“K-kak Daffa ...”
Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini.
“Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku.
Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.”
“Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya.
“Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar.
“Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa.
“Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku.
“Ya, belom tentu juga, sih! Emang lo mau disukain sama Edgar?”
Mendengar pertanyaan Daffa membuatku merinding seketika. “Hii, disukain Edgar? Aduh engga deh kak, makasih. Bisa-bisa tiap hari makan ati mulu gara-gara tingkahnya.”
“Haha!” Daffa tertawa renyah begitu mendengar jawaban dariku.
Akhirnya, kami memilih tak kembali ke acara pernikahan, dan memilih berbincang dengan asyik. Aku merasa sefrekuensi dengan Daffa. Selain tampan, ia juga anak yang mengasyikkan dan nyambung jika diajak bicara. Persis seperti pria yang selalu kuidamkan. Ah, andai Daffa bukan Kakak sambungku.
***
Malam telah tiba, acara pernikahan Mama dan Papa juga sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Kini, hanya tinggal aku yang bingung harus tidur di mana.
Sambil menggeret koperku, kunaiki tangga menuju lantai dua. Kurasa keempat pria itu sudah tidur di kamarnya masing masing. Aku juga lelah dan ingin tidur, tapi hanya ada empat kamar di atas sini, sepertinya tidak ada tempat untukku.
Tiba-tiba Papa dan Mama muncul dari arah tangga. Mereka menghampiriku.
“Kamu tidur di kamar Edgar aja, Hulya, “ ucap Papa.
Selagi aku terdiam Papa memanggil Edgar hingga pria itu muncul dari pintu kamar yang paling ujung dekat dengan balkon.
“Kenapa sih, Pa?” Dengan mengenakan piyama tidur bercorak beruang, ia menghampiri Papa.
Tunggu dulu, aku tidak salah lihat, kan? Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata benar itu gambar beruang di bajunya!
“Pfffft ...” Aku hanya bisa menahan tawa melihatnya. Edgar yang mendengar itu, langsung menatap tajam ke arahku.
"Hahaha ..." Aku kehilangan kontrol, tawa itu meluncur begitu saja dari mulutku.
“Heh, lo ngetawain gue, ya?!” teriaknya padaku. Mendengar teriakannya membuat papa menyenggol lengannya.
“Gue lucu aja ngeliat motif di baju lo, haha," sahutku. Kudengar Mama juga sedikit tertawa begitu menyadari motif baju Edgar.
“Edgar emang begitu, Hulya. Dari kecil suka banget sama beruang. Papa juga nggak tau kalo bakal sampe gede dia suka itu,” jawab papa dengan sedikit tertawa.
Edgar yang mendengar kami menertawakan kesukaannya hanya bisa menatap kami dengan muka masam. Aku tahu, ia pasti ingin meneriakiku sekarang. Syukurlah di sini ada Papa, jadi dia tak akan berani berkutik.
“Berani ngetawain gue lagi awas lo, ya!” ancamnya sambil menatap tajam ke arahku. Sedangkan, aku membalasnya dengan tersenyum miring. Huh! Aku tidak takut!
“Sudah-sudah. Edgar, kamu tuker kamar kamu sama yang di bawah, ya?” pinta papa.
“Enggak!” jawabnya tegas.
“Kamu ngalah, ya. Hulya di kamar kamu, kamu di kamar bawah aja. Lagian di bawah juga besar kok.” Papa mencoba merayu Edgar lagi. Namun Edgar tetap bersikukuh dengan perkataannya.
“Pa, kenapa nggak dia aja sih yang di bawah?” tanyanya.
“Edgar, Hulya pengen kamar yang di lantai dua biar bisa ngeliat ke balkon katanya,” sahut Papa.
“Enggak mau, kenapa harus tukeran sama Edgar, sih?” tolaknya marah.
“Edgar! Kamu hurus ngalah sama adik kamu!” teriak Papa dengan mata penuh emosi.
“Pokoknya Edgar nggak mau!”
Mendengar Papa sampai berteriak seperti itu membuatku sedikit tak enak hati. Bagaimana pun, ini semua salahku. Sebenarnya, aku tidak masalah di kamar yang mana saja. Hanya saja aku memang sengaja melakukan ini untuk membalas si mesum itu.
“Lo sengaja bilang ke Papa mau kamar gue, kan?!” Kali ini Edgar menatapku tajam sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Melihat hal itu membuat Papa semakin marah. Namun, sebelum amarah Papa meledak, salah satu dari tiga Kakak sambungku keluar dari kamarnya dan menghampiri kami.
“Udah, lo pake kamar gue aja.”
***
Aku mengerjapkan mata ketika cahaya matahari mengusik tidurku yang nyenyak. Ah, sudah pukul tujuh. Biasanya Mama akan membangunkanku pukul enam hanya untuk menyapu atau mengepel lantai. Tapi kali ini berbeda, sudah ada orang yang mengerjakan semuanya. Aku hanya tinggal rebahan santai saja.
Aku baru ingat kalau tadi malam Daffa memberikan kamarnya padaku. Padahal aku ingin mengambil kamar si mesum itu, tapi Daffa malah menawarkan kamarnya untukku sehingga aku tidak enak jika menolaknya. Bahkan, ia belum sempat membereskan barang-barangnya semalam.
Gagal sudah rencanaku untuk membalas si mesum itu. Dan aku jadi bersebelahan kamar dengannya.
Kuperhatikan ruangan di sekelilingku. Ada banyak foto pemandangan dari atas gunung dan beberapa tas gunung di sini. Lalu mataku terpaku pada sebuah bingkai kecil di atas meja.
Kuhampiri meja itu agar aku dapat melihat lebih jelas siapa yang ada di dalam foto itu. Seorang wanita cantik dengan rambut digulung dan Daffa berdiri di sampingnya sambil merangkul pundak wanita itu. Senyumnya terlihat sangat bahagia.
“Cantik ...” gumamku tanpa sadar.
“Iya dong, cewek gue!” sahut seorang pria yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.
Aku terkesiap dan langsung menaruh bingkai itu pada tempatnya. Begitu aku menoleh ke samping kananku, ternyata itu Daffa.
“Maaf kak, gue nggak sengaja liat ini. Terus jadi penasaran."
“Nggak apa-apa, kok.”
“Kakak sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena memang tak mendengar suara orang membuka pintu. Atau memang aku yang tak sadar ada yang membuka pintu?
Kebiasaan kecilku yang harus kuubah adalah selalu lupa mengunci pintu kamar. Dulu mungkin aku hanya tinggal berdua dengan Mama, tapi sekarang berbeda, ada empat Kakak sambung yang semuanya adalah pria dewasa di sini.
“Gue tadi udah manggil-manggil, lo. Tapi lo serius banget ngeliatin foto itu, yaudah gue masuk aja,” sahut Daffa sambil mengumpulkan alat-alat mendaki gunungnya.
“Maaf, ya!” sambungnya, sambil membawa benda itu keluar.
Aku mengikutinya dengan membawa beberapa barang yang kecil seperti tas, jaket, dan beberapa tambang.
Kami menuruni tangga yang menghubungkan lantai atas dengan ruang makan di bawah, lalu berbelok ke kanan dan memasuki sebuah pintu yang tepat berada di samping kamar Mama dan Papa. Ternyata ini kamar Daffa yang baru.
“Ini taro di mana, Kak?”
“Udah taro di situ aja, makasih ya, Hulya.” Daffa menunjuk tempat kosong tepat di sudut ruangan, aku menuruti perintahnya.
Baru saja aku ingin keluar kamar itu, Daffa menahan lenganku. Hingga membuat aku menoleh ke arahnya bingung. Kami saling bertatapan selama beberapa detik.
“Nanti sore jalan, yuk?”
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo
Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu