Pagi hari di akhir pekan ini Keira sudah bersiap untuk pergi ke toko paman Noir. Namun, karena sepagi itu toko belum dibuka, maka Keira pergi ke tempat kakaknya terlebih dahulu. Jika dihari-hari biasa dia pasti datang saat setelah selesai bekerja, namun diakhir pekan Keira datang pagi-pagi sekali untuk bertemu kakaknya.
Saat perjalanan menuju rumah sakit di pusat kota yang lumayan dekat dengan rumah Keira, ia menyempatkan untuk membeli bunga di toko bunga langganannya dekat rumah sakit. Toko tersebut memang sudah buka sedari subuh, dan tutup di jam yang sangat larut. Sehingga Keira selalu dapat membeli bunga disana ketika akan menemui kakaknya. Namun, kebiasaan Keira hanya membeli sebatang bunga saja. Yaitu sebatang bunga krisan bewarna ungu.
“Permisi!” sapa Keira pada sang penjual yang tampak sedang merangkai beberapa bunga di meja depan toko.
“Ahh, seperti biasa nona?” tanya wanita penjual bunga tersebut karena telah hafal dengan apa yang selalu Keira beli di tokonya.
“Yap, tepat sekali kak.”
Keira tersenyum lebar.
“Tunggu sebentar,” ucap wanita tersebut sambil berjalan menuju rak dalam toko yang berisi banyak sekali macam-macam bunga.
Tak lama wanita si penjual bunga keluar dari toko dengan membawa Bunga pesanan Keira.
“Khusus hari ini, bunga ini gratis untukmu. Hari ini aku sedang berbahagia karena kekasihku telah melamarku kemarin. Astaga... aku sampai tidak bisa tidur semalaman sangking bahagianya,” ucap wanita itu sambil tersenyum sangat lebar dengan pipi yang sedikit merona.
“Astaga kak, mukamu sekarang saja sudah seperti kepiting rebus. Aku tidak bisa mengira seberapa bahagianya engkau saat ini. Tapi untuk bunga gratisnya ini, terima kasih banyak!”
Keira melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit yang tinggal beberapa meter lagi. Ia menatap gedung tinggi tersebut. Entah kenapa rasa nyeri di hatinya mulai datang lagi, rasa sakit di hatinya karena melihat kondisi kakaknya kini dan ketidak pedulian orangtuanya pada mereka. Menciptakan beberapa luka yang dalam di hatinya.
Keira menaiki lift untuk menuju kamar kakaknya di lantai tiga gedung besar ini.
“ting”
Suara lift yang menandakan bahwa Keira telah sampai di lantai tujuannya. Ia segera keluar dan menuju kamar Rega.
“Selamat pagi, tuan Rega kesayangannya Keira!” ucap Keira setelah masuk ke kamar Rega dan melihatnya tengah melahap bubur serta sayur-mayur di atasnya yang terlihat segar.
“Selamat pagi, Kei!” jawab Rega dengan suara beratnya yang lirih karena memang tak memiliki banyak tenaga seperti Keira.
Keira menaruh bunganya di atas piano yang ada di dalam kamar kakaknya. Ya, Rega meminta keira menaruh sebuah piano di kamarnya agar setiap Keira datang Keira dapat bermain piano untuknya. Serta, agar ia dapat melihat semua kemajuan adiknya itu dalam bermain piano.
“Kak, kemarin dosen memberiku tugas mengaransemen sebuah lagu untuk bahan ujian semester nanti. Kau tahu? Dosenku memilih lagu canon, lagu yang sering kita mainkan dari dulu!” curhat Keira dengan wajah yang sumringah.
“Benarkah? Dosen itu sangat mempermudah dirimu, Kei. Kau bahkan bisa memainkan lagu itu dengan mata tertutup.”
“Tidak seperti itu juga, kak. Tapi pada tugas ini kan misinya untuk mengaransemen, aku bahkan belum mulai mengerjakannya sama sekali.”
“Segera mulailah, jangan mengerjakannya dengan mendadak. Nanti kau bisa tertekan dan membuat hasil kerjaanmu menjadi tidak memuaskan,” ujar Rega mengingatkan adiknya sambil memakan suapan terakhir sarapannya itu.
“Baiklah, tuan..” canda Keira yang kini duduk dismping ranjang kakaknya.
Rega kembali sedikit membaringkan tubuhnya lagi. Keira mengambil tangan Rega dan mengusapnya pelan. Ia benar-benar ingin kakaknya sembuh dan menjalani hari bersama dengan Keira.
“Tetaplah menjalani hidupmu dengan baik, Kei. Jadilah orang baik,” ucap Rega sambil menarik tangannya dari ganggaman Keira untuk mengusap kepala adiknya tersebut.
“Aku memang sudah menjadi orang baik dari dulu, kak!” jawab Keira sambil tertawa terbahak-bahak. Rega pun turut tertawa melihat tingkah Keira yang sangat menggemaskan itu, menurutnya.
“Aku akan pergi, kak. Sudah jam segini. Setelah ini toko paman Noir akan segera buka,” pamit Keira sambil berdiri dan memeluk kakaknya.
“Baiklah. Hati-hati di jalan, Kei.”
Keira berjalan menuju toko Bluestone. Ditengah perjalanan Keira membeli dua potong roti lapis, satu untuk ia sarapan dan yang satu lagi untuk paman Noir. Saat akan mengambil uang dari dompetnya, ada selembar kertas kecil ikut terjatuh. Ia segera mengambil dan menggenggamnya dengan segera lalu membayarkan roti lapisnya.
Perjalanan berlanjut setelah Keira membeli roti tersebut. Ia mengingat selembar kertas yang digenggamnya tadi, dengan segera Keira memeriksanya.
Ternyata kartu nama milik tuan Moza, Keira ingat dengan ajakan tuan Moza kemarin. Setelah dipikir-pikir, menurut Keira tawaran tuan Moza cukup menarik. Tapi yang membuat Keira sulit memutuskan adalah karena Keira belum pernah tampil di depan umum sebelumnya, sehingga ia belum terlalu percaya diri untuk menerimanya.
Tapi kesempatan tidak akan datang dua kali, Keira sangat tertarik untuk mengikuti kontes tersebut. Maka dari itu, Keira ingin menggunakan kesempatan itu.
Keira mengambil ponsel
dari sakunya dan menekan nomor sesuai dengan yang ada di kartu nama tuan Moza.“Halo, tuan Moza! Ini Keira, kemarin yang kau beri tawaran untuk tampil disebuah kontes yayasan. Dan aku tertarik untuk menerimanya.”
“Ahh Keira, iya... Aku sangat senang akan keputusanmu. Tapi kau tak perlu memanggilku formal seperti itu, panggil saja aku paman. Aku lebih nyaman dipanggil seperti itu,” ucap pria di seberang telepon tesebut.
“Baiklah, paman. Kapan acara itu dilaksanakan? Dan lagu apa yang harus kupersiapkan?” tanya Keira.
“Acaranya seminggu lagi, Kei. Kau tenang saja, lagu dan persiapan latihan akan kupersiapkan. Kau hanya perlu datang dan berlatih saja. Latihan dilaksanakan tiga kali pada hari Selasa, Kamis, dan Jum’at. Dan lagi, kau tidak perlu repot-repot pergi sendiri ke yayasan untuk berlatih. Akan ada yang menjemput dan mengantarmu pulang,” jelas pria tersebut.
“Astaga, paman. Kenapa kau perlu sampai seperti ini? Aku bisa berangkat sendiri.”
“Tidak apa, Kei. Saat pertama melihatmu aku sudah menganggapmu sebagai putriku sendiri. Oh iya, kau mau kubayar berapa untuk pertunjukan ini?”
“Tidak paman, aku ingin melakukan ini. Aku ikhlas melakukannya tanpa mengharap imbalan apapun. Lagipula paman sudah mempersiapkan segalanya, dan aku tinggal bermain saja kan?” tolaknya karena memang Keira sama sekali tak membutuhkan uang saat ini.
“Baiklah, tapi jika kapanpun kau menginginkan sesuatu katakana saja. Aku akan mengabulkannya untukmu.”
“Baik, paman. Terimakasih banyak atas tawarannya.”
“Aku juga berterima kasih padamu karena telah menerima tawaranku. Pasti anak-anak bahagia dengan kehadiranmu. Sampai jumpa dihari latihan, Kei!”
“baik, paman. Sampai jumpa!”
Setelah itu Keira melanjutkan perjalanan menuju toko Bluestone untuk bekerja seperti biasa.
Tak memakan watu yang lama untuk keira sampai di sana, Keira langsung menyapa paman Noir dan memberikan roti lapis yang ia beli tadi.
Hari ini adalah hari pertama Keira akan pergi berlatih untuk kontes di yayasan Green Hill. Pagi tadi, paman Moza menghubungi Keira dan memberitahu bahwa orang suruhannya akan menjemput Keira di halte dekat toko pukul enam sore nanti. Halte yang dimaksud memang sangat dekat dengan toko Bluestone, hanya berjarak empat bangunan saja. Halte tersebut berada tepat di depan toko buku yang cukup besar di kota ini. Setelah selesai kuliah, Keira langsung menuju ke toko seperti biasa. Sore ini, ia ingin mulai menyicil untuk mengerjakan tugas mengaransemen lagunya di tempat paman Noir sambil menunggu waktu saat orang yang akan menjemputnya datang. Keira mulai mencoba lagu "Canon" pada bait awal, lalu ia mencoba menekan beberapa tuts untuk sedikit diganti dan ditambah pada barisan melodinya. Beberapa kali ia mengulang bait awal karena dirasa masih belum tepat dan selaras. Kertas partitur Keira pun mulai banyak coretan di barisan paling atasnya. Ia benar-benar ingin membuat aranse
“Paman, kita mau ke mana? Sepertinya sedari tadi kita berjalan tapi tak kunjung sampai, seberapa jauh lagi tempat tujuan kita?” tanya Keira gelisah. “Kita akan ke asrama anak-anak, kei. Letaknya memang di bagian belakang dari bangunan ini. Kita akan pergi berlatih di sana. Sebenarnya, seharusnya kau memang tidak turun dari parkiran depan tadi, akan tetapi melalui jalan memutar lewat gerbang belakang. Namun karena kakek Jo membawa barang-barang untuk persiapan kontes maka kakek Jo harus menaruhnya di aula utama yang berada di samping perpustakaan yang kita lewati tadi. Disanalah sanalah tempat kita akan mengadakan kontes besok,” ujar paman Moza menjelaskan pada Keira. “Ahh jadi begitu, paman. Aku sempat khawatir kita akan tersesat di tempat sebesar ini karena tak kunjung sampai, dan juga tempat ini kenapa terlihat sangat sepi sekali paman?” “Hahahaha.. tidak mungkin lah, Kei. Aku saja sudah hampir dua puluh tahun mengurus tempat ini, tidak mungkin kita tersesa
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya. Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata, “Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku” Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi. Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air. Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti. Tiba-tiba paman Moza datan
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai