Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
"Mak … Mak, di mana?" Kudengar suara Dini, menantuku memanggil. "Di belakang, Din," sahutku. Kulanjutkan pekerjaan membilas baju. "Mak, kenapa, di tudung belum ada lauk? Dini laper!" tanya Dini ketus. Aku menoleh kepadanya. Dini sudah berdiri di ambang pintu tempat cucian. "Mak, belum masak! Baju kemarin numpuk, makanya, Mak nyuci dulu," jelasku. "Tapi, ini udah jam sepuluh, Mak! Mak, kan tau kalau jam segitu, Dini makan lagi! Nyucinya tinggal aja, Mak masak dulu, gih!" perintah Dini padaku. "Ta— tapi ini nanggung, Din."
Kulihat Dini memegang rantang urap tadi dan hampir menuangkan isinya, kedalam tong sampah. Kurebut rantang dari tangan Dini, dan meletakkannya di atas meja. "Kenapa, kamu mau buang urap dari Wita?" tanyaku kesal. "Tadi, Dini coba cicip, ternyata gak enak, jadi Dini mau buang!" jawab Dini tanpa perasaan bersalah. "Wita, kalau masak urap selalu enak. Lagipula itu, kan untuk mak. Kalau kamu dak suka, ya sudah, jangan main buang gitu!" ucapku kesal. "Halah, timbang urap murahan gitu! Sudahlah!" ucap Dini akhirnya seraya berlalu dari dapur. Tingkah Dini ta
"Mak, yang apa-apaan! Coba liat gamis Dini, tuh! Itu gamis mahal dan favorit Dini, Mak! Kenapa, sampe kena luntur gitu?" tanya Dini murka.Kuambil gamis yang dilempar Dini ke arahku dan memeriksa gamis tersebut. Hanya kena luntur sedikit di bagian bawah, itu pun tidak terlalu kelihatan."Sedikit cuma, Din. Lagipula ini bagian bawah, gak bakal keliatan juga," jawabku."Sedikit, kata Mak! Gamis itu mahal, Mak! Enak aja, Mak ngomong!" cecar Dini emosi.Mm … Mak minta maaf, mak gak tau, sewaktu nyuci minggu lalu, kayaknya mak masuki ke mesin cuci. Gak tau kalau ada yang luntur." jawabku."Kan, sud
"Sebenarnya, apa Mak?" desak Imron."Mas, maaf, saya ikut campur!" Bagas menyela ucapan Imron."Ya, Gas. Bicaralah, mas juga sudah pusing ini.""Gini aja, Mas. Kita gak perlu lagi cari apa masalahnya. Yang jelas, itu sudah terjadi. Saya yakin, itu hanya salah paham saja. Sekarang ini, sebaiknya kita sudahi saja. Saya akan meminta Wita, minta maaf pada Mbak Dini dan saya janji, Wita gak akan mengulangi perbuatannya lagi," ucap Bagas lagi.Wita mendelik ke arah Bagas tanda tak setuju. Yang ditatap terlihat santai."Huh, enak saja hanya minta maaf! Kamu gak tau, Gas, istrimu itu bar-b
Pagi ini, sengaja aku belanja di tukang sayur keliling. Kebetulan hanya sayur dan bumbu saja yang belum ada."Eh, Mak Esah. Udah lama, gak kelihatan belanja di sini? tanya Bu Leli, tetangga depan rumahku." Iya, Bu, cuma beli sayur aja," jawabku basa-basi.Sebenarnya aku malas menanggapi omongan Bu Leli. Soalnya, dia terkenal akan gosipnya. Aku berusaha menghindar dengan orang yang satu ini. Bisa merusak iman dan ibadah kalau bergaul lama-lama dengan Bu Leli. Apalagi, aku ini sudah berumur."Eh, Mak Esah, mau nanya nih, kemarin lusa, saya ada dengar suara berantem di rumah Mak Esah. Siapa yang berantem, Mak?" tanya Bu Leli sam
Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras."Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya."Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas.Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal.
Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanj