Griffin perhatikan Aira mudah sekali menyalakan api, tidak seheboh dia.
"Aku tadi berhasil." Griffin membela diri sendiri.
"Tapi?"
"Aku sangat terkejut."
"Dan kayu yang basah harus diganti."
"Maaf. Apa yang harus kulakukan?"
Aira berdiri melihat Griffin duduk selonjor di lantai. "Aku ingin menyuruhmu menjemur kayu, tapi sudahlah. Kakimu belum sembuh lagipula aku harus pergi."
Griffin bertumpu pada meja untuk bangun. "Tidak bisakah aku ikut?"
"Tidak bisa." Orang-orang bisa menyangka Aira menyembunyikan pria dari planet lain.
"Setelah sembuh?" tanya Griffin ragu.
"Tentu."
"Kau sudah janji ya."
"Iya."
*Di sela-sela sepi pembeli, Aira mampir ke lapak sebelah. Semalam Novita dan Deva datang ke rumahnya namun kembali setelah membuat keributan."Kebetulan kau ke sini," kata Novita.
"Aku dengar semalam kalian ke rumahku. Maaf, Bu. Aku lelah sekali dan ketiduran."
"Tidak apa-apa. Deva memang suka mengganggumu istirahat. Anak itu mau mengajakmu bakar ikan tengah malam. Dia sudah gila!"
Aira tidak tahu Deva ada di dalam jika dia tidak keluar membawakan dua buah apel, satu untuknya.
"Mengapa darah tinggi Ibu sering kumat belakangan ini? Perasaan Aira tidak merasa diganggu tuh!" sahut Deva.
Puk!
Novita memukul bokong putranya menggunakan kipas anyam miliknya.
Aira menggeleng supaya Deva tidak membuat Novita marah lagi.
Deva kerap memicu amarah ibunya secara sengaja. Pria itu suka diomeli tapi kalau sudah ditempeleng atau dilempar barang, dia kabur.
"Bu, Aira kalau tidak diganggu bakal melakukan sesuatu yang aneh. Pernah kulihat hampir tengah malam dia berjalan sendirian di pinggir laut."
"Benarkah?" tanya Novita.
"Aku cuma mencari udara segar," dalih Aira.
Deva menggigit apel dan mengunyah santai. "Dia juga sering berdiri di bebatuan tinggi."
"Aku hanya berdiri, Bu."
Aira sejak tadi mengelak, Deva menunjuknya. "Aku tahu tidak ada penculik atau perampok di pulau ini. Tetapi apa kau lupa ada orang mati kedinginan?"
"Kau menyumpahi putriku?" cetus Novita. "Aira, jangan dengarkan dia."
"Nanti malam ayo bakar ikan," ajak Deva.
Nanti malam? Aira tidak bisa. "Bagaimana kalau besok?" tawarnya.
"Besok? Kau menyuruhku melaut lagi?"
Aira nyengir. Ikan yang baru ditangkap lebih enak disantap langsung atau dijual.
"Kau ditolak. Tidak paham?" sindir Riana.
"Diam kau," sahut Deva.
"Ada sesuatu yang harus aku lakukan malam ini." Aira tidak bisa menjabarkan lebih. Dia ingin memberitahu mereka tentang keberadaan Griffin, tapi selalu tidak siap.
"Tuh, Ibu dengar sendiri kan? Aira ini memiliki kebiasaan aneh."
"Lebih aneh dirimu, sayangnya kau tidak sadar." Riana mengatakan itu untuk kebaikan mereka. "Kita sudah besar dan punya kesibukan yang tidak bisa diceritakan. Jangan anggap kami anak kecil lagi, Deva."
Mendengar Riana bicara, Novita seperti mendengar isi hati Aira. "Riana benar. Makin besar kau juga harus cari pekerjaan tetap supaya pemasukan stabil. Jangan melaut sampai tua!"
Riana sebal Deva masih menganggap dia dan Aira sahabat kecilnya yang tak bisa apa-apa.
*Sepanjang hari Griffin menatap perapian dan jam dinding menunggu Aira pulang. Hingga kakinya sembuh entah kapan, Griffin bisa ikut ke mana pun Aira pergi.Kreek!
Aira pulang membawa sayur-sayuran dan ubi rebus untuk mereka. Ketika dia melewati Griffin, pria itu terlihat mengumpulkan tenaga untuk duduk.
"Bagaimana harimu? Menyenangkan?" tanya Griffin basa-basi.
"Aku baru dengar pertanyaan semacam itu."
Aira memberi ubi rebus berukuran sekepal tangan kepada Griffin. "Kau lapar?"
"Tidak terlalu."
"Ingatanmu bagaimana?"
"Menurutmu dalam semalam orang amnesia bisa langsung ingat?" pungkas Griffin.
"Haruskah aku pukul kepalamu?" candanya.
"Wahh ... Setelah kenal kau menunjukkan sifat asli."
"Aku tidak serius." Aira melihat perapian masih menyala. "Apa kau menyalakan api dari pagi tadi?"
"Aku merasa dingin."
"Cepat sembuh. Kau harus mulai cari kayu." Persediaan kayu sudah menipis dan Aira senang bercanda dengan Griffin.
"Baiklah."
Aira gagal fokus dengan pakaian ayahnya yang dikenakan Griffin. Jika orang lain yang lihat pasti mengira dia ayahnya.
"Tapi aku merasa ada yang salah dengan diriku," ungkap Griffin.
"Apanya?"
"Aku sadar mengalami amnesia, tapi aku tidak terlalu mau mengingatnya. Apa artinya kepalaku cedera parah?"
"Kau berpikiran begitu karena memang tidak ingat apa pun."
"Begitukah?"
"Atau ingatanmu dipenuhi kenangan buruk sampai kau tidak mau mengingatnya," gumam Aira.
Ubi rebus yang diberikan Riana sangat lezat, Aira ketagihan.
"Griffin, kau dalam masalah besar."
"Sekarang tidak terlalu buruk."
"Kakimu pincang, ingatanmu hilang, menyalakan api saja heboh satu kampung. Apa yang bisa kau lakukan untukku nanti?"
Haris mendecih. "Aku terlalu menganggapmu baik ternyata."
Aira tertawa. "Menyenangkan bisa meledek orang amnesia."
"Bagimu hal lucu benar, kan?"
Aira membenarkan kemudian menambah jatah ubi untuk Griffin. "Nanti malam aku mau ke laut, jalan-jalan."
Alis Griffin menyatu. "Apa itu kebiasaanmu?" Dia tidak melupakan bagaimana Aira menemukannya tengah malam di tepi laut sedang jalan-jalan pula.
"Semacam itulah."
"Aku tidak ikut. Kau sendiri menyuruhku cepat sembuh."
"Ya sudah."
Mereka makan malam seadanya. Griffin melirik jam dinding menunjukkan pukul 8 malam dan dia mulai mengantuk.
Aira mencuci piring dan gelas kotor sementara Griffin mencoba-coba menyalakan radio.
"Bisa tidak?" tanya Aira melihat upaya Griffin.
"Jangan menyepelekan aku karena tidak bisa menyalakan api ya."
"Siapa bilang?"
Aira mengambil alih radio lantaran geram Griffin tidak bisa-bisa.
"Aku pergi sekarang ya."
Griffin berdeham menjawab Aira. Lagu yang diputar lumayan bagus.
***"Sudah ada kabar Haris?" Elina bertanya pada David saat mereka senggang di Freelist.David baru saja selesai menghubungi Direktur Europe Air yang merupakan sahabat lama.
"Mereka masih melakukan pencarian."
"Aku bisa gila," desis Elina.
"Kau mengkhawatirkan Haris tanpa maksud lain?"
Elina mendelik. "Aku tidak seperti Elisha. Dia pasti sangat senang kakak tirinya hilang ditelan laut."
"Keputusan Haris sudah tepat menjadikan Elisha penerus perusahaan."
"Tepat dari mana?"
"Ayahmu ini sudah tua. Mengandalkanmu yang ada kami makin repot," cetus David.
"Lantas Ayah senang Haris tidak ada?"
"Mana ada seorang Ayah yang senang putranya hilang? Bicaramu makin tidak masuk akal."
Cklek!
Elisha datang ke ruangan David membawa satu map warna kuning. "Ini dokumen yang Ayah butuhkan."
"Ya, terima kasih."
Lantas saudara kembar tersebut saling pandang sesaat.
"Sedang apa kau di sini?" sinis Elisha.
"Mengapa kau bertanya begitu? Aku datang untuk bertemu ayah."
"Bukankah lebih baik kau tetap di rumah daripada berkeliaran membuat rumor tidak baik tentangku?"
Elina cukup terkesan dituduh melakukan sesuatu yang belum dia inginkan. "Rumor apa?"
"Rumor bahwa aku merebut posisi Haris. Kau yang sebar?"
David masih sabar menyaksikan mereka.
"Apa keuntungan yang aku dapat?"
"Kalau bukan kau siapa lagi?"
"Dengar ya. Aku dan Haris sangat ingin menjatuhkanmu, tapi bukan sekarang. Nikmati saja hidupmu sebagai CEO sebelum Haris kembali."
"Ayah dengar sendiri, kan? Haris punya maksud lain menaikkan jabatanku."
"Selain kami ada banyak yang mau menjatuhkanmu." Elina menyayangkan dugaan Elisha sangat sempit. "Omong kosong yang tersebar pun tidak salah. Kau tahu itu."
David mengelus dada sabar. "Kalau kalian masih mau bertengkar keluar dari sini sekarang. Ayah tidak mau dengar apa-apa."
"Jaga jabatanmu baik-baik," kata Elina sebelum pergi.
Griffin masuk kamar mandi. Dia membuka kaki lebar-lebar supaya tidak kena air. Aira melarang lukanya basah selagi dia tidak ada atau mengganti balutan luka sendiri."Dia tahu aku tidak bisa apa-apa tanpanya."Bukan ingin memenuhi panggilan alam. Griffin mau cuci muka. Hampir 3 hari kondisi wajahnya kering. Jika dibiarkan bisa mengkerut lebih cepat.Griffin lihat ada wadah botol kecil dengan gambar wanita yang sedang cuci muka. Mumpung Aira tidak ada, Griffin pakai sedikit.Hatinya membaik begitu berkaca sambil mencuci wajah dengan gerakan memutar. Ada sensasi dingin. Griffin tersenyum lebar menikmati wangi dari busa wajahnya.*Aira bingung sepulangnya ke rumah Griffin tidak ada di ruang utama. "Ke mana Griffin?"Aira menilik kamar orangtua dan kamarnya, namun tidak ada. Krieett!Aira lihat Griffin memakai sabun wajah miliknya. "Sekarang kau tanpa izin menggunakan barang milikku?" Griffin belum sadar saking menikmati kegiatannya."Aira belum pulang, jadi tidak apa-apa.""Dia sudah
"Pelan-pelan jalannya."Aira berhenti kemudian lihat Griffin tidak pincang lagi. "Kakimu sudah sembuh.""Ya, setelah jalan sangat jauh!" "Kau tidur di pinggir laut? Apa itu masuk akal?" Aira tidak percaya."Aku memikirkan semua tentang hidupku dan tanpa sadar tertidur sampai pagi."Aira memukul punggung Griffin. "Bagaimana kalau kau sakit?" omelnya."Kan ada kau. Dokter pribadiku." Griffin cengar-cengir supaya amarah Aira tidak berlanjut."Pulanglah. Kuncinya pasti ada di bawah keset depan rumah," ucap Aira."Kedengarannya kau mengusirku.""Cepat pulang dan masak sesuatu untuk malam kalau kau menganggapku dokter pribadimu."Griffin mengernyit bingung. "Apa hubungannya?" "Kau harus membayar jasaku. Ingat, jangan sampai orang lain tahu kita serumah. Masuk diam-diam," ujar Aira setelah memberitahu kunci rumah."Jangan anggap aku maling.""Ck.""Baiklah, baiklah."Tidak ada salahnya Griffin mengikuti pemilik rumah ketimbang diusir."Kau baik-baik saja? Temanmu sudah lihat aku."Aira bis
Griffin terengah-engah sampai rumah. Dia pikir napasnya bisa habis di tengah perjalanan. Perasaan Griffin mengatakan jarak dari pantai ke pasar tidak sejauh seperti dari pasar ke rumah."Apa hanya aku yang merasa hampir mati?"Griffin lihat masyarakat di pulau ini masih berjalan kaki baik jarak jauh sekali pun tanpa rasa letih.Selagi menormalkan pernapasan dan detak jantung Griffin duduk dahulu di teras, menyeka peluh keringat sebesar butir jagung sambil mengipas wajahnya dengan kerah depan kaosnya."Hah ... Hebat sekali pulau ini tanpa polusi." Setiap mendengarkan berita terkini di radio, Griffin selalu ingat suara kendaraan melaju tapi udaranya kurang baik akibat polusi.Di tempatnya hidup sekarang sepeda pun bisa dihitung sepanjang berjalan kaki dua rute.Sesudah letihnya berkurang, Griffin bangkit berpegangan gagang pintu. Saat gagang pintunya ke bawah, Griffin kaget pintu terbuka padahal sebelumnya terkunci."Kok?"Pria yang termakan berita menyeramkan mengenai pencurian dan p
Cklek!Deva memindai kamar Aira yang barusan dia buka."Tidak separah yang kukira."Kamar Deva lebih kacau dari Aira. Kalau sekadar kemasan makanan tergeletak di atas meja, handuk di atas kasur, dan bantal tidak tertata itu masih umum.Setelah rasa penasaran hilang, Deva menutup pintu."Semoga Aira tidak tahu sampai kapan pun."Deva keluar dari rumah Aira dan mengunci kembali pintu.Kriett! Cklik!Griffin membuka mata kemudian membalas ucapan Deva, "Tidak. Kau ketahuan."Demi menyelamatkan diri Griffin masuk lemari pakaian, ditelan gelap dan keheningan.Merasa kadar oksigen makin tipis, Griffin mendorong pintu lemari dan lompat keluar."Hahh! Hahh!"Akhirnya Griffin bebas dari kewaspadaan sebab Deva telah pergi."Siapa dia?"Suaranya terdengar tidak asing di telinga Griffin tapi dia tidak ingat di mana dan siapa.Semenjak amnesia Griffin bukan cuma melupakan masa lalu
"Wakil direktur?" tanya Elisha."Bawa dia masuk," sela Elina."Izinkan Mister Cullen masuk," perintah David.Asisten William membukakan pintu untuk Bradly Cullen.Pria yang kerap disapa Bradly oleh banyak kenalan sedang hadir mewakili sahabatnya di tengah badai.Sosok Bradly terlihat ramah dan karismatik bagi David padahal mereka bertemu baru tiga kali.Bradly memilih bekerja untuk Haris, orang pertama yang mendukungnya mendirikan Top Mirror dengan setia dan pantang mundur.Usia Bradly tahun ini 30 tahun, statusnya lajang. Daya tarik wajah asia-tiongkok Bradly lebih unggul dari para aktor Top Mirror.Kepribadian Haris dan Bradly adalah satu meskipun beda raga. Keduanya memiliki sisi misterius, tidak mudah ditebak oleh peramal sekali pun.Usai Bradly masuk, Asisten William keluar.Prok! Prok! Prok!Belum apa-apa Elina sudah heboh menyambut kedatangan Bradly.Bradly menunduk hormat pada Elina hingga gadis itu terpana. Baru kali ini Elina merasa dihormati selain oleh keluarganya sendiri.
"Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Uhuk! Uhuk!" Elina tersedak minumannya sendiri usai mendengar Haris. "Aku? Coba diulang!"Bradly mengulang kembali ucapan Haris."Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Kalian dengar? Haris memilih aku!" Elina sangat bahagia melihat tatapan sinis Elisha sekarang.Bradly melanjutkan videonya."Dengan syarat selama Elina mengelola Top Mirror, pekerjaannya dalam pengawasan Bradly. Jaga Top Mirror dengan baik."Elina melirik Bradly. "Kau harus mengawasiku ya?" "Sesuai yang disampaikan Pimpinan," jawab Bradly."Haris menitipkan Top Mirror ke Elina? Tuan Bradly, kau mungkin tidak tahu. Elina ini tidak bisa apa-apa. Bagaimana dia mampu mengelola perusahaan besar? Jika Top Mirror hancur-- ""Ayah! Aku bahkan belum mulai!" protes Elina.Elisha sedekap dada. "Tetap saja kau disuruh mengganti peran tanpa dapat apa-apa.""Saya harap Nona Elisha tidak salah paham." Haris merahasiakan sesuatu dari keluarganya yang dia ketahui. "Delapan persen aset Pimpinan
"Sedang apa dia?" tanya Riana setelah memerhatikan Deva duduk menyendiri di bebatuan sambil makan ikan bakar."Tidak tahu," jawab Aira yang ada di sebelahnya.Riana memikirkan segala hal yang tidak penting setiap berkumpul dengan mereka."Lain kali jangan turuti Deva!"Mereka bertiga harusnya duduk melingkar di tengah api unggung menikmati ikan bakar bersama sambil bersenda gurau seperti di film-film."Anehnya aku tidak bisa menolak," jawab Aira."Itu dia masalahmu," cicit Riana.Meskipun mereka tidak mendongeng seperti biasanya, kali ini pandangan ketiganya terpaku pada kerlap-kerlip lampu jauh di seberang pulau.Riana menghembuskan napas panjang. "Kapan aku bisa pergi ke Kota?" Pertanyaan tiba-tiba yang mewakili isi hati Aira itu memiliki banyak harapan yang tak pernah putus."Mungkin beberapa tahun lagi?" "Aku tidak akan bisa ke sana. Uang dari mana."Lupakan saja bermimpi pergi ke kota besar. Uang saja cukup buat makan besok."Pasti ramai sekali di sana saat malam hari. Itukah a
"Pria yang dijelaskan Riana tadi. Nama khayalannya Griffin," alibi Aira.Riana mengangguk santai walaupun ragu Deva percaya begitu saja. "Ya. Aku tidak menyukai nama pria yang aku sukai. Griffin nama yang bagus.""Ibuku yang memberi nama Deva. Protes saja padanya kalau kau tidak suka," kata Deva."Aku tidak bilang suka padamu!" kesal Riana.Deva menertawakan Riana yang tidak mengakui perasaannya."Kalian tidak berniat jadi pasangan? Aku bosan setiap hari jadi penengah." Aira berkata jujur."Aku?" Deva menunjuk wajahnya. "Dia cuma mengagumiku, mana bisa aku jadi pasangannya.""Dengar dia Riana," adu Aira."Riana masih terjebak saat aku menyelamatkannya dari gempa bumi. Aku ingat betul tatapannya padaku saat itu. Dia-- hmph!" Riana yang geram menyumpal mulut Deva dengan ikan bakarnya."Hei!" "Apa!" teriak Riana. "Bicara lagi kalau berani. Aku sumpal mulutmu dengan pasir laut!" ancamnya tak bercanda."Aku menyelamatkanmu karena butuh pertolongan. Tidak bisa menjadi alasan menyukaiku.