Share

Bab 7 - Teddy bear

“K-kak Daffa ...”

Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini.

“Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku.

Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.”

“Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya.

“Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar.

“Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa.

“Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku.

“Ya, belom tentu juga, sih! Emang lo mau disukain sama Edgar?”

Mendengar pertanyaan Daffa membuatku merinding seketika. “Hii, disukain Edgar? Aduh engga deh kak, makasih. Bisa-bisa tiap hari makan ati mulu gara-gara tingkahnya.”

“Haha!” Daffa tertawa renyah begitu mendengar jawaban dariku.

Akhirnya, kami memilih tak kembali ke acara pernikahan, dan memilih berbincang dengan asyik. Aku merasa sefrekuensi dengan Daffa. Selain tampan, ia juga anak yang mengasyikkan dan nyambung jika diajak bicara. Persis seperti pria yang selalu kuidamkan. Ah, andai Daffa bukan Kakak sambungku.

***

Malam telah tiba, acara pernikahan Mama dan Papa juga sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Kini, hanya tinggal aku yang bingung harus tidur di mana.

Sambil menggeret koperku, kunaiki tangga menuju lantai dua. Kurasa keempat pria itu sudah tidur di kamarnya masing masing. Aku juga lelah dan ingin tidur, tapi hanya ada empat kamar di atas sini, sepertinya tidak ada tempat untukku.

Tiba-tiba Papa dan Mama muncul dari arah tangga. Mereka menghampiriku.

“Kamu tidur di kamar Edgar aja, Hulya, “ ucap Papa.

Selagi aku terdiam Papa memanggil Edgar hingga pria itu muncul dari pintu kamar yang paling ujung dekat dengan balkon.

“Kenapa sih, Pa?” Dengan mengenakan piyama tidur bercorak beruang, ia menghampiri Papa.

Tunggu dulu, aku tidak salah lihat, kan? Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata benar itu gambar beruang di bajunya!

“Pfffft ...” Aku hanya bisa menahan tawa melihatnya. Edgar yang mendengar itu, langsung menatap tajam ke arahku.

"Hahaha ..." Aku kehilangan kontrol, tawa itu meluncur begitu saja dari mulutku. 

“Heh, lo ngetawain gue, ya?!” teriaknya padaku. Mendengar teriakannya membuat papa menyenggol lengannya.

“Gue lucu aja ngeliat motif di baju lo, haha," sahutku. Kudengar Mama juga sedikit tertawa begitu menyadari motif baju Edgar.

“Edgar emang begitu, Hulya. Dari kecil suka banget sama beruang. Papa juga nggak tau kalo bakal sampe gede dia suka itu,” jawab papa dengan sedikit tertawa.

Edgar yang mendengar kami menertawakan kesukaannya hanya bisa menatap kami dengan muka masam. Aku tahu, ia pasti ingin meneriakiku sekarang. Syukurlah di sini ada Papa, jadi dia tak akan berani berkutik.

“Berani ngetawain gue lagi awas lo, ya!” ancamnya sambil menatap tajam ke arahku. Sedangkan, aku membalasnya dengan tersenyum miring. Huh! Aku tidak takut!

“Sudah-sudah. Edgar, kamu tuker kamar kamu sama yang di bawah, ya?” pinta papa.

“Enggak!” jawabnya tegas.

“Kamu ngalah, ya. Hulya di kamar kamu, kamu di kamar bawah aja. Lagian di bawah juga besar kok.” Papa mencoba merayu Edgar lagi. Namun Edgar tetap bersikukuh dengan perkataannya.

“Pa, kenapa nggak dia aja sih yang di bawah?” tanyanya.

“Edgar, Hulya pengen kamar yang di lantai dua biar bisa ngeliat ke balkon katanya,” sahut Papa.

“Enggak mau, kenapa harus tukeran sama Edgar, sih?” tolaknya marah.

“Edgar! Kamu hurus ngalah sama adik kamu!” teriak Papa dengan mata penuh emosi.

“Pokoknya Edgar nggak mau!”

Mendengar Papa sampai berteriak seperti itu membuatku sedikit tak enak hati. Bagaimana pun, ini semua salahku. Sebenarnya, aku tidak masalah di kamar yang mana saja. Hanya saja aku memang sengaja melakukan ini untuk membalas si mesum itu.

“Lo sengaja bilang ke Papa mau kamar gue, kan?!” Kali ini Edgar menatapku tajam sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Melihat hal itu membuat Papa semakin marah. Namun, sebelum amarah Papa meledak, salah satu dari tiga Kakak sambungku keluar dari kamarnya dan menghampiri kami.

“Udah, lo pake kamar gue aja.”

***

Aku mengerjapkan mata ketika cahaya matahari mengusik tidurku yang nyenyak. Ah, sudah pukul tujuh. Biasanya Mama akan membangunkanku pukul enam hanya untuk menyapu atau mengepel lantai. Tapi kali ini berbeda, sudah ada orang yang mengerjakan semuanya. Aku hanya tinggal rebahan santai saja.

Aku baru ingat kalau tadi malam Daffa memberikan kamarnya padaku. Padahal aku ingin mengambil kamar si mesum itu, tapi Daffa malah menawarkan kamarnya untukku sehingga aku tidak enak jika menolaknya. Bahkan, ia belum sempat membereskan barang-barangnya semalam.

Gagal sudah rencanaku untuk membalas si mesum itu. Dan aku jadi bersebelahan kamar dengannya.

Kuperhatikan ruangan di sekelilingku. Ada banyak foto pemandangan dari atas gunung dan beberapa tas gunung di sini. Lalu mataku terpaku pada sebuah bingkai kecil di atas meja.

Kuhampiri meja itu agar aku dapat melihat lebih jelas siapa yang ada di dalam foto itu. Seorang wanita cantik dengan rambut digulung dan Daffa berdiri di sampingnya sambil merangkul pundak wanita itu. Senyumnya terlihat sangat bahagia.

“Cantik ...” gumamku tanpa sadar.

“Iya dong, cewek gue!” sahut seorang pria yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.

Aku terkesiap dan langsung menaruh bingkai itu pada tempatnya. Begitu aku menoleh ke samping kananku, ternyata itu Daffa.

“Maaf kak, gue nggak sengaja liat ini. Terus jadi penasaran."

“Nggak apa-apa, kok.”

“Kakak sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena memang tak mendengar suara orang membuka pintu. Atau memang aku yang tak sadar ada yang membuka pintu?

Kebiasaan kecilku yang harus kuubah adalah selalu lupa mengunci pintu kamar. Dulu mungkin aku hanya tinggal berdua dengan Mama, tapi sekarang berbeda, ada empat Kakak sambung yang semuanya adalah pria dewasa di sini.

“Gue tadi udah manggil-manggil, lo. Tapi lo serius banget ngeliatin foto itu, yaudah gue masuk aja,” sahut Daffa sambil mengumpulkan alat-alat mendaki gunungnya.

 “Maaf, ya!” sambungnya, sambil membawa benda itu keluar.

Aku mengikutinya dengan membawa beberapa barang yang kecil seperti tas, jaket, dan beberapa tambang.

Kami menuruni tangga yang menghubungkan lantai atas dengan ruang makan di bawah, lalu berbelok ke kanan dan memasuki sebuah pintu yang tepat berada di samping kamar Mama dan Papa. Ternyata ini kamar Daffa yang baru.

“Ini taro di mana, Kak?”

“Udah taro di situ aja, makasih ya, Hulya.” Daffa menunjuk tempat kosong tepat di sudut ruangan, aku menuruti perintahnya.

Baru saja aku ingin keluar kamar itu, Daffa menahan lenganku. Hingga membuat aku menoleh ke arahnya bingung. Kami saling bertatapan selama beberapa detik.

“Nanti sore jalan, yuk?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status