Share

Chapter 6

Author: Pejuang Pena
last update Last Updated: 2025-05-11 00:15:17

Gruzeline mengerjapkan mata, kepala berdenyut hebat hingga membuatnya meringis. Kain kasa dingin terasa menempel di keningnya, sedikit lengket karena darah yang telah mengering. "Sial!" Umpatan lolos dari bibirnya, menyesali keputusannya untuk menolak tawaran Ka Risella agar Marko mengantarnya pulang. Kecelakaan itu masih terasa nyata, bayangan mobil yang menghantamnya masih berputar di kepalanya.

Ia terbaring di atas kasur berbahan sutra lembut, aroma lavender samar-samar tercium. Pandangannya berputar, mengamati ruangan yang asing. Bukan rumah sakit. Dinding-dinding berwarna krem dihiasi lukisan abstrak, sebuah vas berisi bunga anggrek putih tertancap di meja sudut. "Ini...ini kamar siapa?" gumamnya, tubuh gemetar hebat. Trauma penculikan beberapa tahun lalu kembali menghantuinya. Bayangan gelap itu seakan-akan masih mengejarnya.

Pakaiannya telah berganti, sebuah piyama katun halus kini membalut tubuhnya. Kepanikan membuncah, bercampur dengan rasa sakit yang menusuk. Gruzeline berusaha bangkit, tangannya gemetar saat meraih kenop pintu balkon. Ia harus melarikan diri.

Namun, saat balkon terbuka dan ia melihat jurang yang menganga di bawah, napasnya tercekat. Tinggi bangunan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Rencana pelariannya sirna. Ia terpaku, menatap kehampaan di bawah, ketakutan dan keputusasaan bercampur menjadi satu.

Pintu kamar terbuka tanpa suara, mengejutkan Gruzeline yang masih terduduk di sudut ruangan. Bayangan tinggi tegap memenuhi ambang pintu, aura kuat dan maskulin terpancar dari sosok pria itu—sebuah kehadiran yang mampu memikat siapa pun, namun bagi Gruzeline hanya menimbulkan rasa takut.

"Kau sudah sadar?" Suara bariton dalam, berat, namun menenangkan, membuatnya tersentak. Gruzeline menoleh, matanya yang berkaca-kaca menatap pria itu. Rahang tegas, mata tajam bak elang yang menatapnya dengan intens, semakin memperkuat rasa takut yang menguasainya. "Tolong... jangan apa-apakan aku... lepaskan aku," lirihnya, tubuhnya gemetar hebat hingga ia berjongkok, memohon ampun seakan-akan ia kembali diculik.

Pria itu mengerutkan dahi, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Hey, ada apa denganmu?"

Rafael, begitulah namanya, mengulurkan tangan ingin menyentuh Gruzeline, namun wanita itu langsung menghindar dengan panik, matanya melebar, seakan sentuhan sekecil apa pun akan membahayakannya.

"Pergi! Jangan mendekat!" jerit Gruzeline histeris, tubuhnya meringkuk di sudut ruangan, memeluk diri sendiri seakan berusaha melindungi diri dari ancaman yang tak terlihat. "Dion... tolong aku..." bisiknya, suara teredam oleh isak tangisnya.

Kebingungan Rafael semakin menjadi. Ia berdiri tegak, suaranya sedikit meninggi saat memanggil Timothy, asisten pribadinya. "Timothy! Panggil dokter!"

Ada sesuatu yang aneh pada wanita ini, pikir Rafael. Ia merasa iba melihat Gruzeline yang ketakutan luar biasa. Wanita yang berhasil menarik perhatiannya ini, kini tampak rapuh dan membutuhkan pertolongan.

Timothy segera melaksanakan perintah Rafael. Pria itu berdiri tegak di samping Rafael, tatapannya tak lepas dari wanita yang tampak terpojok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Udara di ruangan terasa dingin, hanya diselingi desiran AC yang nyaring. "Kau kenal dia?" bisik Timothy, suaranya tercekat oleh rasa penasaran yang menggelegak. Aroma khas parfum wanita itu menusuk hidungnya, mencampur bau obat-obatan yang samar.

Rafael menggeleng pelan, "Tidak. Tapi tubuhku bereaksi padanya," jawabnya jujur, tak ada yang disembunyikan dari Timothy, sahabatnya sejak lama. Ia merasakan denyutan aneh di nadi, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Apa… jadi yang kulihat tadi… kau benar-benar bisa…" Timothy tergagap, matanya melebar tak percaya. Bayangan kejadian setengah jam lalu masih jelas terukir di benaknya: Rafael yang terbuai dalam semacam trance, tubuhnya bergerak sendiri, mengeluarkan aura yang menakutkan.

Rafael mengerutkan dahi. Ia tahu Timothy pasti mengintipnya saat ia… 'bermain' sendiri. Rasa malu bercampur dengan rasa takjub menguasai dirinya.

Setengah jam berlalu, menambah ketegangan di ruangan. Dokter pribadi Rafael, seorang wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai emas, datang kembali. Rafael langsung menunjuk Gruzeline. Cahaya redup dari lampu ruangan menerpa wajah pucat Gruzeline, menonjolkan air mata yang masih membasahi pipinya. "Periksa dia. Kurasa ada yang terjadi padanya," perintah Rafael, suaranya datar namun sarat kekhawatiran.

Dokter itu mengangguk, langkahnya tenang namun pasti. Ia mendekati Gruzeline dengan hati-hati, suaranya lembut namun tegas. "Nona, bolehkah kita bicara? Saya Dokter Anya, dan saya ingin membantu Anda." Ia menawarkan senyum simpatik, berharap bisa menenangkan wanita yang ketakutan itu. Bau amis darah samar-samar tercium dari Gruzeline.

Mata Gruzeline bergetar hebat, air mata kembali membasahi pipinya. Namun, kali ini ada setitik kelegaan di tengah kepanikannya saat melihat Dokter Anya. Wanita itu menggenggam erat tangan Dokter Anya, seperti mencari pegangan di tengah badai. "Nyonya, tolong aku… mereka… mereka menculikku! Tolong, keluarkan aku dari sini!" suaranya terisak, dipenuhi rasa takut yang amat sangat. Bau tanah basah dan keringat dingin masih melekat kuat di tubuhnya.

Dokter Anya menoleh ke arah Rafael dan Timothy. Kedua pria itu berdiri di baliknya, wajah mereka tertangkap jelas oleh sorot mata Dokter Anya. Ia mendengar jeritan Gruzeline dengan jelas, dan sejujurnya, ia tak percaya jika Rafael terlibat dalam penculikan. Melihat wajah Rafael yang tampak gelap dan tegang, Dokter Anya berusaha menenangkan Gruzeline. "Tenang, Nona. Anda tidak diculik. Anda mengalami kecelakaan tadi, dan Tuan Rafael membawa Anda ke mansion-nya untuk diobati." Suaranya lembut, namun tegas, mencoba meyakinkan Gruzeline.

Gruzeline terdiam, tangisnya mereda perlahan. Ia masih berusaha mencerna penjelasan Dokter Anya. "Maksud… maksudmu?" tanyanya, suaranya masih gemetar. Ketakutan masih mencengkeram hatinya. Ia memandang Rafael dengan penuh curiga.

Dokter Anya hendak menjelaskan lebih lanjut, namun Rafael tiba-tiba mendekat. Gerakannya cepat dan tak terduga. Gruzeline sontak merapatkan tubuhnya ke Dokter Anya, mencari perlindungan di balik tubuh wanita itu. Kepercayaan diri yang baru saja muncul kembali sirna seketika. Bayangan-bayangan menakutkan kembali memenuhi pikirannya. Ia masih ragu, apakah pria di depannya ini benar-benar baik? Aroma parfum wanita yang dikenalnya masih tercium samar dari tubuh Rafael.

"Aku menemukanmu di dalam mobilmu yang menabrak pohon, dekat klub malam May's On," ujar Rafael, suaranya datar, namun sorot matanya tajam. Cahaya lampu kristal di langit-langit mansion memantul di permukaan kulitnya yang halus, menonjolkan rahang tegasnya. Aroma kopi pahit tercium samar dari napasnya.

Gruzeline melirik Dokter Anya, mencari kepastian. Dokter Anya mengangguk pelan, menunjukkan pengertian. Ia memang sudah mendengar sedikit cerita dari suaminya, saat pria itu diminta Rafael untuk datang dan ternyata seorang wanita muda yang harus dia tangani, karena terlibat kecelakaan tunggal. Suaminya menceritakan tentang kejadian beberapa jam lalu pada nya, jadi dia cukup sedikit mengetahui kronologi bagaimana Gruzeline berakhir di mansion Rafael.

Setelah penjelasan panjang, mereka akhirnya pindah ke ruang tamu yang luas dan elegan. Suasana tegang mulai mereda, diganti dengan rasa malu yang mendalam dari Gruzeline. Ia telah menuduh Rafael, didorong oleh trauma masa lalunya. "Maafkan aku," ucapnya lirih, kepala tertunduk dalam. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Aroma harum bunga lili putih yang menghiasi ruangan seakan tak mampu menghilangkan rasa bersalahnya.

Kini, hanya Gruzeline, Rafael, dan Timothy yang tersisa di ruang tamu. Dokter Anya harus kembali ke rumah sakit. Rafael menatap Gruzeline, melihat rasa malunya yang tulus. Namun, di balik itu, sebuah sensasi aneh muncul dalam dirinya. Fantasi liar mulai memenuhi pikirannya, membayangkan dirinya bersama wanita di hadapannya. Ia merasakan debaran jantung yang tak biasa.

Timothy mengamati Rafael dengan heran. Ia menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. "Tidak masalah," jawab Timothy, suaranya ambigu, mengandung makna tersirat. "Kau memang seharusnya curiga." Ia tersenyum tipis, memahami situasi rumit yang tengah terjadi. Aroma wangi khas parfum wanita masih tercium samar di udara, mengingatkannya pada kejadian beberapa jam lalu.

"Tapi, kenapa kalian tak membawa ku ke rumah sakit saja?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Little Secret    Chapter 30

    Gruzeline membantingkan tubuhnya ke atas kasur empuk, selimut sutra terhambur tak beraturan. Setelah perbincangan panjang dan melelahkan tentang rencana pernikahan yang dipaksakan keluarga O'niel, ia akhirnya bisa kembali ke apartemennya. "ARGH!!" Gruzeline berteriak frustasi, menyembunyikan wajahnya di balik bantal bulu angsa yang lembut.Wanita itu terlihat seperti orang yang kehilangan kendali. Rambutnya yang semula tertata rapi kini acak-acakan, mencerminkan kekacauan batinnya. "Bagaimana caranya aku lepas dari mereka?" gumamnya, suaranya teredam oleh bantal. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Di tengah keputusasaannya, ponselnya berdering nyaring, memecah kesunyian di apartemennya. Gruzeline meraba-raba mencari ponselnya di antara selimut dan bantal, akhirnya menemukannya dan mengangkat panggilan tersebut. "Ya, Madam," jawabnya, suaranya masih terdengar sedikit gemetar.["Line, bisakah kau datang ke rumahku sekarang juga?"] Suara tegas Madam Rose terdengar da

  • Little Secret    Chapter 29

    Rafael menggenggam tangan Gruzeline, mengajaknya turun ke ruang makan melalui lift pribadi yang mewah, dindingnya dilapisi marmer putih berkilau. Gruzeline terkesima, namun tak sepenuhnya terkejut melihat kemewahan kediaman Rafael. "Tuan Rafael, bisakah Anda melepaskan tangan saya?" pintanya, suaranya terdengar sedikit gemetar, meskipun berusaha tetap tenang. Aroma parfum mahal Rafael memenuhi hidungnya, bercampur dengan aroma kayu jati dari lift itu.Rafael mengernyit, ekspresi datarnya tak berubah. "Kenapa?" tanyanya, suaranya rendah dan berat."Sangat tidak pantas bagi seorang atasan untuk terus menggenggam tangan bawahannya," jawab Gruzeline, jari-jari tangannya yang tergenggam terasa semakin erat. Dalam hati, ia mengutuk Dyon yang telah membiarkannya dibawa ke sini, ke kediaman orang tua Rafael yang megah dan terasa dingin. Cahaya lampu kristal yang tergantung di langit-langit lift memantulkan bayangan mereka berdua."Kata siapa kita bawahan dan atasan? Kau sudah menandatan

  • Little Secret    Chapter 28

    "Kau tidak boleh membawanya. Dia tanggung jawabku," tolak Dyon tegas, tubuhnya menegang saat Rafael hendak menggapai Gruzeline yang terbaring lemah di sofa merah tua itu. Aroma alkohol dan parfum wanita masih tercium kuat di udara klub malam yang remang-remang. Lampu-lampu neon berwarna-warni berkedip-kedip, kontras dengan tatapan dingin Dyon. Rafael tersenyum sinis, sebuah lengkungan tipis di bibirnya yang menyingkapkan gigi putihnya. "Aku tahu kau mengetahui isi perjanjian itu, jadi... jangan menghalangiku." Suaranya rendah, berotoritas, menggelegar di telinga Dyon. Dyon terdiam, matanya tertuju pada Madam May yang masih terduduk di kursi, wajahnya pucat pasi. Madam May tampak seperti patung porselen rapuh, ketakutan tergambar jelas di matanya. Kekuasaan Rafael, yang menyeramkan bagai bayangan kelam, benar-benar telah melumpuhkannya. "Kuharap, kau tak melakukan apa pun padanya. Dan, jangan melakukan hal yang tidak disukainya," lirih Madam May, suaranya hampir tak terdengar di ten

  • Little Secret    Chapter 27

    Entah sudah gelas keberapa kopi pahit yang Gruzeline teguk di kafe milik Dyon. Aroma kopi robusta yang kuat tak mampu mengusir kepahitan yang menyesakkan dadanya. Perjanjian yang ditulis Rafael, seorang pria yang licik dan berkuasa, telah membuatnya benar-benar tak berdaya. Dyon, pemilik kafe yang tampan dan tenang, sudah mengetahui siapa dalang di balik jebakan ini. Namun, ia hanya bisa terdiam, tak percaya bahwa pria yang memiliki kekuasaan besar di negara ini ternyata selicik itu. Suasana kafe yang biasanya ramai terasa sunyi bagi mereka berdua. "Huft..." Dyon menghela napas panjang, mengulurkan tangan meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Sama seperti Gruzeline, ia juga telah menghabiskan beberapa gelas kopi untuk menemani wanita itu yang tengah frustasi. Frustasi yang kini juga ia rasakan. Secangkir kopi demi secangkir kopi, tak mampu menghapuskan kegelisahan yang menghimpit dada mereka. "Hik!" Gruzeline tiba-tiba cegukan, efek dari terlalu banyak minum kopi. Wajahnya pucat, m

  • Little Secret    Chapter 26

    “Bagaimana bisa?! Apa yang sudah kau lakukan?!” Dyon menggebrak meja, amarahnya meledak saat matanya menangkap isi surat perjanjian itu. Dokumen itu, tercetak rapi di atas kertas putih bersih, kini tampak seperti kutukan baginya.Gruzeline, pucat pasi seperti mayat hidup, gemetar tak terkendali. Rambutnya yang biasanya terurai rapi kini berantakan, mencerminkan kepanikan yang menguasainya. Bukan hanya surat perjanjian itu yang membuatnya takut, tetapi juga tatapan Dyon yang bagai bara api siap membakarnya habis. “Aku…,” lirihnya, suara tertahan di tenggorokan, takut untuk jujur pada pria yang selama ini selalu melindunginya.“Jangan terlalu keras padanya, Dyon,” Madam May, ibu Dyon, tiba di tengah ketegangan. Wanita itu, yang biasanya berdandan glamor di klub malamnya, kini tampak lelah namun tetap berwibawa. Ia baru saja pulang, tergesa-gesa meninggalkan pesta mewah para sosialita, setelah mendengar kabar Gruzeline datang dengan surat perjanjian yang tak masuk akal itu. Aroma

  • Little Secret    Chapter 25

    Rafael kembali menarik tangan Gruzeline, jari-jarinya bertaut erat pada pergelangan tangannya. Gruzeline mencoba menolak, namun Rafael lebih kuat. "Jangan terus menolakku, aku tahu kau menginginkannya juga," bisik Rafael, suaranya berat dan sensual, membuat bulu kuduk Gruzeline merinding.Rafael benar. Gruzeline memang menginginkannya, namun kebingungan dan rasa malu menghalanginya untuk merespon. Melihat Gruzeline tak lagi melawan, Rafael memperhalus gerakannya, sentuhannya lembut namun penuh gairah. "Ikuti saja nalurimu," ucapnya, suaranya seperti mantra yang melelehkan pertahanan Gruzeline.Di dalam walk-in closet yang remang-remang, dikelilingi oleh aroma parfum dan kain-kain mewah, percintaan mereka bersemi. Gruzeline merasakan sensasi baru, sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar, dan ia menemukan dirinya tenggelam dalam pusaran gairah yang membara."Oh, shit! Aku suka saat kau bersikap berani," umpat Rafael, suaranya serak saat Gr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status