Gruzeline mengerjapkan mata, kepala berdenyut hebat hingga membuatnya meringis. Kain kasa dingin terasa menempel di keningnya, sedikit lengket karena darah yang telah mengering. "Sial!" Umpatan lolos dari bibirnya, menyesali keputusannya untuk menolak tawaran Ka Risella agar Marko mengantarnya pulang. Kecelakaan itu masih terasa nyata, bayangan mobil yang menghantamnya masih berputar di kepalanya.
Ia terbaring di atas kasur berbahan sutra lembut, aroma lavender samar-samar tercium. Pandangannya berputar, mengamati ruangan yang asing. Bukan rumah sakit. Dinding-dinding berwarna krem dihiasi lukisan abstrak, sebuah vas berisi bunga anggrek putih tertancap di meja sudut. "Ini...ini kamar siapa?" gumamnya, tubuh gemetar hebat. Trauma penculikan beberapa tahun lalu kembali menghantuinya. Bayangan gelap itu seakan-akan masih mengejarnya. Pakaiannya telah berganti, sebuah piyama katun halus kini membalut tubuhnya. Kepanikan membuncah, bercampur dengan rasa sakit yang menusuk. Gruzeline berusaha bangkit, tangannya gemetar saat meraih kenop pintu balkon. Ia harus melarikan diri. Namun, saat balkon terbuka dan ia melihat jurang yang menganga di bawah, napasnya tercekat. Tinggi bangunan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Rencana pelariannya sirna. Ia terpaku, menatap kehampaan di bawah, ketakutan dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Pintu kamar terbuka tanpa suara, mengejutkan Gruzeline yang masih terduduk di sudut ruangan. Bayangan tinggi tegap memenuhi ambang pintu, aura kuat dan maskulin terpancar dari sosok pria itu—sebuah kehadiran yang mampu memikat siapa pun, namun bagi Gruzeline hanya menimbulkan rasa takut. "Kau sudah sadar?" Suara bariton dalam, berat, namun menenangkan, membuatnya tersentak. Gruzeline menoleh, matanya yang berkaca-kaca menatap pria itu. Rahang tegas, mata tajam bak elang yang menatapnya dengan intens, semakin memperkuat rasa takut yang menguasainya. "Tolong... jangan apa-apakan aku... lepaskan aku," lirihnya, tubuhnya gemetar hebat hingga ia berjongkok, memohon ampun seakan-akan ia kembali diculik. Pria itu mengerutkan dahi, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Hey, ada apa denganmu?" Rafael, begitulah namanya, mengulurkan tangan ingin menyentuh Gruzeline, namun wanita itu langsung menghindar dengan panik, matanya melebar, seakan sentuhan sekecil apa pun akan membahayakannya. "Pergi! Jangan mendekat!" jerit Gruzeline histeris, tubuhnya meringkuk di sudut ruangan, memeluk diri sendiri seakan berusaha melindungi diri dari ancaman yang tak terlihat. "Dion... tolong aku..." bisiknya, suara teredam oleh isak tangisnya. Kebingungan Rafael semakin menjadi. Ia berdiri tegak, suaranya sedikit meninggi saat memanggil Timothy, asisten pribadinya. "Timothy! Panggil dokter!" Ada sesuatu yang aneh pada wanita ini, pikir Rafael. Ia merasa iba melihat Gruzeline yang ketakutan luar biasa. Wanita yang berhasil menarik perhatiannya ini, kini tampak rapuh dan membutuhkan pertolongan. Timothy segera melaksanakan perintah Rafael. Pria itu berdiri tegak di samping Rafael, tatapannya tak lepas dari wanita yang tampak terpojok di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Udara di ruangan terasa dingin, hanya diselingi desiran AC yang nyaring. "Kau kenal dia?" bisik Timothy, suaranya tercekat oleh rasa penasaran yang menggelegak. Aroma khas parfum wanita itu menusuk hidungnya, mencampur bau obat-obatan yang samar. Rafael menggeleng pelan, "Tidak. Tapi tubuhku bereaksi padanya," jawabnya jujur, tak ada yang disembunyikan dari Timothy, sahabatnya sejak lama. Ia merasakan denyutan aneh di nadi, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. "Apa… jadi yang kulihat tadi… kau benar-benar bisa…" Timothy tergagap, matanya melebar tak percaya. Bayangan kejadian setengah jam lalu masih jelas terukir di benaknya: Rafael yang terbuai dalam semacam trance, tubuhnya bergerak sendiri, mengeluarkan aura yang menakutkan. Rafael mengerutkan dahi. Ia tahu Timothy pasti mengintipnya saat ia… 'bermain' sendiri. Rasa malu bercampur dengan rasa takjub menguasai dirinya. Setengah jam berlalu, menambah ketegangan di ruangan. Dokter pribadi Rafael, seorang wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai emas, datang kembali. Rafael langsung menunjuk Gruzeline. Cahaya redup dari lampu ruangan menerpa wajah pucat Gruzeline, menonjolkan air mata yang masih membasahi pipinya. "Periksa dia. Kurasa ada yang terjadi padanya," perintah Rafael, suaranya datar namun sarat kekhawatiran. Dokter itu mengangguk, langkahnya tenang namun pasti. Ia mendekati Gruzeline dengan hati-hati, suaranya lembut namun tegas. "Nona, bolehkah kita bicara? Saya Dokter Anya, dan saya ingin membantu Anda." Ia menawarkan senyum simpatik, berharap bisa menenangkan wanita yang ketakutan itu. Bau amis darah samar-samar tercium dari Gruzeline. Mata Gruzeline bergetar hebat, air mata kembali membasahi pipinya. Namun, kali ini ada setitik kelegaan di tengah kepanikannya saat melihat Dokter Anya. Wanita itu menggenggam erat tangan Dokter Anya, seperti mencari pegangan di tengah badai. "Nyonya, tolong aku… mereka… mereka menculikku! Tolong, keluarkan aku dari sini!" suaranya terisak, dipenuhi rasa takut yang amat sangat. Bau tanah basah dan keringat dingin masih melekat kuat di tubuhnya. Dokter Anya menoleh ke arah Rafael dan Timothy. Kedua pria itu berdiri di baliknya, wajah mereka tertangkap jelas oleh sorot mata Dokter Anya. Ia mendengar jeritan Gruzeline dengan jelas, dan sejujurnya, ia tak percaya jika Rafael terlibat dalam penculikan. Melihat wajah Rafael yang tampak gelap dan tegang, Dokter Anya berusaha menenangkan Gruzeline. "Tenang, Nona. Anda tidak diculik. Anda mengalami kecelakaan tadi, dan Tuan Rafael membawa Anda ke mansion-nya untuk diobati." Suaranya lembut, namun tegas, mencoba meyakinkan Gruzeline. Gruzeline terdiam, tangisnya mereda perlahan. Ia masih berusaha mencerna penjelasan Dokter Anya. "Maksud… maksudmu?" tanyanya, suaranya masih gemetar. Ketakutan masih mencengkeram hatinya. Ia memandang Rafael dengan penuh curiga. Dokter Anya hendak menjelaskan lebih lanjut, namun Rafael tiba-tiba mendekat. Gerakannya cepat dan tak terduga. Gruzeline sontak merapatkan tubuhnya ke Dokter Anya, mencari perlindungan di balik tubuh wanita itu. Kepercayaan diri yang baru saja muncul kembali sirna seketika. Bayangan-bayangan menakutkan kembali memenuhi pikirannya. Ia masih ragu, apakah pria di depannya ini benar-benar baik? Aroma parfum wanita yang dikenalnya masih tercium samar dari tubuh Rafael. "Aku menemukanmu di dalam mobilmu yang menabrak pohon, dekat klub malam May's On," ujar Rafael, suaranya datar, namun sorot matanya tajam. Cahaya lampu kristal di langit-langit mansion memantul di permukaan kulitnya yang halus, menonjolkan rahang tegasnya. Aroma kopi pahit tercium samar dari napasnya. Gruzeline melirik Dokter Anya, mencari kepastian. Dokter Anya mengangguk pelan, menunjukkan pengertian. Ia memang sudah mendengar sedikit cerita dari suaminya, saat pria itu diminta Rafael untuk datang dan ternyata seorang wanita muda yang harus dia tangani, karena terlibat kecelakaan tunggal. Suaminya menceritakan tentang kejadian beberapa jam lalu pada nya, jadi dia cukup sedikit mengetahui kronologi bagaimana Gruzeline berakhir di mansion Rafael. Setelah penjelasan panjang, mereka akhirnya pindah ke ruang tamu yang luas dan elegan. Suasana tegang mulai mereda, diganti dengan rasa malu yang mendalam dari Gruzeline. Ia telah menuduh Rafael, didorong oleh trauma masa lalunya. "Maafkan aku," ucapnya lirih, kepala tertunduk dalam. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Aroma harum bunga lili putih yang menghiasi ruangan seakan tak mampu menghilangkan rasa bersalahnya. Kini, hanya Gruzeline, Rafael, dan Timothy yang tersisa di ruang tamu. Dokter Anya harus kembali ke rumah sakit. Rafael menatap Gruzeline, melihat rasa malunya yang tulus. Namun, di balik itu, sebuah sensasi aneh muncul dalam dirinya. Fantasi liar mulai memenuhi pikirannya, membayangkan dirinya bersama wanita di hadapannya. Ia merasakan debaran jantung yang tak biasa. Timothy mengamati Rafael dengan heran. Ia menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. "Tidak masalah," jawab Timothy, suaranya ambigu, mengandung makna tersirat. "Kau memang seharusnya curiga." Ia tersenyum tipis, memahami situasi rumit yang tengah terjadi. Aroma wangi khas parfum wanita masih tercium samar di udara, mengingatkannya pada kejadian beberapa jam lalu. "Tapi, kenapa kalian tak membawa ku ke rumah sakit saja?"Gruzeline berlari tergesa-gesa memasuki kediaman Marvel yang megah, napasnya tersengal-sengal. Ia menghampiri pria itu yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, wajahnya tampak khawatir dan panik. "Marvel, aku ingin berlibur ke negara M! Bisakah kau siapkan pesawat pribadi untukku sekarang juga?" ucap Gruzeline dengan nada tergesa-gesa, seolah tengah dikejar oleh sesuatu yang menakutkan. Marvel menatap Gruzeline dengan bingung, alisnya bertaut heran. "Hey, ada apa denganmu? Kenapa kau begitu terburu-buru?" Marvel mengamati penampilan keponakannya itu dari atas hingga bawah. Piyama sutra yang dikenakannya tampak kusut dan tidak beraturan, rambutnya berantakan, dan yang lebih aneh lagi, Gruzeline keluar rumah tanpa alas kaki. "Marvel, aku..." Ucapan Gruzeline terhenti saat ekor matanya menangkap pergerakan di sudut ruangan. Instingnya berteriak, ada sesuatu yang salah di sini. Dengan ragu, wanita itu menoleh dan seketika wajahnya memucat pasi. Jantungnya berdegup kencang, darahnya tera
Melihat nona muda mereka berlari panik ke arah gerbang, sambil berteriak meminta untuk segera dibuka, para penjaga tanpa ragu langsung membuka gerbang besi itu. Gruzeline melesat melewati gerbang, namun hatinya masih berdegup kencang saat melihat Rafael dan yang lainnya masih mengejar dengan napas terengah-engah.Dengan langkah tergesa, wanita itu berlari menuju kediamannya, langsung menuju garasi, dan melompat masuk ke dalam mobil mewahnya. Mesin mobil meraung saat ia memacu kendaraannya keluar dari kediamannya, tepat ketika Rafael dan yang lainnya baru saja memasuki gerbang, wajah mereka merah padam karena bingung dan kelelahan."Ah... akhirnya aku bisa lolos," gumamnya lega, menyeka keringat dingin di dahinya.Telapak kakinya terasa perih dan panas akibat berlari tanpa alas kaki di atas aspal yang kasar. Piyama sutranya sudah kusut dan tidak beraturan, basah oleh keringat yang membasahi tubuhnya. Rambutnya yang panjang dan hitam berantakan menempel di wajahnya. "Bagaimana bisa Rafa
Timothy mengangguk, sedikit bingung dengan nada bicara Gruzeline. "Ya, aku anak tunggal. Tentu saja datang sendiri," jawab Timothy, tidak mengerti arah pembicaraan adik tirinya itu."Bukan itu maksudku!" Geram Gruzeline, wajahnya memerah karena kesal. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena panggilan tiba-tiba dari kakek mereka, Tuan Besar Scott."Gruzeline, Timothy. Ayo duduk," pinta pria itu, mengisyaratkan kedua cucunya untuk bergabung di meja makan. Suasana sarapan yang tadinya tenang, kini terasa sedikit tegang.Di kediaman Marvel, pagi-pagi sekali rumah itu sudah ramai dengan kedatangan tamu. Untung saja Marvel belum berangkat ke kantor. "Kak Sabrina?" Ucap Marvel, terkejut melihat siapa tamunya. Ia segera menghampiri wanita itu."Marvel," sahut Sabrina, suaranya bergetar. Wanita itu menghambur memeluk Marvel, pria yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri. Pelukan itu sarat akan kerinduan dan kesedihan."Kau benar-benar sudah sangat dewasa. Terakhir aku melihatmu, saa
Gerbang megah keluarga Scott sudah terbuka lebar saat Gruzeline tiba, hanya mengenakan piyama tidur. Sapaan hangat dari pengawal yang berjaga menyambutnya di gerbang kediaman. Sinar mentari pagi yang hangat menyentuh kulitnya, memberikan kehangatan yang nyaman."Nona, mengapa tidak menggunakan mobil?" tanya seorang pengawal. Usianya tampak senja, namun postur tubuhnya tetap tegap dan sehat, mencerminkan dedikasinya selama bertahun-tahun.Gruzeline tersenyum, menunjuk ke arah rumahnya yang tampak jelas dari tempatnya berdiri. "Dari rumahku ke sini hanya beberapa langkah kaki. Pakai mobil? Terlalu berlebihan."Pengawal itu tersenyum mendengar jawaban putri bungsu keluarga Scott. Memang benar, kediaman yang dibangun khusus untuk Ibu Gruzeline terletak tak jauh dari kediaman utama keluarga Scott. "Silakan masuk, Nona. Tuan Besar dan ayah Anda sudah menunggu di dalam."Gruzeline mengangguk, lalu mulai menyusuri halaman luas kediaman Scott menuju pintu utama. Langkahnya ringan, namun matany
Marvel menoleh pada keponakannya dengan ekspresi serius yang dibuat-buat, "Jika pria itu kaya, maka aku akan memberikan restuku."Ekspresi Gruzeline yang tadinya serius langsung berubah datar mendengar jawaban Marvel. "Aku sedang membicarakan hal yang serius, bisakah kau juga menjawabnya dengan serius?!" ucap Gruzeline dengan nada kesal.Mata Marvel menyipit, menatap Gruzeline dengan tatapan menyelidik. "Apakah kau kembali karena melarikan diri dari seseorang?" tebak Marvel.Gruzeline menghela napas panjang, "Apakah aku terlihat seperti itu?" tanya wanita itu, mencoba mengelak.Marvel mengangguk yakin, "Tentu saja. Saat kau baru tiba, aku sudah bisa melihat raut frustrasi di wajahmu. Mustahil kau akan pulang jika tidak ada masalah di tempat tinggalmu saat ini, bukan?" Lagi-lagi tebakan Marvel tepat sasaran.Gruzeline hanya terdiam, percuma saja mengelak karena Marvel pasti akan tetap mengetahuinya. Saat ini, ia hanya membutuhkan Marvel untuk melindunginya, jika memang dugaannya benar.
"Ya, Tuan," Timothy mengamati sekeliling ruangan Rafael dengan nanar. Pemandangan yang menyambutnya adalah kekacauan total. Pecahan kaca berkilauan di lantai, sobekan kain melapisi sofa yang kehilangan bentuknya, dan buku-buku berserakan seperti korban perang. Hanya meja kerja Rafael yang kokoh dan lemari besar di sudut ruangan yang tampak selamat dari amukan tersebut.{"Apakah ini cinta, ataukah obsesi yang sudah melewati batas?"} Timothy membatin, rasa kasihan tiba-tiba menyelinap dalam hatinya. {" Jika Gruzeline benar-benar harus menikah dengan Rafael, mampukah wanita itu bertahan?"} Kemarahan Rafael memang mengerikan, sebuah kekuatan destruktif yang mampu menghancurkan benda apa pun di jalurnya, bahkan mungkin melukai seseorang. Timothy ingat, Rafael pernah beberapa kali mengunjungi psikolog atas saran orang tuanya. Namun, setiap diagnosis selalu sama. Rafael secara mental sehat, tidak ada gangguan kejiwaan yang bisa menjelaskan emosinya yang meledak-ledak dan berbahaya itu."Sia