"Clay ..." Suara itu, membuat Clarissa makin degdegan. Tenang, lembut, dan meneduhkan. Dulu suara seperti ini dia dengar dari papanya.
"Semua yang kamu lewati, mengajar kamu untuk jadi gadis yang kuat. Yakinlah itu."
Clarissa terdiam. Selama ini tidak ada yang bicara seperti ini padanya. Bahwa hal buruk yang membuat dia kecewa akan menjadikan dia orang yang kuat?
"Tanpa papa, kamu sekarang jadi wanita dewasa. Itu hebat. Dan di depan ada masa depan menunggu. Banggalah dengan diri kamu." Diaz melanjutkan.
Clarissa ingin menangis keras mendengar kalimat itu. Andai Diaz ada di depannya mungkin dia akan peluk kuat-kuat. Karena Clarissa merasa hatinya pilu, tapi juga ada rasa tenang menyusup di sana. Dia ingin Diaz yang di sisinya membuat dia makin tenang.
"Aku ga mikir, Kak. Yang kujalani ya udahlah. Abis SMA, ya kuliah. Ntah nanti kayak gimana, aku ga tahu." Clarissa menjawab, seperti pasrah dengan hidup.
Diaz bisa merasakan Clarissa hanya sekedar menjalani masa hidup, tanpa tahu apa tujuan yang ingin dia raih. Karena memang tidak ada yang membimbing dia. Diaz bisa menduga Clarissa memilih jurusan yang sekarang dia tempuh di perkuliahan hanya karena ada teman yang masuk di fakultas yang sama. Diaz bukan kali pertama menemui mahasiswa seperti ini.
"It is okay. Mulai sekarang kamu bisa mulai, pikirkan kamu mau seperti apa setelah di wisuda nanti. Ya, meski masih dua tahun lebih." Diaz melanjutkan mengajak Clarissa melebarkan pikirannya.
"Hmm ... Kalau kita ketemu, bisa diskusi kan, Kak?" tanya Clarissa.
"Sure. Bisa aja," sahut Diaz.
"I wait for the time. Makasih banyak buat hari ini." Clarissa rasanya senang sekali. Pintu makin lebar dia mendekat pada dosen ganteng itu.
"Oke. Bye." Diaz menutup telpon.
Clarissa tersenyum lebar. Hatinya makin berbunga. Kesempatan untuk bersama Diaz lebih sering di depan mata. Lebih dari itu, dia punya tempat mengaduh sekarang. Diaz seolah membuka diri untuk kapan saja Clarissa curhat dia akan siap.
"Aku tidak salah cinta sama kamu, Kak Diaz. Aku ga akan sia-siakan kesempatan ini. Aku ga nyangka, aku menemukan kamu. Bukan. Kamu datang di depanku. Ahh ..." Clarissa merebahkan badan. Dia pejamkan mata dan tampak dalam pikirannya Diaz tersenyum padanya.
*****
Clarissa sampai di perpustakaan. Adimasta sudah menunggunya. Sesuai kesepakatan mereka, saat Clarissa mengembalikan buku, maka Adimasta yang ganti meminjamnya.
"Bentar, ya. Aku balikin dulu.' Clarissa menuju counter. Adimasta menguntitnya.
Clarissa menyerahkan buku pada penjaga perpustakaan. Lalu Adimasta langsung menyampaikan dia meminjam dua buku yang sebelumnya dipinjam Clarissa.
"Dua buku? Bukan yang ini saja?" Clarissa menunjuk buku yang dia maksud.
"Sekalian. Kayaknya ini juga bisa jadi referensi." Adimasta tersenyum.
"Terserah Bapak Adi saja." Clarissa balik badan hendak keluar.
"Clay!" Adimasta sedikit berteriak, dia agak tahan suaranya agar tidak terdengar keras.
Clarissa balik badan. Dia memandang Adimasta.
"Tunggu bentar." Adimasta meminta Clarissa menunggunya.
Tiga menit berikutnya, Adimasta sudah keluar menemui Clarissa yang menunggu di depan pintu.
"Apaan?" tanya Clarissa. Dia memandang Adimasta, ingin tahu apa yang Adimasta mau katakan.
"Tugas. Yang ini ..." Adimasta mengeluarkan buku dari tasnya. Itu buku catatan apa saja sehubungan dengan perkuliahan, semacam agenda hal-hal yang perlu dikerjakan.
Clarissa memperhatikan Adimasta membuka buku itu lalu menunjukkan beberapa tugas mereka yang akan dikumpulkan dalam waktu dekat. Rapi dan terperinci. Detail dan lengkap. Itu yang Clarissa lihat. Ini cowok gitu banget, niat beneran kuliah. Beda dengan Clarissa yang kalau tidak ada Yenny, bisa hancur hasil belajarnya. Yenny yang selalu mengingatkan Clarissa kapan harus mengerjakan apa.
Adimasta bicara soal tugas yang Clarissa bahkan belum mikir. Justru Clarissa sekarang menyimpan di otaknya agar dia tidak terlewat tugas itu.
"Di, kayaknya aku harus rajin di sekitar kamu, deh," ujar Clarissa.
"Hah? Maksudnya?" Adimasta heran dengan perkataan itu.
"Biar kalau tugas itu kamu kerjain, aku tinggal ngikut," tandas Clarissa.
Adimasta nyengir. Clarissa memang, masih sama, semaunya. Dia tidak pusing kapan harus menyelesaikan tugas.
"Boleh aja. Dengan senang hati." Adimasta tersenyum.
Mereka berjalan meninggalkan perpustakaan, saatnya pulang. Sementara berjalan, Clarissa merasa ponselnya bergetar. Dia keluarkan ponsel yang ada di tasnya.
"Papa?" Clarissa berhenti dan langsung menerima panggilan itu.
Adimasta ikut berhenti dan memperhatikan wajah Clarissa yang tiba-tiba tegang, sedikit memerah.
"Pa ..." ucap Clarissa. Hatinya berdegup bisa bicara dengan papanya lagi setelah sekian lama tidak ada kontak.
"Apa kabar, Nak?" Suara itu, Clarissa rindu. Clarissa juga rindu bertemu papanya.
"Aku baik." Clarissa menjawab dengan mata berkaca-kaca. "Papa gimana?"
"Baik juga. Kamu di mana?" Arlon lega putrinya mengatakan dia baik-baik saja.
"Masih di kampus, Pa. Bentar lagi pulang." Clarissa mengusap ujung matanya yang mulai basah.
Adimasta terus memperhatikan Clarissa.
"Oke. Kuliah kamu baik?" Arlon kembali bertanya.
"Ya ... gitu, deh. Kadang-kadang baik, kadang ga juga." Clarissa menarik bibirnya, tersenyum tipis.
"Kapan libur? Bisakah kamu ke sini?" Arlon juga merindukan putrinya. Meskipun tidak mudah bisa bertemu. Karena situasi dan dia sibuk sehingga sulit mengatur waktu.
"Papa jangan minta aku datang. Jika Papa mau ketemu aku, Papa ke sini. Papa tahu aku tidak bisa bertemu keluarga Papa. Maaf." Dan Clarissa menutup telpon. Hatinya panas. Dia masih sulit menerima kenyataan papanya milik orang lain. Kemarahan di dadanya yang belum juga dia singkirkan sebagai penyebabnya.
Adimasta masih menatap Clarissa. Satu lagi sisi diri Clarissa yang dia lihat. Gadis periang dan sedikit angkuh ini, sedang terluka. Dan dia tidak mau mengobati lukanya. Luka itu hanya tidak dia pedulikan.
"Kenapa lihat aku kayak gitu?" tanya Clarissa sambil memandang Adimasta.
"Aku tahu kamu ada masalah dengan papa kamu. Boleh aku menjadi tempat curhat kamu? Biar kamu lega, Clay. Dan keceriaan kamu memang tulus. Bukan untuk menutupi hatimu yang pedih."
"Apa kamu bilang?! Hidupku sedih? Sok tahu!!"
"Di ..." Tangan Clarissa melambai di depan muka Adimasta. Adimasta gelagapan. Lagi-lagi dia melamun.
"Suka banget bengong. Atau terpesona dengan kecantikanku?" Clarissa memainkan alisnya.
Adimasta nyengir.
"Jawab, Pak," ujar Clarissa.
"Ayo pulang." Adimasta berjalan mendahului Clarissa.
"Eh, ini Bapak Adi, sukanya bertingkah misterius," tutur Clarissa. Dia mengikuti Adimasta.
"Biar klop. Kamu suka bertingkah antik." Adimasta melirik Clarissa. Dia naikkan kacamatanya.
Clarissa tersenyum lebar. Mereka berpisah di tempat parkir. Clarissa menuju mobilnya, Adimasta melangkah ke deretan motor. Adimasta tidak segera pergi, dia tunggu hingga Clarissa lebih dulu berangkat.
"Ga salah aku cinta kamu, Clay. Aku ingin mengobati lukamu. Aku pasti akan membuat kamu selalu senyum. Senyum yang tulus." Hati Adimasta berbisik.
Sekarang Adimasta naik ke atas kendaraan roda duanya. Segera dia melaju di jalanan yang makin ramai. Lima belas menit Adimasta sampai di rumah. Baru dia parkir motor, kakaknya keluar dari rumah.
"Berangkat, Kak?" Adimasta menyapa wanita berkulit sama putihnya dengan Adimasta. Rambutnya hitam legam, lurus, dan lebar.
"Hai! Kamu baru pulang?" Wanita itu balik bertanya.
"Ya. Kakak ngajar sore ini?" tanya Adimasta lagi.
"Yup. Aku buru-buru. Makan malam belum sempat nyiapin. Mama dan papa malam baru sampai. Kamu masak sendiri atau pesan online food. Oke?" Kakak Adimasta bicara sambil terus menuju motornya yang ada di sebelah motor Adimasta.
"Siipp!!" Adimasta menyahut lalu dia masuk dalam rumah.
Sampai di kamar, Adimasta baru ingat sesuatu. Dia harus menghubungi Clarissa. Adimasta menelpon gadis itu. Beberapa kali dicoba tidak juga diangkat. Apa Clarissa masih di jalan?
Clarissa baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mau charge ponselnya. Saat dia keluarkan dari tas, ada beberapa kali telpon masuk dari Adimasta. Ada apa cowok itu telpon? Apa ada yang penting? Clarissa mengirim chat, karena dia harus isi data ponselnya. Dia bertanya kenapa Adimasta sibuk mencarinya. Balasan Adimasta cepat datang. Dia menanyakan apakah buku agenda tugasnya terbawa Clarissa. Clarissa tidak merasa, tapi dia akan cek dulu. Ponsel kembali diletakkan dan Clarissa membuka tasnya. Ternyata ada. Buku itu terselip dengan buku yang Clarissa pinjam. Clarissa penasaran, apa saja isi buku Adimasta. Dia duduk di meja belajarnya dan mulai membuka lembar demi lembar di buku itu. Clarissa tersenyum. Rapi, tertata, sistematis, ya itu Adimasta. Pemuda baik, ramah, dan cerdas. Sayang, di mata Clarissa, Adimasta terlihat seperti cowok tidak tegas dan lemah. Karena itu Clarissa tidak pernah menaruh hati padanya, meskipun ada beberapa teman mereka yang naksir cowok sipit itu. Cat
Dengan kesal Clarissa masuk ke dalam mobilnya. Kenapa harus Adimasta?! Dia memang tidak tertarik cowok pada itu. Tapi sejauh ini, Adimasta salah satu teman cowok yang cukup menyenangkan buat Clarissa. Setelah Clarissa tahu hati Adimasta padanya, dia hanya ingin menjauh saja. Yenny yang duduk di sebelah Clarissa tahu temannya itu benar-benar kesal. Yenny pun sama, tidak menduga jika Adimasta punya rasa buat cewek yang kadang jelas kadang ngacau itu. Di mata Yenny, cowok model Adimasta akan menyukai cewek kalem, tenang, sopan, dan lembut. Tapi ternyata, dia suka Clarissa? Seperti tidak masuk di otak Yenny. "Kamu buat apa marah? Itu urusan Adi mau suka atau nggak sama kamu. Selama ini ga bikin ribet hidup kamu, biarin." Yenny menenangkan Clarissa. "Tahu, ah. Aku mau kejar Kak Diaz. Pusing amat sama yang lain." Clarissa melajukan mobilnya. Saat berada di dekat gerbang, dia lihat Adimasta di atas motornya. Dia berhenti di pinggir jalan, sedang me
"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara. "Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita. "Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita. Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa. "Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan. "Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny. "Mama, ihhh," Clarissa manyun. "Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi. Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh. "Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu. "Dokt
Tiga hari Clarissa tinggal dengan Rosita. Setelah kondisi mamanya membaik, Clarissa kembali ke tempat kosnya. Tapi komunikasi dengan Rosita lebih intens. Clarissa mau memastikan mamanya tidak drop lagi.Yenny juga lega, Clarissa sekarang kembali ceria. Kembali jutek dan seenaknya. Memang bikin kesal kelakuan temannya itu. Tapi begitulah Clarissa."Gimana mama kamu? Masih maksa buat cari calon suami buat kamu?" Yenny bertanya. Mereka sedang menunggu kelas berikutnya. Kelas Diaz."Ya, tapi ga ngotot. Aku bilang sama Mama, aku pasti bisa cari calon suami sendiri. Aku akan segera kenalkan pada mama kalau sudah jadian sama dia." Clarissa menjawab sambil membuka botol minumnya."Ooh? Mama kamu sepakat?" tanya Yenny lagi."Hmm-mm. Aku bilang paling lama tiga bulan aku akan bawa calon mantu buatnya." Dengan santai Clarissa menjawab lagi. Lalu dia meneguk air di botolnya."What? Tiga bulan? Kamu yakin?" Yenny menga
Tubuh tinggi dan gagah itu menjauh. Diaz tidak menoleh lagi pada Clarissa. Dengan tatapan pilu dan hati kecewa, Clarissa masih berdiri di tempatnya. Diaz menolak cintanya. Hubungan dekat mereka selama ini, kepedulian Diaz padanya ternyata hanya sebatas kakak dan adik. Tidak lebih.Yenny benar. Diaz tidak jatuh hati padanya. Clarissa terlalu percaya diri. Sekarang, ketika dia sudah merencanakan semua dengan baik, hasilnya nihil. Clarissa ditinggalkan."Kak Diaz, kamu jahat. Aku sangat sayang sama kamu. Kamu juga menunjukkan jika kamu sayang sama aku selama ini. Nyatanya?" Clarissa mengepalkan tangannya geram.Dalam hati Clarissa sangat marah. Dia tidak dianggap. Lagi, penolakan dia terima. Papanya meninggalkan dia. Mama tidak peduli hatinya. Sekarang, pria yang Clarissa harap bisa membalut semua pedih yang selama ini dia rasa, juga mengecewakan dia. Kenapa hidup tidak ada di pihaknya sama sekali?"Tapi bukan Clarissa kalau begini saja mundur.
Yenny menatap Adimasta. Pemuda sipit dengan kacamata itu kembali menghadap ke arahnya. Adimasta tidak salah dengar yang Yenny tanyakan. Ya, Yenny pasti tahu soal dia cinta Clarissa. Clarissa tidak mungkin tidak menceritakan kejadian dia di taman belakang kampus, terpaksa mengakui hatinya pada gadis nyentrik itu. "Ya. Aku sayang dia, Yenny." Akhirnya Yenny mendengar sendiri dari bibir tipis Adimasta. Yenny mengembuskan nafasnya, masih tidak bisa percaya. Sampai sekarang, Yenny merasa aneh Adimasta bisa jatuh cinta pada Clarissa. Karena di pandangan Yenny, karakter mereka ke mana-mana dan sampai kapan juga tidak akan mungkin nyambung. "Aku juga ga tahu, gimana bisa kayak gini." Adimasta menaikkan kacamatanya ke posisi semula. "Kamu tahu dia cinta Pak Diaz." Yenny masih memandang Adimasta. "Aku tahu. Dan Pak Diaz ga mungkin cinta Clarissa. Aku mau dia baik-baik saja." Adimasta tersenyum tipis. "Kamu yakin sanggup tetap sayang Clarissa? Dia kelakuan kayak gitu," ucap Yenny. "Aku pin
Meskipun sudah dua kali Diaz dengan tegas menolaknya, Clarissa tidak mau menyerah. Dia tidak akan mundur. Dia ingin membuktikan pada mamanya kalau dia bisa mendapatkan pria yang tepat buat dirinya. Dengan begitu, dia tidak akan dipaksa untuk menerima salah satu anak teman mamanya. Selain itu, Clarissa bisa membuat mamanya lebih tenang, seandainya kondisi kesehatannya memburuk. Clarissa baru saja masuk ke dalam mobil saat mamanya menelpon. Rosita ingin bertemu putrinya. Clarissa mengurungkan niat akan ke tempat kos, dia memutar haluan menuju rumah. Belakangan Rosita lebih banyak bekerja dari rumah. Perusahaan tempatnya bekerja mengerti kondisinya dan mengalihkan tugas yang harus dia selesaikan dengan lebih leluasa, yang bisa dikerjakan tanpa harus setiap hari datang ke kantor. Rosita tersenyum melihat putrinya datang. Clarissa sudah tidak enggan pulang, meski memang dia merasa lebih nyaman di tempat kos karena kesibukan gadis itu di kampus dan di sekitarnya. Clarissa berjalan mendekat
Mata Clarissa masih memandang mama dan kakak Adimasta. Entah kenapa mereka tertawa. Yang Clarissa yakin mereka menertawakan Adimasta. "Maaf, Clarissa. Aku suka bercanda kayak gitu. Adimasta terlalu datar dan kaku. Makanya aku juluki dia kayu." Senyum lebar masih di bibir Anindita, dia menjelaskan apa maksud kata-katanya tadi. "Ohhh ..." Clarissa ikut tersenyum. "Tapi dia baik. Anaknya rajin dan tekun. Ga pernah bikin repot dari kecil. Tante bersyukur punya anak laki-laki tapi ga buat sakit kepala." Mama Adimasta sekarang ikut berkomentar. "Aihh, promosi. Mama ini!" Anindita melirik mamanya. "Hee hee ..." Mama Adimasta kembali tersenyum lepas. "Nggak maksud, Anin. Mama cuma bilang apa adanya." Clarissa kembali tersenyum, tipis. Dalam hatinya dia bicara sendiri. Apa reaksi ibu dan anak ini kalau tahu Adimasta cinta pada Clarissa? Kira-kira mereka akan senang atau marah-marah? "Tante, Kak, aku balik ke tempatku. Mari." Clarissa memilih minggir. "Ya, silakan. Kami juga balik ke mej