Membeku. Masih pada posisi sebelumnya, posisi aneh yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi siapa pun yang melihatnya. Kedua orang yang bertukar jiwa itu menatap kaget seorang pria yang berdiri di dekat tangga. Tampaknya pria itu merupakan teman dari laki-laki yang ditabrak Zinnia.
"Rey. Kenapa kamu memeluk cewek itu? Siapa dia?" tanya pria itu karena tak segera mendapatkan jawaban dari orang yang ia panggil Rey itu.
Zinnia yang sadar akan posisinya langsung melepaskan pelukannya, lalu duduk tegak. Ia bingung bukan kepalang dengan apa yang akan ia lakukan. Ia sama sekali tak mengenali pria yang datang itu. Tapi pria itu mengajaknya bicara.
"Anu. Ini ... ini tidak seperti yang kamu pikirkan," jawab Zinnia dengan suara maskulin tetapi terdengar kaku.
"Apa maksudmu? Jelas-jelas tadi kamu memeluk cewek itu. Hey kamu! Siapa namamu? Dan apa hubunganmu dengan Rey?" tanya pria itu menatap 'Zinnia'.
Pria yang berada di dalam tubuh Zinnia hanya terdiam. Ia tak mengenali gadis itu. Namun ia tetap mencoba tenang. Jika ia menceritakan tentang jiwanya yang tertukar, bisa saja temannya itu tak akan percaya dan hanya menganggapnya orang gila.
"Emm. Namanya Zinnia. Dia ... dia cuma kebetulan papasan saja denganku," jawab Zinia dengan tubuh Rey.
'Bodoh,' batin Rey melirik tubuhnya sendiri.
"Kebetulan papasan tapi kok ...."
"Sudahlah. Sekarang kamu naik saja ke atas! Aku akan menyusulmu setelah masalahku selesai," perintah Zinnia dengan suara berat, dingin, dan tegas. Ia sudah cukup pusing dengan kejadian sebelumnya. Ia tak mau tambah pusing dengan pria asing yang baru muncul itu dan pertanyaan-pertanyaannya.
"Oke. Selesaikan masalahmu itu! Cepat! Karena sebentar lagi kita ada rapat," balas pria itu sembari berjalan menaiki tangga meninggalkan Zinnia dan pria asing yang ditabraknya.
"Hebat juga kamu bisa meniruku," puji pria bernama Rey itu dengan suara gadisnya yang imut-imut.
"Jangan memuji! Sekarang bagaimana caranya agar kita bisa kembali?" tanya Zinnia sembari menatap wajahnya sendiri.
"Kalau aku tahu, aku sudah melakukannya dari tadi. Aku mau ada rapat dan sekarang malah terjebak di tubuh jelekmu ini. Kau lihat? Ini semua kesalahanmu!" cecar pria itu, masih dengan suara Zinnia.
"Kenapa kamu dari tadi menghina tubuhku sih?" sungut Zinnia asli.
"Yang ada aku yang kesal karena harus bertukar jiwa dengan pria gak jelas dan menyebalkan," imbuh Zinnia sembari melipat kedua tangannya.
"Sudahlah. Pikirkan caranya agar kita bisa kembali." Pria yang berada di tubuh Zinnia bangkit dari duduknya. Zinnia asli ikut berdiri. Kini ia sadar betapa pendeknya ia jika berdiri di samping pria bernama Rey itu. Ia bahkan harus menunduk menatap dirinya sendiri.
"Coba pikirkan bagaimana tadi kita bisa bertukar seperti ini!" ucap Rey sembari meletakkan jari telunjuk di dagunya. Zinnia mau tak mau ikut berpikir.
"Tadi kamu menabrakku dengan keras. Dan kepalaku terbentur benda keras." Rey mulai mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
"Benda keras? Maksudmu kepalaku? Sakit tahu. Kepalamu itu yang keras seperti batu," gerutu Zinnia sembari mengusap kepala milik Rey.
"Jadi kepala kita berbenturan? Kukira tadi lututmu yang mengenai kepalaku." Rey ikut mengusap kepala milik Zinnia.
"Ya ampun. Jahatnya," sungut Zinnia.
"Eh. Tapi tunggu!" ucap Zinnia lagi sembari memberi isyarat. Ia mencoba berpikir. Siapa tahu idenya itu mengembalikan jiwa mereka yang tertukar.
"Mungkinkah kalau kita berbenturan lagi, kita bisa kembali ke tubuh kita masing-masing?" tanya Zinnia kembali menatap wajahnya sendiri. Rey membalas tatapan itu. Kini ia harus sedikit mendongakkan kepalanya.
"Mungkin."
"Oke. Kita coba aja! Siapa tahu berhasil," ucap Zinnia sembari bersiap-siap.
"Serius?" tanya Rey tak menyangka. Namun ia tetap mengikuti saran dari gadis yang bernama Zinnia itu. Ia juga ikut bersiap-siap.
"Oke. Aku hitung sampai tiga kita langsung benturin kepala kita ya!" seru Zinnia.
"Eh tapi tunggu? Bisa gegar otak gak ya?" tanya Zinnia lagi sembari menghentikan ancang-ancangnya.
"Sudahlah! Cepat! Gak ada waktu!" seru Rey yang mulai tak sabar.
"Oke. Kita mulai ya!" Zinnia mencengkeram bahunya sendiri dengan tangan kekar milik Rey. Menatap lurus ke arah wajahnya.
"Satu, dua, tiga," ucap Zinnia lalu membenturkan kepalanya.
"Awww." Keduanya merintih kesakitan. Mereka pun membuka kedua mata mereka. Namun, nihil.
"Kok masih kaya gini?" Zinnia mulai putus asa.
"Sialan. Padahal sebentar lagi aku ada rapat. Ini semua gara-gara kamu yang lompat-lompat di tangga!" hardik Rey.
"Kok aku? Ya kamu lah. Salah sendiri kenapa tiba-tiba muncul," balas Zinnia tak mau kalah. Rey kembali terdiam. Nampaknya ia tengah teringat sesuatu.
"Bentar-bentar." Rey berjalan mendekati tangga. Ia lalu memberi isyarat pada tubuhnya sendiri untuk menghadapnya.
"Kamu bilang aku tiba-tiba muncul, kan?" tanya Rey. Zinnia hanya mengangguk mengiyakan. "Terus kamu lompat di tangga yang mana?" tanya Rey lagi.
"Di situ. Kalau gak salah yang kedua atau ketiga terakhir," jawab Zinnia sembari menunjuk tangga di depannya.
"Kalau begitu kita reka ulang kejadian tadi," tutur Rey.
Zinnia yang paham langsung mengikuti saran yang diberikan pria itu. Ia turun kemudian berjalan menaiki anak tangga yang tadi dilewati Rey. Lalu Rey yang berada di tubuhnya melompat seperti apa yang gadis itu lakukan sebelumnya. Dan tabrakan pun kembali terjadi. Mereka jatuh dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. Kepala mereka kembali berdenyut. Bahkan lebih sakit karena itu merupakan ketiga kalinya mereka saling beradu kepala.
"Aduduh," rintih Zinnia dan Rey bersamaan.
"Bisa-bisa gegar otak betulan kalau gak berhasil," gumam Zinnia sembari memegangi kepalanya.
"Tapi berhasil, kan?" tanya Rey yang kini sudah kembali ke tubuh aslinya. Zinnia yang baru tersadar menatap pria di hadapannya. Kini ia bisa menatap wajah Rey dengan jarak yang begitu dekat. Pria yang ditabraknya ternyata tampan juga. Pikirnya.
"Udah minggir! Enak aja tubuhku dijadikan tumpuan mendarat," ucap pria itu sembari menyingkirkan tubuh kecil Zinnia yang berada di atasnya.
"Iya, iya." Zinnia berdiri sembari masih memegangi kepalanya. Sedikit terasa benjolan di dahinya itu.
"Oh iya. Kejadian ini jangan sampai diketahui orang lain ya?" tanya Rey menatap Zinnia.
"Iya. Lagian tak akan ada yang percaya jika diberitahu juga," balas Zinnia.
"Ya udah. Sudah sana pergi!" perintah Rey megusir Zinnia.
"Ish. Jadi orang sombong banget sih," sungut Zinnia sembari mengambil tasnya. Ia pun berjalan cepat meninggalkan pria itu. Yang paling penting ia sudah kembali di tubuhnya.
Rey menatap kepergian Zinnia. Kepalanya masih sedikit berkedut. Ia merasa gadis yang baru saja menabraknya benar-benar kurang ajar. Gadis itu bahkan tak tahu siapa Rey yang sebenarnya dan berani berdebat bahkan menghina pria itu.
"Zinnia? Kamu gak tahu siapa aku? Menarik."
Pagi itu Zinnia tengah mematut diri di depan cermin. Menyisir rambutnya agar terlihat rapi. Kemeja berwarna putih serta rok hitam panjang telah ia kenakan. Hari ini merupakan hari penentuannya agar bisa diterima di SJ Grup atau tidak. Zinnia berharap ia dapat diterima menjadi karyawan tetap di perusahaan itu.Kini gadis itu pun keluar dari kontrakan seluas kurang lebih empat puluh lima meter persegi. Tidak luas memang. Namun, kontrakan itu sudah lebih dari cukup untuk ditinggali satu orang saja.Zinnia sebenarnya tinggal di sebuah desa di sebuah kota yang disebut kota Adipura Kencana. Ia pindah ke Jakarta untuk mencari kerja. Berharap dapat memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Terutama ayah dan ibunya yang sudah tak muda lagi. Dengan berbekal ijazah kuliah, gadis itu memberanikan diri mengadu nasib di ibu kota.Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke SJ Grup menggunakan sepeda motor. Hari itu Zinnia beserta beberapa orang lainnya h
Mendengar permintaan maaf darinya, laki-laki itu tampak kaget. Seolah baru pertama kali mendengarnya."Kamu lagi apa?" tanya Zinnia mencoba mencairkan suasana. Tak lupa ia memasang senyuman ramah yang terukir di wajah tampan Rey. Gadis itu tak segera mendapatkan jawaban dari adiknya itu. Yang terlihat laki-laki itu masih memandanginya penuh ketidakpercayaan."Eh i-ini lagi minum teh, Kak," balas sang adik."Oh." Zinnia mengangguk-anggukkan kepalanya."Kak Rey mau? Aku buatin," tawar sang adik yang tak diketahui namanya itu. Ingin rasanya Zinnia menanyakan nama sang adik. Akan tetapi ia takut akan membuatnya bertambah bingung."Nggak usah. Biar mb-kakak buat sendiri aja," balas Zinnia masih tersenyum. Ia lalu megambil sebuah cangkir berukuran sedang dan segera membuat teh celup yang sama dengan adik Rey.Gadis itu kemudian duduk di hadapan laki-laki itu. Sang adik masih terus menatapnya. Karena canggung, adik Rey pun memainkan ponselnya sendi
Zinnia sudah kembali ke dalam tubuhnya sendiri di hari berikutnya. Ia bersyukur atas jiwanya yang telah kembali, eh. Satu hari sebelumnya bahkan terasa seperti mimpi. Meski ia terjebak di dalam tubuh pria menyebalkan seperti Rey, tetapi keluarga laki-laki itu benar-benar hangat. Sungguh keluarga yang bahagia di matanya. Gadis itu jadi teringat dengan kedua orangtuanya yang tinggal di desa. Rindu.Setelah terbangun dari tidurnya, Zinnia baru sadar bahwa pakaiannya telah berganti. Berbeda dengan pakaian yang ia pakai di hari sebelumnya. Ia hanya memakai tank top dan hot pant. Ternyata Rey telah melanggar janjinya. Tunggu, memangnya sejak kapan mereka membuat janji? Gadis itu bahkan tak nyaman dengan pakaian dalam yang dipakainya. Terutama bra yang ia pakai. Pengaitnya tak terpasang dengan benar."Parah tuh cowok," sungut Zinnia sembari membetulkan pakaiannya. Ia membayangkan bagaimana Rey kesusahan mengenakan pakaian wanita. Rona merah pun muncul di ked
Hari ini merupakan hari kedua Zinnia bekerja. Gadis itu selalu rutin bangun pagi. Namun, dirinya kembali dibuat heran. Gadis itu kembali bertukar jiwa dengan pria asing bernama Rey yang ia temui lima hari yang lalu. Kini ia kembali berada di atas tempat tidur besar dan mewah milik Rey."Duh Gusti. Kenapa kejadian lagi?" gumam Zinnia frustasi sembari mengusap wajah Rey dengan kedua tangannya.Gadis itu kemudian beranjak dari tempat nyaman dan empuk itu. Kembali melakukan hal yang sama saat pertama kali ia berada di tempat itu. Setelah selesai, Zinnia memeriksa ponsel mahal milik Rey."Nggak dipassword lagi?" gumamnya. Ia merasa Rey sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.Belum sempat ia memasukkan nomornya, panggilan datang. Panggilan itu dari nomor ponselnya sendiri. Ternyata Rey menghubunginya terlebih dulu."Halo?""Ternyata kamu sudah bangun ya, cewek bar-bar?" tanya Rey dengan suara wanita milik Zinnia."Ap
Mobil itu pun meninggalkan kontrakan kecil milik Zinnia. Setelah tak terlihat lagi, Zinnia yang berada di dalam tubuh Rey langsung menarik lengan kecilnya dan menutup rapat pintu kontrakan itu. Zinnia menatap dirinya sendiri dari atas ke bawah dan kebalikannya."Kamu gak macem-macem, kan?" tanya Zinnia curiga."Ngapain juga macem-macem," balas Rey tanpa menatap kedua matanya sendiri. Zinnia hanya menaikkan kedua alisnya."Mana ponselku?" tagih Rey meminta ponselnya."Nih!" Zinnia memberikan ponsel itu pada sang pemilik asli. Gadis itu pun berjalan memasuki kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya."Jadi, sekarang kamu harus mandi! Aku udah lakuin perintah kamu, kamu harus berangkat kerja gantiin aku hari ini!" ujar Zinnia saat ia sudah kembali ke ruang tamu. Rey masih sibuk dengan ponselnya."Dengerin gak sih?" sungut Zinnia kesal."Iya denger." Rey membalas tatapan kesal Zinnia. Mereka pun saling bertatapan."Jadi cepat mandi!
Di hari ke enam, gadis itu kembali bekerja di SJ Grup. Ia sudah kembali ke tubuhnya. Pada hari sebelumnya ia terpaksa sudah berani izin tidak bekerja. Padahal ia baru saja diterima di perusahaan besar itu.'Semoga aku gak dipecat sama Pak Direktur,' batin Zinnia penuh harap."Zin. Kamu udah sembuh? Kata Pak Ketua kamu sakit," tanya Desi tatkala gadis itu duduk di kursi kerjanya. Zinnia menatap seniornya dan tersenyum tipis. Ini semua gara-gara Rey yang membuat izin palsu untuknya."Sudah sembuh kok, Mbak Des," jawab Zinnia terpaksa berbohong."Syukur deh kalau udah sembuh. Tapi lain kali kalau gak parah-parah amat jangan izin ya! Nanti kamu bisa dipecat kalau sering izin," ucap Desi memperingatkan."Ba-baik, Mbak. Akan aku usahakan. Makasih ya, Mbak," tutur Zinnia sembari menganggukkan kepalanya.Gadis itu kini kembali berkutat dengan layar monitor pada meja kerjanya. Melanjutkan pekerjaannya yang tertunda di hari sebelumnya. Hingga seorang
"Mas Rey?" gumam Zinnia. Mata gadis itu membulat saking kagetnya.Tertulis di atas meja kerja itu sebuah nama dan jabatan pria yang beberapa hari ini membuatnya kesal. Reyner Eka Sukmajaya, seorang Direktur Utama di SJ Grup. Dan nama SJ Grup diambil dari nama belakang pria itu. Zinnia tersadar bahwa selama ini ia berlaku kurang ajar pada atasannya. Dan inilah mengapa ia tak dapat bertemu pria yang bertukar jiwa dengannya. Strata mereka jauh berbeda."Kamu pasti tahu kan kenapa manajer Dani memanggilmu?" tanya Rey dengan sengaja. Zinnia hanya terdiam. Ia masih syok dengan apa yang dilihatnya."Kamu dipecat karena tidak bekerja di hari keduamu," imbuh Rey dengan suara dinginnya yang berat. Memangnya salah siapa Zinnia jadi tak berangkat kerja, Rey?"Maaf, Mas. Eh, Pak. Tapi kan yang membuat izin kemarin Pak Reyner. Bukan saya. Jadi, secara teknis itu Pak Reyner yang tidak masuk kerja," ujar Zinnia mencoba membela diri. Sebenarnya ia sangat kesal. Akan tetap
Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada hari Kamis itu Zinnia dan Rey kembali bertukar jiwa. Dengan terpaksa Zinnia harus berpura-pura menjadi direktur utama perusahaan SJ Grup. Perusahaan besar yang bergerak di bidang properti. Hari itu juga, saat Zinnia sedang bersiap berangkat ke kantor dari rumah mewah Rey, ia melihat sang pemilik SJ Grup secara langsung. Bahkan ia dapat duduk pada satu meja makan yang sama.Berbeda dengan Rey, sosok Haris Sukmajaya begitu berwibawa. Pria yang sudah berusia enam puluh tahun lebih itu masih terlihat segar bugar. Tampaknya Haris sudah merawat tubuhnya dengan baik.Suasana begitu sunyi saat semua orang menikmati makan paginya. Hanya terdengar suara sendok logam dan piring keramik yang saling beradu. Setelah selesai, Zinnia yang terjebak di dalam tubuh Rey hanya bisa diam. Ia tak ingin membuat kesalahan di depan mata pemilik perusahaan itu. Sekarang gadis itu baru tahu, tingkatan dirinya dan sang direktur utama sangatlah berbeda.