Share

6. Kecewa dan Marah

Clarissa bisa maklum jika Yenny tidak sepakat dengan dirinya. Pasti sama seperti teman yang lain, jika mereka tahu Clarissa mengejar dosen baru mereka, akan muncul cibiran dan sindiran. Tapi bukan Clarissa namanya kalau akan mundur hanya karena kata orang. 

"Yenny, langkah awal sudah dapat poin, tinggal meneruskan saja. Hm? Aku yakin bisa meluluhkan hati dosen kita." Clarissa menepuk pipi Yenny. 

"Clay, lebih baik fokus belajar, dah. Jangan macam-macam. Dosen kayak Pak Diaz pasti maunya dapat wanita elegan, bukan slengekan kadang rada ga jelas seperti kamu." Mulut ceplas ceplos Yenny mulai tak terkendali. 

"Terserah mau bilang apa. Hari ini langkah pertama. Semua mengarah pada tujuan yang mulia, bersanding dengan pria idaman. Kenapa aku harus mikir yang lain? Tantangan itu wajar saja, bikin perjuangan makin berarti." Clarissa pindah memencet hidung Yenny. 

"Hei, tangan itu dikondisikan. Jangan muka orang jadi sasaran mulu," tukas Yenny kesal. 

Clarissa ngakak, dia beranjak menuju ke kamarnya. Paling lega kalau sudah sampai kamar, berbaring di kasur paling menyenangkan. Segera Clarissa mandi dan berganti pakaian, lalu melompat ke atas kasur. 

Seperti biasa, Clarissa menengok ke sosmed. Clarissa merasa leleh seperti menyingkir dengan melihat macam-macam yang dia temukan di sana. Postingan teman-temannya, mencari info menarik, atau melihat hal-hal unik yang kadang hanya postingan lucu yang tidak penting. 

Clarissa tidak akan lupa cek juga ke akun Diaz. Sedikit kecewa karena tidak ada yang berubah. Dosen itu tidak terlalu suka sosmed tampaknya. Tidak ada postingan baru di sana. Tapi, ada satu tag dari postingan seseorang yang menyebut nama Diaz. Clarissa memperhatikan baik-baik. 

Foto bersama, seperti foto keluarga. Clarissa membaca caption tentang gambar itu. 'Family is everything. Senang sekali bisa ngumpul sama-sama. Pasti segera kangen lagi bisa barengan lagi.'

Clarissa melihat yang memposting itu siapa. Seorang gadis, masih remaja. Clarissa menduga mungkin adik Diaz atau keponakannya. Dari tampang dan gayanya mungkin masih SMP atau baru SMA. 

"Family is everything?" Clarissa membisikkan kalimat itu. Ada rasa tidak nyaman menyusup mengatakan itu. Yang jelas, buat Clarissa, family, keluarga, bukan segalanya. Yang dia rasa dalam keluarga hanya kecewa dan marah. Meskipun sekarang dia tidak lagi terlalu peduli, sebenarnya di dasar hatinya rasa kecewa dan marah itu belum pernah hilang. 

Ingatan Clarissa terbawa pada kisah pilu di rupanya. Saat itu dia baru kelas 6 SD, tidak lama lagi dia akan lulus. 

"Aku menyesal menikah dengan kamu. Dasar laki-laki hidung belang! Kenapa mataku buta ga bisa lihat kalau kamu tipe pria ga bisa tahan sama satu wanita?!" Teriakan Rosita pada Arlon, papa Clarissa. 

"He! Aku bukan sembarang cari wanita. Kamu aja istri ga becus, makanya aku sampai cari yang lain. Urus rumah dan anak cuma satu ga beres, mana suami betah?!" Arlon tidak mau kalah membantah Rosita. 

Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Hingga beberapa bulan kemudian, tepat saat Clarissa dinyatakan lulus dari sekolah dasar, kedua orang tuanya berpisah. 

"Papa!! Papa ga sayang aku?! Papa tega pergi tinggalin aku?!" Clarissa menangis berderai-derai. Di peluk papanya kuat-kuat, meminta papanya tidak keluar rumah. Arlon sudah siap dengan koper besar dan akan segera pergi. 

Arlon pun memeluk Clarissa erat. Tentu dia sayang putrinya, tapi pernikahan tidak bisa dia pertahankan. Dia dan Rosita hanya saling menyalahkan, ga bisa bicara, terus saja saling menyakiti. Berpisah, seakan jadi jawaban terbaik. 

"Hhufffhhh ..." Clarissa mengembuskan nafas berat. "Papa ..."

Di awal Arlon pergi, Clarissa masih sering ditelpon, ditengok setidaknya seminggu sekali. Sayangnya, setelah Arlon menikah lagi, dia mulai sibuk dengan istri barunya, dengan keluarga istrinya yang juga perlu support darinya. Apalagi dua tahun setelah menikah, Arlon pindah tugas ke kota lain. Makin jarang berkomunikasi. Yang pasti, uang bulanan buat Clarissa tidak pernah telat masuk rekening. 

"Kadang aku kangen banget. Pingin kayak dulu, Pa. Papa main sama aku, bercanda bikin aku ngakak. Tapi papa bukan buatku sekarang." 

Tangan Clarissa iseng membuka akun sosmed Arlon. Foto keluarga bahagia terpampang di depan mata Clarissa. Arlon tersenyum lebar memeluk anak laki-laki kecil usia 6 tahun. Dia tampan sekali. Terlihat bahagia dalam pelukan Arlon. Di samping mereka, seorang wanita muda, juga tersenyum riang. Cantik. Wanita sederhana. Wanita seperti itu yang Arlon dambakan. Dan jelas jauh beda dengan Rosita. 

Air mata Clarissa menitik. Pipinya basah. Rasa sedih dan pilu kini merambah hati Clarissa. Dulu dia merasakan pelukan hangat dan senyum menyenangkan pria itu. Sekarang, Clarissa seperti tinggal kenangan belaka buat Arlon. 

"Family is everything ... Ternyata buatmu berlaku, Pa. Aku dan mama tetap kayak gini. Sekedar menjalani hidup. Kenapa aku ga bisa merasakan happy kayak papa? Apa aku ga pantas dapat keluarga yang bahagia juga?" Clarissa mengusap pipinya yang masih belum kering. 

Masa bahagia punya orang tua lengkap sudah makin lama hilang. Clarissa tak ingin mengingat lagi atau hanya akan menambah perih hatinya. Tapi jauh di dasar hati, dia tetap mengharapkan itu. Kasih sayang seorang papa, yang selalu ada saat dia butuh. 

"Apa papa ga kangen aku? Apa memang punya anak laki-laki cukup dan aku tak penting lagi?" bisik hati Clarissa lagi. 

Entah karena galau yang makin dalam, tangan Clarissa masih scroll asal di ponselnya. Dia mengirim pesan begitu saja. 

- Aku kangen papa. Papa apa kabar? 

Lalu dia letakkan ponsel, merebahkan badan dan dia pejamkan matanya. 

Hampir tertidur, Clarissa mendengar getaran dari ponselnya. Dia membuka mata dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya. 

Mata Clarissa seketika melotot lebar. Pesan masuk dari Diaz. Dan Clarissa makin terkejut saat sadar, pesan yang dia kirim tadi bukan ke nomor papanya, tapi ke nomor dosen ganteng pujaannya. 

"Ya Tuhan ... Clay, kamu tadi ngapain?!" ujarnya kesal dan merasa bodoh. 

- Hai, Clarissa. Kamu baik-baik saja?

Itu pesan yang Diaz tuliskan. Clarissa cepat membalas pesan itu. 

- Maaf, Kak, salah kirim. Maunya ke papaku. Beneran, ga sengaja. 

"Aduh, Clay, bikin malu aja. Jangan bengong, iihhh ..." Clarissa merasa wajahnya panas. Malu sekali rasanya. 

- Oh, oke. Serius kamu ga apa-apa?

Clarissa membaca lagi pesan Diaz. Ini dosen baik banget. Dia beneran mau tahu Clarissa kenapa? Clarissa berpikir, apa tidak masalah kalau dia bicara sama dosen itu. Tapi ini kesempatan dia makin dekat sama Diaz, bukan? 

- Kalau aku cerita ga apa-apa? 

Clarissa memastikan dosennya memang ingin tahu tentang dirinya. 

- Ya, if you are okay to tell, it is okay. 

Clarissa mulai menulis pesan panjang. Dia katakan rindu papanya, karena lama tak berkomunikasi. Sesekali itu pun hanya sekedar say hello dan memberi kabar. Papanya sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya sendiri. 

Entah bagaimana, semua kesal dan kecewa akhirnya tertuang. Clarissa seolah menulis cerpen saja pada Diaz. Diaz tidak terkejut jika Clarissa punya masalah keluarga. Itu tampak dari tingkah lakunya yang ingin jadi pusat perhatian. Tapi yang Diaz tidak mengira, jika gadis cantik ini kekurangan kasih sayang. Bukan hanya dari papanya yang telah meninggalkan dia, juga dari mamanya yang tidak memahami Clarissa. 

Diaz dengan sabar menunggu Clarissa menumpahkan semua. Dia ingin mengerti betul seperti apa mahasiswa istimewa ini. Setelah tulisan berderet-deret itu, Clarissa menutup dengan satu kalimat yang membuat Diaz tersenyum. 

- Maafkan daku, Kak, membuat rempong karena galau yang tak kunjung padam. 

Dan balasan Diaz membuat Clarissa makin dag dig dug. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status