Devan Suryadiningrat merupakan anak kedua dari Dedy Suryadiningrat, pemilik perusahaan dibidang advertising ternama di kota metropolitan. Kini bisnisnya mulai merambah di bidang perhotelan. Adik dari Linda Suryadiningrat itu kini menjabat sebagai presiden direktur menggantikan posisi ayahnya, sedangkan Linda harus puas menjadi wakil presiden direktur.
Seperti biasanya untuk menjaga tubuhnya agar tetap terlihat atletis, Devan selalu meluangkan waktunya untuk olahraga atau tuk sekedar joging dipagi hari dan tentunya saat week end. Devan keluar dari apartemennya dengan menggunakan setelan olahraga, langsung bergegas untuk sekedar lari pagi disekitar taman kota dekat apatermennya. Sedangkan dilain tempat, Mytha yang baru saja bangun, mulai membuka jendela kamarnya. Kedua manik Mytha terpaku memandang pemandangan diminggu pagi yang cerah ini. Tampak mentari tersenyum dengan hangat menyapa alam semesta. Burung-burung terbang kian kemari hinggap di pohon mangga, tak jauh dari kamar Mytha. Beberapa burung itu bertengger dan sesekali melompat dari dahan yang satu ke dahan yang di sebelahnya, seraya sedikit mengepakkan sayap mungilnya. Mereka seakan saling berkicau bersahutan, seperti nampak saling bertegur sapa dan bercerita. Tampak satu burung dari kumpulan mereka tertinggal akan tetapi masih tampak asyik bertengger dan sesekali berloncat-loncat sambil berkicau seakan sedang bernyanyi riang. Mytha masih memperhatikan burung kecil itu sembari tersenyum dan berkata, "Burung aja ditinggal sendiri tetap asyik bernyanyi riang, kenapa gue kalah! Masa hanya karena Bayu pengecut itu gue seperti ini?!" Mytha pun bergegas merapikan diri, memakai training dipadu padankan dengan kaos oblong berwarna merah muda. Tak ketinggalan dipakainya sepatu cats favorite tuk menambah gaya sporty-nya. "Mendingan gue lari pagi dari pada termenung memikirkan pria pengecut itu," ejek Mytha sambil memiringkan senyumnya, tertawa sinis dan berlalu ke luar kamar. Mytha menghampiri Tari yang tengah asyik menghidangkan sarapan di meja makan. "Bu, Mytha pamit mau lari pagi," ucap Mytha sembari menengguk segelas susu yang sengaja disediakan Tari ketika sarapan. "Sarapan dulu dong, Sayang." Tari masih merapikan hidangan di meja makan. "Nanti di jalan aja, Bu. Sudah minum susu, lumayan kenyang perut Mytha," ucapnya sembari memamerkan gelas susunya yang kosong, barusan habis diminumnya. "Pamit, Bu," lanjut Mytha mencium punggung tangan Tari. Mytha pun kini bergegas menuju taman kota menggunakkan motor maticnya. Sesampainya di area taman kota, Mytha langsung memarkirkan maticnya dan bergegas mulai lari pagi di pinggiran taman. Karena week end banyak pemuda-pemudi yang berlalu-lalang tuk sekedar joging bersama. "Huuhhh, ingin move on malah disini banyak pasangan non muhrim tengah bermesraan," gerutu Mytha tatkala melihat sepasang kekasih bergandengan mesra berlalu dari hadapannya. Sudah satu putaran Mytha mengelilingi area taman kota, kini badannya diregangkan tuk mengendorkan urat yang tegang, sembari berteduh di bawah pohon. "Sendirian aja, Neng?" sapa seorang dari gerombolan pemuda menggoda Mytha. Awalnya Mytha mengabaikan sapaan seorang pemuda dari gerombolan itu. Akan tetapi kelakuan pemuda itu mulai sedikit lancang dengan mencolek lengan Mytha. Mytha sedikit menyingkir dan berniat akan menghindar, beranjak pergi dari tempat itu akan tetapi ketiga pemuda itu terus saja mengikutinya. Langkahnya pun dipercepat hingga Mytha menabrak tubuh seorang pemuda, "Awww...." "Eh, maaf Mas. Tolong, tolongin aku diganggu gerombolan itu." pinta Mytha namun dirinya tak sempat melihat wajah sang pemuda, langsung bersembunyi di belakang badan pemuda itu sedetik saat menabraknya. Manik matanya pun masih terfokus pada segerombolan pemuda tadi, melongok dari belakang tubuh pemuda yang ditabraknya. Devan pemuda yang ditabraknya tersenyum penuh arti, menyadari Mytha adalah gadis jutek yang mengganggu pikirannya selama beberapa tahun ini. "Dia pacar gue! Mau apa kalian?!!" seru Devan hendak melawan. "Kirain tadi dia sendiri, jadi mau kita temenin," ledek salah satu dari gerombolan pemuda tadi. "Dah, ini buat kalian. Jangan ganggu dia!" seru Devan memberikan beberapa lembar uang merah bergambarkan Bapak Sukarno, presiden pertama kita. Devan memberi uang karena memang dia tak pandai bela diri, jadi terbersit memakai jurus itu. Segerombolan pemuda itu pun takhluk dan berlalu dari hadapan Devan sembari mengecup beberapa lembar uang yang diberikan Devan. "Hai, ketemu lagi kita," ucap Devan tersenyum saat memalingkan wajah ke belakang, menatap Mytha yang tadi bersembunyi di belakang punggungnya. "Eh, lo. Gue apes mulu kalau lihat lo." Mytha hendak pergi akan tetapu tangannya ditahan oleh pegangan Devan. "Jangan pergi, kumohon! Sudah beberapa tahun ini gue mencarimu," gumam Devan dalam hati. "Woi, sudah ditolong juga masih jutek!" ucap Devan ketus sesaat setelah Mytha memaksa melepaskan tangan mungil dari genggamannya. "Makasih," ucap Mytha datar dan berlalu dari pandangan Devan. Devan tersenyum memandang punggung Mytha yang tengah menjauh darinya. Sesekali melambaikan tangan sembari tersenyum tatkala Mytha menoleh ke belakang memandangi dirinya. "Akhirnya gue menemukan lo, walau lo jutek namun itu yang gue rindu," lirih Devan sambil tersenyum. 🍂🍂🍂 "Assalamu'alaikum," salam Mytha tampak lesu tatkala memasuki rumahnya. "Wa'alaikumsalam. Loh, ko cepat jogingnya Sayang?" ucap Tari mengingat anak gadisnya yang baru saja berpamitan, belum genap satu jam lalu. "Dah, makan dulu sana. Ibu masak tumis udang sauce tiram kesukaanmu," lanjut Tari merangkul Mytha dan membawa tubuh itu duduk di bangku meja makan. Tari dengan telaten menghidangkan sepiring nasi komplit dengan lauk prekedel berserta beberapa sendok udang sauce tiram yang diguyurkannya di atas nasi, meletakkan piring tersebut di hadapan putrinya. "Dah, ayo cepat makan. Habis itu bantu Ibu berkebun," ucap Tari dan berlalu ke halaman samping rumah. Tadinya Mytha enggan menyantap hidangan yang ada di hadannya, hanya memandang dan memainkan sendoknya saja. Namun, tatkala mencicipi udang yang dimasak ibunya, selera makan Mytha seketika muncul dan melahab habis sepiring hidangan sarapannya. Seusai sarapan dan mencuci piring kotor, Mytha menghampiri ibunya. Terlihat Tari sedang memotong beberapa bonggol pisang. Mytha dengan rasa penasaran mendekat. "Ibu sedang buat apa dengan bonggol pisang itu?" tanya Mytha keheranan, dilihatnya bak anak kecil yang sedang main masak-masakan seperti dirinya waktu masih ingusan. "Ibu kaya anak kecil lagi main masak-masakan," lanjut ledek Mytha, kini mulai merekah senyum di bibirnya. "Enak aja! Ini Ibu lagi bikin POC bonggol pisang," jawab Tari masih memotong bonggol pisang di hadapannya. "POC?" Mytha mengulang kta Tari yang tak dimengertinya. "Pupuk Organik Cair, Sayang," jawab Tari. "Jadi ini bonggol pisang satu kilo dicacah-cacah terus dicampur kolase cairan gula merah 200 gram dan em4 yang dicairkan dengan seliter air hujan, lalu difermentasikan selama dua minggu," lanjut Tari menjelaskan pembuatan POC bonggol pisang yang tengah dibuatnya. "O, gitu. Em4 itu buat apa, Bu? Buat fementasi ya, Bu?" ucap Mytha mengira-ngira dan sedikit penasaran ingin tahu lebih jauh. "Iya, secara awam bilang gitu. Namun definisi em4 itu sendiri dari singkatan Efective Microorganisme gen-4. Itu berfungsi sebagai decomposer atau pengurai bahan organik yang digunakan untuk membuat pupuk. Bakteri mikroba dalam em4 bersifat non-active, sehingga harus dicampur gula atau molasses sebagai activator microba. Begitu, Sayang," Bu Tari menjelaskan panjang lebar, Mytha hanya terbengong mendengar penjelasan Bu Tari, sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Panjang amat Bu penjelasannya, untung tidak dikali lebar. Ntar bisa-bisa jadi rumus luas bangun datar," ledek Mytha sambil cekikikan. Tari tersenyum senang melihat Mytha tertawa, sudah beberapa hari ini dirinya hanya melihat kesenduan di wajah anak gadisnya itu. "Dah, sini bantuin Ibu mencacah bonggol pisang ini. Ibu akan ngambil gula merah di dapur, sekalian mengambil em4 di gudang," titah Tari pada Mytha sebelum dirinya beranjak dari duduk jongkoknya. Hari libur kali ini Mytha disibukkan membantu Tari mengurus kebun samping rumahnya. Sekaligus sambil belajar membuat pupuk organik yang aman buat tanaman juga baik untuk kesuburan tanah. to be continue,Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Cerita Bu Darmi sambil menyeka air mata ya