Hari ini adalah hari pertama Keira akan pergi berlatih untuk kontes di yayasan Green Hill. Pagi tadi, paman Moza menghubungi Keira dan memberitahu bahwa orang suruhannya akan menjemput Keira di halte dekat toko pukul enam sore nanti. Halte yang dimaksud memang sangat dekat dengan toko Bluestone, hanya berjarak empat bangunan saja. Halte tersebut berada tepat di depan toko buku yang cukup besar di kota ini.
Setelah selesai kuliah, Keira langsung menuju ke toko seperti biasa. Sore ini, ia ingin mulai menyicil untuk mengerjakan tugas mengaransemen lagunya di tempat paman Noir sambil menunggu waktu saat orang yang akan menjemputnya datang.
Keira mulai mencoba lagu "Canon" pada bait awal, lalu ia mencoba menekan beberapa tuts untuk sedikit diganti dan ditambah pada barisan melodinya. Beberapa kali ia mengulang bait awal karena dirasa masih belum tepat dan selaras. Kertas partitur Keira pun mulai banyak coretan di barisan paling atasnya. Ia benar-benar ingin membuat aransemennya kali ini menjadi kumpulan melodi yang sangat indah.
Paman Noir memperhatikan Keira yang sedari tadi berkutat dengan kegiatannya tersebut.
“Kau sedang mengerjakan apa, Kei? Tampaknya kertas itu sudah mulai lusuh karena coretan-coretanmu,” tanya paman Noir penasaran.
“Aku sedang mengerjakan tugas mengaransemen lagu, paman. Untuk bahan ujian semester tahun ini,” jawab Keira sambil menaruh kertas yang ia pegang dan berjalan menuju meja paman Noir.
“Canon? Itukan lagu yang sangat sering kau mainkan dari kecil.”
“Benar, paman. Aku lega sekali dosen tidak memilih lagu yang dapat menyulitkanku. Oh ya paman, aku dari kemarin lupa untuk mengabarimu. Aku telah menerima sebuah tawaran untuk tampil di kontes yayasan panti asuhan bernama Green Hill, hari ini jadwal latihannya dan ditambah hari Kamis dan Jum’at. Aku meminta ijin untuk tidak bekerja sampai malam dihari-hari itu ya, paman.”
“Baiklah, Kei. Tapi jangan lupa jaga pola makan dan kesehatanmu. Juga kuliahmu jangan sampai keteteran karena hal ini,” ingat paman Noir pada Keira.
“Baiklah, paman. Kau tahu paman, yang menawariku untuk tampil di sana adalah orang yang beberapa hari lalu membeli biola dari sini. Ia pemilik yayasan Green Hill itu sendiri, apakah kau ingat?” tanya Keira.
“Benarkah? Ya, aku mengingatnya.”
“Iya, saat itu ia tak sengaja melihatku bermain piano di sini. Saat itu aku bermain lagu nocturne op.9 no.2.”
“Ahh, iya. Tapi Kei, ini sepertinya adalah kali pertamanya kau akan tampil di depan umum. Maka aku harus datang untuk melihatmu,” kata paman Noir dengan mata berbinar.
“Baiklah, paman. Nanti aku akan berbicara pada paman Moza pemilik yayasan agar paman dapat menghadiri acara itu,” ujar Keira dengan senyum manis miliknya itu.
Waktu berjalan begitu cepat, kini jam telah menunjukkan pukul enam sore. Keira segera membereskan barang-barangnya dan bersiap menuju halte untuk menunggu jemputannya.
“Paman, aku pergi dulu!” teriak Keira sambil memasang earphone di telinganya dan berjalan keluar toko menuju halte.
“Hati-hati di jalan, Kei! Semoga latihanmu lancar!” sahut paman Noir dengan sedikit berteriak agar Keira yang sudah berlari keluar toko dapat mendengarnya.
Keira sampai di halte. Tepat saat ia sampai di sana, gerimis mulai datang. Entah ada apa dengan cuaca di kotanya saat ini. Padahal dari pagi sampai siang cuacanya sangat cerah, lalu barusan sekali tiba-tiba mendung datang dengan membawa hujan rintik-rintik.
Keira mengambil ponsel nya untuk mengubah lagu yang akan didengar. Ia pikir saat mendung gerimis seperti ini “Kiss in the Rain” merupakan lagu yang sangat tepat untuk didengarkan. Lagu itu mulai terdengar mengalun lembut di telinganya. Nadanya terdengar sangat mendayu-dayu. Ia merasa bahwa rasa sakit dari lagu tersebut sampai tepat di hatinya. Entah apa pesan sebenarnya dari lagu tersebut, namun rasa sakitnya sungguh terasa. Bahkan disaat pertama kali Keira mendengar lagu itu di umur 11 tahun, ia menangis sehari semalam karena merasa terharu. Rega sampai menyerah, tak bisa menenangkannya.
Tepat saat lagunya telah selesai, sebuah mobil Jeep dengan model keluaran yang sangat lama berhenti di depannya sambil membuka kaca.
“Apakah kau Keira?” tanya orang tua tersebut pada Keira.
Keira segera melepas earphone nya dan menjawab orang tersebut,
“benar, tuan. Aku Keira.”
“Panggil saja aku kakek Jo. Silahkan masuk, Kei...” ucap kakek Jo mempersilahkan Keira untuk masuk mobilnya.
“Baik, kakek Jo...” jawab keira sambil bergegas masuk kedalam mobil agar tidak terkena air hujan gerimis saat ini.
Mobil kakek Jo hanya muat untuk dua penumpang saja. Mobil itu memang terlihat sudah sangat tua, tapi semua bagiannya masih terlihat sangat bagus sekali. Dan mobil bewarna coklat susu itu memang memiliki suara yang lebih berisik daripada mobil yang lainnya.
Saat Keira menoleh ke belakang, ia melihat banyak sekali barang di bagian belakang mobil sana. Ada banyak sekali hiasan dinding, lampu yang kelip-kelip jika dialiri listrik, rumbai warna-warni dan masih banyak lagi.
“Aku adalah tangan kanan Moza, aku yang akan mengantar dan menjemputmu nanti. Serta barang-barang yang kau lihat di belakang itu adalah barang-barang pesanan Moza dan aku yang bertugas mengambilnya sekalian menjemputmu hari ini,” tutur kakek Jo menjelaskan pada Keira.
“Ahh, baiklah kek. Aku mengerti.”
Kakek Jo memang sudah terlihat tua, banyak keriput ditubuhnya serta rambut yang seluruh bagiannya sudah memutih. Meskipun demikian, ia terlihat sangat sehat dan bugar. Bahkan, untuk berlari marathon pun sepertinya kakek Jo masih kuat melakukannya.
Perjalanan akhirnya dimulai. Mereka tak banyak berbicara karena mungkin memang masih canggung karena baru saja saling mengenal.
Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di Green Hill. Jaraknya lumayan jauh ternyata.
Mobil kakek Jo masuk melewati gerbang utama yang lumayan besar yang di atasnya terdapat tulisan “Green Hill”. Ketika mulai memasuki halamannya, Keira sedikit kaget karena ternyata bagian dalamnya sangat luas dibanding yang terlihat dari luar. Bahkan halamannya pun mungkin seluas lapangan Bisbol.
Kakek Jo memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tempat itu. Kakek Jo dan Keira turun dari mobil dan ternyata paman Moza telah menunggu mereka di depan pintu masuk yang berada di sebelah parkiran.
Keira menghampiri paman Moza yang telah menunggunya, sedangkan kakek Jo mengurus barang-barang bawaannya di mobil tadi.
“Selamat datang, Keira. Kita langsung masuk saja ya. Agar latihan segera dimulai dan kau tak akan pulang terlalu larut,” sapa paman Moza.
“Baiklah, paman.”
Mereka mulai berjalan masuk menuju ke dalam yayasan. Saat masuk, mereka melewati tempat seperti lobi yang terdapat beberapa kursi di pinggiran jalannya. Lalu saat berbelok ke kanan, mereka melewati sebuah lorong yang sangat terang karena lampu yang dipasang disetiap sudutnya. Bangunan itu dominan bercat putih, terlihat besar dan megah. Sepertinya yayasan itu juga terdapat sekolah yang menaungi para anak-anak di panti juga, karena Keira melihat beberapa ruangan dengan bertuliskan nama kelas di atas pintunya dan sebuah ruangan perpustakaan yang lumayan besar di sekitarnya. Meskipun disetiap sisi bangunan ini terlihat sangat terang, namun tak banyak orang yang Keira temui. Hanya seorang penjaga keamanan, dan orang yang mengangkut sampah tadi saja.
Sudah hampir lima menit Keira berjalan mengikuti paman Moza, namun entah kenapa mereka tidak kunjung sampai pada tujuannya. Keira mulai merasa aneh dan khawatir.
“Paman, kita mau kemana...?”
“Paman, kita mau ke mana? Sepertinya sedari tadi kita berjalan tapi tak kunjung sampai, seberapa jauh lagi tempat tujuan kita?” tanya Keira gelisah. “Kita akan ke asrama anak-anak, kei. Letaknya memang di bagian belakang dari bangunan ini. Kita akan pergi berlatih di sana. Sebenarnya, seharusnya kau memang tidak turun dari parkiran depan tadi, akan tetapi melalui jalan memutar lewat gerbang belakang. Namun karena kakek Jo membawa barang-barang untuk persiapan kontes maka kakek Jo harus menaruhnya di aula utama yang berada di samping perpustakaan yang kita lewati tadi. Disanalah sanalah tempat kita akan mengadakan kontes besok,” ujar paman Moza menjelaskan pada Keira. “Ahh jadi begitu, paman. Aku sempat khawatir kita akan tersesat di tempat sebesar ini karena tak kunjung sampai, dan juga tempat ini kenapa terlihat sangat sepi sekali paman?” “Hahahaha.. tidak mungkin lah, Kei. Aku saja sudah hampir dua puluh tahun mengurus tempat ini, tidak mungkin kita tersesa
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya. Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata, “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku” Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi. Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air. Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti. Tiba-tiba paman Moza datan
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai
“Bukankah kau Keira? Aku Noel..” kata pria itu sambil memastikan gadis di depannya ini benar-benar orang dia maksud atau bukan. Keira melihat pria itu berbadan tinggi, memakai kaos warna putih polos yang berukuran lebih besar dari badannya, dan menyelipkan sedikit bagian bawah depan bajunya ke dalam celana yang ia pakai. Memakai sandal selop bewarna hitam dan celana selutut yang juga bewarna hitam. Rahangnya tampak tegas dan memiliki bulu mata serta alis yang lebih tebal dari pada Keira. “Noel? Ma’af, sepertinya aku tidak mengenalmu..” “Benarkah? Tapi kau ini Keira anak jurusan piano, kan? Aku teman sekelasmu,” kata pria itu lagi untuk memastikan. “Benar.. Aku Keira jurusan piano. Tapi aku sama sekali tak mengenalmu,” kata Keira sambil terus memandangi pria di depannya, berharap akan mengingat sesuatu tentang teman sekelasnya ini. “Sepertinya kau memang benar-benar tidak mengenalku. Aku memang jarang aktif sih di kelas, tapi sepertinya kau leb