Share

Bab 6

Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini.

Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku.

"Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa.

Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku.

Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat.

"Vania ... aku mengerti kenapa kamu marah padaku, tetapi tolong ... berbicaralah denganku walaupun hanya sebentar saja," pintaku sambil meneteskan air mata.

Tatapan mata yang Vania tujukan padaku begitu tajam. Ini pertama kalinya aku melihat dia menatapku begitu. Aku jadi takut dan gelisah. 'Semarah itukah dia kepadaku?'

"Kenapa kamu tidak pernah memberi tahuku?" tanyanya dengan nada datar. Tidak ada nada riang yang biasa diucapkannya. Kata-katanya begitu hambar dan membuatku merasa bersalah karena selama ini tidak pernah memberi tahunya tentang jari kakiku.

"Maafkan aku. Aku ...."

Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, Vania memotong perkataanku. "Aku tidak butuh permintaan maafmu!"

Aku tersentak kaget dan langsung menutup rapat mulutku. 'Dia tidak pernah memotong perkataanku dan meninggikan suaranya terhadapku. Jadi, dia pasti sedang sangat marah terhadapku sekarang.'

"Kamu tahu, sudah lama aku merasa kalau kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Sekarang aku sudah melihatnya ... kenapa kamu menyembunyikannya dariku?! Apa kamu pikir aku akan menjauhimu setelah mengetahuinya?!" tanya Vania dengan mata berkaca-kaca.

"Kita ini sahabat, Freya ... tidak bisakah kamu mempercayai sahabatmu sendiri?!" lanjutnya. Kini cairan bening yang menggenangi matanya merembes dan menuruni pipinya.

Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang mempertanyakan persahabatan kami membuatku merasa bersalah. Aku membuka mulutku untuk menjawab pertanyaannya. Namun, sebelum jawabanku keluar dari mulutku, Vania lanjut berbicara lagi.

"Tidak ada lagi yang mau kudengarkan darimu! Jadi, enyahlah dari hadapanku! Jangan bertingkah seperti anjing yang kehilangan pemiliknya!" usirnya sebelum memalingkan wajahnya dariku dan berlari keluar dari kelas.

Aku terpaku di tempatku berdiri. Aku masih tidak bergerak seinci pun dari sejak dia menyibakkan tanganku. Waktu terasa seperti terhenti ketika dia berlari meninggalkanku. 'Apa dia membenciku ...?'

Seketika itu juga, kakiku menjadi lemas. Aku terduduk di lantai dan menatap kosong ke pintu yang terbuka lebar di samping kiriku. Perkataan Vania yang menyakitkan bagaikan palu yang menghantam hatiku dan menghancurkannya berkeping-keping.

Bunyi langkah kaki yang bergerak ke arahku tertangkap oleh telingaku. Aku menoleh ke arah sumber bunyi. Kulihat Jonathan melangkah menghampiriku. Dia menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.

"Kalau saja kamu tidak menyembunyikannya, dia pasti tidak akan semarah ini," ujar Jonathan sambil menatapku dengan kasihan.

Meskipun dia mengasihaniku, dia tetap pergi meninggalkanku dan menyusul Vania. Aku terjebak di ruangan ini bersama dengan orang-orang yang sudah menindasku dan menontoniku bagaikan hiburan semata.

Kutundukkan kepalaku dan air mataku menetes membasahi rok yang kukenakan. Isak tangisku tak tertahankan. Kuangkat kedua tanganku dan menyeka air mataku yang semakin mengalir dengan deras. Aku meringkuk dan berteriak mencurahkan emosiku yang tak terbendung.

Di sela-sela isak tangis dan teriakanku, aku mendengar suara seseorang mengejekku. "Aduh, kasihannya~ Bahkan sahabatnya sendiri meninggalkannya."

Aku melepaskan telapak tanganku yang menutupi mukaku. Kuangkat wajahku dan memandang orang yang barusan mengejekku, yang tak lain adalah Celestine. Dia berdiri di hadapanku sambil menyilangkan tangannya di dada.

"Guys, ayo kita pergi juga. Biarkan dia menangis seorang diri di sini," ajaknya kepada siswa-siswi lain yang menyaksikan adegan menyedihkan ini.

Bunyi langkah kaki berombongan tertangkap oleh indera pendengaranku. Belasan pasang kaki melangkah melewatiku begitu saja, tanpa berhenti untuk membantuku berdiri maupun menghiburku yang sedang bersedih.

Pintu ditutup oleh orang yang terakhir keluar. Tinggallah aku sendirian di kelas. Aku terdiam di tempatku terduduk. Kutundukkan kepalaku dan menyeka air mataku yang masih mengalir. Keheningan dan kesepian ini menggerogotiku dan melahap keberadaanku di dalamnya.

Aku teringat dengan kata-kata Vania dan Jonathan. "Kalau saja aku memberi tahu mereka tentang jari kakiku, apakah mereka akan tetap berada di pihakku saat semua orang membalikkan badannya terhadapku?"

Hening. Tidak ada yang menjawab gumamanku yang bertanya dengan lirih. Keheningan ini mempertegas bahwa hanya ada aku seorang diri di dalam ruangan ini. Aku sendirian, menyesali keputusan yang kupilih dan kujalani selama bertahun-tahun.

"Ini salahku. Kalau saja aku lebih membuka diriku kepada mereka dan memberi tahu mereka tentang jari kakiku, mereka tidak akan kecewa denganku dan menjauhiku ...," gumamku menyalahkan diriku sendiri.

Aku menghantam permukaan keramik putih di bawahku dengan kuat hingga membuat tanganku terasa sakit. Kubungkukkan badanku dengan perlahan hingga dahiku menempel pada lantai dingin yang tadi kuhantam.

"Ini salahku ... kenapa aku menyembunyikannya dari mereka? Apa karena aku takut mereka menjauhiku? Atau karena aku ... tidak sungguh-sungguh menganggap mereka sebagai sahabatku?" gumamku lagi sambil memukul lantai berkali-kali.

Setelah puas memukuli lantai yang tak bersalah, aku berdiam sejenak di posisi yang menyedihkan ini. Secara perlahan aku menegakkan badanku lagi dan mengusap mukaku yang lengket oleh air mata dan pasir.

Aku menopang tubuhku dengan kedua tanganku untuk bangkit berdiri. Kubalikkan badanku dan melangkahkan kakiku menuju deretan meja dan kursi yang terporak-porandakan saat Celestine menindasku.

Aku menghentikan langkahku di depan sepasang meja dan kursi. Di bawah meja itu terdapat tas selempangku. Aku duduk di kursi dan mengambil tasku yang tergeletak di lantai. Kubuka resletingnya dan mengeluarkan sepasang sepatu yang sebelumnya kukenakan.

Kuletakkan sepasang sepatu itu di lantai lalu melepaskan sandal yang kukenakan saat ini. Aku terdiam sejenak sambil memandang kedua kakiku. Kaki kananku terlihat 'normal' karena memiliki 5 jari kaki, tetapi tidak dengan kaki kiriku yang memiliki 6 jari kaki.

Bibirku tertarik ke bawah menjadi cemberut. Aku mengernyitkan mataku dan mengerutkan alisku selagi memandang kaki kiriku yang tidak 'normal'. Semakin aku memandangnya, semakin aku muak dan membencinya.

"Kenapa aku terlahir seperti ini?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku membungkukkan badanku dan menurunkan tangan kiriku. Kupegang jari kelingking kaki kiriku yang kembar siam. Kuremas jari kecil ini dengan kuat hingga kuku tanganku menusuk telapak kakiku.

"Gara-gara jari kaki sialan ini aku dihina ...," gumamku dengan nada rendah, berusaha menahan suaraku yang ingin berteriak.

Aku benci. Aku benci dengan jari kaki ini. Aku benci dengan tubuh ini. Aku benci dengan diriku sendiri. 'KENAPA HARUS AKU?!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status