Bradly mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk matanya. Melihat tubuhnya berada di lantai, dia segera bangun dan merapikan bantal serta selimut milik Haris. Ditambah ingatan semalam menghantui pikirannya. Bradly menampar wajahnya sendiri sampai sakitnya tak terasa. "Kau gila, Bradly." Bradly mengucapkan omong kosong, tetapi beruntung tidak mencaci Haris. "Kau sudah sadar?" Haris keluar dari kamar mandi dengan rambut basah memakai kimono menghampiri Bradly. "Ya. Sepenuhnya." Bradly lantas minta maaf. "Maaf semalam aku mengatakan yang tidak-tidak padamu." Haris tidak masalah. "Jangan pikirkan hal itu. Aku baik-baik saja. Setelah melewati banyak hal aku menerima semua perkataan dan perbuatan orang, yang buruk sekali pun." Bradly tetap merasa bersalah. "Aku minta maaf, Haris." "Tidak, tidak. Namun, kau mudah mabuk sekarang. Semalam cuma minum segelas meracaumu sudah ke mana-mana." Gelas bekas mereka minum semalam bahkan masih di atas meja, belum dibersihkan. "Aku
Bak melihat meteor berjatuhan. Pekerja di rumah David Liam menganga tatkala mobil menerobos pemeriksaan dan berhenti menimbulkan decit rem mobil. Terlebih lagi setelah tahu siapa yang keluar dari mobil pors*he. Dialah putra tunggal majikan mereka yang cukup lama hilang. Tukang kebun yang sedang menyiram tanaman gagal fokus menyirami teman sendiri. Sapu yang digunakan menyapu daun kering jatuh saking terkejutnya mereka. "Tuan Muda telah kembali!" Mereka terharu sama-sama berbahagia. Haris bukanlah pria yang peduli atas reaksi orang lain. Dia krisis kepedulian. Dibukanya pintu rumah lebar-lebar hingga cahaya matahari masuk dengan bebas. Nampan berisi semangkuk bubur dan air putih di tangan Yuna jatuh usai menoleh tempat adanya bayangan pria yang semakin jelas kemudian membelalakkan mata. "Ha-Haris?" "Tuan Muda!" Pembantu di hadapan Nyonya Yuna membungkuk sembilan puluh derajat menyaksikan kedatangan tuannya. Pria itu sebetulnya tak ingin munafik menyapa penuh kerinduan apalagi
Ruangan kerja didominasi warna hitam dan abu-abu. Terdapat seorang pria duduk di kursi sedang bicara melalui telepon. Benda-benda di dalam tertata rapi dan bersih tanpa noda, mencerminkan pemiliknya. Papan nama akrilik terpajang kilau di meja tertera nama "Haris Liam", di bawah namanya pula jabatan yang didudukinya "Presdir of Top Mirror". "Mereka bilang kapan?" Suara berat khas Haris hanya bisa dinikmati oleh orang tertentu. Dia cenderung tegas jika bicara sampai ditakuti karyawan bahkan keluarganya. Helaan napas Haris mengisi satu ruangan. "Kenapa bisa mendadak?!" teriaknya di telepon. Inilah Haris, dia dijuluki "Presdir Gila" karena temperamennya buruk. Di balik kegilaannya Haris mampu mendirikan perusahaan sendiri dengan modal pribadi. Usai menutup telepon cukup kasar, Haris berdiri di sisi kiri ruangan di mana bisa melihat pemandangan kota. Jadwal penerbangan ke China besok, lebih cepat dari prakiraan Haris dan terbilang mendadak. Gara-gara masalah yang dibuat adik tirin
Pengalihan kepemilikan Freelist telah diresmikan. Ucapan selamat serta karangan bunga berdatangan di depan kantor utama Freelist. Elisha adalah bintang utama. Elina berdiri di sisinya memasang wajah dengki. Yuna tentu bahagia salah satu putrinya mendapat bagian. Sementara itu Haris dan David bertemu para tamu di mana ada dewan direksi dan pemegang saham yang menyetujui Elisha sebagai Presdir Freelist. Elisha melihat Haris. Mereka saling senyum memiliki arti tersendiri. "Kau pasti senang diberikan perusahaan besar oleh Haris. Kita lihat apa kau mampu mengatasi masalah yang kubuat," ucap Elina. "Jaga ucapanmu. Banyak tamu di sini," tegur Yuna pada Elina. Elina abai jika didengar. Tujuannya hidup kan memang mengganggu mereka. "Haris pasti tidak asal memberimu jabatan, bukan? Dia tidak seperti pria gampangan yang aku temui di luar sana." "Urus hidupmu yang menyedihkan itu. Berapa pun masalah yang kau buat tidak akan membuat Haris menyukaimu." "Apa katamu barusan?" "Hentikan." Yuna
"Aira, ini kayu bakar untukmu." "Terima kasih." Kehidupan yang Aira jalani tidak membosankan. Tinggal di pulau kecil baginya penuh makna. Walau penghuni pulau tidak sebanyak kota besar, Aira bahagia selama masih punya teman-teman. Pulau Pakat jauh dari kata layak huni di era serba teknologi. Namun telah mengetahui fakta itu pun mereka enggan meninggalkan pulau bahkan saat tahun lalu pemerintah akan menjadikan Pulau Pakat sebagai destinasi wisata. Aira menyalakan perapian di dalam rumah menjelang matahari terbenam. Dia tinggal seorang diri, orangtuanya tiada sejak Aira lulus sekolah menengah, untuk bertahan hidup Aira bekerja di pasar membantu temannya menjual sayur hasil panen dan ikan. Orang yang memberi Aira kayu bakar tadi adalah Deva, sahabatnya dari kecil. Orangtua Deva adalah wali Aira setelah orangtuanya tiada. Mereka yang hidup di pulau terbiasa hidup berkecukupan asal bisa makan, minum, dan tidur dalam keadaan hangat. Sekarang Aira dan Deva menonton kartun favorit me
Aira menemui Haris dan terlibat adu pandang. Aira masih bergeming. Ragu mau membukakan pintu atau tidak.Di luar Deva mengetuk pintu sampai tangannya pegal. "Dia pasti kelayapan. Dasar perempuan aneh! Suka jalan-jalan sendiri di pinggir laut cuma lihat langit seperti tidak bisa lihat besok!" gerutunya persis emak-emak.Plak!"Siapa lagi yang memukul kepalaku!" Deva mengusap kasar kepalanya, ketika berbalik melihat pelakunya dia mengulum bibir. "Eh, Ibu.""Ibu?" bisik Aira berubah pikiran."Ibumu?" tanya Haris.Aira menyuruh Haris diam dengan meletakkan telunjuk di depan mulut. "Ssutt, diam dulu."Haris menyantap bubur dengan polos menatap kebingungan Aira. "Jam berapa sekarang? Pulang dari laut harusnya kau ke rumah orangtuamu dulu! Bukan malah ke rumah Aira!" omel Novita. "Ini lagi," tunjuknya ke ember yang ditenteng Deva."Milik Ibu sudah aku pisahkan, tapi besok baru aku bawa ke pasar. Jangan pukul kepalaku lagi. Bagaimana kalau aku amnesia dan lupa dengan jasa-jasamu?" ancam Deva
Griffin perhatikan Aira mudah sekali menyalakan api, tidak seheboh dia."Aku tadi berhasil." Griffin membela diri sendiri."Tapi?" "Aku sangat terkejut.""Dan kayu yang basah harus diganti.""Maaf. Apa yang harus kulakukan?" Aira berdiri melihat Griffin duduk selonjor di lantai. "Aku ingin menyuruhmu menjemur kayu, tapi sudahlah. Kakimu belum sembuh lagipula aku harus pergi."Griffin bertumpu pada meja untuk bangun. "Tidak bisakah aku ikut?""Tidak bisa." Orang-orang bisa menyangka Aira menyembunyikan pria dari planet lain."Setelah sembuh?" tanya Griffin ragu."Tentu.""Kau sudah janji ya.""Iya."*Di sela-sela sepi pembeli, Aira mampir ke lapak sebelah. Semalam Novita dan Deva datang ke rumahnya namun kembali setelah membuat keributan."Kebetulan kau ke sini," kata Novita."Aku dengar semalam kalian ke rumahku. Maaf, Bu. Aku lelah sekali dan ketiduran.""Tidak apa-apa. Deva memang suka mengganggumu istirahat. Anak itu mau mengajakmu bakar ikan tengah malam. Dia sudah gila!" Aira
Griffin masuk kamar mandi. Dia membuka kaki lebar-lebar supaya tidak kena air. Aira melarang lukanya basah selagi dia tidak ada atau mengganti balutan luka sendiri."Dia tahu aku tidak bisa apa-apa tanpanya."Bukan ingin memenuhi panggilan alam. Griffin mau cuci muka. Hampir 3 hari kondisi wajahnya kering. Jika dibiarkan bisa mengkerut lebih cepat.Griffin lihat ada wadah botol kecil dengan gambar wanita yang sedang cuci muka. Mumpung Aira tidak ada, Griffin pakai sedikit.Hatinya membaik begitu berkaca sambil mencuci wajah dengan gerakan memutar. Ada sensasi dingin. Griffin tersenyum lebar menikmati wangi dari busa wajahnya.*Aira bingung sepulangnya ke rumah Griffin tidak ada di ruang utama. "Ke mana Griffin?"Aira menilik kamar orangtua dan kamarnya, namun tidak ada. Krieett!Aira lihat Griffin memakai sabun wajah miliknya. "Sekarang kau tanpa izin menggunakan barang milikku?" Griffin belum sadar saking menikmati kegiatannya."Aira belum pulang, jadi tidak apa-apa.""Dia sudah