Pagi esoknya, seperti biasa, aku mempersiapkan diriku dan sarapan sebelum pergi ke sekolah. Aku menyantap masakan yang mama masak dengan lahap bersama dengan kakak dan papa. Tiba-tiba kakak menanyakan pertanyaan yang membuatku terkejut.
"Jadi kamu sudah pacaran sama pangeran berkuda putihmu?" tanyanya yang membuat aku terbatuk.
Papa yang duduk di samping kananku pun ikut terbatuk saat mendengar pertanyaan yang mengejutkan itu. Pria berumur 42 tahun itu langsung meraih secangkir teh di sampingnya lalu meneguknya sampai setengah kosong.
"Apa? Kamu pacaran?" tanya papa kepadaku.
Aku tambah terbatuk-batuk setelah mendengar pertanyaan papa. Papa pun mengoper segelas teh yang masih belum diminum kepadaku. Kuminum teh hangat itu setelah sedikit tenang agar tidak tersedak saat meminumnya.
"Tidak, Pa. Aku belum pacaran dan tidak akan pacaran kok. Aku bakal fokus sama sekolah dulu," jawabku sambil melemparkan tatapan sinis ke arah kakakku yang memasang wajah
Setelah berhasil kabur dari Jonathan, aku duduk merenung di mejaku. Untung saja Jonathan membiarkanku pergi begitu saja dan memaksaku untuk berhenti menghindari dia dan Vania lagi.Saat memandang kosong ke arah pintu, aku melihat Vania memasuki kelas, diikuti oleh Jonathan. Mereka berjalan menuju meja Vania sambil mengomongkan sesuatu. Sepertinya mereka membicarakan aku karena sekilas aku melihat Jonathan melirik ke arahku.Sontak aku memalingkan mukaku ke jendela yang berada di sisi kiriku. Kupandang langit biru berawan di luar sambil menopang daguku dengan telapak tangan kananku. 'Sepertinya nanti akan hujan deras.'Entah berapa menit aku melamun sambil memandang cakrawala, akhirnya bel masukan berdering. Aku pun mengalihkan pandanganku dari jendela. Kulihat Jonathan melambaikan tangannya kepada Vania sebelum pergi meninggalkan dia dan kembali ke mejanya.Tak lama kemudian, masuklah seorang guru berseragam batik sehingga semua penghuni kelas ini kembali
Bunyi bel istirahat terdengar, guru pun berhenti mengajar. Para murid mengucapkan terima kasih kepada sang pendidik karena sudah mengajari mereka. Setelah itu, semua orang yang berada di dalam kelas ini pun bubar dan pergi ke kantin, kecuali aku.Aku mengeluarkan kotak bekalku dari dalam ransel dan mulai memakan makanan yang sudah dingin ini. Suasana kelas yang sunyi membuatku merasa kesepian, terutama karena aku sendirian di tempat ini."Kalau ada Vania dan Jonathan, pasti tidak akan sesepi ini ...," gumamku di sela-sela mengunyah.Setelah menelan makanan di dalam mulutku, aku terdiam sejenak. Sebuah senyuman pahit tercipta pada bibirku. 'Apa yang kuharapkan? Akulah yang mengakhiri persahabatan kami jadi aku tidak pantas berharap begitu.'Kumainkan nasi di dalam kotak bekal dengan menggunakan sendok. Aku tidak begitu nafsu makan walaupun masakan mama sangat enak. Penyesalan ini membuatku kehilangan hasrat untuk memenuhi kebutuhan panganku.Aku mem
Beberapa jam telah berlalu sejak kejadian yang mengejutkan itu. Pada akhirnya aku tidak mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang mengatakannya. Waktu itu aku tetap berpura-pura tidur sampai jam istirahat berakhir.*Flashback: Jam Istirahat*"Hah? Serius kamu tertarik sama dia?" Salah satu sahabatnya tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Orang yang mengaku bahwa dia tertarik denganku merespons pertanyaan itu dengan sebuah dehaman. "Memangnya kenapa?""Tidak apa-apa sih. Aku hanya tidak nyangka saja kalau kamu tertarik sama dia," balas lawan bicaranya.Siswa itu hanya tertawa mendengar balasan dari sahabatnya. Sesudah itu, dia mengalihkan pembicaraan sehingga mereka tidak lagi membahas tentang topik itu lagi. Ketiga siswa itu kembali berdiskusi mengenai pelajaran lagi.*Flashback selesai*Aku berjalan menuju kamar tidurku dengan linglung. Setelah pulang pun aku masih terus memikirkan pembicaraan itu. Ini pertama kalin
Sebuah bangunan bertingkat 3 berdiri di depanku. Gedung tempat tinggal itu adalah rumah Victor. Aku menelan ludahku sebelum melangkah memasuki rumahnya. Begitu masuk, aku disambut oleh ibunya dengan ramah."Halo~ Temannya Victor, ya?" sapa wanita berumur 40-an tahun itu."Iya, Tante," jawabku sambil tersenyum ramah."Yuk langsung naik saja. Victor dan yang lainnya sudah menunggu di lantai 2," ajaknya sambil memberikan isyarat tangan yang menyuruhku untuk mengikutinya.Aku pun melangkah mengikuti ibunya Victor. Sambil berjalan, aku melihat-lihat telepon pintar keluaran terbaru yang terpajang di dalam etalase kaca. Ya, keluarga Victor menjalankan bisnis konter HP yang memiliki beberapa cabang di dalam kota ini."Kalau kamu mau beli, Tante akan kasih kamu diskon karena kamu temannya Victor," ujar ibunya Victor yang mengambil kesempatan untuk promosi saat menyadari aku melihat-lihat telepon pintar yang dijual oleh konter HP-nya.Dengan cepat aku
2 hari telah berlalu sejak aku kerja kelompok di rumah Victor. Aku turun ke sekolah pagi-pagi sebelum bel masukan berbunyi dan gerbang ditutup. Saat memasuki ruangan kelasku, aku mendapatkan tatapan sinis dari lima siswi yang menongkrong di meja guru.Kuabaikan tatapan sinis dari geng Celestine dan berjalan menuju tempat dudukku. Aku sudah terbiasa mendapatkan tatapan sinis mereka, terutama Celestine, dia pasti dengki denganku karena aku sekelompok dengan orang yang dia sukai; Victor.Sesampainya di mejaku, aku menurunkan ranselku di atas kursi lalu mengeluarkan sepotong tisu untuk membersihkan permukaan mejaku. Lagi-lagi mereka mencoret mejaku dengan spidol.Aku menggosokkan benda putih tipis ini ke permukaan mejaku. Sambil menghapus coretan spidol itu, aku membatin, 'Kalau aku melaporkan mereka ke pak Yere lagi, apa kali ini mereka akan dihukum? Atau hanya akan diberi peringatan saja?'Akhirnya permukaan mejaku bersih mengilap lagi. Semua coretan spidol
Jam istirahat, seperti biasa, aku memakan bekalku di dalam kelas. Makan sendirian di ruangan yang sepi ini sudah menjadi rutinitas bagiku. Selain itu, belakangan ini aku lebih suka menyendiri agar tidak mendapatkan perhatian dari orang lain. Kusuap sesendok nasi ke dalam mulutku dan mengunyahnya. Kunikmati nasi dan tempe bacem yang dimasak oleh mama dengan lahap. Walaupun makanan ini hanyalah masakan yang sederhana, bagiku masakan mama tetap nomor 1. Tak lama kemudian, seseorang memasuki ruangan ini sehingga aku jadi tidak sendirian lagi. Orang yang baru saja memasuki kelas adalah Victor. Dia berjalan dengan cepat menuju tempat duduknya yang berada tepat di depanku. Kelihatannya dia seperti sedang terburu-buru. Aku mengabaikan siswa yang sedang mencari sesuatu di dalam laci mejanya dan lanjut memakan bekalku. Namun, aku tidak bisa terus mengabaikannya karena tiba-tiba dia berbicara kepadaku. "Tadi kamu ada lihat orang ambil sesuatu dari dalam laciku k
Pulang sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah karena hari ini adalah jadwal piketku. Aku tetap tinggal di dalam kelas bersama dengan beberapa murid lainnya yang juga piket hari ini. Kami membagi tugas agar kewajiban ini bisa lebih cepat selesai."Freya, coba lihat ini," panggil seseorang.Aku pun menghentikan aktivitasku dan menoleh ke arah sumber suara. Kudapati Stephen, siswa yang terkenal nakal seangkatan kami berdiri di depan papan tulis. Tangan kanannya menunjuk ke arah papan tulis di sampingnya.Kulihat apa yang dia tunjuk dengan jari telunjuknya. Terdapat coretan dengan tulisan yang seperti ceker ayam di papan tulis. 'Freya cupu, bodoh, lemah,' dan semacamnya. Itulah isi coretan yang ditujukan kepadaku.Aku menggenggam erat sapu di tanganku dan menatap tajam Stephen. 'Bukannya membersihkan papan tulis, dia malah mencoret-coret papan tulis dan mengolok-olok aku.'"Stephen, jangan begitu. Buang-buang tinta spidol saja," tegur seorang sisw
Di rumah, aku dan mama duduk saling berhadapan di ruang tamu. Kutundukkan kepalaku dan memandang kedua tanganku yang bertengger di atas pangkuanku. Aku tidak berani melihat wajah mama."Kenapa tadi kamu lama betul pulangnya?" tanya mama menginterogasiku."Aku konseling ke ruang BK sehabis piket," jawabku dengan suara kecil."Konseling? Memangnya kamu ada masalah apa di sekolah?" Mama bertanya kali. Kali ini suaranya tidak sekeras sebelumnya."Aku dibuli," jawabku singkat sambil mengepalkan tanganku dengan erat.Mama terdiam setelah mendengar jawaban dariku. Karena tak kunjung mendapatkan balasan darinya, aku memberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku dan menatap mukanya. Tidak ada tanda-tanda amarah pada wajahnya."Begitu, ya," ucapnya.Mama bangkit dari kursi dan melangkah pergi meninggalkanku begitu saja. Kupikir dia akan mengomeliku atau bertanya lebih lanjut, ternyata tidak. Aku pun sempat berharap kalau dia akan menanyakan kea