Home / Romansa / Little Brother / Bab 4 - Salah Paham

Share

Bab 4 - Salah Paham

last update Last Updated: 2021-03-25 17:06:49

***

Pagi itu, rombongan pria berjas berjalan masuk dari pintu lobi kantor. Irena yang kebetulan lewat di jembatan lantai dua, sejenak berhenti sambil memegang berkas. Pandangannya teralihkan oleh kedatangan mereka di lantai lobi. Namun Irena hanya terpaku tatapannya pada satu pria di barisan ke dua, tepat di belakang pria yang diketahui sebagai direktur utama atasan mereka. Samar senyum Irena mengembang. Lalu dia melanjutkan langkahnya lagi. Kembali ke meja kerjanya. 

Setengah jam kemudian, email muncul di pojok layar komputernya. Sebuah kalimat perintah dari atasan tertera di sana: datang segera ke ruangan saya! Anehnya Irena sama sekali tidak merasa ketar-ketir disuruh datang ke ruangan general manajer itu. Justru dengan hati senang dia bangkit dari kursi. Irena melangkah dengan ringan di koridor kantor menuju ruangan GM. Hanya bersebrangan lorong. Setelah berjalan lurus, Irena berhenti di depan pintu kayu hitam. 

Diketuknya pintu itu tiga kali dan kemudian memutar pegangan pintunya. Irena melangkah ke dalam. Seketika tangannya ditarik. Sesaat membuat Irena tersentak sebelum punggungnya membentur dinding, dan dalam sekejap dia sudah terkurung oleh tubuh seorang pria tadi. Mata Irena membeliak kaget. "Zen..." bisiknya. Irena tidak menduga Zen akan langsung menyudutkannya di kantor. Mata dan rahang Zen yang terkatup rapat malah membuat Irena ketakutan. Pria itu kelihatan sedang menahan amarah. 

"Irena," buka Zen. "Apa yang kau katakan semalam itu sungguhan?" tanyanya. 

Semalam? Memangnya dia mengirimkan kata-kata apa? Irena merasa tidak mengirim kata-kata yang akan menyakiti perasaan Zen. Justru sebaliknya. Mereka berkirim pesan dengan sangat manis. "Apa maksudmu, Zen?" Irena tidak mengerti. Oleh sebab itu dia bertanya sepolos ini. Namun, pertanyaan itu menambah kegeraman Zen. Zen memukul tembok di samping kepala Irena, yang seketika wanita itu terlonjak bahunya. Kemudian Zen menarik napas, menarik langkah mundur, dan dia tampak frustasi. "Jangan pura-pura tidak tahu, Irena!" geramnya. 

Irena semakin terbengong. Sungguh, dia tidak paham. Setelah dua bulan tidak bertemu, bukannya sambutan hangat, pertengkaran mewarnai pertemuan mereka. Irena tidak suka bertengkar. Dia tidak ingin tersudutkan oleh sesuatu yang tidak dia ketahui. Irena menegakkan tubuh dengan berani. "Jelaskan padaku, apa yang membuatmu marah kepadaku?"

Zen mendengus. Tertawa sinis. "Kenapa kau ingin putus dariku?" tandas Zen gemas. Barulah Irena sedikit paham. "Putus?" Tetap saja berusaha memahami, Irena tidak mendapatkan potongan puzzle lainnya di otak. Irena juga gemas dengan Zen yang tidak bicara to the point. 

"Irena apa kau mengidap demensia? Kau sendiri yang mengirim pesan padaku dan sekarang kau bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?" 

"Pesan? Tunggu sebentar," tahan Irena. Lantas dia mengambil gawainya dari saku blazer. Membuka aplikasi chatting dan memeriksa pesan semalam. Saat itu dia tertegun. Irena terdiam mematung membaca pesan di balon chat terakhir. Sekarang dia tahu penyebab Zen marah-marah padanya. Bukan tanpa sebab, jelas. 

"Yang mengetik ini bukan aku."

"Lalu siapa? Hantu?" balas Zen kesal. Irena memutar ulang memorinya bagai film yang diputar mundur. "Tunggu, kalau bukan kau..." Zen menyadari sesuatu. Zen sudah kenal Irena lama. Tidak mungkin juga Irena bersikap seperti kasar seperti itu dalam chat semalam. Zen merasa sedang diadu domba. 

"Aku punya dugaan," kata Irena. Dia menyimpulkan sesuatu. Zen mendengarkan dengan seksama. "Kemungkinan besar yang melakukan ini adalah Yohan, adikku," ucap Irena. 

"Adikmu?" Zen membeo heran. "Kau punya adik laki-laki?" Terdengar sekali kalau dia tidak tahu menahu tentang adik laki-laki Irena. Irena mengangguk. "Aku sudah pernah cerita kan? Dulu sekali tentang anak kecil yang dibawa orang tuaku," kata Irena mengingatkan. 

"Ah..." Zen ingat. Irena hanya bercerita tentang anak itu satu kali saja sewaktu mereka masih anak kuliahan. Hampir saja dia lupa kalau tidak diingatkan. Beruntung dia punya ingatan bagus. Ini juga salah dirinya yang tidak mengetahui rupa si adik laki-laki. "Jadi, semalam aku chatingan dengan adikmu?? Kenapa dia usil sekali?" Zen mendengus berat. Sebagai anak tunggal, dia tidak merasakan bagaimana kesalnya seorang kakak ketika dijahili adiknya. Irena meringis. "Aku mewakili adikku minta maaf padamu," ucap Irena tidak enak hati. Diam-diam benaknya mengumpati Yohan. Yohan akan dalam bahaya ketika dia pulang nanti! 

"Jadi, yang mengirim pesan itu adikmu? Bukan kau?" Zen bertanya untuk memastikan dengan jelas. 

"Tentu saja. Bagaimana mungkin aku memutuskanmu via chat," kata Irena mengukir senyum manisnya. Senyuman yang dapat menghipnotis Zen. Sekali lagi, Zen terpesona karenanya. 

***

Di saat yang sama, hidung Yohan mendadak terasa gatal. Hingga secara reflek dia bersin seketika. "Hatchuu!" Lalu dia menggosok hidung bawahnya. "Apa aku flu?" gumamnya pada diri sendiri. 

"Yohan!" Panggilan seseorang dari jauh itu membuat Yohan berhenti dan memutar tumit ke belakang. Tampak seorang gadis berlari kecil ke arahnya. Senyum lebarnya terpatri di wajah riang itu. 

"Aku mencarimu kemana-mana ternyata kau berkeliaran di taman," kata gadis itu setelah tiba di samping Yohan. 

"Ada apa mencariku?" balas Yohan menaikkan sebelah alisnya. Nadanya terdengar dingin dengan muka tak berekspresinya. 

"Tentu saja mencari teman, hehehe. Kau mau pergi ke mana sekarang?" sahut gadis itu. Diketahui bernama Liliana. Teman sekelas yang selalu menempel pada Yohan. Lelaki itu tidak menyukai sikap Liliana yang terlalu dekat dengannya. Risih. Namun, bahasa tubuh Yohan mungkin diabaikan oleh Liliana. Sehingga dia seolah bebal. Yohan mendengus berat. "Ke suatu tempat yang tidak boleh dimasuki wanita," jawab Yohan judes. 

"Benarkah ada tempat seperti itu?" kata Liliana dengan raut polosnya. 

"Tentu saja ada! Pergilah bersama teman-temanmu," usir Yohan. 

"Mereka bukan teman yang mengasikan. Hanya kau temanku!" Liliana mengatakannya dengan riang sambil tersenyum tiga jari. 

Yohan mengabaikan. Kembali berjalan mendahului. Seperti yang sudah diduga, Liliana menyusul di samping. Yohan berhenti lagi. Menatap tajam pada Liliana. Yang ditatap tetap mempertahankan cengirannya. "Berhentilah mengikutiku, Liliana!" tegas Yohan geram. Tidak peduli jika kata-katanya melukai hati seorang gadis. Kemudian, tanpa menunggu reaksi dari gadis ini, Yohan berbalik pergi. Sementara Liliana hanya dapat mematung melihat punggung Yohan yang semakin jauh. 

***

"Ekhm!" Kayla berdeham ketika Irena kembali ke kursinya. "Yang habis berbunga-bunga, aku tahu kau pergi menemui siapa," tambah Kayla. 

"Ada apa sih Kayla?" Irena menarik kursinya, menyamankan posisi duduknya dan mulai membuka Microsoft Word yang sudah terisi laporan. Dia berpura-pura tidak mengerti perkataan Kayla. Tapi wanita itu tahu. Kayla menyeringai. "Terlihat sekali di wajahmu lho. Kau tidak bisa membohongiku," goda Kayla lagi seakan belum puas. 

"Aku lega masalah kami selesai hari ini," ucap Irena. Sebuah kabar yang menarik perhatian Kayla. Ditatapnya Irena dengan rasa penasaran. "Kalian... Bertengkar?" tebak Kayla, dan Irena mengangguk. 

"Ho!" kaget Kayla. Mendengar Irena dan Zen bertengkar adalah sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi. Tapi sekarang, hari ini, setelah mereka LDR lumayan lama, pertemuan mereka dibuka dengan pertengkaran? Kayla nyaris tidak percaya. "Akan aku ceritakan nanti," kata Irena. 

"Aku menunggu," balas Kayla. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Little Brother   Bab 23

    Irena sedang presentasi di depan manajer devisi ketika seharusnya Kayla hadir di sana untuk membahas pekerjaan ini bersama. Namun, saat ini Kayla sedang berada di ruang kerja Zen. Mereka berbicara bisnis dengan serius. Sebelumnya Zen memanggil Kayla melalui pesan pribadi untuk ke ruang kerjanya. Ternyata lelaki itu meminta saran dari Kayla mengenai produk mereka yang baru. Tetapi, Kayla justru menyarankan, "hal seperti ini hanya Irena yang mengerti. Kenapa tidak kau panggil Irena untuk berdiskusi?" Jelas saja Kayla dengan sengaja mengatakan hal tersebut. Tapi juga bukan tanpa alasan, karena memang Irena lebih paham dengan apa yang ingin Zen diskusikan daripada dirinya. Zen terdiam membeku. Perkataan Kayla tidak ada salahnya, tetapi dia menghindari Irena untuk alasan pribadi. Terdenga tidak profesional memang. Itu cukup sulit bagi Zen yang masih memiliki muka untuk malu di hadapan mantan kekasihnya. Zen mengepalkan tangan. Dia tidak suka dengan situasi yang merugikan dirinya sendiri.

  • Little Brother   Bab 22

    Kayla baru tiba di apartemennya ketika melihat seseorang duduk dengan angkuh di sofa. "Ayah?" panggilnya ragu sekaligus heran. "Duduklah." Pria baya itu meski tidak banyak bicara, tapi menyeramkan bagi Kayla sebagai anak. "Ayah tidak akan lama di sini."Kayla menurut tanpa mengganti pakaiannya dulu. Kedatangan ayahnya ke sini tidak pernah dia sangka. Ayahnya yang super sibuk tidak mungkin mampir dengan basa-basi apalagi hanya untuk melihat keadaan anak tunggalnya. "Bagaimana dengan karirmu di kantor itu?" tanya ayahnya. Kayla menjawab seadanya dengan jujur bahwa semua berlalu dengan baik. "Kudengar kau dekat dengan Zen."Sebuah pertanyaan yang sedikit mengejutkan Kayla. Dari mana ayahnya ini tahu hubungannya dengan Zen? Mungkinkah rumor tentang mereka sudah beredar? Tapi dia tidak pernah mendengar gosip apa pun selama di kantor. "Kami tidak sedekat yang ayah kira." "Begitukah?" Ayah tampak meragukannya. "Tapi mengapa ayah sering melihat Zen keluar masuk apartemenmu?""Ya karena

  • Little Brother   Bab 21

    Di kantor, Kayla berani menampakan wajahnya di sekitar Irena. Hubungan mereka benar-benar renggang. Bahkan ketika berpapasan, Irena tidak sudi menyapanya. Begitu juga dengan Kayla yang mendadak canggung dengan lidah yang lebih kaku barang untuk membuka suara pada Irena. Seperti ada jarak tak kasat mata yang mereka ciptakan sendiri. Meskipun masalah pribadi tidak pernah diceritakan pada siapapun, sikap mereka disadari rekan satu divisi yang mengira-ngira bahwa dua sahabat itu sedang berselisih. Salah satu rekan kerja juga sempat bertanya pada Irena saat makan siang. Namun, Irena tidak menanggapi dengan jelas. Irena tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Cukup mereka bertiga yang tahu aib tersebut. Oh, bahkan, Irena masih sangat berbaik hati pada Kayla dan Zen dengan tidak mengumbar perselingkuhan mereka. Jika saja Irena lemes mulut, sudah sejak tadi gosip buruk tentang dua orang itu tersebar ke seluruh karyawan. Mungkin saja ada pihak yang akan membela Irena. Atau mungk

  • Little Brother   Bab 20

    Liliana diam-diam menaruh curiga pada Yohan. Hari ini dia melihat Yohan di kampus. Karena tidak ada jadwal kelas, Yohan hanya mampir ke ruang dosen sambil membawa map berisi kertas putih. Liliana sudah mengikutinya dan memperhatikan dari belakang. Setelah keluar dari ruang dosen, Yohan langsung meninggalkan kampus. Pemuda itu tidak seperti teman-teman lain yang akan nongkrong dulu dan menghabiskan waktu di organisasi. Langkah Liliana terus mengikuti ayunan kaki Yohan. Tetapi dia sejenak kebingungan ketika melihat Yohan segera pergi menggunakan sepeda. Membuat Liliana tertinggal. Sedangkan mobilnya terparkir agak jauh dari sini. Tapi Liliana mencoba tidak menyerah. Dia berlari cepat menuju mobilnya setelah mengetahui belokan arah sepeda Yohan. Dengan sedikit tergesa-gesa Liliana mengikuti jejak Yohan sambil berharap belum kehilangan arah lelaki itu. Liliana hanya penasaran terhadap Yohan. Karena lelaki itu sama sekali tidak tertarik berdekatan dengan wanita. Sementara dirinya menaruh

  • Little Brother   Bab 19

    Irena sudah teler. Dia terlalu banyak minum alkohol setelah makan malamnya habis. Mereka masih di kedai dengan duduk paling pojok ruangan. Irena mungkin tidak dapat mencurahkan keluh kesah yang sekarang dialaminya kepada Yohan. Irena memendam sakit hati itu dalam diam. Terlalu sakit untuk diceritakan. Itu sama saja dengan mengingat kembali kejadian laknat yang disaksikannya secara tidak sengaja. Irena tidak mau mengingatnya lagi. Dia ingin melupakan dua orang itu. Membuang mereka dari hidupnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak pernah ada di kehidupan Irena. Tidak sudi berteman dengan seorang pengkhianat. Tidak sudi pula menjalin hubungan dengan lelaki brengsek. Hari Irena menangis deras di dalam relung. Hanya kalimat racauan yang terucap di bibirnya secara tidak jelas. Lidah Irena terasa kelu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dia sebenarnya sesak dan ingin menumpahkan amarah ini atau setidaknya curhat. Namun, sekali lagi, Irena tidak bisa melakukannya. Apalagi curhat pada Yohan. Ir

  • Little Brother   Bab 18

    Ada perasaan sedikit lega ketika hadir di kantor hari ini. Karena Irena tidak harus bertemu dengan Kayla di samping mejanya. Kalau pun bertemu juga tidak Irena hiraukan keberadaannya. Si pengkhianat itu tidak pantas mendapat sapaan ramah darinya seperti biasa. Hubungan persahabatan mereka putus bak tapi yang dipotong pisau tajam. Irena bahkan tidak sudi jika mereka bekerja berdampingan. Tetapi mereka satu divisi, tidak akan selamanya mereka saling menghindar. Pasti akan ada momen yang mempertemukan mereka dalam kerja sama pekerjaan. Hanya melakukan pekerjaan dengan profesional meski kebencian itu Irena pendam di dalam dada.Selama duduk di depan komputernya saat ini, Irena merasa ingin sekali mengacak-acak meja Kayla yang berada tepat di sampingnya. Rasa ingin mengacaukan semua berkas yang tersimpan di meja itu mungkin akan membuatnya senang. Irena menyeringai lebar dalam hati saat membayangkan dia menghambur-hamburkan tumpukan kertas kerja Kayla lalu membuangnya dari rooftop kantor,

  • Little Brother   Bab 17 - Hari Yang Berat

    Irena membuka matanya, bahkan sebelum alarm berbunyi. Jendela di sampingnya sudah menampakan langit pagi. Namun, pagi ini terasa sangat kosong. Sekosong suasana hatinya yang tak memiliki rasa apapun lagi. Pikirannya juga kosong. Kejadian semalam membuat mental Irena down. Rasanya berat untuk memulai hari, apalagi sampai pergi ke kantor lalu bertemu dengan pengkhianat. Malas sekali. Moodnya benar-benar sangat buruk hari ini. Samar-samar dia mendengar suara Yohan memasak di dapur. Pemuda itu rajin sekali dalam hal menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Tetapi, Irena tidak merasa lapar sama sekali saat ini. Perutnya seolah sudah penuh walaupun semalam tidak diisi makanan apapun. Yang dia lakukan sekarang hanya melamun. Melamun dan melamun dengan menyedihkan. Tiba-tiba bayangan semalam terlintas kembali di benaknya, dan Irena menahan napas. Rasanya menyesakkan. Sakit sekali di hati. Seolah ada lubang besar di dalam relungnya dan angin berembus keluar masuk dengan bebas. Sampai-sampai s

  • Little Brother   Bab 16 - Irena Pergi

    ***Berkali-kali Yohan melirik jam dinding dengan resah. Setelah mengetahui Irena pergi tanpa pemberitahuan, Yohan jadi tidak bisa mengerjakan skripsinya dengan tenang sekarang. Apalagi wanita itu pergi larut malam. Pergi kemana kakak perempuannya itu? Yohan mencoba meneleponnya. Satu kali tidak dijawab, dua hingga lima kali panggilan, tidak kunjung ada jawaban dari pemilik nomor. Yohan khawatir sehingga dia berpikir mungkin telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya itu. Bergegas Yohan mengambil jaket lalu menyambar mantel. Pemuda itu hengkang dari rumah mencari Irena. Di sisi lain, Irena berjalan lunglai. Pandangannya hampa. Bar minuman di pinggir jalan menjadi tempat singgah langkah Irena. Dia memesan wiski pada bartender. Segelas habis, dia meminta tambah sampai beberapa botol berada di mejanya sekarang. Dia butuh melupakan pemandangan yang dia lihat tadi. Sungguh, kalau perlu, terbentur sesuatu dan hilang ingatan itu lebih baik. Tapi Irena tidak suka rasa sakit. Alhasil dia

  • Little Brother   Bab 15 - Yohan di Rumah Sakit

    ***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status