Home / Romansa / Look At Me! / 8. Jangan Berharap Apapun

Share

8. Jangan Berharap Apapun

last update Last Updated: 2021-05-11 19:48:19

Clarissa baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mau charge ponselnya. Saat dia keluarkan dari tas, ada beberapa kali telpon masuk dari Adimasta. Ada apa cowok itu telpon? Apa ada yang penting? 

Clarissa mengirim chat, karena dia harus isi data ponselnya. Dia bertanya kenapa Adimasta sibuk mencarinya. Balasan Adimasta cepat datang. Dia menanyakan apakah buku agenda tugasnya terbawa Clarissa. Clarissa tidak merasa, tapi dia akan cek dulu. 

Ponsel kembali diletakkan dan Clarissa membuka tasnya. Ternyata ada. Buku itu terselip dengan buku yang Clarissa pinjam. Clarissa penasaran, apa saja isi buku Adimasta. Dia duduk di meja belajarnya dan mulai membuka lembar demi lembar di buku itu. 

Clarissa tersenyum. Rapi, tertata, sistematis, ya itu Adimasta. Pemuda baik, ramah, dan cerdas. Sayang, di mata Clarissa, Adimasta terlihat seperti cowok tidak tegas dan lemah. Karena itu Clarissa tidak pernah menaruh hati padanya, meskipun ada beberapa teman mereka yang naksir cowok sipit itu.

Catatan yang ada di buku itu menunjukkan seperti apa Adimasta. Tapi Clarissa merasa membosankan sekali dengan gaya seperti cowok ini. Tidak ada gregetnya, tidak ada tantangan dan petualangan seru. Datar. Catatan terhenti sampai di bagian akhir Adimasta menulis. Hari ini. 

"Benar-benar tertata. Seperti rak yang licin, cantik. Adi, Adi ..." Clarissa menutup buku itu. Dia letakkan di meja, tapi karena terlalu minggir, buku itu terjatuh.

Clarissa menunduk mengambilnya. Dia balik, tepat bagian tengah buku terbuka. Mata Clarissa melotor, mulutnya menganga. Dia tidak percaya apa yang dia lihat di situ.

Nama Clarissa tertulis dengan bagus di sana. Bentuknya unik dengan ukuran lumayan besar. Danbi bawahnya ada tiga kata yang membuat Clarissa makin tak bisa berkedip. 

'CLARISSA -- i love you'

"Apa ini?!" Clarissa masih menatap buku itu.

Saat itu, ponselnya berdering. Adimasta menghubungi. Dengan cepat Clarissa menerima telpon Adimasta. 

"Clay, ada bukuku?" tanya Adimasta.

Clarissa berpikir dia mau bicara apa sekarang. Dia mau damprat itu cowok rasanya. Tapi, no way. Bukan begini caranya. Dia akan bertemu Adimasta besok dan selesaikan. 

"Clay?!" Adi memanggil lagi karena Clarissa diam saja. 

"Ya, ada." Datar, Clarissa menjawab. 

"Oh, oke. Please, bawa besok ya. Penting buat aku." Adimasta memastikan buku itu akan kembali padanya. 

"Ya, aku juga buat apa nyimpan buku kamu," tukas Clarissa. 

"Hee ... hee ... Iya. Makasih, Clay." Adimasta lega. Lega karena bukunya ada di Clarissa. Lega, Clarissa tidak bicara apapun soal isi buku itu yang juga berisi curahan hati Adimasta untuk gadis itu. 

Sebenarnya dari sejak sadar buku itu di tangan Clarissa, Adimasta sudah dag did dug. Yang dia kuatir kalau Clarissa tahu apa saja yang dia tulis di sana. Sepertinya Clarissa tidak melihat. Gadis itu memang kurang peduli. Lagian buat apa dia buka buku orang? Itu yang ada di pikiran Adimasta. Lebih tepatnya dia menenangkan dirinya. 

Clarissa menutup telpon. Tangan usil makin jadi. Dia balik lagi lembar-lembar di belakang. Kembali matanya melebar, ternyata ada beberapa lembar yang juga menorehkan bagaimana perasaan Adimasta pada Clarissa. 

'You are so beautiful today. Nice to see you here, Clay.'

'Wish you look at me. Coz i have a heart for you.'

Clarissa menatap tulisan itu. Sejak kapan cowok itu suka dengannya? Kenapa dia begitu rapi menyimpan perasaan sampai tak terbaca oleh Clarissa? Dan, beberapa waktu lalu, saat Clarissa minta dia pura-pura jadi pacarnya, kenapa dia menolak?

"Besok aku akan bereskan ini." Kali ini Clarissa menutup buku itu dan menyimpannya di dalam tas. Jangan sampai besok tertinggal. 

*****

"Clay, buku mana?" Begitu masuk kelas, Adimasta segera meminta buku agenda itu dari Clarissa.

Clarissa yang asyik lihat postingan di sosmed, mengangkat wajahnya. Dia sudah membuat planning gimana dia akan kembalikan buku itu. Dengan tenang, Clarissa mencari-cari di tasnya. 

"Ga ada. Ketinggalan." Clarissa kembali memandang Adimasta.

"Clay, serius?" tanya Adimasta. Sekarang Adimasta mulai gelisah. 

"Cuma agenda doang. Catat aja di kertas, di note di laptop, ponsel, apa kek." Tetap tenang, Clarissa memainkan alisnya.

Hati Adimasta tidak tenang. Dia merasa Clarissa sengaja melakukannya. Dan sangat mungkin dia sudah menemukan isi hati Adimasta di buku itu. 

"Selamat pagi semuanya!" Ibu dosen masuk kelas dan menyapa para mahasiswa. 

"Pagi, Bu." Sahutan terdengar dari beberapa mahasiswa.

"Clay ..." Adimasta masih memastikan buku itu ada pada Clarissa sekarang. 

"Kuliah mulai, Adi Cakra." Clarissa sedikit melotot pada Adimasta. 

Dengan terpaksa cowok itu beranjak, mencari tempat duduk. Tapi sepanjang kuliah Adimasta tidak tenang. Meski dia datar, tidak berekspresi, hatinya bergejolak. Akhirnya saat jam kuliah usai, dia kembali menemui Clarissa. 

"Taman belakang, sepuluh menit." Clarissa menatap Adimasta lalu dia meraih tasnya, berdiri dan meninggalkan kelas. 

Adimasta kali ini sangat yakin, Clarissa tahu. Dia tampak tidak suka. Adimasta menelan ludahnya. Entah apa yang akan Clarissa katakan. Adimasta harus hadapi ini. Mungkin ini saatnya Clarissa tahu apa yang dia rasa pada cewek unik itu. 

Di taman belakang, Clarissa duduk di kursi taman. Dia menunggu Adimasta dengan wajah juteknya. Adimasta mendekat, duduk di depan Clarissa. 

"Mana bukuku?" Seperti biasa datar Adimasta berkata. 

Clarissa tanpa berkata apa-apa mengeluarkan buku Adimasta dari dalam tasnya. Clarissa mengulurkan tangan memberikan buku itu. 

"Jangan berharap apapun dariku, Adi." Tatapan dingin muncul dari mata Clarissa. 

"Aku memang cinta kamu." Adimasta berkata dengan tenang, kata yang keluar satu satu, ciri khas Adimasta bicara. Dia tidak bisa lari, lebih baik selesaikan sekalian. 

"Kamu bukan tipeku. Aku ga akan tertarik dengan kamu." Clarissa melipat kedua tangannya di dada. Pandangan dingin masih menghujam Adimasta.

Seperti ini rasanya menghadapi cewek angkuh ini? Bukan barang baru, kalau Clarissa dikenal paling sok jaim pada para pria yang suka dengannya. Ternyata merasakannya sendiri sangat tidak nyaman. 

"Aku tidak pernah menata hatiku buat suka kamu. Aku tidak bisa menolak perasaanku." Adimasta tetap tenang. 

Clarissa cukup terkejut. Cowok ini, yang begini dianm, ternyata punya nyali? 

"Aku akan menganggap apa yang kulihat di buku itu tak pernah ada. Dan kamu, sekali lagi aku katakan, jangan berharap apapun. Sampai kapanpun aku tidak akan menerima kamu." Clarissa berdiri. "Buang jauh-jauh perasaan kamu. Atau pindahkan pada cewek lain yang lebih cocok buat kamu."

"Aku tidak akan melakukannya." 

Clarissa menoleh mendengar kata-kata Adimasta. Cowok ini menantangnya? 

"Jangan sampai kamu menyesal. Karena aku akan buktikan padamu, pria yang aku kejar, punya kualitas lebih dari kamu. Jauh lebih dari kamu." Clarissa sedikit mencondongkan badan, mendekat pada Adimasta. 

"Aku akan sabar menunggu, Clay. Jika kamu perlu sesuatu aku ada, buat kamu." Tidak ada ekspresi. Tapi ucapan Adimasta membuat Clarissa makin kesal. 

"Huuhhh! Konyol!!" Dengan kata itu Clarissa meninggalkan Adimasta. 

Adimasta memandang Clarissa yang terus menjauh tanpa menoleh lagi. Adimasta mengusap rambutnya yang hitam dan tebal. Dia tidak akan mundur. Dia sayang Clarissa, dia mau gadis itu hidup dengan baik. Dan dia yang akan ada di sisinya, mendampingi Clarissa menemukan kehidupan yang penuh cinta. Itu tekat Adimasta.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Look At Me!    97. Yang Kedua Segera Datang

    Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik

  • Look At Me!    96. Tetaplah Begini, Jangan Berubah

    Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.

  • Look At Me!    95. Hidup Itu Misteri

    Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.

  • Look At Me!    94. Pergi dengan Hati Bersih

    Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari

  • Look At Me!    93. Pertemuan yang Menegangkan

    Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap

  • Look At Me!    92. Peluk Aku, Jangan Lepaskan

    Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status