"Jadi, aku serahkan semuanya padamu. Aku pamit dulu, nanti kirimkan hasilnya melalui email," pinta Zidan.
"Baiklah ... kamu tidak mau menunggu di sini?" tanya Samuel.
"Aku ingin menunggu di rumah. Lagi pula kasihan gadis setengah telanjang tadi kalau aku tidak pulang sekarang," jawab Zidan dengan kalimat yang sedikit menyindir temannya itu.
"He-he ... oke. Aku anggap kamu adalah teman yang pengertian," sahut Samuel tersenyum mirip kuda.
Zidan pun keluar dari ruangan Samuel dengan perasaan tak menentu. Dalam hatinya berharap kalau kecurigaannya tidak benar. Ia menemui Samuel agar hatinya lebih puas. Ada beberapa alasan tertentu ia tidak langsung melacak keberadaan Shakira setahun lalu. Padahal kalau ia mau, ia bisa m
Zidan perlahan membuka mata. Meski masih terasa berat, ia terus berusaha untuk bangun dari pingsannya. Obat penenang yang disuntikkan padanya tadi cukup membuatnya tidak sadarkan diri untuk beberapa waktu.Kejadian ini bukan baru terjadi sekali atau dua kali, tetapi sudah sering semenjak dirinya dinyatakan depresi walaupun bukan sungguhan. Kepalanya sungguh terasa berat. Sambil mencoba duduk, ia memegangi kepalanya.Matanya memicing melihat keadaan kamarnya telah rapi. Tidak ada barang-barang yang berceceran, kaca pecah, semuanya sudah tertata rapi. Bahkan ayahnya selalu siap sedia mengganti kaca lemari yang ia pecahkan dengan cepat, seperti tidak pernah terjadi apa-apa."Cih ... lagi-lagi seperti ini. Aku sudah muak," decih Zidan.
Zidan dan Kia masih saling berpelukan dengan pikiran masing-masing. Mungkin sekitar sepuluh menit, sebelum Zidan benar-benar melepaskan pelukan eratnya pada tubuh Kia."Kamu tinggal di sini sendiri?" tanya Zidan. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh apartemen dari depan pintu."I-iya ... aku tinggal sendiri," jawab Kia sedikit canggung.Zidan memperhatikan dari sudut ke sudut apartemen yang tidak terlalu luas itu. Dengan pandangan tajam dan penilaian cukup jeli, ia mencoba membaca situasi.'Apartemen ini memang awalnya tidak kosong. Hawanya terasa hangat. Jadi, dia memang tinggal di sini?' batin Zidan yang sepertinya tidak begitu yakin. Ia tidak tahu bahwa kecurigaannya itu memanglah benar.
Kia mendapatkan masalah yang besar saat ini. Hal yang diminta oleh Zidan tidak ada di dalam kontrak yang ia tanda tangani dengan Tuan Seto. Kalau memang Zidan dan Shakira setiap bulan melakukan ritual seperti itu, sudah pasti ia akan ketahuan karena masih perawan."Bagaimana kalau kita tiadakan hal yang biasa kita lakukan itu?" Kia mencoba menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dengan membujuk Zidan. Lagi pula ia mana sanggup memenuhinya. Ia mempunyai prinsip jika hubungan intim harus dilakukan setelah menikah.Zidan yang masih memeluk Kia dari belakang tersenyum samar. Ia merasa takjub dengan sikap tenang Kia meskipun ia telah meminta hal yang ekstrem seperti itu."Kamu tidak suka? Padahal dulu kamu yang menggebu memintanya," ujar Zidan sambil melepaskan pelukannya. Ia se
Kia mencoba menjawab pertanyaan Tuan Seto dengan tenang. Ia berusaha semaksimal mungkin agar pria paruh baya itu tidak tersinggung. "Bukan begitu maksud saya, Pak. Sembarang orang yang saya maksud adalah orang yang tidak selevel dengan kasta keluarga kalian. Lagi pula, saya juga tidak bisa menikah dengan putra Bapak karena saya sedang berlakon menjadi orang lain. Pernikahan tentu saja tidak akan sah," terang Kia. "Ha-ha-ha! Nak Kia memang sungguh cerdas, tapi apalah arti sebuah nama? Jika Zidan menginginkan Nak Kia menikah dengannya tentu saja saya tidak bisa menolak karena kebahagiaan Zidan adalah yang utama," balas Tuan Seto. Ia menghela napasnya sejenak. Raut wajahnya pun berubah menjadi cemas. "Saya rasa, saya sudah keterlaluan kepada N
Mereka berdua masih larut dalam romantisme. Mungkin bagi Kia ini adalah hal yang paling mendebarkan, tetapi bagi Zidan ini adalah sebuah permainan untuk memberi pelajaran.Kini masing-masing dari mereka melepaskan kedua benda kenyal yang baru saja saling bertautan, lebih tepatnya bertukar saliva hingga membuat hasrat merayap naik. Sebelum menjadi lebih bergejolak mereka menghentikannya.Mata Zidan menatap mata Kia dengan pandangan sayu. Sebagai seorang pria, ia tidak munafik jika tubuhnya bereaksi karena bersentuhan dengan wanita. Namun, rasa benci karena dibohongi lebih mendominasi pikirannya."Maaf," lirih Zidan sambil mengusap air mata Kia yang masih membekas di pipi mulus gadis itu.Kia menunduk dalam karena mal
Setelah menjelaskan perihal perawat yang diutus oleh Tuan Seto, Harry mengajak Kia untuk keluar sebentar dari ruang rawat Ibu Tina. Harry beralasan akan mengurus administrasi rumah sakit sebelum mereka pulang.Mereka berdua berjalan menuju bangku taman rumah sakit dan duduk di sana untuk berbincang."Kamu pasti belum sempat menjelaskan kepada ibumu perihal tinggal di rumah Tuan Seto," terka Harry."Benar, Kak ... selain belum sempat, aku juga bingung cara menjelaskannya ke ibu. Aku sudah memikirkan dari semalam, tapi tetap saja otakku buntu," keluh Kia. Wajahnya terlihat lesu dan terlihat kurang bersemangat.Harry menyadari jika Kia sepertinya kebingungan. Senyuman tersemat di wajah tampannya yang biasa terlihat dat
Sepanjang perjalanan pulang dari restoran, Zidan tampak memikirkan perkataan Samuel. Ia masih tidak begitu yakin jika Shakira tidak mencintainya, padahal semua sudah diberikan olehnya untuk membahagiakan wanita itu.Zidan mengesah kasar sambil memejamkan mata. Ia memijit kepalanya karena terasa pusing dan berat. Bahkan ia sampai berpikir, bisa-bisa ia menjadi depresi sungguhan karena hal ini. Namun, jika Shakira tidak mencintainya, untuk apa selama ini ia berpura-pura gila? Sudah pasti itu hanya sia-sia saja.Alasan kuat yang mendasari keputusannya berlagak menjadi depresi karena yakin Shakira mencintainya. Ia berpikir kalau tunangannya itu meninggalkannya hanya karena kesal dan pasti akan kembali."Tuan Muda? Apa kita akan langsung kembali ke rumah?" tanya sang sopir.
Satu hari pun telah berlalu. Kini saatnya Kia pindah ke kediaman keluarga Mahendra. Dengan alasan demi kepentingan pendidikan, ia terpaksa membohongi ibunya.Harry sudah menunggu Kia di depan pintu apartemen. Waktu memang masih menunjukkan pukul enam lewat seperempat, tetapi ia tidak keberatan untuk menjemput Kia."Apa kamu sudah siap?" tanya Harry yang pagi-pagi pun sudah menggunakan setelan jas lengkap."Sudah, Kak! Ibu juga tidak masalah aku berangkat sepagi ini," jawab Kia."Lalu ... mana ibumu?" Harry melongok ke dalam apartemen karena tidak melihat orang yang dimaksud."Ibu sedang mandi dibantu oleh Mbak Annisa. Aku sudah pamit sebelum ibu mandi tadi