"Mak … Mak, di mana?" Kudengar suara Dini, menantuku memanggil.
"Di belakang, Din," sahutku. Kulanjutkan pekerjaan membilas baju.
"Mak, kenapa, di tudung belum ada lauk? Dini laper!" tanya Dini ketus.
Aku menoleh kepadanya. Dini sudah berdiri di ambang pintu tempat cucian.
"Mak, belum masak! Baju kemarin numpuk, makanya, Mak nyuci dulu," jelasku.
"Tapi, ini udah jam sepuluh, Mak! Mak, kan tau kalau jam segitu, Dini makan lagi! Nyucinya tinggal aja, Mak masak dulu, gih!" perintah Dini padaku.
"Ta— tapi ini nanggung, Din."
"Udah, Mak cepet masaknya! Dini gak mau tau, jam sebelas udah mateng, udah laper!"
Dini beranjak dari tempatnya berdiri, meninggalkanku yang masih berjibaku dengan cucian. Kugelengkan kepala melihat perlakuan menantuku itu. Kulanjutkan membilas baju yang tinggal sedikit. Jadi, nanti tinggal menjemur saja.
***
"Din, itu lauknya sudah mateng," panggilku. Kuketuk pintu kamarnya.
Pintu terbuka. Terlihat wajah Dini yang kusam, dengan rambut acak-acakan. Pasti dia ketiduran lagi.
"Sudah selesai masaknya?" tanya Dini lagi sambil menguncir rambutnya yang berantakan.
"Su— sudah. Mak dah tarok di atas meja, lauk sama sayurnya," jawabku.
"Ya, sudah. Dini mau mandi dulu, gerah!" ucap Dini sembari langsung menutup kembali pintu kamarnya.
Aku hanya bisa mengelus dada, menghadapi tingkah Dini.
Aku, Esah. Biasa dipanggil Mak Esah. Usiaku sudah memasuki kepala enam dan aku seorang janda. Dini, menikah dengan Imron, anak sulungku.
Mereka menikah sudah hampir setahun, namun belum dikaruniai anak. Sedangkan anak keduaku, Wita, sudah menikah terlebih dahulu sebelum Imron dan memiliki sepasang anak. Wita tinggal tak jauh dari rumahku, sekitar 20 menit dengan mengendarai motor.
Awalnya, aku sangat bahagia menerima kepindahan mereka. Kulayani Dini, menantuku itu, seperti anakku sendiri. Berharap, dia akan menyayangiku seperti ibunya sendiri. Namun, ibarat kata, jauh panggang dari api, jauh pula harapanku. Dini sepertinya, tidak menganggap aku sebagai mertua. Apalagi, setelah dia tahu, bahwa selama ini, kebutuhan hidupku, masih bergantung pada Imron.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara dari luar. Aku menuju ke depan, untuk melihat siapa yang datang.
"Wa'alaikumsalam," jawabku. Ternyata, Wita yang datang.
"Kenapa, dak langsung masuk, Nduk? Biasanya, kan gitu?" tanyaku pada Wita.
"Itu dulu, Mak, sekarang beda. Ntar, Wita diprotes lagi!" Bibir Wita manyun, matanya melirik ke dalam.
Aku langsung mengerti apa maksud Wita.
"Zidan sama Zakia, gak diajak?" tanyaku lagi.
"Ntar kalau sering diajak kesini, habisin duit Mak!
Jadi, Wita gak mau nyusahin!"
"Kok, ngomong gitu toh, Nduk?" tanyaku lagi.
Wita hanya tersenyum tipis. Lalu menyodorkan rantang kepadaku.
"Weslah, Mak. Ini, Wita bawain kesukaan Mak, urap. Tadi habis panen sayur di belakang, hasilnya lumayan, jadi, tak bikinin urap," tutur Wita.
"Alhamdulillah, makasih, ya, Wit. Dah lama mak dak makan urap." Aku tersenyum memandang Wita.
"Kesini, cuman bawak urap doang! Pulang dari sini, lebih dari urap yang dibawa!" Tiba-tiba Dini muncul dihadapanku dan Wita.
Aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti, apa maksud ucapan Dini. Kulihat, Wita merengut. Apa, Dini barusan menyindir Wita.
"Maksud kamu apa?" tanya Wita dengan nada ketus.
"Gak ada maksud apa-apa, sadar diri aja! Kalau kesini buat nyusahin, mending gak usah kesini!" Dini tersenyum sinis.
Wita menatap tajam iparnya itu. Terlihat dari wajahnya, Wita menahan kesal. Dia menarik napas dan memejamkan mata menahan emosinya.
"Mak, Wita pulang dulu, ya! Ada penganggu di sini, jadi, Wita gak bisa lama-lama," pamit Wita akhirnya.
"Eh, iya, Wit. Hati-hati, Nduk! Salam sama Bagas dan cucu-cucu mak."
Wita mengangguk dan segera berlalu. Kulihat Dini mencebikkan mulutnya. Tak lama dia beranjak ke dalam. Kususul Wita kedepan yang lagi menaiki motornya.
"Nduk, yang sabar, ya!" ucapku memohon. Kuelus punggungnya berharap emosi Wita sedikit berkurang.
"Kalau gak mikir, dia itu istrinya mas Imron, sudah Wita ajak begulat, Mak! ucap Wita ketus.
"Sudah … sudah, sabar, Nduk! Gak baik, kek gitu!
"Ini masih sabar, Mak! Nanti, kalau sudah habis batasnya, Wita lawan beneran, tu orang! Udah dari kemarin-kemarin nyindir terus! Makanya, Wita jarang ke sini. Ini, kalau gak mas Bagas, yang maksa dan ingetin Wita, supaya ngeliat Mak, males banget kesini!" ucap Wita dengan penuh emosi.
Aku tercenung. Ternyata ini alasannya, kenapa Wita sekarang jarang ke rumahku.
"Ya, sudah! Biarkan saja, mudah-mudahan, Dini cepat sadar, berdoa saja!" ucapku lagi.
"Orang kek gitu, susah sadarnya, Mak!" timpal Wita.
"Kita cuma bisa berdoa saja, Nduk. Allah Maha Mengetahui segalanya," ucapku.
"Ya, sudahlah, Mak! Wita pulang dulu! Mak jangan capek-capek, ya! Wita berpamitan seraya mencium punggung tanganku.
" Iya, Nduk. Doakan, mak sehat selalu ya!" pintaku.
Wita mengangguk dan segera menghidupkan motornya. Tak lama dia pun berlalu.
Aku pun heran dengan sikap Dini, yang berubah drastis. Waktu Imron memperkenalkanku pada Dini, anak itu terlihat santun dan baik. Makanya, aku menyetujui pernikahan Imron dan Dini.
Mak … kesini, Mak!" Terdengar suara Dini memanggil dari arah dapur. Aku segera masuk dan menuju dapur.
"Ada apa, Din?" tanyaku sambil duduk di kursi makan. Kulihat, Dini sedang menghadap piring berisi nasi dan lauk, yang kumasak tadi.
"Sore nanti, mas Imron pulang." ucap Dini sambil mengunyah.
"Alhamdulillah," jawabku.
Imron, anak sulungku memang jarang di rumah. Pekerjaannya, sebagai sales luar kota, mengharuskan dia sering bepergian. Terkadang untuk order barang, menagih sekaligus mengantarkan barang pesanan pelanggan. Dalam seminggu, hanya dua hari di rumah.
"Nanti, kalau mas Imron nanya, siapa yang masak dan beberes rumah, seperti biasa, Mak bilang, Dini yang urus semuanya! Mak, jangan pernah ngomong macam-macam sama mas Imron! Mak, gak mau, kan kami bertengkar gara-gara, Mak?" ancam Dini
Aku menghela napas. Berbohong lagi untuk kesekian kali. Kapankah menantuku ini akan sadar.
"Mak!" panggil Dini lagi. "Mak denger, gak? Terlihat wajah kesalnya menatapku.
" Iya, mak denger dan mak paham. Dak perlu kamu ingatkan lagi. Llagipula selama ini, emang selalu begitu, kan?" sindirku.
"Baguslah, kalau Mak sudah paham!" sungut Dini.
Untuk kedua kalinya, kuhela napas. Dosa apa aku, dapat menantu seperti ini. Pandai berpura-pura. Apakah karena kepandaiannya ini, anakku Imron, terlena, hingga mati-matian ingin menikahinya.
"Ya, sudah, Dini mau lanjutin makan lagi, Mak ke depan aja lagi!" usir Dini.
Aku bangkit dari duduk, menuju kamarku. Badanku terasa letih sekali. Belum lagi, penyakit rematik yang kuderita, sering membuatku kesakitan. Ditambah, semua pekerjaan, aku yang menyelesaikan.
Tiba-tiba, teringat aku akan urap pemberian Wita tadi. Gegas aku keluar kamar. Perut pun sudah terasa keroncongan. Aku menuju ke meja tamu, tempat urap tadi kuletakkan. Namun, rantang berisi urap tadi tidak ada.
Aku menuju ke dapur, barangkali aku salah tarok.
"Ya, Allah, Din!!! Apa yang kamu lakukan?" pekikku.
Kulihat Dini memegang rantang urap tadi dan hampir menuangkan isinya, kedalam tong sampah. Kurebut rantang dari tangan Dini, dan meletakkannya di atas meja. "Kenapa, kamu mau buang urap dari Wita?" tanyaku kesal. "Tadi, Dini coba cicip, ternyata gak enak, jadi Dini mau buang!" jawab Dini tanpa perasaan bersalah. "Wita, kalau masak urap selalu enak. Lagipula itu, kan untuk mak. Kalau kamu dak suka, ya sudah, jangan main buang gitu!" ucapku kesal. "Halah, timbang urap murahan gitu! Sudahlah!" ucap Dini akhirnya seraya berlalu dari dapur. Tingkah Dini ta
"Mak, yang apa-apaan! Coba liat gamis Dini, tuh! Itu gamis mahal dan favorit Dini, Mak! Kenapa, sampe kena luntur gitu?" tanya Dini murka.Kuambil gamis yang dilempar Dini ke arahku dan memeriksa gamis tersebut. Hanya kena luntur sedikit di bagian bawah, itu pun tidak terlalu kelihatan."Sedikit cuma, Din. Lagipula ini bagian bawah, gak bakal keliatan juga," jawabku."Sedikit, kata Mak! Gamis itu mahal, Mak! Enak aja, Mak ngomong!" cecar Dini emosi.Mm … Mak minta maaf, mak gak tau, sewaktu nyuci minggu lalu, kayaknya mak masuki ke mesin cuci. Gak tau kalau ada yang luntur." jawabku."Kan, sud
"Sebenarnya, apa Mak?" desak Imron."Mas, maaf, saya ikut campur!" Bagas menyela ucapan Imron."Ya, Gas. Bicaralah, mas juga sudah pusing ini.""Gini aja, Mas. Kita gak perlu lagi cari apa masalahnya. Yang jelas, itu sudah terjadi. Saya yakin, itu hanya salah paham saja. Sekarang ini, sebaiknya kita sudahi saja. Saya akan meminta Wita, minta maaf pada Mbak Dini dan saya janji, Wita gak akan mengulangi perbuatannya lagi," ucap Bagas lagi.Wita mendelik ke arah Bagas tanda tak setuju. Yang ditatap terlihat santai."Huh, enak saja hanya minta maaf! Kamu gak tau, Gas, istrimu itu bar-b
Pagi ini, sengaja aku belanja di tukang sayur keliling. Kebetulan hanya sayur dan bumbu saja yang belum ada."Eh, Mak Esah. Udah lama, gak kelihatan belanja di sini? tanya Bu Leli, tetangga depan rumahku." Iya, Bu, cuma beli sayur aja," jawabku basa-basi.Sebenarnya aku malas menanggapi omongan Bu Leli. Soalnya, dia terkenal akan gosipnya. Aku berusaha menghindar dengan orang yang satu ini. Bisa merusak iman dan ibadah kalau bergaul lama-lama dengan Bu Leli. Apalagi, aku ini sudah berumur."Eh, Mak Esah, mau nanya nih, kemarin lusa, saya ada dengar suara berantem di rumah Mak Esah. Siapa yang berantem, Mak?" tanya Bu Leli sam
Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras."Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya."Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas.Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal.
Keesokan paginya, aku baru saja selesai menyiapkan sarapan. Sarapan kali ini pun aku buat sesuai seleraku saja, tidak atas permintaan Dini, seperti biasanya. Kalau dia tidak mau, toh dia bisa beli sendiri.Setelah selesai membuat sarapan, aku berniat mencuci pakaian. Sesampai di pintu belakang, kulihat sudah teronggok sekeranjang penuh pakaian Dini. Kugeleng-gelengkan kepalaku.Saatnya memberi pelajaran pada menantu yang lidahnya tajam itu. Biar dia tau, aku selama ini bersabar, bukan karena aku takut, aku berharap dia akan berubah, namun sepertinya, aku salah langkah. Mungkin dengan jalan, bersikap sedikit tegas dan tidak memanjakannya, bisa membuat Dini sadar.Kusingkirkan keranjang pakaiannya dekat sudut pintu. Lalu kulanj
POV Wita Namaku Wita. Aku seorang ibu rumah tangga, dan mempunyai sepasang anak. Suamiku, mas Bagas seorang guru di salah satu sekolah dasar negeri di daerah kami. Selain itu, kami mempunyai toko kelontong kecil-kecilan di depan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Walaupun seadanya, Alhamdulillah cukup untuk kami sekeluarga. Aku mengenal mas Bagas, lima tahun yang lalu. Kala itu, aku mengajar di salah satu sekolah dasar swasta sebagai tenaga kontrak. Awal aku mengenal mas Bagas, karena kami bertemu disalah satu lomba cerdas cermat dan kami berdua sebagai guru pembimbing. Sejak saat itu, kami menjadi dekat dan memutuskan untuk menikah. Alhamdulillah, tak lama kami menikah, aku hamil. Semenjak aku hamil, mas Bagas memintaku untuk resig
POV Wita 2Selesai membuatkan teh untuk mas Bagas, kutaruh di meja makan. Segera kusiapkan nasi goreng dan telur mata sapi untuk mas Bagas.Tak lama, kulihat Mas Bagas sudah rapi dengan seragamnya. Dia menuju ke meja makan. Mas Bagas menarik kursi dan duduk."Wah … nasi goreng, makasih ya, Bun," ucap Mas Bagas.Dia memang selalu seperti itu. Berusaha menyenangkan hatiku apalagi kalau aku sedang galau."Sama-sama, Yah," jawabku sembari duduk di hadapan Mas Bagas.Kuperhatikan wajah Mas Bagas. Aku ber