Setelah jalan-jalan entah mengapa Devan tak langsung kembali ke apartemennya, ia mengemudikan mobil putih mewahnya menuju mansion Suryadiningrat. Sudah lama Devan meninggalkan rumah mewah milik papahnya itu, karena salah satu sebab yakni tidak mau bentrok dengan kakaknya.
Tin... tinnn.... Suara klakson mobil Devan seakan menyuruh Mang Supri selaku security untuk membukakan pintu pagar. Mang Supri meletakkan telappak tangannya di sudut kening tanda hormat ketika melihat mobil Devan melaju di sampingnya. Devan yang baru masuk rumah disambut Mamahnya dengan pelukan, sedangkan Linda hanya tersenyum sinis menatapnya. "Mamah kangen Dev," ucap Vika yang tak lain mamahnya Devan. "Devan juga kangen Mah," balas Devan kemudian bersalaman mengecup punggung tangan Vika. "Hai Kak," sapa Devan namun dibalas tatapan sinis dari kakanya, Linda. "Sudah sarapan Sayang?" tanya Vika seraya menggandeng Devan menuju ke ruang keluarga. "Belum sempet Mah, gampang ntar minta sama Bi Minah kalo laper," jawab Devan. "Devan mo ngambil beberapa barang Devan yang penting Mah." lanjut Devan dan berlalu menuju kamarnya dilantai dua. Anak tangga dinaiki satu per satu oleh kaki jenjang Devan, dan langkah Devan berujung menuju kamarnya. Kamar yang cukup luas dan bercat putih, warna kesukaan Devan. Karena cukup lelah tadi berjoging, Devan pun berbaring sejenak dan tertidur. Dalam tidurnya, Devan mencari pemilik sepatu yang ia dapatkan dari salah satu wisudawati yang sedang berlari meninggalkan sepatu high heels-nya, bak drama Cinderella. "Dev, bangun Sayang. Dah siang." tepukan lembut Vika di pundak Devan pun membuyarkan mimpinya. "Loh, dari tadi belum mandi? Ih, bau ecut," ledek Vika sembari menutup hidungnya, sedetik saat melihat anaknya sudah terbangun. "Dah, sana mandi. Belum sarapan juga kan? Buru, Mamah tunggu di bawah!" lanjut Vika sambil berlalu ke luar kamar Devan. Karena mimpinya tadi Devan baru teringat sepatu cewe jutek yang tak lain milik Mytha. "Jutek, tapi bikin ngangenin," gumam Devan memandangi langit-langit kamar seraya teringat pertemuan pertamanya dengan Mytha. Devan beranjak dari ranjangnya dengan terburu-buru menuju mobilnya. Perintah mamahnya untuk sekedar menghapus keringat ditubuhnya pun dihiraukan. "Mana? Mana sepatu cewe jutek itu?" Devan mencari sepatu Mytha dalam bagasi mobilnya. "Maaf, ada apa Den? Aden nyari apa?" sapa Bi Minah melihat tingkah Devan bingung seakan mencari sesuatu. "Siapa yang mencuci dan membersihkan mobil saya, Bi?" tanya Devan sambil menunjuk bagasi mobil miliknya. "Mang Parman, Den. Biar Bibi panggil," jawab Bi Minah dan berlalu mencari Mang Parman. Tak lama Bi Minah mencari dan menyuruh Mang Parman menghadap Devan. Mang Parman pun kini berada di hadapan Devan. "Maaf, Den. Ada apa?" sapa Mang Parman sembari membungkukkan badannya. "Siapa yang mencuci dan membereskan mobil saya?" "Saya Den, tadi disuruh Nyonya Besar," jawab Mang Parman agak gemetar. "Gak usah takut Mang. Saya cuman tanya, trus sekarang mana sepatu cewe di sini tadi?" "Kata Nyonyah besar, barang-barang selain milik Aden suruh dibuang. Saya buang ke tong sampah di depan Den," jawab Mang Parman. "Maaf, Den." Mang Parman membungkukkan badannya tak enak hati dan takut akan murka Devan. Namun, Devan mengacuhkannya dan berlalu mencari sepatu Mytha. Tak berfikir lama Devan pun menuju teras depan, kotak sampah di samping gerbang rumahnya nampaknya kosong, telah diangkut oleh petugas kebersihan. Petugas kebersihan itu baru saja berlalu dan sedang mengambil gundukan sampah di rumah sebelah. Devan pun berlari menghampiri. "Woy...." teriak Devan. "Tunggu!" lanjut Devan seraya berlari. Supir truk sampah itu seakan mengerti teriakan Devan memanggil dirinya untuk berhenti, mobil truk sampah itu pun seketika mengurangi kecepatannya dan berhenti. Salah seorang dari merekapun turun dari truk dan menghampiri Devan. "Maaf, Pak. Ada barang berharga Saya terbawa truk sampah ini. Tadi gak sengaja terbuang," jelas Devan dengan nafas tsersengal-sengal, baru saja mengejar truk sampah. "Loh ya susah to yo Mas. Masa mo ngadul-ngadul sampah sebanyak ini," ujar salah satu pengangkut sampah dengan gaya medoknya, sembari memandang dan menunjuk gundukan sampah di dalam truk bagian belakang. "Tolong saya pak, barang itu berharga banget buat saya," pinta Devan memohon dengan memelas. "Duh Mas, gimana yah. Bukannya gak mau, ini juga waktunya dah siang." "Ini untuk Bapak dan dibagi untuk Pak Supir." Devan memberi beberapa lembar uang kertas berwarna merah muda, salah satu solusi Devan dikala sudah terhimpit masalah. "Gimana Pak?" salah seorang dari pengangkut sampah itu memamerkan beberapa lembaran uang yang diberi Devan tadi kepada temannya, sebagai kode dan mendapat anggukan sebagai jawaban setuju. "Baik Mas, tak carikan," lanjutnya. Devan pun memberitahu barang yang dimaksud berikut ciri-cirinya. Dua orang yang bertugas mengambil sampah itu pun mulai sigap mencari di dalam gundukan sampah. Lumayan cukup lama, akhirnya sepatu itu pun ketemu. "Ini Mas, sepatu cinderella-nya," seru salah satu dari petugas sampah itu. Devan pun tersenyum, karena lega telah menemukan sepasang sepatu Mytha. "Sepatu Cinderella," gumam Devan dalam hati sembari tersenyum mengingaat Petugas itu menamai sepatu milik Mytha.Sepasang paruh baya tengah bercengkrama di ruang keluarga, sesekali Pak Yuda membolak-balik korannya, entah berita apa lagi yang ingin dibacanya. Terdapat beberapa potongan kue lapis, berwarna hijau berseling putih yang bersanding dengan beberapa buah onde-onde kacang hijau beralaskan piring di atas meja sebagai peneman kopi tubruk kegemaran Pak Yuda. Ia seakan sudah candu dengan kopi tubruk buatan istrinya. "Wa'alailumsalam," jawab Bu Tari dan Pak Yuda hampir bebarengan menjawab salam dari anak gadisnya. "Pulang malam lagi, Myth?" tanya Pak Yuda pada putrinya. "Iya, Yah. Tadi mampir ke rumah Uci," jawab Mytha sambil mencium tangan Pak Yuda, bersalaman. "Uci sudah membaik keadaannya, Myth?" tanya Bu Tari baru sempat menengok Uci kemarin. Seakan tak enak, tak ikut serta dalam persidangan Uci karena kondisi Pak Yuda yang belum pulih. Namun, turut prihatin atas kejadian yang menimpa teman anaknya. "Alhamduliah, sudah baikan, Bu," jawab Mytha singkat, kini ganti punggung tangan Bu T
"Jadwal sekarang gue apa?" tanya Devan sinis pada Rio, sekertaris pribadinya. Rio yang profesional menjawab dengan tenang pertanyaan bosnya, sebelum masuk ke ruang presdir dan jam kantor belum dimulai, ia memang terlebih dahulu menanyakan Rosi tentang kegiatan kemarin, saat dirinya izin pulang lebih awal dari jam kerja kantor seharusnya. Devan pun kagum akan dedikasi Rio, atas jawaban yang disampaikannya. Namun, dirinya masih kesal akan kejadian kemarin, dan ditambah kejadian pagi ini di tempat parkir. Mobil Avanza biru Rio melintas tepat di sebelah mobil pajero Devan saat lampu merah telah berganti warna di perempatan, ketika mereka hendak pergi ke kantor. Devan yang mengetahui betul mobil Rio terkejut saat melihat Mytha satu mobil bersama Rio, apa lagi dilihatanya mereka sedang bercengkrama sambil tertawa, membuat dirinya semakin naik pitam karena cemburu. Cukup lama Devan memandangi mobil Avanza biru itu hingga mobil Rio melaju jauh, suara klakson kendaraan di belakang membuyar
Sesampainya di depan rumah Mytha, Pak Yuda tengah berada di teras. Menunggu anak gadisnya, karena sudah larut malam belum pulan tanpa kabar. Dan dengan amarah Pak Yuda bangkit dari duduknya. Namun, saat melihat yang mengantar putrinya adalah Rio, anak dari sahabatnya, emosinya pun berbalik 180 derajat. Gembira dan langsung menyambut Rio. "Loh, Nak Rio. Terima kasih sudah mengantar Mytha," Ucap Pak Yuda setelah Rio berada persis di hadapannya. Rio pun tersenyum dan mengulurkan tangannya, akan bersalaman. Seusai bersalaman, Rio langsung pamit pada Pak Yuda. Namun, Pak Yuda ingin menahan dengan berkata, "Loh ko buru-buru. Ayo masuk dulu." "Sudah larut malam, Pak. Besok saya ke sini lagi menjemput Mytha." Rio mengayunkan tangan, bersalaman pamit. Pak Yuda tersenyum dan menepuk bahu Rio saat bersalam dengannya. "Iya, Pak. Motor Mytha mogok jadi Rio mengantar Mytha." Mytha sedikit menerangkan alasan Rio besok akan menjemputnya. "O, begitu." Pak Yuda mengangguk-anggukkan kepalanya, tand
Malam pun hampir larut, Mytha dan Rio pun pamit pulang."Maaf, Bu. Sudah malam, kami pulang dulu, besok ke sini lagi," ucap Mytha sesudah membantu Bu Darmi membereskan dan mencuci piring."Terima kasih, Nak Mytha. Terima kasih sudah membantu urus masalah ini." Tangan Bu Darmi mengelus bahu Mytha."Gak usah bilang begitu, Bu. Uci sudah saya anggap saudara, Ibu pun aku anggap Ibuku sendiri."Aku pamit menemui Uci dulu." Mytha memberi berkata pada Rio yang hendak bersalaman dengan Bu Darmi. Rio pun mengangguk dan Mytha mulai melaju menuju kamar Uci.Uci memang sudah membaik keadaannya, akan tetapi ia sedang ingin sendiri. Mereka pun memakluminya dan tidak memaksa Uci untuk bergabung makan malam bersama.Tok... tok... tok...."Gue masuk ya, Ci." Mytha mulai membuka pintu setelah mengetuk pintu 3kali, walau tak mendapat jawaban Uci dari dalam kamar.Mytha mulai mendekat ke ranjang Uci dan berkata, "Loh, ko belum dimakan?" "Apa mau gue suapin? Hahaha...," ledek Mytha memecah kesunyian. Nam
Di tempat lain, yakni di kantor tempat Uci bekerja, Doni dijemput oleh dua petugas kepolisian karena laporan Rio, berkaitan kasus permerk*saan terhadap Uci kemarin. Doni bersikap kooperatif, dan sore itu juga langsung digelandang petugas kepolisian untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seperti hal nya Uci, Doni pun mendapat pemeriksaan medis. Dipenghujung senja itu, darah dan urine Doni diambil untuk sampel DNA guna mensinkronkan bukti atas kasus tersebut. Tak lupa juga tubuh Doni difoto oleh petugas, dan memang terdapat beberapa cakaran di punggung Doni. Doni menyadari akan hal itu, wajahnya sontak terkejut dan murung seakan tidak bisa mengelak, ia tengah merasa semua bukti menjurus padanya, dirinya harus bertanggung jawab akan apa yang telah diperbuatnya. Setelah pemeriksaan selesai, Doni meminta izin menghubungi pengacaranya, guna membantu dalam kasusnya. Petugas kepolisian pun mengijinkan, dengan didampingi petugas, Doni mulai menelepon salah satu pengacaranya dengan mengg
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Cerita Bu Darmi sambil menyeka air mata ya