Share

Lidah Menantu
Lidah Menantu
Penulis: windaamel70

Perintah Dini

"Mak  … Mak, di mana?" Kudengar suara Dini, menantuku memanggil. 

"Di belakang, Din," sahutku. Kulanjutkan pekerjaan membilas baju.

"Mak, kenapa, di tudung belum ada lauk? Dini laper!" tanya Dini ketus. 

Aku menoleh kepadanya. Dini sudah berdiri di ambang pintu tempat cucian. 

"Mak, belum masak! Baju kemarin numpuk, makanya, Mak nyuci dulu," jelasku. 

"Tapi, ini udah jam sepuluh, Mak! Mak, kan tau kalau jam segitu, Dini makan lagi! Nyucinya tinggal aja, Mak masak dulu, gih!" perintah Dini padaku. 

"Ta— tapi ini nanggung, Din."

"Udah, Mak cepet masaknya! Dini gak mau tau, jam sebelas udah mateng, udah laper!"

Dini beranjak dari tempatnya berdiri, meninggalkanku yang masih berjibaku dengan cucian. Kugelengkan kepala melihat perlakuan menantuku itu. Kulanjutkan membilas baju yang tinggal sedikit. Jadi, nanti tinggal menjemur saja. 

***

"Din, itu lauknya sudah mateng," panggilku. Kuketuk pintu kamarnya. 

Pintu terbuka. Terlihat wajah Dini yang kusam, dengan rambut acak-acakan. Pasti dia ketiduran lagi. 

"Sudah selesai masaknya?" tanya Dini lagi sambil menguncir rambutnya yang berantakan. 

"Su— sudah. Mak dah tarok di atas meja, lauk sama sayurnya," jawabku. 

"Ya, sudah. Dini mau mandi dulu, gerah!" ucap Dini sembari langsung menutup kembali pintu kamarnya.

Aku hanya bisa mengelus dada, menghadapi tingkah Dini. 

Aku, Esah. Biasa dipanggil Mak Esah. Usiaku sudah memasuki kepala enam dan aku seorang janda. Dini, menikah dengan Imron, anak sulungku. 

Mereka menikah sudah hampir setahun, namun belum dikaruniai anak. Sedangkan anak keduaku, Wita, sudah menikah terlebih dahulu sebelum Imron dan memiliki sepasang anak. Wita tinggal tak jauh dari rumahku, sekitar 20 menit dengan mengendarai motor. 

Awalnya, aku sangat bahagia menerima kepindahan mereka. Kulayani Dini, menantuku itu, seperti anakku sendiri. Berharap, dia akan menyayangiku seperti ibunya sendiri. Namun, ibarat kata, jauh panggang dari api, jauh pula harapanku. Dini sepertinya, tidak menganggap aku sebagai mertua. Apalagi, setelah dia tahu, bahwa selama ini, kebutuhan hidupku, masih bergantung pada Imron. 

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara dari luar. Aku menuju ke depan, untuk melihat siapa yang datang. 

"Wa'alaikumsalam," jawabku. Ternyata, Wita yang datang.

"Kenapa, dak langsung masuk, Nduk? Biasanya, kan gitu?" tanyaku pada Wita. 

"Itu dulu, Mak, sekarang beda. Ntar, Wita diprotes lagi!" Bibir Wita manyun, matanya melirik ke dalam. 

Aku langsung mengerti apa maksud Wita. 

"Zidan sama Zakia, gak diajak?" tanyaku lagi. 

"Ntar kalau sering diajak kesini, habisin duit Mak! 

Jadi, Wita gak mau nyusahin!"

"Kok, ngomong gitu toh, Nduk?" tanyaku lagi. 

Wita hanya tersenyum tipis. Lalu menyodorkan rantang kepadaku. 

"Weslah, Mak. Ini, Wita bawain kesukaan Mak, urap. Tadi habis panen sayur di belakang, hasilnya lumayan, jadi, tak bikinin urap," tutur Wita. 

"Alhamdulillah, makasih, ya, Wit. Dah lama mak dak makan urap." Aku tersenyum memandang Wita. 

"Kesini, cuman bawak urap doang! Pulang dari sini, lebih dari urap yang dibawa!" Tiba-tiba Dini muncul dihadapanku dan Wita. 

Aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti, apa maksud ucapan Dini. Kulihat, Wita merengut. Apa, Dini barusan menyindir Wita. 

"Maksud kamu apa?" tanya Wita dengan nada ketus. 

"Gak ada maksud apa-apa, sadar diri aja! Kalau kesini buat nyusahin, mending gak usah kesini!" Dini tersenyum sinis. 

Wita menatap tajam iparnya itu. Terlihat dari wajahnya, Wita menahan kesal. Dia menarik napas dan memejamkan mata menahan emosinya. 

"Mak, Wita pulang dulu, ya! Ada penganggu di sini, jadi, Wita gak bisa lama-lama," pamit Wita akhirnya. 

"Eh,  iya, Wit. Hati-hati, Nduk! Salam sama Bagas dan cucu-cucu mak."

Wita mengangguk dan segera berlalu. Kulihat Dini mencebikkan mulutnya. Tak lama dia beranjak ke dalam. Kususul Wita kedepan yang lagi menaiki motornya. 

"Nduk, yang sabar, ya!" ucapku memohon. Kuelus punggungnya berharap emosi Wita sedikit berkurang. 

"Kalau gak mikir, dia itu istrinya mas Imron, sudah Wita ajak begulat, Mak! ucap Wita ketus. 

"Sudah … sudah, sabar, Nduk! Gak baik, kek gitu! 

"Ini masih sabar, Mak! Nanti, kalau sudah habis batasnya, Wita lawan beneran, tu orang! Udah dari kemarin-kemarin nyindir terus! Makanya, Wita jarang ke sini. Ini, kalau gak mas Bagas, yang maksa dan ingetin Wita, supaya ngeliat Mak, males banget kesini!" ucap Wita dengan penuh emosi. 

Aku tercenung. Ternyata ini alasannya, kenapa Wita sekarang jarang ke rumahku. 

"Ya, sudah! Biarkan saja, mudah-mudahan, Dini cepat sadar, berdoa saja!" ucapku lagi. 

"Orang kek gitu, susah sadarnya, Mak!" timpal Wita. 

"Kita cuma bisa berdoa saja, Nduk. Allah  Maha Mengetahui segalanya," ucapku. 

"Ya, sudahlah, Mak! Wita pulang dulu! Mak jangan capek-capek, ya! Wita berpamitan seraya mencium punggung tanganku. 

" Iya, Nduk. Doakan, mak sehat selalu ya!" pintaku. 

Wita mengangguk dan segera menghidupkan motornya. Tak lama dia pun berlalu. 

Aku pun heran dengan sikap Dini, yang berubah drastis. Waktu Imron memperkenalkanku pada Dini, anak itu terlihat santun dan baik. Makanya, aku menyetujui pernikahan Imron dan Dini. 

Mak … kesini, Mak!" Terdengar suara Dini memanggil dari arah dapur. Aku segera masuk dan menuju dapur. 

"Ada apa, Din?" tanyaku sambil duduk di kursi makan. Kulihat, Dini sedang menghadap piring berisi nasi dan lauk, yang kumasak tadi. 

"Sore nanti, mas Imron pulang." ucap Dini sambil mengunyah. 

"Alhamdulillah," jawabku. 

Imron, anak sulungku memang jarang di rumah. Pekerjaannya, sebagai sales luar kota, mengharuskan dia sering bepergian. Terkadang untuk order barang, menagih sekaligus mengantarkan barang pesanan pelanggan. Dalam seminggu, hanya dua hari di rumah. 

"Nanti, kalau mas Imron nanya, siapa yang masak dan beberes rumah, seperti biasa, Mak bilang, Dini yang urus semuanya! Mak, jangan pernah ngomong macam-macam sama mas Imron! Mak, gak mau, kan kami bertengkar gara-gara, Mak?" ancam Dini

Aku menghela napas. Berbohong lagi untuk kesekian kali. Kapankah menantuku ini akan sadar. 

"Mak!" panggil Dini lagi. "Mak denger, gak? Terlihat wajah kesalnya menatapku. 

" Iya, mak denger dan mak paham. Dak perlu kamu ingatkan lagi. Llagipula selama ini, emang selalu begitu, kan?" sindirku. 

"Baguslah, kalau Mak sudah paham!" sungut Dini. 

Untuk kedua kalinya, kuhela napas. Dosa apa aku, dapat menantu seperti ini. Pandai berpura-pura. Apakah karena kepandaiannya ini, anakku Imron, terlena, hingga mati-matian ingin menikahinya.

"Ya, sudah, Dini mau lanjutin makan lagi, Mak ke depan aja lagi!" usir Dini. 

Aku bangkit dari duduk, menuju kamarku. Badanku terasa letih sekali. Belum lagi, penyakit rematik yang kuderita, sering membuatku kesakitan. Ditambah, semua pekerjaan, aku yang menyelesaikan. 

Tiba-tiba, teringat aku akan urap pemberian Wita tadi. Gegas aku keluar kamar. Perut pun sudah terasa keroncongan. Aku menuju ke meja tamu, tempat urap tadi kuletakkan. Namun, rantang berisi urap tadi tidak ada. 

Aku menuju ke dapur, barangkali aku salah tarok. 

"Ya, Allah, Din!!! Apa yang kamu lakukan?" pekikku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status