Share

Bab 4 - Salah Paham

***

Pagi itu, rombongan pria berjas berjalan masuk dari pintu lobi kantor. Irena yang kebetulan lewat di jembatan lantai dua, sejenak berhenti sambil memegang berkas. Pandangannya teralihkan oleh kedatangan mereka di lantai lobi. Namun Irena hanya terpaku tatapannya pada satu pria di barisan ke dua, tepat di belakang pria yang diketahui sebagai direktur utama atasan mereka. Samar senyum Irena mengembang. Lalu dia melanjutkan langkahnya lagi. Kembali ke meja kerjanya. 

Setengah jam kemudian, email muncul di pojok layar komputernya. Sebuah kalimat perintah dari atasan tertera di sana: datang segera ke ruangan saya! Anehnya Irena sama sekali tidak merasa ketar-ketir disuruh datang ke ruangan general manajer itu. Justru dengan hati senang dia bangkit dari kursi. Irena melangkah dengan ringan di koridor kantor menuju ruangan GM. Hanya bersebrangan lorong. Setelah berjalan lurus, Irena berhenti di depan pintu kayu hitam. 

Diketuknya pintu itu tiga kali dan kemudian memutar pegangan pintunya. Irena melangkah ke dalam. Seketika tangannya ditarik. Sesaat membuat Irena tersentak sebelum punggungnya membentur dinding, dan dalam sekejap dia sudah terkurung oleh tubuh seorang pria tadi. Mata Irena membeliak kaget. "Zen..." bisiknya. Irena tidak menduga Zen akan langsung menyudutkannya di kantor. Mata dan rahang Zen yang terkatup rapat malah membuat Irena ketakutan. Pria itu kelihatan sedang menahan amarah. 

"Irena," buka Zen. "Apa yang kau katakan semalam itu sungguhan?" tanyanya. 

Semalam? Memangnya dia mengirimkan kata-kata apa? Irena merasa tidak mengirim kata-kata yang akan menyakiti perasaan Zen. Justru sebaliknya. Mereka berkirim pesan dengan sangat manis. "Apa maksudmu, Zen?" Irena tidak mengerti. Oleh sebab itu dia bertanya sepolos ini. Namun, pertanyaan itu menambah kegeraman Zen. Zen memukul tembok di samping kepala Irena, yang seketika wanita itu terlonjak bahunya. Kemudian Zen menarik napas, menarik langkah mundur, dan dia tampak frustasi. "Jangan pura-pura tidak tahu, Irena!" geramnya. 

Irena semakin terbengong. Sungguh, dia tidak paham. Setelah dua bulan tidak bertemu, bukannya sambutan hangat, pertengkaran mewarnai pertemuan mereka. Irena tidak suka bertengkar. Dia tidak ingin tersudutkan oleh sesuatu yang tidak dia ketahui. Irena menegakkan tubuh dengan berani. "Jelaskan padaku, apa yang membuatmu marah kepadaku?"

Zen mendengus. Tertawa sinis. "Kenapa kau ingin putus dariku?" tandas Zen gemas. Barulah Irena sedikit paham. "Putus?" Tetap saja berusaha memahami, Irena tidak mendapatkan potongan puzzle lainnya di otak. Irena juga gemas dengan Zen yang tidak bicara to the point. 

"Irena apa kau mengidap demensia? Kau sendiri yang mengirim pesan padaku dan sekarang kau bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?" 

"Pesan? Tunggu sebentar," tahan Irena. Lantas dia mengambil gawainya dari saku blazer. Membuka aplikasi chatting dan memeriksa pesan semalam. Saat itu dia tertegun. Irena terdiam mematung membaca pesan di balon chat terakhir. Sekarang dia tahu penyebab Zen marah-marah padanya. Bukan tanpa sebab, jelas. 

"Yang mengetik ini bukan aku."

"Lalu siapa? Hantu?" balas Zen kesal. Irena memutar ulang memorinya bagai film yang diputar mundur. "Tunggu, kalau bukan kau..." Zen menyadari sesuatu. Zen sudah kenal Irena lama. Tidak mungkin juga Irena bersikap seperti kasar seperti itu dalam chat semalam. Zen merasa sedang diadu domba. 

"Aku punya dugaan," kata Irena. Dia menyimpulkan sesuatu. Zen mendengarkan dengan seksama. "Kemungkinan besar yang melakukan ini adalah Yohan, adikku," ucap Irena. 

"Adikmu?" Zen membeo heran. "Kau punya adik laki-laki?" Terdengar sekali kalau dia tidak tahu menahu tentang adik laki-laki Irena. Irena mengangguk. "Aku sudah pernah cerita kan? Dulu sekali tentang anak kecil yang dibawa orang tuaku," kata Irena mengingatkan. 

"Ah..." Zen ingat. Irena hanya bercerita tentang anak itu satu kali saja sewaktu mereka masih anak kuliahan. Hampir saja dia lupa kalau tidak diingatkan. Beruntung dia punya ingatan bagus. Ini juga salah dirinya yang tidak mengetahui rupa si adik laki-laki. "Jadi, semalam aku chatingan dengan adikmu?? Kenapa dia usil sekali?" Zen mendengus berat. Sebagai anak tunggal, dia tidak merasakan bagaimana kesalnya seorang kakak ketika dijahili adiknya. Irena meringis. "Aku mewakili adikku minta maaf padamu," ucap Irena tidak enak hati. Diam-diam benaknya mengumpati Yohan. Yohan akan dalam bahaya ketika dia pulang nanti! 

"Jadi, yang mengirim pesan itu adikmu? Bukan kau?" Zen bertanya untuk memastikan dengan jelas. 

"Tentu saja. Bagaimana mungkin aku memutuskanmu via chat," kata Irena mengukir senyum manisnya. Senyuman yang dapat menghipnotis Zen. Sekali lagi, Zen terpesona karenanya. 

***

Di saat yang sama, hidung Yohan mendadak terasa gatal. Hingga secara reflek dia bersin seketika. "Hatchuu!" Lalu dia menggosok hidung bawahnya. "Apa aku flu?" gumamnya pada diri sendiri. 

"Yohan!" Panggilan seseorang dari jauh itu membuat Yohan berhenti dan memutar tumit ke belakang. Tampak seorang gadis berlari kecil ke arahnya. Senyum lebarnya terpatri di wajah riang itu. 

"Aku mencarimu kemana-mana ternyata kau berkeliaran di taman," kata gadis itu setelah tiba di samping Yohan. 

"Ada apa mencariku?" balas Yohan menaikkan sebelah alisnya. Nadanya terdengar dingin dengan muka tak berekspresinya. 

"Tentu saja mencari teman, hehehe. Kau mau pergi ke mana sekarang?" sahut gadis itu. Diketahui bernama Liliana. Teman sekelas yang selalu menempel pada Yohan. Lelaki itu tidak menyukai sikap Liliana yang terlalu dekat dengannya. Risih. Namun, bahasa tubuh Yohan mungkin diabaikan oleh Liliana. Sehingga dia seolah bebal. Yohan mendengus berat. "Ke suatu tempat yang tidak boleh dimasuki wanita," jawab Yohan judes. 

"Benarkah ada tempat seperti itu?" kata Liliana dengan raut polosnya. 

"Tentu saja ada! Pergilah bersama teman-temanmu," usir Yohan. 

"Mereka bukan teman yang mengasikan. Hanya kau temanku!" Liliana mengatakannya dengan riang sambil tersenyum tiga jari. 

Yohan mengabaikan. Kembali berjalan mendahului. Seperti yang sudah diduga, Liliana menyusul di samping. Yohan berhenti lagi. Menatap tajam pada Liliana. Yang ditatap tetap mempertahankan cengirannya. "Berhentilah mengikutiku, Liliana!" tegas Yohan geram. Tidak peduli jika kata-katanya melukai hati seorang gadis. Kemudian, tanpa menunggu reaksi dari gadis ini, Yohan berbalik pergi. Sementara Liliana hanya dapat mematung melihat punggung Yohan yang semakin jauh. 

***

"Ekhm!" Kayla berdeham ketika Irena kembali ke kursinya. "Yang habis berbunga-bunga, aku tahu kau pergi menemui siapa," tambah Kayla. 

"Ada apa sih Kayla?" Irena menarik kursinya, menyamankan posisi duduknya dan mulai membuka Microsoft Word yang sudah terisi laporan. Dia berpura-pura tidak mengerti perkataan Kayla. Tapi wanita itu tahu. Kayla menyeringai. "Terlihat sekali di wajahmu lho. Kau tidak bisa membohongiku," goda Kayla lagi seakan belum puas. 

"Aku lega masalah kami selesai hari ini," ucap Irena. Sebuah kabar yang menarik perhatian Kayla. Ditatapnya Irena dengan rasa penasaran. "Kalian... Bertengkar?" tebak Kayla, dan Irena mengangguk. 

"Ho!" kaget Kayla. Mendengar Irena dan Zen bertengkar adalah sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi. Tapi sekarang, hari ini, setelah mereka LDR lumayan lama, pertemuan mereka dibuka dengan pertengkaran? Kayla nyaris tidak percaya. "Akan aku ceritakan nanti," kata Irena. 

"Aku menunggu," balas Kayla. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status