Share

Tanda Kepemilikan

"Maafkan aku," ucap Andien terisak menahan tangis.

Fabio menoleh dan ia melihat Andien sedang menunduk dengan tubuh bergetar, kerena menahan tangis. Ada rasa sesal di hati Fabio, ia segera menghampiri Andien dan memeluknya.

"Aku minta maaf, Sweety," bisik Fabio, sembari mengecup puncak kepala Andien. Tangis Andien pun pecah, saat Fabio memeluknya erat.

"Aku minta maaf, karena aku tidak pernah mengerti akan perasaanmu," lanjut Fabio.

Andien melepas pelukannya dan menangkup wajah tampan Fabio.

"Tidak, tidak ada yang perlu minta maaf. Sebab, kita sama-sama bersalah dalam hal ini. Seandainya, kita bisa sama-sama saling jujur dan mengakui, mungkin tidak akan terjadi kesalah pahaman diantara kita," ungkap Andien.

"Aku memang memiliki rasa itu. Tapi, aku terlalu takut untuk mengatakannya padamu. Takut, kalau saat kau tau. Kau akan menjauhiku dan tidak mau lagi bicara padaku. Karena aku tau siapa aku," ucap Fabio lirih.

"Aku tidak akan pernah bisa jauh darimu, kau tau sendiri. Aku selalu dan selamanya akan bergantung padamu. Sebab, aku tidak bisa hidup tanpamu." Andien kembali masuk ke dalam pelukan Fabio.

"Jangan pernah pergi dariku, Sweety. Jangan pernah dekat dengan pria manapun selain keempat saudara kita," pinta Fabio.

"Aku janji," sahut Andien. Keduanya pun kembali berpelukan. Ada rasa lega di hati keduanya, setelah meluahkan segala rasa yang ada di hati mereka. Fabio melepas pelukannya dan menagkup wajah cantik kekasih masa kecilnya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Andien, kemudian mengecup lembut bibir mungil Andien, dan Andien pun membalasnya dengan penuh cinta. Fabio melumat habis bibir Andien, memainkan lidahnya kedalam mulut Andien.

Perlahan, Fabio melepas pagutannya dengan nafas terengah. Ia menatap wajah cantik Andien dan tersenyum.

"Manis sekali," ucap Fabio sembari membelai bibir Andien. Gadis itu hanya tersenyum malu.

"Apa ini yang pertama?" lanjut Fabio.

Andien menggeleng. "Yang ke dua kalinya."

Fabio menautkan kedua alisnya.

"Siapa yang pertama dan kapan?" tanya Fabio yang terlihat kesal.

"Kamu!" sahut Andien tersenyum.

"Aku?" Fabio menunjuk dirinya.

"Ya, kamu!" jawab Andien sembari mencolek hidung bangir Fabio.

"Kapan?" tanya Fabio lagi.

"Kemarin malam, disini, di kamar ini," terang Andien.

Fabio pun mencoba kembali mengingat. Ia pun teringat kejadian saat ia mabuk dan Andien datang ke kamarnya. Fabio kembali wajah Andien dan tersenyum.

"Jadi, kemarin aku yang ...." Fabio tidak melanjutkan kata-katanya, saat mendapat jawaban berupa anggukan kepala dari Andien yang tertunduk malu.

Tanpa aba-aba, Fabio kembali melumat bibir Andien dan membuat gadis itu tidak bisa mengimbangi permainan dari Fabio. Lidah Fabio berselancar di dalam mulut Andie dan mengabsen setiap sisi dari mulut Andien. Bibir Fabio turun ke leher jenjang Andien, menggigit perlahan dan meninggalkan bekas disana. Fabio sengaja melakukan itu, jika nanti Loe melihatnya. Iap akan tahu, kalau Andien telah menjadi miliknya. Setelah memberi tanda kepemilikan di leher putih Andien, Fabio kembali mencumbu manisnya madu di bibir gadis itu.

"Aku mencintaimu," bisik Fabio di sela lumatannya.

Andien tidak bisa menjawab, sebab Fabio tidak memberikan kesempatan untuknya bicara. Ia hanya di ijinkan, untuk mengambil nafas. Setelah puas, Fabio melepas pagutannya dan kembali menatap wajah Andien. Seolah tiada pernah bosan, untuknya melihat wajah itu.

"Tetaplah disini, bersamaku," pinta Fabio.

"Tapi, aku punya kamar sendiri dan kita ...."

"Aku hanya ingin tidur dengan memelukmu, aku berjanji. Aku tidak akan melakukan hal lebih dari memeluknya," pinta Fabio.

Andien percaya dengan semua yang Fabio katakan. Ia pun mengiyakan permintaannya. Fabio membawa Andien ke ranjangnya dan berbaring di sampingnya. Fabio memeluk Andien dengan posesivenya. Tubuh Fabio yang besar, membuat Andien laksana guling kecil yang nyaman di peluk.

"Aku mencintaimu," hanya kata itu yang mampu mewakili semua perasaan Fabio saat ini.

"Aku juga mencintaimu," balas Andien. Fabio mengecup kilas bibir Andien, kemudian mencium puncak kepalanya.

"Tidurlah, esok akan ada hari yang bahagia untuk kita," ucap Fabio.

Andien pun mulai memejamkan matanya, dalam pelukan Fabio yang hangat. Ada rasa aman dan nyaman, saat ia bersama Fabio.

****

"Aku yakin, saat ini. Andien, gadis bodoh itu, pasti sedang bingung," ucap Leonard.

"Apa yang telah terjadi, Tuan?" tanya asistennya.

"Kau tidaka akan mengira jika aku melakukannya," jawab Leonard.

Asistennya kembali diam, ia tidak mau banyak bertanya. Jika itu ia lakukan, makan nyawanya akan terancam, seperti asisten yang sebelumnya.

"Aku hanya menunggu hari esok, bagaimana jawaban darinya. Jika, dia menolak bearti, si brengsek Fabio itu telah mengatakan semuanya rasanya pada gadis itu. Tapi, jika menerima, pasti terjadi sebaliknya." Leonard menggoyangkan gelas yang berisi minuman di tangannya.

Asistennya kini paham, apa yang di maksud oleh majikannya. Ia hanya mengangguk mengerti dan ikut tersenyum.

Keesokan harinya, Leonard bangun dengan keadaan marah. Setelah ia mendapat kabar, jika salah satu tender yang menjadi incarannya selama ini. Dimenangkan oleh Fabio dan telah di berikan kepada salah satu saudaranya.

"Sialan!" umpat Leonard.

"Aku mau, secepatnya kalian membereskan Fabio. Aku yakin, pasti ada satu yang jadi kelemahannya," seru Loenard lantang. Tidak ada yang berani bersuara, saat ia bicara. Jika ada, maka orang itu tidak akan bisa melihat hari esok.

Leonard sudah bersiap untuk ke kampus dan kembali menjadi sosok Leo yang polos.

"Aku akan kembali menjadi sosok bodoh yang menjengkelkan ini, hanya untuk mendapatkan gadis bodoh itu dan mengambil semua apa yang seharusnya jadi milikku," ucap Leonard.

Dengan mengendarai sepeda motornya, ia pun segera menuju kampusnya dan menunggu ke datangan Andien, di depan gerbang.

****

Andien membuka matanya, kemudian menatap sekelilingnya. Ia sadar dan tahu, ini bukan kamarnya. Ia menggeliatkan sedikit tubuhnya, kemudian ia merasakan sesuatu yang berat merangkul perutnya. Pelukan itu semakin kuat, saat Andien berusaha untuk melepaskan diri.

Andien melihat sebuah tangan besar melingkar di perutnya. Ia pun membalik badannya dan melihat pemilik tangan itu. Andien tertegun, ketika ia tahu siapa yang ada di belakangnya dan memeluknya. Ia menatap wajah Fabio yang masih tidur. Ia memperhatikan setiap inci wajah laki-laki yang kini jadi kekasihnya.

Dulu, ia hanya bisa menatap wajahnya dari kejauhan. Kini, ia begitu dekat dengannya. Perlahan, Andien mengangkat tangannya dan mengusap pipi Fabio, Andien tersenyum dengan tampang polos Fabio ketika tidur.

"Sudah puas melihatnya?" ucap Fabio yang tiba-tiba membuka matanya dan menangkap tangan Andien, kemudian mengecupnya.

"Kamu sudah bangun?" tanya Andien dengan ekspresi terkejut.

"Ya, sejak seseorang diam-diam menatapku dan mengusap wajahku," jawab Fabio.

Andien tersenyum dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Fabio.

"Aku ingin seperti ini seharian ini," ucap Fabio.

"Kau tidak akan ke kantor?" tanya Andien.

"Tidak," jawab Fabio.

"Bagaimana dengan urusanmu?"

"Sam, yang akan menghendel semuanya."

"Bagaimana dengan aku?"

"Kenapa?"

"Aku ada kuliah pagi dan sekarang aku harus bangun dan ke kampus." Andien beranjak dari pelukan Fabio. Namun, Fabio kembali menahanya di dalam kungkungannya.

"Berika aku satu ciuman dan aku akan melepaskanmu," pinta Fabio.

 Cup!

 Cup!

 Cup!

Andien mengecup kedua pipi dan kening Fabio. Fabio tersenyum, tapi masih belum mau melepaskan Andien dari kungkungannya. Fabio mendekatkan wajahnya dan kembali menikmati manisnya bibir ranum milik Andien. Andien membalas setiap sentuhan yang di berika Fabio. perlahan, tangan Fabio turun dan mencoba melepas kancing piyama tidur Andien.

Seketika, Andien tersadar dan segera menahan tangan Fabio. Fabio menatap Andien dan melepas pagutannya. Andien menggeleng, kemudian bangkit dan segera keluar dari kamar Fabio. Fabio mengusap kasar wajahnya, ia menyesali perbuatannya. Ia segera mandi untuk mendinginkan pikirannya. Setelahnya, ia akan menemui gadis itu untuk minta maaf.

"Selamat pagi, Sam," sapa Andien tersenyum cerah.

"Selamat pagi, Sweety," ucap Samuel. Tanpa sengaja mata Samuel menangkap sesuatu di leher Andien dan menatap bibir Andien yang merah dan sedikit bengkak. Wajah Samuel seketika berubah. Kemudian tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.

"Selamat pagi," terdengar suara bariton milik Fabio menyapa keduanya.

"Pagi," jawab Samuel dan Andien bersamaan. Samuel juga melihat wajah Fabio yang juga terlihat bahagia.

"Pagi yang cerah!" sindir Samuel sembari tersenyum.

Fabio menatap tajam ke arah saudaranya. Samuel hanya mengangkat tangan, tanda menyerah kalah.

"Sam, kau pergi menemui klien kita, di Hotel Y," perintah Fabio.

"Hah! Bukannya, kemarin kau bilang, kalau kau yang akan menemuinya, Fab?" tanya Samuel bingung.

"Aku baru ingat, aku ada janji dengan seseorang," jawab Fabio tenang.

"Baiklah, kau boss nya disini," celetuk Samuel, yang telah mengetahui siapa yang akan di temui Fabio.

Andien hanya memperhatikan kedua pria yang sedang berbicara di hadapannya dengan heran. Samuel segera berangkat sendiri bersama Mark, sebagai sopir. Sedangkan, Fabio yang akan mengantarkan Andien ke kampusnya. Fabio menyetir sendiri, ia tidak mau di ganggu siapapun saat bersama Andien.

Sepanjang perjalan, Fabio meletakkan kepala Andien di bahunya. Sesekali ia mengecup puncak kepala Andien. Tiba di kampus, Fabio telah melihat keberadaan Leo yang sedang menunggu Andien. Fabio melepaskan sabuk pengaman, kemudian kembali mengecup bibir Andien. Fabio juga sengaja membiarkan rambut Andien terikat, agar saat ia bertemu Leo. Pemuda itu bisa melihat dengan jelas, tanda yang diberikan oleh Fabio.

"Aku akan menjemputmu, setelah urusanku selesai," ucap Fabio mencium kening Andien.

"Baiklah, hati-hati." balas Andien yang turun dari mobil. Mobil Fabio melesat meninggalkan halaman kampus. Andien berjalan masuk dan menghampiri Leo.

"Hai, Le," sapa Andien.

"Hai, apa itu Mark?" tanya Leo.

"Bukan, itu Fabio. Mark, mengantarkan Sam untuk meninjau proyek," jawab Andien.

Tangan Leo mengepal, saat ia melihat tanda merah di leher Andien. Loe merasa kalah cepat dari Fabio. Leo pun segera mengingatkan Andien, akan pertanyaan yang ia berikan kemarin.

"Andien, bagaimana dengan jawaban atas pertanyaanku kemarin?" ucap Leo.

"Pertanyaan?"

"Ya, tentang perasaanku padamu. Kau masih berhutang jawaban padaku," tegas Leo.

"Oh, yang itu. Maafkan aku, Le. Aku telah menerima seseorang dan sebab dialah, yang telah mengisi hariku selama ini," ungkpa Andien.

"Apa dia yang memberikan tanda merah di lehermu?" tanya Leo.

Andien menautkan alisnya dan bergumam. "Tanda merah?"

Ia pun segera meraih cermin di tasnya dan melihat apa yang dikatakan oleh Leo. Mata Andien membulat saat ia melihat, sebercak tanda kepemilikan tergambar di leher putihnya. Andien kembali mengingat kegiatan yang ia lakukan bersama Fabio kemarin malam. Andien segera melepas ikatan rambutnya dan menggerai rambutnya.

"Kenapa kau melepas iktan rambutmu? Bukankah, pemuda itu maunya semua orang tau. Bahwa kau hanya miliknya," sindir Leo.

"Le, maafkan aku. Ini tidak ada hubungannya dengan penolakanku," sanggah Andien.

"Ya, aku tau. Aku tidak marah, hanya saja. Apa aku masih boleh berteman denganmu?" ucap Leo.

"Hei! Tentu saja, kau tetap temanku," ucap Andien.

"Baiklah, mau masuk kedalam bersamaku?" tawar Leo.

"Ayo!" seru Andien menarik lengan Leo dan menggandenganya.

****

Leo mengamuk di kediamannya. Ia tidak bisa menerima kenyataan, jika Andien menjadi milil Fabio. Ia merasa selalu kalah dari Fabio.

"Aku akan pastikan, hubungan kalian berdua tidak akan bertahan lama. Sebab, Andien hanya milikku, milik Leonard."

Leonard meraih pistolnya dan menembak ke segala penjuru ruangan. Tidak ada yang berani mencegahnya. Seluruh pelayan, maupun pengawalnya berada jauh darinya. Jika ada yang terlihat, maka dia adalah mangsa yang akan di habisi oleh Leonard.

Di kediamannya, Fabio sedang menikmati waktunya bersama Andien di kamarnya.

"Sweety, kapan kau akan libur kuliah?" tanya Fabio.

"Aku masih belum tau," jawab Andien.

"Ada apa?" lanjut Andien.

"Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan berdua denganmu," jawab Fabio.

"Bagaimana dengan bisnismu?"

"Sam, yang akan menghendel semuanya,"

"Apa!" sahut seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

"Sam!" seru Andien tersenyum.

Fabio mengumpat dan melemparkan tatapan membunuh pada Sam.

"Sungguh pemandangan yang indah," ucap Samuel.

"Mau apa kau kemari?" tanya Fabio ketus. "Apa tugas yang aku berikan sudah selesai?"

"Tentu saja, tidak ada sesuatu yang tidak bisa aku lakukan," sahut Sam.

"Ayo kita berbicang di luar," ajak Andien, mengalihkan pembicaraan. Ia juga melihat tampang kesal Fabio. Andien menarik tangan keduanya dan membawanya ke luar dan duduk di ruang keluarga.

"Kalian duduk disini, aku akan membawakan minuman dan cemilan untuk kita," ucap Andien. Andien melangkah, tapi kemudian ia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah kedua pemuda tadi.

"Ingat! Jangan bertengkar, selama aku membuat minuman. Jika itu kalian lakukan, kalian berdua akan menanggung akibatnya!" seru Andien

Fabio dan Sam hanya melongo, kemudian menggelengkan kepalanya.

"Apa semuanya baik-baik saja, Fab?" tanya Sam.

"Jauh lebih baik," sahut Fabio.

"Kau lega sekarang?" tanya Sam lagi.

"Hem," jawab Fabio.

"Tapi, kau harus tetap waspada, Fab. Aku yakin, bocah sialan itu, akan melakukan pergerakan. Saat ia tau, kalau rencananya kembali kau gagalkan," ucap Sam.

"Aku tau, aku hanya menunggu waktu yang tepat, untuk mengatakan semuanya pada Andien," sahut Fabio.

"Secepatnya, Fab. Jangan sampai, Leonard maju selangkah darimu," lanjut Samuel.

bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status