"Rafael," suara Nyonya O'niel terdengar tegas, namun diselingi kelembutan khas seorang ibu. "Kapan kau akan mengenalkan kekasihmu, Rafael? Bukankah kau sudah berjanji akan membawanya saat adikmu kembali?" Ia menatap putranya dengan tatapan penuh harap dan sedikit cemas. Cahaya siang hari menerangi ruangan mewah itu, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit tegang. Rafael, yang tengah sibuk dengan tabletnya, mengangkat wajahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Tenang saja, Mama," jawabnya, suaranya terdengar lebih santai dan percaya diri daripada biasanya. Ia meletakkan tabletnya dengan lembut di atas meja, menunjukkan sikap yang lebih perhatian dari biasanya. Namun, Nyonya O'niel masih terlihat curiga. Ia mengenal putranya terlalu baik untuk percaya begitu saja. "Jangan sampai kau membawa wanita bayaran lagi, Rafael," peringatnya, suaranya sedikit meninggi. "Jika kau melakukannya, aku akan memintamu untuk langsung menikah dengan putri temanku!" Ancaman itu disampaikan dengan
Dyon seketika menepi, menghentikan mobilnya di bahu jalan saat mendengar ucapan Fiona. Dengan cepat, dia menoleh ke belakang, menatap Gruzeline yang kini tampak seperti anak kecil yang tertangkap basah berbohong. "Mana, coba aku lihat," ucap Dyon, nada suaranya meninggi karena penasaran. Namun, Gruzeline langsung menutupi lehernya dengan tangannya, berusaha menyembunyikan sesuatu.Fiona menyerahkan ponselnya pada Dyon, memperlihatkan gambar yang baru saja dia ambil. Di sana, terlihat jelas bercak merah di leher Gruzeline, bukti yang tak bisa disangkal. Dyon mengambil ponsel itu dan mengamati gambar tersebut dengan seksama. "Kau sudah tidur dengan seseorang, Line?" tanya Dyon, suaranya terdengar dingin dan menusuk."Bagaimana cara aku menjelaskannya? Aku..." Gruzeline kebingungan, tidak tahu harus mengatakan apa tentang kejadian yang menimpanya, hingga akhirnya dia memiliki tanda kepemilikan itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya."Kau tinggal katakan yang sebenarnya! Atau a
Sinar matahari siang menerobos celah-celah tipis gorden kamar hotel mewah Rafael, menciptakan pola-pola cahaya yang lembut di atas lantai berkarpet tebal. Di atas kasur berukuran king-size, dua insan—Rafael dan Gruzeline—berpelukan erat, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka, kecuali selimut sutra tebal yang melilit tubuh mereka yang masih terjalin mesra.Gruzeline mulai menggeliat, merasakan sapuan nafas Rafael yang hangat dan lembut di tengkuknya. Sentuhan itu awalnya menenangkan, namun kemudian membuatnya sedikit tidak nyaman. Gruzeline meringis, merasakan perih yang menusuk di area kewanitaannya setiap kali ia bergerak. Kenangan kejadian semalam—kenangan yang penuh gairah dan intensitas—menyergapnya, membuat tubuhnya menegang."Kau sudah bangun?" Suara serak Rafael, yang terdengar seperti bisikan sensual, membuat Gruzeline tersentak. Ia merasakan pelukan Rafael semakin erat, membelenggu tubuhnya yang masih membeku.Rafael mengendus lembut tengkuk Gruzeline, mencium
Rafael baru saja menyelesaikan mandi air dinginnya, tubuhnya masih terasa dingin meskipun hawa panas masih terasa di kulitnya. Ia duduk di tepi ranjang, menunggu minuman yang dipesannya datang. Mungkin alkohol bisa sedikit meredakan rasa frustasi yang masih menggelayut di hatinya karena hasratnya yang tak tersalurkan. Rambutnya masih basah, tetesan air membasahi dada bidang yang hanya tertutup handuk putih tipis. Ketukan di pintu menginterupsi lamunannya. Ia mengira itu pelayan yang membawa minumannya. Namun, kejutan menyapa Rafael saat ia membuka pintu. Gruzeline berdiri di sana, mengenakan jubah tidur tebal berwarna pastel yang menutupi seluruh tubuhnya. Rambutnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang terlihat sedikit pucat. "Gruzeline, ada apa?" tanyanya, suaranya sedikit terkejut. Gruzeline terlihat gugup, tangannya memegang sebuah wadah berisi makanan ringan. "Aku tidak bisa tidur, dan… aku membutuhkan teman untuk berbincang," ucapnya, suaranya lirih dan malu-malu. Rafael
Gruzeline merasa panas sekali, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Udara pengap di dalam mobil mewah itu terasa semakin menyesakkan. Ia mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan gemetar, mencoba meredakan hawa panas yang membakar kulitnya. Rafael menoleh, alisnya bertaut bingung. "AC mobil kurang dingin, Line?" tanyanya lembut, memperhatikan keringat yang membasahi dahi Gruzeline.Gruzeline menatap Rafael, tatapannya terpaku pada bibir pria itu yang baru saja berucap. Jantungnya berdebar kencang, sebuah keinginan liar tiba-tiba membakar pikirannya. "Tidak, tidak… apa yang kau pikirkan, Gruzeline?" gumamnya dalam hati, menggeleng pelan untuk menepis godaan yang menggelitik. Rambutnya yang terurai sedikit menutupi wajahnya yang memerah."Kau tidak apa-apa?" tanya Rafael lagi, kali ini dengan sengaja menyentuh kening Gruzeline. Sentuhan itu, sekilas saja, namun terasa seperti sengatan listrik yang mengalir di seluruh tubuh Gruzeline.Gruzeline menggigit bibir bawahnya, menahan desiran
"Bagaimana kau bisa ada di dalam?" Dylan, teman Rafael, bertanya dengan nada heran, alisnya terangkat tinggi. Lampu disko yang berkedip-kedip memantul di mata Dylan, membuat wajahnya tampak setengah gelap setengah terang.Rafael, terengah-engah, meminta bantuan Dylan untuk keluar dari ruang rias Gruzeline. Ia terkurung di dalam lemari—tempat persembunyiannya—sejak Gruzeline pulang. Riella dan Madam May masih berada di dalam ruangan itu, jadi ia tak berani keluar. Beruntung, Dylan kebetulan ada di klub malam itu. Bau alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara."Tak perlu bertanya. Terima kasih atas bantuannya," ucap Rafael singkat, menghindari tatapan Dylan. Ia buru-buru meninggalkan klub malam yang ramai dan berisik itu, langkahnya tergesa-gesa menuju mansion-nya.Malam ini, Rafael menemukan sesuatu yang mengejutkannya, dan ia tak ingin menunda lebih lama lagi untuk bertindak. . . . Gruzeline sibuk membereskan barang-barangnya ke dalam koper kulit mewah. Ba