Share

BAB 4 ~ DAY 1

Hari ini adalah hari pertama Keira akan pergi berlatih untuk kontes di yayasan Green Hill. Pagi tadi, paman Moza menghubungi Keira dan memberitahu bahwa orang suruhannya akan menjemput Keira di halte dekat toko pukul enam sore nanti. Halte yang dimaksud memang sangat dekat dengan toko Bluestone, hanya berjarak empat bangunan saja. Halte tersebut berada tepat di depan toko buku yang cukup besar di kota ini.

Setelah selesai kuliah, Keira langsung menuju ke toko seperti biasa. Sore ini, ia ingin mulai menyicil untuk mengerjakan tugas mengaransemen lagunya di tempat paman Noir sambil menunggu waktu saat orang yang akan menjemputnya datang.

Keira mulai mencoba lagu "Canon" pada bait awal, lalu ia mencoba menekan beberapa tuts untuk sedikit diganti dan ditambah pada barisan melodinya. Beberapa kali ia mengulang bait awal karena dirasa masih belum tepat dan selaras. Kertas partitur Keira pun mulai banyak coretan di barisan paling atasnya. Ia benar-benar ingin membuat aransemennya kali ini menjadi kumpulan melodi yang sangat indah.

Paman Noir memperhatikan Keira yang sedari tadi berkutat dengan kegiatannya tersebut.

“Kau sedang mengerjakan apa, Kei? Tampaknya kertas itu sudah mulai lusuh karena coretan-coretanmu,” tanya paman Noir penasaran.

“Aku sedang mengerjakan tugas mengaransemen lagu, paman. Untuk bahan ujian semester tahun ini,” jawab Keira sambil menaruh kertas yang ia pegang dan berjalan menuju meja paman Noir.

“Canon? Itukan lagu yang sangat sering kau mainkan dari kecil.”

“Benar, paman. Aku lega sekali dosen tidak memilih lagu yang dapat menyulitkanku. Oh ya paman, aku dari kemarin lupa untuk mengabarimu. Aku telah menerima sebuah tawaran untuk tampil di kontes yayasan panti asuhan bernama Green Hill, hari ini jadwal latihannya dan ditambah hari Kamis dan Jum’at. Aku meminta ijin untuk tidak bekerja sampai malam dihari-hari itu ya, paman.”

“Baiklah, Kei. Tapi jangan lupa jaga pola makan dan kesehatanmu. Juga kuliahmu jangan sampai keteteran karena hal ini,” ingat paman Noir pada Keira.

“Baiklah, paman. Kau tahu paman, yang menawariku untuk tampil di sana adalah orang yang beberapa hari lalu membeli biola dari sini. Ia pemilik yayasan Green Hill itu sendiri, apakah kau ingat?” tanya Keira.

“Benarkah? Ya, aku mengingatnya.”

“Iya, saat itu ia tak sengaja melihatku bermain piano di sini. Saat itu aku bermain lagu nocturne op.9 no.2.”

“Ahh, iya. Tapi Kei, ini sepertinya adalah kali pertamanya kau akan tampil di depan umum. Maka aku harus datang untuk melihatmu,” kata paman Noir dengan mata berbinar.

“Baiklah, paman. Nanti aku akan berbicara pada paman Moza pemilik yayasan agar paman dapat menghadiri acara itu,” ujar Keira dengan senyum manis miliknya itu.

Waktu berjalan begitu cepat, kini jam telah menunjukkan pukul enam sore. Keira segera membereskan barang-barangnya dan bersiap menuju halte untuk menunggu jemputannya.

“Paman, aku pergi dulu!” teriak Keira sambil memasang earphone di telinganya dan berjalan keluar toko menuju halte.

“Hati-hati di jalan, Kei! Semoga latihanmu lancar!” sahut paman Noir dengan sedikit berteriak agar Keira yang sudah berlari keluar toko dapat mendengarnya.

Keira sampai di halte. Tepat saat ia sampai di sana, gerimis mulai datang. Entah ada apa dengan cuaca di kotanya saat ini. Padahal dari pagi sampai siang cuacanya sangat cerah, lalu barusan sekali tiba-tiba mendung datang dengan membawa hujan rintik-rintik.

Keira mengambil ponsel nya untuk mengubah lagu yang akan didengar. Ia pikir saat mendung gerimis seperti ini “Kiss in the Rain” merupakan lagu yang sangat tepat untuk didengarkan. Lagu itu mulai terdengar mengalun lembut di telinganya. Nadanya terdengar sangat mendayu-dayu. Ia merasa bahwa rasa sakit dari lagu tersebut sampai tepat di hatinya. Entah apa pesan sebenarnya dari lagu tersebut, namun rasa sakitnya sungguh terasa. Bahkan disaat pertama kali Keira mendengar lagu itu di umur 11 tahun, ia menangis sehari semalam karena merasa terharu. Rega sampai menyerah, tak bisa menenangkannya.

Tepat saat lagunya telah selesai, sebuah mobil Jeep dengan model keluaran yang sangat lama berhenti di depannya sambil membuka kaca.

“Apakah kau Keira?” tanya orang tua tersebut pada Keira.

Keira segera melepas earphone nya dan menjawab orang tersebut,

“benar, tuan. Aku Keira.”

“Panggil saja aku kakek Jo. Silahkan masuk, Kei...” ucap kakek Jo mempersilahkan Keira untuk masuk mobilnya.

“Baik, kakek Jo...” jawab keira sambil bergegas masuk kedalam mobil agar tidak terkena air hujan gerimis saat ini.

Mobil kakek Jo hanya muat untuk dua penumpang saja. Mobil itu memang terlihat sudah sangat tua, tapi semua bagiannya masih terlihat sangat bagus sekali. Dan mobil bewarna coklat susu itu memang memiliki suara yang lebih berisik daripada mobil yang lainnya.

Saat Keira menoleh ke belakang, ia melihat banyak sekali barang di bagian belakang mobil sana. Ada banyak sekali hiasan dinding, lampu yang kelip-kelip jika dialiri listrik, rumbai warna-warni dan masih banyak lagi.

“Aku adalah tangan kanan Moza, aku yang akan mengantar dan menjemputmu nanti. Serta barang-barang yang kau lihat di belakang itu adalah barang-barang pesanan Moza dan aku yang bertugas mengambilnya sekalian menjemputmu hari ini,” tutur kakek Jo menjelaskan pada Keira.

“Ahh, baiklah kek. Aku mengerti.”

Kakek Jo memang sudah terlihat tua, banyak keriput ditubuhnya serta rambut yang seluruh bagiannya sudah memutih. Meskipun demikian, ia terlihat sangat sehat dan bugar. Bahkan, untuk berlari marathon pun sepertinya kakek Jo masih kuat melakukannya.

Perjalanan akhirnya dimulai. Mereka tak banyak berbicara karena mungkin memang masih canggung karena baru saja saling mengenal.

Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di Green Hill. Jaraknya lumayan jauh ternyata.

Mobil kakek Jo masuk melewati gerbang utama yang lumayan besar yang di atasnya terdapat tulisan “Green Hill”. Ketika mulai memasuki halamannya, Keira sedikit kaget karena ternyata bagian dalamnya sangat luas dibanding yang terlihat dari luar. Bahkan halamannya pun mungkin seluas lapangan Bisbol.

Kakek Jo memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus tempat itu. Kakek Jo dan Keira turun dari mobil dan ternyata paman Moza telah menunggu mereka di depan pintu masuk yang berada di sebelah parkiran.

Keira menghampiri paman Moza yang telah menunggunya, sedangkan kakek Jo mengurus barang-barang bawaannya di mobil tadi.

“Selamat datang, Keira. Kita langsung masuk saja ya. Agar latihan segera dimulai dan kau tak akan pulang terlalu larut,” sapa paman Moza.

“Baiklah, paman.”

Mereka mulai berjalan masuk menuju ke dalam yayasan. Saat masuk, mereka melewati tempat seperti lobi yang terdapat beberapa kursi di pinggiran jalannya. Lalu saat berbelok ke kanan, mereka melewati sebuah lorong yang sangat terang karena lampu yang dipasang disetiap sudutnya. Bangunan itu dominan bercat putih, terlihat besar dan megah. Sepertinya yayasan itu juga terdapat sekolah yang menaungi para anak-anak di panti juga, karena Keira melihat beberapa ruangan dengan bertuliskan nama kelas di atas pintunya dan sebuah ruangan perpustakaan yang lumayan besar di sekitarnya. Meskipun disetiap sisi bangunan ini terlihat sangat terang, namun tak banyak orang yang Keira temui. Hanya seorang penjaga keamanan, dan orang yang mengangkut sampah tadi saja.

Sudah hampir lima menit Keira berjalan mengikuti paman Moza, namun entah kenapa mereka tidak kunjung sampai pada tujuannya. Keira mulai merasa aneh dan khawatir.

“Paman, kita mau kemana...?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status