Griffin masuk kamar mandi. Dia membuka kaki lebar-lebar supaya tidak kena air. Aira melarang lukanya basah selagi dia tidak ada atau mengganti balutan luka sendiri.
"Dia tahu aku tidak bisa apa-apa tanpanya."
Bukan ingin memenuhi panggilan alam. Griffin mau cuci muka. Hampir 3 hari kondisi wajahnya kering. Jika dibiarkan bisa mengkerut lebih cepat.
Griffin lihat ada wadah botol kecil dengan gambar wanita yang sedang cuci muka. Mumpung Aira tidak ada, Griffin pakai sedikit.
Hatinya membaik begitu berkaca sambil mencuci wajah dengan gerakan memutar. Ada sensasi dingin. Griffin tersenyum lebar menikmati wangi dari busa wajahnya.
*Aira bingung sepulangnya ke rumah Griffin tidak ada di ruang utama. "Ke mana Griffin?"Aira menilik kamar orangtua dan kamarnya, namun tidak ada.
Krieett!
Aira lihat Griffin memakai sabun wajah miliknya.
"Sekarang kau tanpa izin menggunakan barang milikku?"
Griffin belum sadar saking menikmati kegiatannya.
"Aira belum pulang, jadi tidak apa-apa."
"Dia sudah pulang, baru saja."
"Benarkah?" Griffin membuka mata dan teriak kaget Aira berdiri di depan pintu dengan muka datar. "Woah! Kaget aku!"
"Basuh wajahmu sekarang dan keluar."
Griffin buru-buru bilas wajah dan keluar kamar mandi menemui Aira. "Dia marah tidak ya? Ah, semoga tidak."
Aira jongkok di dekat perapian mengeluarkan abu kemudian menyalakan api kembali.
"Aku tidak bermaksud memakai tanpa izin. Kau tidak ada di rumah, rencananya aku bilang padamu setelah kau pulang."
"Benarkah?" Aira berdiri di hadapan Griffin.
Griffin menelan ludah. "Benar dong!"
"Aku lihat kau menikmati sekali mencuci wajah sambil bersenandung ria," kata Aira mencontohkan raut muka Griffin di kamar mandi tadi.
Griffin tertawa kemudian menatap Aira penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."
"Aku bukan memarahimu, tidak perlu minta maaf."
Walaupun begitu Griffin tetap salah dan dia merasa dimarahi.
"Lain kali tanya dulu benda apa yang mau kau pakai. Kalau ternyata bukan sabun wajah tapi sabun untuk cuci baju bagaimana? Wajahmu bisa bermasalah."
"Tadi itu-- "
"Sabun wajah," sahut Aira.
"Syukurlah. Kau harus tidur karena besok bekerja. Masuklah ke kamarmu." Griffin menggiring Aira masuk kamarnya.
"Kau juga."
"Ck, aku tidur sepanjang hari. Jangan cemaskan aku."
Usai memastikan Aira tertidur, Griffin melihat jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi.
Griffin memikirkan apa kehidupan sebelum dia hilang ingatan, di mana tempat tinggalnya, dan penyebab dia seperti sekarang.
Tanpa sepengetahuan Aira, Griffin sebetulnya frustasi mengingat-ingat. Ketika sekelibat ingatan datang seperti kaset rusak, telinganya berdenging disertai sakit kepala.
"Siapa aku sebenarnya?"
CEO Top Mirror kebanggaan David. Musuh besar ibu dan adik tirinya.
Griffin, kau adalah Haris. Pria yang pandai dalam segala hal dan memiliki sejuta pesona di mata orang lain, tetapi menjengkelkan bagi ibu dan saudara tirimu.
Berdiri lama-lama di tempat pertama kali dia bangun pun tak ada satu pun kenangan yang muncul.
Griffin tidak mempermasalahkan walau kenangan buruk yang datang asal dia bisa ingat.
Griffin kira jika dia kembali ke tempatnya ditemukan akan ada petunjuk. Kondisinya sungguh buruk.
Griffin bicara sendiri. "Apa kau akan terus bersamanya tanpa identitas jelas? Memangnya dia tidak kesulitan mengurusmu?"
Melihat laut terbentang luas rupanya tidak melulu melepas penat. Pikiran Griffin justru tambah kusut ditambah kebaikan yang diberikan Aira terkadang membuatnya merasa tidak enak hati.
***Aira terbangun akibat sinar matahari masuk jendela kamar. Pagi ini tidak terlalu dingin terbantu hangatnya sinar pagi.Aira mengambil pakaian dan handuk untuk segera mandi sebelum rebutan dengan Griffin.
Namun begitu dia keluar kamar, Griffin tidak ada di ruang tamu.
"Aku pasti kedahuluan," pikirnya.
Aneh sekali begitu pintu kamar mandi diketuk, justru terbuka dan tidak ada Griffin di dalam.
Aira khawatir dan mencari ke belakang, membuka semua pintu kamar termasuk gudang tempat barang bekas, juga tak ada.
"Griffin!"
"Ke mana dia pergi pagi-pagi?"
Jika Griffin berjalan-jalan Aira akan menghajarnya. Kondisi kaki pria itu belum sembuh total.
Aira keluar dan berpapasan dengan Deva yang membawa lauk untuknya.
"Kebetulan kau keluar. Ibu menyuruhku mengantar lauk," ujar Deva.
"Taruh saja di meja."
Deva heran Aira buru-buru pergi ke mana sampai handuk masih ada di lehernya.
"Andai Ibu lihat dia sekarang. Pasti tidak mengelak kalau Aira aneh."Setelah menaruh lauk di meja, Deva pun keluar mengunci pintu dan menyembunyikan kuncinya di bawah keset.
Aira masih mencari Griffin ke setiap gang sekitar rumah. "Astaga ke mana sih dia?"
Riana yang baru saja keluar rumah melihat Aira lewat. "Sedang apa kau?" Jalan ke rumahnya dari rumah Aira lumayan. "Aku tidak perlu dijemput."
"Aku tidak menjemputmu," jawab Aira terus lewat.
"Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan di sini?" Riana kemudian tertawa. "Bawa handuk segala. Memangnya kau mau mandi di jalanan?"
Aira melihat lehernya. Dia jadi tidak waras mencari satu orang.
"Aku bahkan tidak sempat mandi," celetuk Aira.
"Kau tidak bekerja? Cari apa sih?" Riana ikut melihat sekitar barangkali bisa bantu.
Aira hampir lupa bekerja juga. "Ah benar. Kita ke pasar bersama kalau begitu."
"Apa kubilang? Kau menjemputku, tapi malu mengakuinya."
Aira menjemur handuknya di tali yang terpasang depan rumah Riana. "Aku bilang tidak. Mengapa rajin sekali menjemputmu?"
*"Terima kasih, Bu."Riana kipas-kipas wajahnya yang hampir terbakar panas. "Hari ini sangat panas kan, Aira?"
Sesudah melayani pembeli Aira satu frekuensi menjawab "iya" pertanyaan Riana.
"Aku perhatikan hari ini kau banyak melamun."
"Aku?"
"Hm."
"Tidak kok."
"Benarkah?" Riana mungkin salah sangka. "Deva melaut mencari ikan. Nanti malam bolehkah ikut kalian bakar ikan?"
"Boleh saja."
Riana mengalihkan pandangan ke sebelah kirinya tepat gapura pasar. Dia mengucek mata akibat silau oleh ketampanan pangeran bak jatuh dari langit ke tengah pulau.
"Aira, Aira! Pangeran tanpa kuda putih telah datang!"
Aira menertawakan imajinasi Riana. "Kuda putihnya hilang ke mana?"
"Lihat dulu! Aku baru tahu ada pria tampan di pulau ini seumur hidupku."
"Memang seberapa tampan dia-- Griffin?"
Aira memastikan dia adalah Griffin.
Mengapa dia di sini setelah menghilang tanpa jejak?
"Kau kenal pria itu?" Riana rasa mereka saling kenal.
Griffin mendekat ke lapak dagangan Riana untuk bertemu Aira. "Kenapa kau mengunci pintu? Aku tidak bisa masuk."
"Kau kenal aku?" cetus Aira masih kesal ditinggalkan pagi tadi.
Griffin kaget ditanya begitu. "Aku ketiduran di suatu tempat semalam. Pas pulang pintunya terkunci."
"Lalu kenapa kau menemuiku?"
"Tentu saja meminta kunci."
"Aku pikir kau hilang karena pagi tadi sudah tidak ada!" omel Aira.
"Hilang ke mana aku disaat tidak ada tujuan? Jangan marah. Kakiku tidak akan sembuh berjalan kaki untuk meminta kunci rumah. Berikan padaku," pinta Griffin.
"Aku saja tidak sempat mengunci rumah, bagaimana aku tahu kuncinya di mana?"
"Sebentar!" henti Riana diselimuti kebingungan sepanjang mereka bicara rumah, kunci, hilang, dan sebagainya.
Baik Griffin maupun Aira langsung diam menoleh ke arah Riana.
"Sebelumnya maaf mengganggu pembicaraan kalian. Aira, kau kenal pria tamp-- dia?" tanya Riana pelan-pelan.
"Kau bercanda? Aku ke sini jauh-jauh untuk menemuinya buat apa kalau tidak kenal?" sambar Griffin.
"Kupikir kau lupa kita saling kenal," balas Aira.
"Siapa dia?" Riana ingin tahu.
"Dia hanya lewat secara kebetulan."
"Aira. Aku ketiduran di pinggir laut dan langsung pulang tapi kau sudah pergi makanya aku ke pasar. Lewat secara kebetulan? Aku sudah menginap di rumahmu 2 hari 3 malam!"
Riana melotot kaget. "Apa!"
Aira menghela napas. Tidak perlu susah payah menutupi keberadaan Griffin. Dia muncul sendiri.
"Ikut aku."
Griffin pasrah lengannya ditarik Aira.
"Aira! Kau berutang penjelasan padaku! Aira!"
Menyebalkan sekali dia kenal pria tampan diam-diam.
"Pelan-pelan jalannya."Aira berhenti kemudian lihat Griffin tidak pincang lagi. "Kakimu sudah sembuh.""Ya, setelah jalan sangat jauh!" "Kau tidur di pinggir laut? Apa itu masuk akal?" Aira tidak percaya."Aku memikirkan semua tentang hidupku dan tanpa sadar tertidur sampai pagi."Aira memukul punggung Griffin. "Bagaimana kalau kau sakit?" omelnya."Kan ada kau. Dokter pribadiku." Griffin cengar-cengir supaya amarah Aira tidak berlanjut."Pulanglah. Kuncinya pasti ada di bawah keset depan rumah," ucap Aira."Kedengarannya kau mengusirku.""Cepat pulang dan masak sesuatu untuk malam kalau kau menganggapku dokter pribadimu."Griffin mengernyit bingung. "Apa hubungannya?" "Kau harus membayar jasaku. Ingat, jangan sampai orang lain tahu kita serumah. Masuk diam-diam," ujar Aira setelah memberitahu kunci rumah."Jangan anggap aku maling.""Ck.""Baiklah, baiklah."Tidak ada salahnya Griffin mengikuti pemilik rumah ketimbang diusir."Kau baik-baik saja? Temanmu sudah lihat aku."Aira bis
Griffin terengah-engah sampai rumah. Dia pikir napasnya bisa habis di tengah perjalanan. Perasaan Griffin mengatakan jarak dari pantai ke pasar tidak sejauh seperti dari pasar ke rumah."Apa hanya aku yang merasa hampir mati?"Griffin lihat masyarakat di pulau ini masih berjalan kaki baik jarak jauh sekali pun tanpa rasa letih.Selagi menormalkan pernapasan dan detak jantung Griffin duduk dahulu di teras, menyeka peluh keringat sebesar butir jagung sambil mengipas wajahnya dengan kerah depan kaosnya."Hah ... Hebat sekali pulau ini tanpa polusi." Setiap mendengarkan berita terkini di radio, Griffin selalu ingat suara kendaraan melaju tapi udaranya kurang baik akibat polusi.Di tempatnya hidup sekarang sepeda pun bisa dihitung sepanjang berjalan kaki dua rute.Sesudah letihnya berkurang, Griffin bangkit berpegangan gagang pintu. Saat gagang pintunya ke bawah, Griffin kaget pintu terbuka padahal sebelumnya terkunci."Kok?"Pria yang termakan berita menyeramkan mengenai pencurian dan p
Cklek!Deva memindai kamar Aira yang barusan dia buka."Tidak separah yang kukira."Kamar Deva lebih kacau dari Aira. Kalau sekadar kemasan makanan tergeletak di atas meja, handuk di atas kasur, dan bantal tidak tertata itu masih umum.Setelah rasa penasaran hilang, Deva menutup pintu."Semoga Aira tidak tahu sampai kapan pun."Deva keluar dari rumah Aira dan mengunci kembali pintu.Kriett! Cklik!Griffin membuka mata kemudian membalas ucapan Deva, "Tidak. Kau ketahuan."Demi menyelamatkan diri Griffin masuk lemari pakaian, ditelan gelap dan keheningan.Merasa kadar oksigen makin tipis, Griffin mendorong pintu lemari dan lompat keluar."Hahh! Hahh!"Akhirnya Griffin bebas dari kewaspadaan sebab Deva telah pergi."Siapa dia?"Suaranya terdengar tidak asing di telinga Griffin tapi dia tidak ingat di mana dan siapa.Semenjak amnesia Griffin bukan cuma melupakan masa lalu
"Wakil direktur?" tanya Elisha."Bawa dia masuk," sela Elina."Izinkan Mister Cullen masuk," perintah David.Asisten William membukakan pintu untuk Bradly Cullen.Pria yang kerap disapa Bradly oleh banyak kenalan sedang hadir mewakili sahabatnya di tengah badai.Sosok Bradly terlihat ramah dan karismatik bagi David padahal mereka bertemu baru tiga kali.Bradly memilih bekerja untuk Haris, orang pertama yang mendukungnya mendirikan Top Mirror dengan setia dan pantang mundur.Usia Bradly tahun ini 30 tahun, statusnya lajang. Daya tarik wajah asia-tiongkok Bradly lebih unggul dari para aktor Top Mirror.Kepribadian Haris dan Bradly adalah satu meskipun beda raga. Keduanya memiliki sisi misterius, tidak mudah ditebak oleh peramal sekali pun.Usai Bradly masuk, Asisten William keluar.Prok! Prok! Prok!Belum apa-apa Elina sudah heboh menyambut kedatangan Bradly.Bradly menunduk hormat pada Elina hingga gadis itu terpana. Baru kali ini Elina merasa dihormati selain oleh keluarganya sendiri.
"Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Uhuk! Uhuk!" Elina tersedak minumannya sendiri usai mendengar Haris. "Aku? Coba diulang!"Bradly mengulang kembali ucapan Haris."Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Kalian dengar? Haris memilih aku!" Elina sangat bahagia melihat tatapan sinis Elisha sekarang.Bradly melanjutkan videonya."Dengan syarat selama Elina mengelola Top Mirror, pekerjaannya dalam pengawasan Bradly. Jaga Top Mirror dengan baik."Elina melirik Bradly. "Kau harus mengawasiku ya?" "Sesuai yang disampaikan Pimpinan," jawab Bradly."Haris menitipkan Top Mirror ke Elina? Tuan Bradly, kau mungkin tidak tahu. Elina ini tidak bisa apa-apa. Bagaimana dia mampu mengelola perusahaan besar? Jika Top Mirror hancur-- ""Ayah! Aku bahkan belum mulai!" protes Elina.Elisha sedekap dada. "Tetap saja kau disuruh mengganti peran tanpa dapat apa-apa.""Saya harap Nona Elisha tidak salah paham." Haris merahasiakan sesuatu dari keluarganya yang dia ketahui. "Delapan persen aset Pimpinan
"Sedang apa dia?" tanya Riana setelah memerhatikan Deva duduk menyendiri di bebatuan sambil makan ikan bakar."Tidak tahu," jawab Aira yang ada di sebelahnya.Riana memikirkan segala hal yang tidak penting setiap berkumpul dengan mereka."Lain kali jangan turuti Deva!"Mereka bertiga harusnya duduk melingkar di tengah api unggung menikmati ikan bakar bersama sambil bersenda gurau seperti di film-film."Anehnya aku tidak bisa menolak," jawab Aira."Itu dia masalahmu," cicit Riana.Meskipun mereka tidak mendongeng seperti biasanya, kali ini pandangan ketiganya terpaku pada kerlap-kerlip lampu jauh di seberang pulau.Riana menghembuskan napas panjang. "Kapan aku bisa pergi ke Kota?" Pertanyaan tiba-tiba yang mewakili isi hati Aira itu memiliki banyak harapan yang tak pernah putus."Mungkin beberapa tahun lagi?" "Aku tidak akan bisa ke sana. Uang dari mana."Lupakan saja bermimpi pergi ke kota besar. Uang saja cukup buat makan besok."Pasti ramai sekali di sana saat malam hari. Itukah a
"Pria yang dijelaskan Riana tadi. Nama khayalannya Griffin," alibi Aira.Riana mengangguk santai walaupun ragu Deva percaya begitu saja. "Ya. Aku tidak menyukai nama pria yang aku sukai. Griffin nama yang bagus.""Ibuku yang memberi nama Deva. Protes saja padanya kalau kau tidak suka," kata Deva."Aku tidak bilang suka padamu!" kesal Riana.Deva menertawakan Riana yang tidak mengakui perasaannya."Kalian tidak berniat jadi pasangan? Aku bosan setiap hari jadi penengah." Aira berkata jujur."Aku?" Deva menunjuk wajahnya. "Dia cuma mengagumiku, mana bisa aku jadi pasangannya.""Dengar dia Riana," adu Aira."Riana masih terjebak saat aku menyelamatkannya dari gempa bumi. Aku ingat betul tatapannya padaku saat itu. Dia-- hmph!" Riana yang geram menyumpal mulut Deva dengan ikan bakarnya."Hei!" "Apa!" teriak Riana. "Bicara lagi kalau berani. Aku sumpal mulutmu dengan pasir laut!" ancamnya tak bercanda."Aku menyelamatkanmu karena butuh pertolongan. Tidak bisa menjadi alasan menyukaiku.
Sambil membawa obor untuk penerangan jalan, Aira mempercepat langkah.Begitu mendekati rumah Aira memperjelas penglihatannya barangkali halusinasi.Sedang apa Griffin duduk memeluk lutut di teras sendirian?"Kenapa kau di sini bukannya masuk rumah?"Griffin menunggu Aira pulang seperti anak kecil."Menunggumu."Aira melihat ke atas langit karena Griffin mendongak cukup lama. Sinar bulan memang tak ada tandingan.Griffin berdiri menepuk bokongnya barangkali kotor sehabis duduk."Acara kalian sudah selesai? Katanya sampai pagi.""Kecuali listrik padam. Ayo masuk, banyak nyamuk di luar."Griffin tanpa sadar mengizinkan nyamuk menghisap darahnya akibat serius lihat bulan purnama."Kulitku jadi merah semua," cicit Griffin menggaruk lengan bergantian supaya nyamuk yang hinggap pergi.Bak melewati kegelapan tanpa batas, Aira melangkah pelan-pelan mencari lilin."Kau tidak takut gelap, kan?"Griffin mengikuti suara Aira takut ketinggalan. "Tentu saja."Aira berhenti di depan pintu kamar, teta