“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau dapat melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” teriak Keira karena sedikit kaget dan menahan panasnya kopi yang mengenai tangan serta kakinya.
Pria itu juga terlihat sangat kaget, lantas langsung menarik tangan Keira menuju kamar mandi untuk membantunya segera menyiram luka dari panasnya kopi yang ia bawa tadi sambil berkata,
“Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan aku”
Keira tak menjawab, ia masih sibuk menyingkap lengan bajunya agar kulitnya segera tersiram dengan air mengalir di kamar mandi.
Wajah pria itu tampak khawatir, dengan hati-hati ia membantu Keira untuk menyiram kulitnya dibagian yang terkena kopi dengan air.
Untung saja jari-jari Keira selamat, tak terluka sama sekali. Hanya sedikit punggung tangan serta bagian lengannya saja. Bagian kakinya hanya sedikit sekali yang terkena hingga tidak menimbulkan luka berarti.
Tiba-tiba paman Moza datang mencari Keira, karena sudah lama ia tak kunjung kembali untuk berlatih. Paman Moza terbelalak kaget dengan apa yang dilihatnya pertama kali. Keira sedang berduaan dengan seorang laki-laki di kamar mandi. Tapi pria tadi segera menengok dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sambil mematikan kran lalu memberikan sapu tangan dari sakunya pada Keira agar ia dapat mengeringkan kulitnya.
“Aku tidak sengaja menumpahkan kopi panasku padanya, Paman. Maka dari itu aku langsung melakukan penanganan pertama untuk meminimalisir lukanya.”
“Astaga, mengapa kau bisa seceroboh ini?” ujar paman Moza dengan nada yang sangat khawatir.
“Aku sedang tidak fokus saja hari ini, paman. Dan aku benar-benar menyesal karena ulahku ini,” ucap pria tersebut dengan nada penuh sesal.
“Apakah kau tidak apa, Kei? Masih bisa bermain piano? Bicaralah yang sejujurnya. Kau tak perlu memaksakan diri untuk ini,” kata paman Moza setelah mereka keluar dari kamar mandi.
“Aku benar-benar tak apa, paman. Lagi pula jari-jari ku ini tak ada yang tidak selamat. Hanya punggung tangan ini saja yang terkena sedikit. Aku masih bisa bermain dengan sangat baik,” jawab Keira sambil memperlihatkan bagian tangan dan lengannya nya yang sedikit kemerahan karena tragedi tadi.
“Jadi dia yang akan menggantikanmu untuk bermain piano di pentas nanti, paman?” tanya pria tadi yang tiba-tiba menyahut.
“Pengganti? Sebelum ini memang paman sendiri yang tampil bermain piano untuk pentas? Berarti paman adalah pianis juga? Tapi mengapa kau menyuruhku untuk bermain padahal kau sendiri bisa melakukannya?” tanya Keira menggebu-gebu karena sangking penasarannya.
“Dulu aku memang seorang pianis, juga sudah tampil untuk kontes ini selama bertahun-tahun. Namun sekarang tidak lagi karena kecelakaan yang telah kualami dua tahun yang lalu. Kecelakaan itu membuat jari-jariku patah dibeberapa bagian dan harus dipasang pen untuk beberapa bulan. Dan kini memang sudah sembuh, tapi tak bisa di gerakkan dengan leluasa seperti dulu...” jelas paman Moza sambil memperlihatkan beberapa kali ia menekuk-nekuk jarinya yang terlihat sangat kaku itu.
“Aku turut bersedih mendengarnya, paman. Pasti kau sangat terpukul kala itu,” ucap Keira bersimpati.
“Mau bagaimana lagi? Hidup akan terus berjalan, aku harus melewatinya. Daripada terus-menerus terjebak dengan kesedihan, lebih baik aku mencari kebahagiaanku dari jalan yang lain...” ujar paman Moza sambil tersenyum tipis.
“Dua tahun ini, posisi paman Moza dalam bermain piano di kontes selalu kosong. Dan kini tiba-tiba ada pengganti. Pasti dia ini sangat berbakat sampai paman Moza sendiri yang memilihnya langsung,” celetuk pria tadi lagi
“Benar, dia ini memang sangat berbakat. Aku pernah sekali melihat langsung bagaimana ia bermain dengan sangat baik dan juga indah,” jawab paman Moza.
“Tidak usah berlebihan, paman Moza. Aku tidak bermain sebaik itu juga. Tapi pria ceroboh ini siapa paman? Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat sebelumnya,” tanya Keira penasaran.
“Dia ini Sean keponakanku, dokter pengangguran yang baru saja pulang ke negara ini. Baru lulus dari kampus kedokteran besar di Inggris dalam masa studinya yang singkat yaitu 3 tahun saja. Disana ditawari kerja dimana-mana, eh malah pulang. Ya jadinya pengangguran seperti ini,” jelas paman Moza diakhiri dengan tawanya yang terbahak-bahak.
“Astaga, apakah kau habis memakan cabai dua kilo lagi paman? Mulutmu sangat pedas sekali. Tapi sepertinya aku juga pernah bertemu wanita ini sebelumnya. Suaranya seperti tidak asing. Dan kata-kata nya mirip dengan seorang gadis pemungut tomat di depan toko jual beli alat musik,” tanya Sean sambil mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat kejadian waktu itu.
“Apakah aku perlu meminjamkan mataku agar kau bisa melihat dengan jelas? Lihatlah apa yang kau lakukan!” ucap Keira dan Sean bersamaan yang tiba-tiba sama-sama teringat kejadian waktu itu.
Entah bagaimana bisa, tapi mereka mengucapkannya secara bersamaan. Rasa-rasanya seperti sedang mengalami "deja vu".
Astaga mereka lucu sekali.
“Iya.. aku yang waktu itu memungut tomat, dan karena kecerobohanmu yang menginjak para tomat-tomat, nenekku jadi rugi dua biji dan aku yang harus membersihkan sisa kotorannya. Apakah memang dimana-mana kau selau bertindak ceroboh seperti itu?” tanya Keira dengan wajah yang kesal.
“Aku jarang sekali bertindak ceroboh sebelumnya. Tapi entah kenapa saat bertemu denganmu aku selalu melakukan kesalahan,” katanya heran. Karena setelah dipikir-pikir lagi memang Sean bertindak ceroboh di negara ini, hanya pada saat bertemu Keira saja.
“Sudah, mari hentikan percakapan ini dan mulai latihan. Dan kau, Sean. Lanjutkanlah kesibukan menganggurmu di sini,” kata paman Moza sambil membawa Keira pergi dan tak lupa dengan tawa terbahak-bahak miliknya karena telah mengatai Sean dengan sangat puas.
“Benar-benar pamanku yang satu ini, inilah akibat dari melajang sampai tua! Terlihat sangat amat kurang kasih sayang!” teriak Sean karena paman Moza yang telah berjalan menjauh bersama Keira.
“Tapi aku bahkan belum mengetahui namanya,” kata Sean dalam hati sambil melihat punggung Keira yang menghilang di belokan lorong.
Mereka telah berkumpul di tempat berlatih lagi, Ellish terlihat sudah siap dengan biolanya. Dan beberapa anak-anak yang duduk melingkar untuk dapat melihat Keira dan Ellish berlatih. Tak lupa tiga anak kecil itu, Michael, Aldo dan Sherin menonton di baris paling depan untuk melihat Keira. Sepertinya, mereka bertiga sudah sangat menyukai Keira. Sangat amat terlihat dari wajah bahagianya mereka.
Paman Moza datang dengan membawa sebuah kertas berisi aransemen lagu, lalu memberikannya masing-masing pada Keira dan Ellish.
“Yang akan kalian tampilkan pada saat kontes nanti adalah lagu yang berjudul “River Flows in You”. Lagu ini sudah ku aransemen sendiri sesuai dengan alat musik kalian agar hasilnya menjadi selaras dan indah. Kalian berdua tinggal menghafal dan menyelaraskan keduanya saja,” kata paman Moza menjelaskan.
“Baik, paman..” ucap mereka berdua bersamaan.
Mereka akhirnya memulai latihannya. Pada awalnya mereka bermain sendiri-sendiri untuk pemanasan dan menguatkan permainan masing-masing dahulu.
Hingga setengah jam berlalu, mereka baru mulai berlatih bersama. Mereka berulang kali berhenti ditengah lagu karena merasa kurang selaras. Ketukan tak sama, dan karena beberapa kali salah memainkan kunci. Mereka terus berlatih hingga jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
Paman Moza yang sedari tadi duduk mengawasi latihan mereka bangkit menghampiri. “Hari ini sudah cukup bagus. Kalian hanya harus menguatkan permainan masing-masing dahulu, lalu nanti tinggal menggabungkan dan menyelaraskan permainan kalian saja. Untuk hari ini mari kita akhiri dahulu,” ujar paman Moza dengan senyuman yang menandakan cukup puas akan latihan hari ini. “Baik, paman..” jawab Keira dan Ellish bersamaan. “Permainan mu bagus sekali, Ell. Kau dapat dengan cepat beradaptasi denganku, aku saja cukup kesulitan tadi. Tapi kau malah terlihat sangat rileks dan santai.” “Dulu aku memang sudah terbiasa berkolaborasi dengan paman Moza. Tapi permainan mu tadi juga tidak buruk, kak..” kata Ellish. “Keira, kau ikutlah makan malam bersama kami sekalian di sini. Kau pasti juga lapar karena belum makan malam, kan?” ajak paman Moza pada Keira. “Baiklah, paman. Terimakasih,” ucap Keira yang memang belum makan malam dan merasa bahwa cacing
“Sudah? Mari.. akan segera ku antar kau pulang. Ini sudah larut,” ajak Sean lalu berjalan mendekati Keira dengan gaya sok kerennya. “Iya.. sebentar,” ucap Keira sambil turun dari ranjang anak-anak dengan sangat perlahan, agar mereka tidak terbangun karena pergerakan Keira. Mereka berjalan bersama, keluar dari asrama menuju ke parkiran belakang. Untuk pergi ke tempat itu mereka harus melewati sebuah lorong yang sedikit gelap, mungkin karena lampunya ada beberapa yang mati karena rusak. Di yayasan itu di setiap sisinya selalu terang, hanya bagian itu saja yang tergelap. Saat mereka sudah keluar dari bangunan, tempat itupun juga minim penerangan. Entah mengapa, di tempat seperti ini malah banyak lampu yang rusak. Di sekitar parkiran itu terdapat banyak sekali pepohonan yang mengitari, dan juga semak-semak yang sedikit rimbun. Tepat sebelum mereka memasuki area parkiran, tiba-tiba ada suara seperti pergerakan seseorang di balik semak-semak dekat mereka. M
Mereka tiba di rumah sakit. Keira menuruni motor sambil membuka helm yang dipakainya tadi lalu memberikannya pada Sean. “Terimakasih banyak karena telah mengantarkanku sampai ke sini dengan selamat.” “Sama-sama gadis tomat. Tapi omong-omong suaramu tadi lumayan,” kata Sean sambil menggantungkan helm yang diberikan Keira tadi ke jok bagian depan. “Kau tidak perlu meledekku seperti itu, aku bisa sadar diri kok. Dan ya, untuk sebutan gadis tomat itu, lumayan lucu. Aku hampir saja tertawa lagi karena kau hari ini,” kata Keira dengan ekspresi yang entah, sangat sulit diartikan oleh Sean. “Aku serius, suaramu sama sekali tidak buruk. Dan lagu tadi,.. apa judulnya?” tanya Sean yang penasaran karena merasa seperti pernah mendengarnya sebelumnya. “Terima kasih, judul lagunya Yesterday-The Beatles. Aku pergi dulu,” jawab Keira dengan tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Keira berjalan masuk menuju dalam rumah sa
“Iya.. sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Kei. Ini tentang orangtuamu,” ucap paman Gio dengan nada serius. Keira sedikit cemas, kenapa paman Gio terlihat sangat serius sekali. Sepertinya ini bukanlah hal yang main-main. “Ada apa dengan orangtuaku paman?” tanya Keira dengan wajah yang terlihat sangat penasaran. “Mereka tidak bisa pulang dulu untuk beberapa bulan, ada proyek di luar kota. Mereka memintaku untuk mengabarimu. Karena mereka tidak sempat pulang hari ini dan harus segera berangkat menuju bandara,” jelas paman Gio. Paman Gio memang bekerja bersama orangtua Keira, di perusahaan yang sama sebagai bawahan papanya. Paman Gio pun juga sering mengirimi pesan pada Keira, untuk mengabari jika orangtuanya sedang akan bertugas selama berbulan-bulan di luar kota. Entah betapa tidak pedulinya orangtua Keira, hingga untuk mengabari anaknya saja selalu diwakilkan oleh orang lain. Keira pun sama sekali tidak ingat kapan terakhir kali ia b
(Sean pov.) Hari ini, Sean akan pergi mencari orang yang ingin ia cari sejak pulang ke negara ini. Ia berencana untuk naik angkutan umum saja, karena daerah itu dekat dengan halte. Mungkin saja, ia akan bertemu dengan mereka saat di perjalanan. Sebelum pergi dari asrama yayasan, Sean meminta ijin dari paman Moza terlebih dahulu agar beliau tidak khawatir bila melihat Sean tidak berada di tempatnya. Tak lama menunggu di halte terdekat dari asrama itu, bus yang menuju ke tujuan Sean telah tiba. Ia segera naik, lalu menggesekkan kartu angkutan umum yang diberikan pamannya pada mesin pembayaran otomatis dan segera mencari duduk di bagian belakang bus ini. Sudah lama sekali rasanya, Sean tidak menumpangi kendaraan umum seperti saat ini. Terlihat banyak sekali yang telah berubah. Semua sudah serba canggih dan terlihat lebih modern dibanding dulu. -------------------- Setelah sampai di sana, Sean langsung turun dan mulai
“Bukankah kau Keira? Aku Noel..” kata pria itu sambil memastikan gadis di depannya ini benar-benar orang dia maksud atau bukan. Keira melihat pria itu berbadan tinggi, memakai kaos warna putih polos yang berukuran lebih besar dari badannya, dan menyelipkan sedikit bagian bawah depan bajunya ke dalam celana yang ia pakai. Memakai sandal selop bewarna hitam dan celana selutut yang juga bewarna hitam. Rahangnya tampak tegas dan memiliki bulu mata serta alis yang lebih tebal dari pada Keira. “Noel? Ma’af, sepertinya aku tidak mengenalmu..” “Benarkah? Tapi kau ini Keira anak jurusan piano, kan? Aku teman sekelasmu,” kata pria itu lagi untuk memastikan. “Benar.. Aku Keira jurusan piano. Tapi aku sama sekali tak mengenalmu,” kata Keira sambil terus memandangi pria di depannya, berharap akan mengingat sesuatu tentang teman sekelasnya ini. “Sepertinya kau memang benar-benar tidak mengenalku. Aku memang jarang aktif sih di kelas, tapi sepertinya kau leb
keira membantu paman Noir untuk meunutup toko, ia membereskan barang-barang yang berserakan lalu menyapu lantai. Hari ini Keira akan mengunjungi kakaknya dengan membawa buah pemberian nenek Madu tadi siang. Ada beberapa apel dan juga buah naga ungu kesukaan kakaknya. “Selamat beristirahat paman,” kata Keira sambil memakai tas di punggungnya. “Kau juga, Kei.” Keira pergi keluar dari toko tersebut dan segera berjalan menuju rumah sakit. Seperti biasa ia akan membeli bunga krisan terlebih dahulu di toko dekat rumah sakit. Setelah sampai di kamar Rega, Keira langsung duduk di sebelahnya dan mengambil piring di atas nakas. “Kak, aku membawakan buah kesukaanmu. Buah Naga!” kata Keira sambil menujukkan kantung buah di tangannya. “Dari nenek Madu?” tanya Rega sambil menoel-noel kantung buah tersebut. “Tepat sekali. Tunggu sebentar aku akan mencuci tangan terlebih dahulu.” Keira berjalan menuju wastafel di dalam kamar tersebut l
“Mari kita berangkat tuan pengangguran,” kata Keira sambil menaiki motor Sean dengan senyum penuh kemenangan. Sean memejamkan mata sambil menghembuskan napas lelah. Gadis di depannya ini jauh lebih licik dari yang ia kira. Tak lama setelahnya, Sean langsung menjalankan motornya untuk segera berangkat. Sesekali Keira mengingatkan Sean agar tidak mengantuk saat di perjalanan. “Hei, jangan mengantuk!” kata Keira sambil menepuk bahu Sean. Beberapa kali ia mengucapkan kata-kata tersebut dan hanya dijawab dengan dehaman saja oleh Sean. Sampai akhirnya mereka tiba di parkiran asrama, dengan sigap Keira melepas helm nya dan memberikannya pada pria di depannya ini. “Terima kasih.” Setelah mengatakan itu Keira langsung pergi meninggalkan Sean yang masih sibuk menaruh helm yang dipakai Keira lalu mencopot helm yang dipakainya sendiri. Baru saja masuk ke dalam asrama, Keira langsung diserang oleh tiga anak kecil yang berlari menuju