Menceritakan sosok Tante Venya si mantan Jari Tengahku kepada Aubree sesungguhnya bukanlah ide yang baik. Namun, apalah yang harus kulakukan? Aku hanya bercerita berdasarkan urutan wanita yang dekat denganku. Setelah aku patah hati dari kekasih pertamaku di bangku SMA itu, memang hatiku tergerak untuk berdekatan dengan Tante Venya. Aku tak berdalih jika diriku yang waktu itu sedang galau, sehingga dapat terjerat dengan pesona wanita yang jauh lebih tua. Aku menerima bahwa semua lika-liku ini memang terjadi dalam kehidupanku. “Kalau kamu masih berhubungan dengan Venya, saya tidak segan-segan untuk mengadukannya kepada ibumu!” Om Soegandi adalah suami baru Tante Venya. Usia pernikahannya ketika menelepon ponselku baru genap empat bulan. Di usia pernikahannya yang masih seumur jagung, tampaknya masalah sudah datang silih berganti. Aku sendiri harus menerima jika dijadikan kambing hitam atas segala permasalahan yang ada. “Om, siapa sih om yang masih berhubungan sama Tante Venya?!” waktu
Tak ada suara apapun selama aku dan Aubree menyantap sekoteng. Sayup-sayup hanya terdengar alunan lagu The Weeknd dan Post Malone dari radio mobil. Sepertinya Aubree tak tahu bahwa sejak tadi, otakku berpikir bagaimana caranya membuka topik pembicaraan. Untuk orang yang senang berbincang seperti aku, diam adalah sebuah malapetaka.Bukannya aku membela diri, tetapi karena aku tak dapat bertahan dalam diam, aku cenderung menyudahi kondisi hening tersebut. Jika diam yang kurasa karena sedang berada di tempat sepi, aku bisa meramaikannya dengan mendengarkan musik ataubrowsingsegala hal di internet. Akan tetapi, jika diam yang tercipta lantaran merenggangnya hubunganku dengan seseorang, biasanya aku berusaha memperbaiki. Beda kasus jika aku mendapati bahwa konflik akan bertambah luas jika aku memperbaiki hubungan. Biasanya, aku akan mencari keramaian lain yang tak beresiko. Jadi, jika Mandy si Telunjuk dan Jasmine si Jempol masih berhati keras mendiamiku, siap
Kuanggurkan saja Bordeaux 1993 di atas meja bar pribadi apartemen Aubree. Dengan alasan lelah, sedangkan cerita yang hendak disampaikan masih kelewat panjang, aku menyarankan Aubree untuk menyudahi pertemuan dan melanjutkannya di lain kesempatan. Rupanya, Aubree tak ingin seperti itu. Dia ingin menceritakan mantannya malam ini juga. Katanya, mumpung amarahnya sudah terlanjur muncul di permukaan hati. Aku yang tadinya hanya berniat mengantarkannya pulang ke apartemen malah diajak untuk mampir sesaat. Tentu saja, untuk lelaki macam aku begini, mana mungkin menolak? Apalagi, malam ini, aku sudah resmi jadi pasangan Aubree, kan? Atau belum? Mengenai mantan Aubree, sebenarnya dia sudah membuka topik pembicaraan denganku di mobil tadi. Aubree bercerita bahwa mantannya itu sangat membanggakan Aubree di kalangan teman-temannya, tetapi ketika kami sedang kencan berdua saja, Aubree merasa mantannya itu cuek. Tanpa berpikir panjang, aku katakan saja padanya bahwa Aubree hanya alat pamer si m
“Keanu, Cana lagi dekat sama cewek lain, ya?Story social media-nya semalam bikin aku nggak bisa tidur sampai subuh,” ketika sedang membantu beberapa karyawannya untuk membersihkan meja café and barCosmo Kingsebelum waktu buka di jam sebelas siang nanti, Keanu mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Tak hanya memanggil, tetapi juga melemparkan pertanyaan. Anehnya, bukan pertanyaan mendasar macam, “Apa kabar?” atau “Jam berapaCosmo Kingbuka, ya?” Keanu segera membalikkan badan dan dilihatnya Jasmine sudah berdiri di belakangnya. Pagi pukul sembilan ini, dia tampak cantik bak anggun bagai bidadari dengandressselutut berwarna putih. Sepatuhigh heelstransparan berpitanya memberi kesan bahwa dia sepertiCinderellayang mengenakan sepatu kaca. Kulit putihnya mungkin seperti Putri Salju. Belum lagi anting tempelnya yang berupa mawar putih yang membuatnya
BRAG!Pintu taksi online ditutup kencang, dan Keanu hanya bisa menganga di depan pintu café and barCosmo King. Jasmine menangis dan terus mempertanyakan sikap Cana. Keanu juga sudah tak bisa menahannya saat gadis itu bersikeras ingin datang keShooting Range,tempat Cana dan Aubree berada. Kebetulan, tempatnya memang tak begitu jauh dari sini. Kemungkinan setelahshooting, mereka berdua akan mampir keCosmo King.“Aduuuuh! Mati! Gue telepon si Cana aja, deh!” berpacu dengan waktu, Keanu segera menghubungi Cana. “Aduuuuh! Rese amat!” dia menggaruk-garuk kepala, kesal karena urusan pribadi orang lain jadi mengacaukan rutinitasnya. “Woy Can!” tanpa menunggu Cana menanggapi panggilan teleponnya, Keanu langsung menyapa begitu nada dering telepon terhenti. “Can, lo lagi dishooting rangedeket tempat gue, ya? Apa namanya,tuh
Aku menghela napas panjang seraya memasukkan ponsel ke saku celana. Sehabis membalas chat dari Keanu, aku memutuskan untuk menyalakan rokok elektrikku terlebih dahulu. Aku memasuki bar kecil di samping Shooting Range yang biasanya diperuntukkan sebagai ruang tunggu dan merokok. Aku ingin menetralkan pikiran terlebih dahulu sebelum nantinya aku bertemu dengan Aubree. “Cocktail satu,” kuacungkan jari telunjukku kepada seorang pelayan berambut cepak sekaligus bartender. “Mood?” Bartender laki-laki yang bertato sepanjang tangan kanan dan bertindik di bagian alis itu memiringkan kepala, sekaligus menanyakan suasana hatiku saat ini. Mungkin jawabanku akan berpengaruh terhadap minuman yang akan dia suguhi kepadaku. Aku menghembuskan asap rokok elektrik melalui mulut. Aku mengangkat bahu. “Gue bikin satu yang bikin mood lo jadi nggak ancur. Relax,” si bartender menjentikkan jari, “Warna favorit?” “Abu-abu,” jawabku asal. Aku iseng saja menjawab begini karena aku berspekulasi bahwa warna m
Bartender yang ternyata seorang wanita di hadapanku kini hanya memutar-mutarkan lidahnya. Aku sempat melihat ada tindik di atas sana. Berarti, tak hanya alis, hidung, bibir, dan telinganya saja yang dia beri perhiasan perak atau besi itu. Aku juga jadi memperhatikan bagian lengan atas dan pergelangan tangannya. Dia juga membuat tato di sana.“Kok lo jadi memperhatikan gue dari atas ke bawah? Keganggu lo sama tato dan tindik gue?” Bartender itu malah menarik kursi di sampingku. “Apa yang ada di kepala lo itu bener adanya. Gue jadi kayak begini karena mantan cowok gue!”“Heh!” reaksiku hanya menyimpulkan senyum sesaat, “Gue tadinya bodo amat sih sama penampilan lo. Yaaa, sebenarnya bukan bodo amat kayak nggak peduli begitu, tapi gue melihat mentato dan menindik diri lo itu sebagai wujud aktualisasi diri atau ekspresi diri aja. Gue juga nggak beranggapan kalau lo itu adalah orang rusak. Justru, respek gue malah hilang setelah lo n
Aubree memiliki alasan atas sikapnya yang begitu hati-hati dalam menerima ungkapan hatiku. Aku sendiri merasa sikapnya tak ada bedanya kala sebelum dan sesudah aku menyatakan apa yang kurasakan kepadanya. Saking setiap harinya menuliskan kata, mungkin dia jadi berasumsi bahwa ‘cinta’ yang kuberikan padanya hanya sekedar kata.Mungkin saatnya aku harus memberikan kelonggaran sekaligus jarak kepada Aubree. Bahkan, tak hanya Aubree, tetapi juga semua wanita yang berada di dekatku selama ini. Lama-lama, aku pusing juga menerapkan kategori wanita dalam lima jari. Akhir-akhir ini bukannya merasa menjadi lebih percaya diri dan bahagia, melainkan pusing kepala.“Kalau begitu, aku pulang dulu, ya,” setelah es jeruknya habis, Aubree beranjak dari kursi bar. Aku hanya memperhatikannya, tetapi tak melontarkan kata sedikit pun. Dia memang membawa mobil keShooting Rangeini.“Oh, oke,” senyumku sedikit memaksa, “Ja