“Paman, kita mau ke mana? Sepertinya sedari tadi kita berjalan tapi tak kunjung sampai, seberapa jauh lagi tempat tujuan kita?” tanya Keira gelisah.
“Kita akan ke asrama anak-anak, kei. Letaknya memang di bagian belakang dari bangunan ini. Kita akan pergi berlatih di sana. Sebenarnya, seharusnya kau memang tidak turun dari parkiran depan tadi, akan tetapi melalui jalan memutar lewat gerbang belakang. Namun karena kakek Jo membawa barang-barang untuk persiapan kontes maka kakek Jo harus menaruhnya di aula utama yang berada di samping perpustakaan yang kita lewati tadi. Disanalah sanalah tempat kita akan mengadakan kontes besok,” ujar paman Moza menjelaskan pada Keira.
“Ahh jadi begitu, paman. Aku sempat khawatir kita akan tersesat di tempat sebesar ini karena tak kunjung sampai, dan juga tempat ini kenapa terlihat sangat sepi sekali paman?”
“Hahahaha.. tidak mungkin lah, Kei. Aku saja sudah hampir dua puluh tahun mengurus tempat ini, tidak mungkin kita tersesat. Dan alasan mengapa tempat ini sepi karena sebenarnya, ada banyak orang yg bekerja di sini, tapi mereka memiliki ruang khusus untuk bekerja. Tidak berkeliaran di luar. Di setiap sisi memiliki CCTV untuk mengontrol dan mengawasi setiap pergerakan di sini. Ada sirine otomatis, dan di setiap speaker kecil di sana akan ada satu orang yang stay di pusat informasi.”
“Benarkah paman?” tanya Keira yang tampak tak percaya.
“Iya, Kei. Kalau kau tak percaya aku akan membuktikannya padamu sekarang,” kata paman Moza sambil melambaikan tangan pada CCTV dan tak lama setelah itu ada suara yang keluar dari speaker di samping CCTV tersebut.
“Halo, tuan Moza! Apakah anda memerlukan sesuatu?” tanya orang di seberang sana.
“Tidak. Apa kalian sudah makan malam?” tanya paman pada orang yang sedang berbicara di speaker tersebut.
“Sudah, tuan. Baru saja kami bergantian mengawasi untuk makan secara bergantian,” jawabnya.
“Baguslah kalau begitu. Bekerjalah dengan baik.”
“Baik, Tuan”
Setelah itu paman Moza berbalik menghadap Keira sambil berkata,
“apakah kau masih memerlukan bukti yang lain, Kei?” tanya paman Moza pada Keira sambil mengangkat kedua alisnya.
“Tidak, paman. Aku percaya padamu,” kata Keira sambil mengangkat kedua tangannya setinggi sedada.
“Yasudah, mari lanjutkan perjalanan. Tepat di belakang ruangan itu kita akan segera sampai di asrama,” ajak paman sambil berjalan dan diikuti oleh Keira.
Benar saja, setelah melewati ruangan yang dimaksud paman Moza muncullah sebuah bangunan seperti aula besar yang di bagian dalamnya terbagi menjadi beberapa ruangan lagi. Terlihat sangat besar dan luas.
Saat Keira pertama masuk, di sana tampak seperti ruang depan yang sangat luas. Ada beberapa kursi dan meja di samping belakang pintu besar itu. Juga ada beberapa rak dan lemari yang berisi mainan juga buku-buku bacaan. Juga yang paling mengesankan adalah ada banyak alat musik yang terpampang rapi di bagian ujung ruangan dan piano hitam yang masih mengkilap di bagian tengah.
Di sana terlihat banyak sekali anak-anak sedang berkumpul yang sedang bermain, mengobrol, bernyanyi berkelompok dengan sebuah speaker kecil, dan juga ada beberapa anak yang bermain alat musik.
Paman Moza dan Keira melangkah masuk lebih dalam, lalu semua anak mulai menyadari akan kehadiran mereka.
“Selamat datang paman Moza!...” ucap mereka serempak, bahkan beberapa anak kecil ada yang setengah berteriak. Entah, mungkin karena sangking semangatnya.
Tanpa ada yang menyadari, di ujung sana ada tiga anak yang sedang berbisik sambil melihat ke arah Keira. Sepertinya, merekalah yang paling kecil di sini. Mereka terlihat berbicara dengan wajah yang sangat serius.
“Hei, apakah menurutmu dialah seseorang yang ada di buku kita?” tanya salah satu anak dari mereka.
“Jika dilihat-lihat sih, sepertinya iya. Penampilannya sangat mirip,” jawab anak satunya lagi.
“Tunggu apa lagi? Mari kita serbu dia...!!!” teriak anak yang satu lagi.
Lalu tiba-tiba, tiga anak kecil itu berlari ke arah Keira. Anak-anak kecil itu langsung menyerbu Keira sambil tertawa dan berteriak, mereka terlihat sangat amat senang. Mereka memeluki kaki dan tangan Keira. Mengusap-usap tangan Keira dengan wajah yang berbinar.
“Kakak cantik sekali, seperti malaikat di buku. Tangannya halus dan tubuhnya tinggi. Rambutmu juga sangat indah. Tapi dimana sayapmu, kak?” tanya seorang anak sambil mendongak menghadap Keira.
Keira berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak-anak tersebut. Lalu Keira tersenyum dengan mengusap kepala mereka bergantian.
“Kak, bagaimana cara kau keluar dari buku?” tanya mereka lagi.
“Buku apa?” tanya Keira bingung.
“Kami bertiga memiliki buku cerita bergambar yang judulnya Angel’s Love, malaikatnya sangat suka dengan anak kecil seperti kami. Kami selalu membacanya setiap malam dan berdo’a agar suatu saat kau bisa keluar dari sana,” ucap salah satu dari mereka yang masih sedikit cadel namun sepertinya sudah sangat pandai berbicara.
“Hei, kalian bertiga jangan mengganggu kakak ini. Dia ini namanya Keira. Dia manusia bukan malaikat seperti yang kau bilang,” paman Moza tiba-tiba menyahut sambil menahan tawa.
“Benarkah? Tapi kakak ini mirip sekali seperti yang dibuku... Maafkan kami kak,” ucap mereka bersamaan dengan wajah yang menunduk lesu dan mata berkaca-kaca, entah bagaimana bisa tapi mereka mengucapkannya dengan bersamaan.
“Hei anak-anak yang manis, nama kalian siapa?”
Tanya Keira mencairkan suasana agar anak-anak tadi tidak merasa sedih lagi.
“Aku Michael, kak.”
“Aku Aldo, kak.”
“Aku Sherin, kak.”
Jawab mereka bergantian.
“Nama kalian sangat indah.. Kalian juga menggemaskan,” ucap Keira sambil memeluk dan mengusap kepala mereka satu persatu.
Ketiga anak-anak itu tertawa karena senang, karena Keira menggelitik mereka sangking gemasnya. Mereka pun menoel-noel pipi Keira dan menyentuh lembut rambutnya.
“Sudah-sudah, mari kita mulai saja latihannya,” ajak paman Moza menyudahi.
“Baiklah, paman..” jawab Keira sambil bangkit dari duduknya dan mengikuti arahan paman Moza.
Mereka pergi menuju piano yang ada di tengah-tengah ruangan besar itu. Mereka bersiap dan paman Moza menjelaskan bahwa Keira akan berkolaborasi dengan seorang pemain biola.
“Anak ini bernama Ellish, Kei. Dia yang akan berkolaborasi denganmu," jelas paman Moza
“Halo, Ell. Mari bekerja sama dengan baik untuk menampilkan sebuah musik yang indah!” seru Keira.
“Baiklah, kak...” jawab Ellish sambil tersenyum lebar.
Belum sampai mereka memulainya, Keira tiba-tiba saja berdiri dan bilang,
“Maaf, aku ingin buang air kecil. Kamar mandinya di sebelah mana, ya?” kata Keira sambil menahan malu.
Paman Moza tertawa lalu menunjuk sebuah lorong yang katanya di ujung sanalah kamar mandi berada.
Keira berlari kecil untuk segera masuk ke sana.
Lorong itu cukup panjang dan ada sedikit belokan di ujungnya. Ada dua pintu di ujung sana, yang satu terbuka dan dalamnya ternyata adalah dapur. Lalu Keira langsung masuk ke pintu satunya yang sudah pasti adalah kamar mandi.
Tak lama, Keira keluar dari sana dan akan segera kembali menuju tempat latihan. Saat ia akan berbelok, dari arah depannya tiba-tiba ada seseorang yang berjalan dengan membawa cangkir kopi namun pandangannya fokus menuju tangannya yang sedang mengaduk kopi tersebut. Sepertinya ia dari dapur. Lalu beberapa detik kemudian,
“Pyarr..”
Pria tersebut tak sengaja menabrak Keira hingga cangkirnya terjatuh pecah dan kopi panasnya mengenai tangan serta kaki Keira.
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau bisa melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!”
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya. Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata, “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku” Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi. Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air. Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti. Tiba-tiba paman Moza datan
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai
“Bukankah kau Keira? Aku Noel..” kata pria itu sambil memastikan gadis di depannya ini benar-benar orang dia maksud atau bukan. Keira melihat pria itu berbadan tinggi, memakai kaos warna putih polos yang berukuran lebih besar dari badannya, dan menyelipkan sedikit bagian bawah depan bajunya ke dalam celana yang ia pakai. Memakai sandal selop bewarna hitam dan celana selutut yang juga bewarna hitam. Rahangnya tampak tegas dan memiliki bulu mata serta alis yang lebih tebal dari pada Keira. “Noel? Ma’af, sepertinya aku tidak mengenalmu..” “Benarkah? Tapi kau ini Keira anak jurusan piano, kan? Aku teman sekelasmu,” kata pria itu lagi untuk memastikan. “Benar.. Aku Keira jurusan piano. Tapi aku sama sekali tak mengenalmu,” kata Keira sambil terus memandangi pria di depannya, berharap akan mengingat sesuatu tentang teman sekelasnya ini. “Sepertinya kau memang benar-benar tidak mengenalku. Aku memang jarang aktif sih di kelas, tapi sepertinya kau leb
keira membantu paman Noir untuk meunutup toko, ia membereskan barang-barang yang berserakan lalu menyapu lantai. Hari ini Keira akan mengunjungi kakaknya dengan membawa buah pemberian nenek Madu tadi siang. Ada beberapa apel dan juga buah naga ungu kesukaan kakaknya. “Selamat beristirahat paman,” kata Keira sambil memakai tas di punggungnya. “Kau juga, Kei.” Keira pergi keluar dari toko tersebut dan segera berjalan menuju rumah sakit. Seperti biasa ia akan membeli bunga krisan terlebih dahulu di toko dekat rumah sakit. Setelah sampai di kamar Rega, Keira langsung duduk di sebelahnya dan mengambil piring di atas nakas. “Kak, aku membawakan buah kesukaanmu. Buah Naga!” kata Keira sambil menujukkan kantung buah di tangannya. “Dari nenek Madu?” tanya Rega sambil menoel-noel kantung buah tersebut. “Tepat sekali. Tunggu sebentar aku akan mencuci tangan terlebih dahulu.” Keira berjalan menuju wastafel di dalam kamar tersebut l