku yang lagi menyetrika beranjak menuju ke depan dan membuka pintu. Ternyata Imron yang datang. 

"Wa'alaikumsalam, sudah pulang, Le? Kata Dini, sore baru pulang, kok udah nyampe?" tanyaku heran. 

"Iya, Mak. Kebetulan hari ini gak muat barang, jadi, Imron bisa cepat pulang. Kangen sama Dini dan sama Makku yang paling cantik," goda Imron sambil menowel hidungku. 

Aku terkekeh dengan perlakuan Imron. Kemudian Imron mencium tanganku dengan takzim dan memelukku. 

"Mak, lagi ngapain? Dini, mana? Kok gak kelihatan dari tadi?" ujar Imron seraya melepas pelukan. 

"Mak lagi nyetrika pakaian. Kalau Dini, mungkin di kamar, Le," jawabku. 

"Mak, kok nyetrika? Bukannya, Dini yang biasanya ngerjain?" tanya Imron menyelidik. 

Oh, eh, itu, Mak yang pingin, biar badan ada geraknya juga," jawabku gugup. 

"Ooh … gitu. Yo wes, Mak, Imron mau nemuin, Dini dulu, ya."

Aku mengangguk. Imron berlalu ke kamar sedangkan aku melanjutkan menyetrika pakaian. 

Mak! Mak!" Kudengar Imron memanggil. Tergopoh-gopoh aku datang mendapati Imron yang berdiri sambil menggandeng Dini yang memegang pipi. 

Apa mungkin, Dini sudah mengadu pada Imron, kalau Wita sudah menamparnya. 

"Mak, kata Dini, Wita dah nampar Dini, apa betul itu Mak?" tanya Imron. 

"I— itu. Iya benar, tapi … "

"Kenapa, Wita berani nampar kakak iparnya? Biar, Imron suruh Wita kesini! Dia harus menjelaskan alasan perbuatannya pada Dini!" potong Imron. 

Imron segera mengambil gawai dari dalam saku celananya. Menghubungi nomor Wita dan menghidupkan speaker telepon. 

"Halo," jawab Wita. 

"Dek, sekarang juga, kamu ke rumah! Penting!" perintah Imron. 

"Iya, Mas, Wita segera ke sana," balas Wita. 

Panggilan langsung dimatikan oleh Imron. Imron menatap Dini dan aku bergantian. 

"Ada yang mau bantu jelasin, kenapa Wita nekat seperti itu? Biasanya Wita gak pernah bersikap kasar sama orang," ucap Imron. 

Aku hanya bisa menunduk. Bingung mau mengatakan sebenarnya. Nanti ujung-ujungnya diantara mereka pasti bertengkar. 

"Mak, sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Imron lagi. Nada bicaranya sedikit melunak tidak seperti tadi, kelihatan sekali emosinya. 

"Sebenarnya ta—"

"Udah, mas, nanti, mas dengar sendiri, adik mas itu bicara," potong Dini. 

Aku kembali menunduk. Ekor mataku menangkap kalau Imron sedang memperhatikanku. Ya Allah, semoga jangan sampai ada pertengkaran. Damaikanlah mereka ya Allah. 

Tak berapa lama, Wita sampai juga di rumahku. Ternyata Bagas, suami Wita ikut serta. 

"Assalamu'alaikum," ucap Wita dan Bagas berbarengan. 

"Wa'alaikumsalam," jawabku dan Imron. Kulihat wajah Dini sudah seperti jeruk purut, masam. 

"Apa kabar, mas?" tanya Wita sembari mencium tangan Imron. Bergantian dengan Bagas yang ikut menyalami Imron. 

"Alhamdulillah, mas sehat. Mana anak-anakmu, Zidan, Zakia?" tanya Imron. 

"Dititip sama bude sebelah mas, soalny tadi Zidan sama Zakia pada tidur," jelas Wita. 

"Duduk, Dek, Bagas." Imron mempersilahkan keduanya duduk. Aku pun ikut duduk di sebelah Wita yang berhadapan dengan Imron. Kuperhatikan wajah Dini yang memandang Wita dengan penuh kebencian. 

"Mas, dengar dari Dini, tadi kamu menamparnya, apa benar, Dek? Dan apa alasannya, sampe kamu, main tangan kek gitu? Wita, yang Mas kenal selama ini, tidak pernah kasar kepada orang."

Kulihat Wita menghela napas. Di sampingnya, Bagas menggenggam tangan Wita, seolah memberi kekuatan. 

"Jadi gini, Mas. Sebelumnya Wita minta maaf karena lancang telah menampar, Mbak Dini. Tapi, alasan di balik itu semua karena, Wita gak terima, Mbak Dini membentak-bentak Mak dan memperlakukan Mak seperti babu!" jelas Wita dengan napas memburu. 

Kening Imron berkerut, tanda tak mengerti apa maksud ucapan Wita. 

"Babu?" tanya Imron bingung. 

"Iya, babu. Mbak Dini, sering nyuruh-nyuruh Mak, seenak hatinya. Wita gak terima, Mas."

Tatapan Imron beralih ke Dini meminta penjelasan. 

"Gak, Mas, itu gak bener. Mas, tau sendiri, kan selama ini Dini yang melakukan semuanya. Jangan percaya omongan adikmu ini, Mas. Dia hanya ingin kita bertengkar." Dini membela diri. 

Ya, Tuhan. Pandainya dia berkelit, menyudutkan Wita, seolah-olah Wita yang bersalah. 

"Mas, kalau gak percaya ucapan Wita, tanya sama, Mak. Tadi itu, Dini benar-benar sudah kelewat batas," ujar Wita. 

"Mak, Imron minta, Mak jujur. Sebenarnya apa yang terjadi sampai Wita menampar Dini."

Semua mata tertuju padaku. Aku bingung. Disatu sisi, jika aku jujur, Imron pasti bertengkar dengan Dini, kalau tidak jujur, Wita yang akan dipersalahkan. Ya, Tuhan bagaimana ini?

" Mak," panggil Imron lagi. 

"Itu … mmm … sebenarnya ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status