Timothy menginjak rem mendadak, mobilnya berhenti dengan bunyi decitan ban yang nyaring di jalanan sepi pinggiran kota. "Ada apa?" tanyanya, bingung, tatapannya tertuju pada Rafael yang tampak gelisah di sampingnya. Hujan gerimis mulai turun, membasahi kaca mobil dan jalanan.
Namun, tanpa menjawab pertanyaan Timothy, Rafael sudah membuka pintu mobil dan berlari menuju sebuah mobil mewah yang ringsek akibat menabrak pohon besar di sisi jalan. Mobil itu tampak hancur di bagian depan, bodi mobil penyok parah, dan asap tipis mengepul dari kap mesin. Timothy baru bereaksi setelah melihat Rafael berlari, ia segera keluar dari mobil dan mengejar Rafael yang sudah sampai di dekat mobil yang mengalami kecelakaan tunggal itu. Rafael, yang sepertinya mengenali pemilik mobil itu, langsung berusaha membuka pintu, namun pintunya terkunci dari dalam. Dengan panik, ia mencari sesuatu untuk memecahkan kaca mobil. Matanya menangkap sebuah batu besar di pinggir jalan. "Hey, apa yang kau lakukan?!" Timothy berteriak panik, menarik Rafael yang sudah bersiap untuk melemparkan batu ke arah kaca mobil. Hujan semakin deras, membasahi tubuh mereka. "Ada seseorang di dalam, sepertinya dia pingsan setelah menabrak pohon," jelas Rafael, napasnya tersengal-sengal. Mendengar itu, Timothy langsung membantu Rafael. Bersama-sama, mereka mencari benda yang lebih tepat untuk memecahkan kaca. Timothy menemukan sebuah gagang palu kecil di dalam mobilnya. Prang! Kaca mobil pecah dengan suara yang nyaring, menciptakan serpihan kaca yang beterbangan. Rafael segera membuka pintu mobil yang rusak. Dan benar saja, di dalam mobil itu terdapat seorang wanita yang terkapar tak sadarkan diri. Itu Gruzeline, wajahnya pucat pasi, darah segar mengalir dari pelipisnya. Rafael segera mengeluarkan Gruzeline dari dalam mobil yang ringsek itu, dengan hati-hati dibantu Timothy. Hujan deras terus mengguyur mereka. Rafael dan Timothy, dengan hati-hati, membawa wanita tak dikenal itu ke dalam mobil Timothy. Suasana di dalam mobil terasa tegang. Hujan masih terus turun dengan derasnya, membuat kaca mobil diselimuti butiran air. Timothy sesekali melirik Rafael melalui spion dalam, ia menangkap sesuatu yang aneh di mata Rafael saat pria itu menatap wanita yang terbaring lemas di kursi belakang. Sebuah ekspresi yang sulit diartikan, campuran kekhawatiran dan… sesuatu yang lain. "Kita pergi saja ke apartemenku," ucap Rafael tiba-tiba, suaranya terdengar datar, menghentikan lamunan Timothy. Timothy mengerutkan dahi, "Bukankah kita harus ke rumah sakit?" tanyanya, kebingungan. "Turuti saja permintaanku," jawab Rafael, nada suaranya tegas. Ada sesuatu yang tak biasa pada Rafael. Timothy hanya bisa menuruti perintah Rafael, meski mereka berteman baik, tetapi Rafael juga atasannya di kantor. Mobil berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah di jantung kota New York, bangunan pencakar langit yang menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota. Saat Timothy hendak membantu Rafael membawa wanita itu, Rafael menolak. Dengan gerakan cepat dan terampil, Rafael sendiri yang menggendong wanita itu menuju mansion mewahnya. "Panggilkan dokter," pinta Rafael, suaranya terdengar dingin saat mereka berada di dalam lift yang mewah dan sunyi. Timothy hanya mengangguk, perilaku Rafael benar-benar di luar dugaan. Pria itu biasanya acuh tak acuh pada wanita, bahkan sering menggoda mereka. Namun, kali ini, Rafael bertindak sangat berbeda. Ia bahkan langsung meminta Timothy untuk menghubungi dokter pribadi untuk memeriksa wanita yang baru saja mereka temukan. Timothy semakin curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Rafael. Sesampainya di dalam mansion yang megah, Rafael membawa wanita itu ke kamar pribadinya, sebuah ruangan yang hanya boleh dimasuki olehnya. Timothy semakin curiga, namun ia memilih untuk diam, menunggu penjelasan dari Rafael. "Dokter akan segera datang," lapor Timothy. Rafael tidak menjawab, tatapannya tertuju pada wajah wanita itu yang masih terpejam. Ekspresi wajahnya tenang, tapi ada kesedihan yang tersirat. Dengan gerakan lembut, Rafael mengambil tisu untuk membersihkan darah yang masih mengalir dari pelipis wanita itu. Suasana di dalam kamar terasa hening dan tegang. Tak lama kemudian, seorang dokter pribadi tiba, berpakaian rapi dan membawa tas medis. Rafael langsung meminta dokter itu untuk memeriksa wanita yang terbaring di ranjang besar di kamarnya. Suasana kamar mewah itu terasa tegang, hanya diiringi suara tetesan air hujan dari luar jendela. Setelah beberapa saat memeriksa, dokter itu selesai. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya luka ringan saja. Tapi, sepertinya dia terlalu memforsir dirinya, saya mendapati tekanan darahnya cukup tinggi," jelas dokter itu, nada suaranya tenang dan profesional. Ia menyerahkan resep obat kepada Rafael. Rafael hanya mengangguk, ia meminta Timothy untuk membelikan obat yang telah diresepkan dokter. "Pesankan makanan juga," tambahnya, suaranya terdengar datar. Timothy mengangguk patuh, lalu bergegas pergi untuk menjalankan perintah Rafael. Rafael kembali masuk ke dalam kamarnya, di mana wanita itu masih terbaring dengan pakaian basah yang menempel di tubuhnya. Cahaya remang-remang dari lampu kamar menerangi wajah wanita itu yang terlihat begitu damai dalam tidurnya. "Kau memiliki sesuatu yang begitu menarik untukku, tapi apa?" gumam Rafael pada dirinya sendiri, tatapannya terpaku pada wajah tenang wanita itu. Ia merasa ada daya pikat yang kuat dari wanita yang baru saja ia temukan ini. Rafael mendekat, niatnya hendak mengganti pakaian basah wanita itu dengan pakaian kering yang telah ia siapkan. Namun, aroma parfum yang lembut dan memikat tercium dari tubuh wanita itu, membuatnya bergairah. "Shit!" umpatnya, sesuatu di dalam dirinya tiba-tiba menegang. Rafael meneguk ludah, tatapannya tertuju pada leher jenjang wanita itu yang terekspos. "Argh!" Ia mengeram, menahan hasrat yang tiba-tiba membuncah. Tubuhnya bergetar. "Peduli setan!" Umpatannya terdengar kasar, ia langsung membuka celananya, tatapannya tertuju pada dirinya sendiri yang sudah siap "bertarung". Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya cahaya lampu remang-remang yang menerangi sebagian kamar. Dia membelai lembut "senjatanya", jari-jarinya bergerak dengan hati-hati, tatapan matanya tetap tertuju pada wanita yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang besar itu. Cahaya remang-remang kamar hanya cukup untuk menerangi sebagian ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang aneh. Terlihat gila memang, tapi ini satu-satunya cara untuk menuntaskan sesuatu yang sudah lama tertahan. Rafael menggeram, suaranya serak menahan kenikmatan yang baru saja ia rasakan kembali setelah sekian lama. Gerakannya semakin cepat, tatapan matanya semakin gelap, dipenuhi oleh hasrat yang membara. "Argh! Shit!" Umpatannya terdengar kasar, sesuatu menyembur dari "senjatanya", menandai pelepasan hasrat yang terpendam. Nafas Rafael memburu, namun sebuah senyuman puas terukir di bibirnya. Ia berhasil mengeluarkannya. Tatapannya tertuju pada wanita itu, tiba-tiba sebuah kilatan intens melintas di matanya, seolah ia baru saja menyadari sesuatu. Ekspresinya berubah, dari kepuasan menjadi… keheranan? Di luar kamar, Timothy yang sudah kembali dari membeli obat dan makanan, diam-diam menyaksikan dan mendengar apa yang terjadi di dalam kamar Rafael. Ia cukup terkejut melihat Rafael "bermain" sendiri dengan wanita di ranjang itu, menggunakan wanita itu sebagai objek fantasi seksualnya. Namun, sebuah pertanyaan besar muncul di benaknya. Bukankah Rafael impoten? Bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu? Keheranan dan kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Ia terpaku di tempat, tak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya."Kau tidak boleh membawanya. Dia tanggung jawabku," tolak Dyon tegas, tubuhnya menegang saat Rafael hendak menggapai Gruzeline yang terbaring lemah di sofa merah tua itu. Aroma alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara klub malam yang remang-remang. Lampu-lampu neon berwarna-warni berkedip-kedip, kontras dengan tatapan dingin Dyon. Rafael tersenyum sinis, sebuah lengkungan tipis di bibirnya yang menyingkapkan gigi putihnya. "Aku tahu kau mengetahui isi perjanjian itu, jadi... jangan menghalangiku." Suaranya rendah, berotoritas, menggelegar di telinga Dyon. Dyon terdiam, matanya tertuju pada Madam May yang masih terduduk di kursi, wajahnya pucat pasi. Madam May tampak seperti patung porselen rapuh, ketakutan tergambar jelas di matanya. Kekuasaan Rafael, yang menyeramkan bagai bayangan kelam, benar-benar telah melumpuhkannya. "Kuharap, kau tak melakukan apa pun padanya. Dan, jangan melakukan hal yang tidak disukainya," lirih Madam May, suaranya hampir tak terdengar di ten
Entah sudah gelas keberapa kopi pahit yang Gruzeline teguk di kafe milik Dyon. Aroma kopi robusta yang kuat tak mampu mengusir kepahitan yang menyesakkan dadanya. Perjanjian yang ditulis Rafael, seorang pria yang licik dan berkuasa, telah membuatnya benar-benar tak berdaya. Dyon, pemilik kafe yang tampan dan tenang, sudah mengetahui siapa dalang di balik jebakan ini. Namun, ia hanya bisa terdiam, tak percaya bahwa pria yang memiliki kekuasaan besar di negara ini ternyata selicik itu. Suasana kafe yang biasanya ramai terasa sunyi bagi mereka berdua. "Huft..." Dyon menghela napas panjang, mengulurkan tangan meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Sama seperti Gruzeline, ia juga telah menghabiskan beberapa gelas kopi untuk menemani wanita itu yang tengah frustasi. Frustasi yang kini juga ia rasakan. Secangkir kopi demi secangkir kopi, tak mampu menghapuskan kegelisahan yang menghimpit dada mereka. "Hik!" Gruzeline tiba-tiba cegukan, efek dari terlalu banyak minum kopi. Wajahnya pucat, m
“Bagaimana bisa?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Dyon menggebrak meja, amarahnya meledak saat matanya menangkap isi surat perjanjian itu. Dokumen itu, tercetak rapi di atas kertas putih bersih, kini tampak seperti kutukan baginya.Gruzeline, pucat pasi seperti mayat hidup, gemetar tak terkendali. Rambutnya yang biasanya terurai rapi kini berantakan, mencerminkan kepanikan yang menguasainya. Bukan hanya surat perjanjian itu yang membuatnya takut, tetapi juga tatapan Dyon yang bagai bara api siap membakarnya habis. “Aku…,” lirihnya, suara tertahan di tenggorokan, takut untuk jujur pada pria yang selama ini selalu melindunginya.“Jangan terlalu keras padanya, Dyon,” Madam May, ibu Dyon, tiba di tengah ketegangan. Wanita itu, yang biasanya berdandan glamor di klub malamnya, kini tampak lelah namun tetap berwibawa. Ia baru saja pulang, tergesa-gesa meninggalkan pesta mewah para sosialita, setelah mendengar kabar Gruzeline datang dengan surat perjanjian yang tak masuk akal itu. Aroma
Rafael kembali menarik tangan Gruzeline, jari-jarinya bertaut erat pada pergelangan tangannya. Gruzeline mencoba menolak, namun Rafael lebih kuat. "Jangan terus menolakku, aku tahu kau menginginkannya juga," bisik Rafael, suaranya berat dan sensual, membuat bulu kuduk Gruzeline merinding.Rafael benar. Gruzeline memang menginginkannya, namun kebingungan dan rasa malu menghalanginya untuk merespon. Melihat Gruzeline tak lagi melawan, Rafael memperhalus gerakannya, sentuhannya lembut namun penuh gairah. "Ikuti saja nalurimu," ucapnya, suaranya seperti mantra yang melelehkan pertahanan Gruzeline.Di dalam walk-in closet yang remang-remang, dikelilingi oleh aroma parfum dan kain-kain mewah, percintaan mereka bersemi. Gruzeline merasakan sensasi baru, sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar, dan ia menemukan dirinya tenggelam dalam pusaran gairah yang membara."Oh, shit! Aku suka saat kau bersikap berani," umpat Rafael, suaranya serak saat Gr
Rafael membatalkan rencana kembali ke kantor setelah mengantar ibunya pulang. Perjalanan belanja bersama ibunya tadi terasa seperti siksaan. Bayangan Gruzeline yang mengenakan lingerie itu terus menghantuinya, membuat kepalanya berdenyut-denyut. Mobil mewahnya melaju dengan kecepatan tinggi, melewati jalanan kota yang ramai."Shit!" Umpatan kasar terlontar dari bibir Rafael berkali-kali di dalam mansion megahnya. Desain interior yang elegan dan mewah tak mampu menyembuhkan rasa frustrasinya. Ia tak bisa melakukan hal yang sama seperti saat ia mengambil keperawanan Gruzeline. Itu akan menimbulkan kecurigaan, dan Gruzeline bukanlah wanita yang mudah ditipu.Rafael membuka tabletnya, mengawasi unit apartemen Gruzeline melalui kamera tersembunyi yang telah ia pasang sebelumnya. Namun, wanita itu belum kembali dari berbelanja. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya. "Di mana dia? Apakah dia pergi ke suatu tempat?" gumamnya, jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan gelis
"Rafael," suara Nyonya O'niel terdengar tegas, namun diselingi kelembutan khas seorang ibu. "Kapan kau akan mengenalkan kekasihmu, Rafael? Bukankah kau sudah berjanji akan membawanya saat adikmu kembali?" Ia menatap putranya dengan tatapan penuh harap dan sedikit cemas. Cahaya siang hari menerangi ruangan mewah itu, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit tegang. Rafael, yang tengah sibuk dengan tabletnya, mengangkat wajahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Tenang saja, Mama," jawabnya, suaranya terdengar lebih santai dan percaya diri daripada biasanya. Ia meletakkan tabletnya dengan lembut di atas meja, menunjukkan sikap yang lebih perhatian dari biasanya. Namun, Nyonya O'niel masih terlihat curiga. Ia mengenal putranya terlalu baik untuk percaya begitu saja. "Jangan sampai kau membawa wanita bayaran lagi, Rafael," peringatnya, suaranya sedikit meninggi. "Jika kau melakukannya, aku akan memintamu untuk langsung menikah dengan putri temanku!" Ancaman itu disampaikan dengan