Kepala Alan terasa pening ketika diseruduk oleh pertanyaan tersebut. Makanan yang ia kunyah tadi juga tak kunjung ia telan. Mengapa demikian? Mungkinkah memang Alan memiliki wanita lain yang memang dicintainya?
“Kenapa nanya gitu, Ra?” Rupanya pertanyaan tadi datang dari Nara.
Nara pun terkekeh. “Ah! Aku cuma bercanda. Soalnya … kalian nggak keliatan kayak pasangan menikah. Nggak bucin!”
Kinan berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal. “Gitu, ya?”
Lantas Nara kembali memandang Kinan dengan tatapan candanya. “Kalian cuma malu kan kalau di depan umum?” ledeknya.
“Ah, nggak! Kata siapa?” ucap Alan.
Sesuatu menyita momen Kinan. Ketika Alan membalas Nara. Tak hanya dengan perkataan. Ia juga langsung merangkul pinggangnya. Sehingga Kinan t
Gadis itu sedang duduk di bangku kuliah. Menanti antrian pembagian hasil ujian. Ia duduk bersebelahan dengan teman dekatnya.“Habis ini pulang, kan?”tanyanya menghabiskan denting jam yang terasa lama ini. Namanya tak kunjung dipanggil.“Iya,” jawab temannya itu.Kemudian terdengar suara yang bergema di telinga gadis yang rambutnya dikuncir kuda itu.“Kinan?”“Kinan?”“KINAN!”“Eh?” Gadis itu masih mencoba memfokuskan matanya yang sempat kabur. Sedari tadi matanya selalu searah dengan seorang pria yang sedang memasuki kelas ini. Pria bertopi golf yang menyita waktunya. Dengan tas ransel yang dijinjing di satu bahunya saja.
Seorang pria sedang duduk di bangku santai. Aroma tanah yang dibasahi oleh air hujan cukup menyita perasaannya.Entah apa yang sedang ada di benaknya. Namun pria itu terlihat sangat tenang memandangi tanaman hijau dengan rintik hujan yang memperindah setiap helai daun itu, baginya.Tak ada satupun yang bisa mengganggunya menikmati momen ini. Dengan headset yang terpasang di telinganya. Ia hanyut dalam alunan musik menenangkan.“On your lips just leave it, if you don’t mean it,”rintihnya mengikuti lagu tersebut.“Alan?”Tentu saja ia tak menggubris hal yang lain karena sekarang yang ia pedulikan hanya aroma hujan dan musik. Sembari memejamkan mata saat lagu kesukaannya diputar.
Satu jam sudah mereka semua menunggu. Menunggu sang putri keluar menyambut sang pangeran.Ya, hari ini tiba. Rupanya bukan pertunangan yang diadakan.Waktu sudah berjalan sangat cepat setelah pertemuan itu. Kinan masih tak menyangka bahwa hari ini merupakan hari lamaran. Hari di mana Alan melamar Kinan seperti yang sesuai dengan adat mereka berdua.Cakrawala yang berwarna abu itu menyelimuti kota Klaten. Kota kecil dengan segala kenangannya. Ditambah hari ini, semoga hari ini menjadi kenangan manis bagi pasangan tersebut.Semua rangkaian acara telah terlewati. Sejak dari penyerahan seserahan, doa, hingga penyerahan seserahan balik ke calon mempelai lelaki. Hingga kini mereka semua berdiri di depan panggung dekor.Mereka semua berfoto bersama. Hanya dihadiri oleh keluarga besar dan teman dekat Kinan.Setelah sem
Author bakalan semangat update kalau kalian tinggalin komentar ya pokoknya xp***“Itu apa, Nan?”Tak ada kata satu detik, Kinan langsung membalikkan badan. Menoleh ke arah pintu kamarnya.“Eh? Nggak kok, Tante,” jawabnya pada Vina sembari mencibirkan bibirnya yang tebal dengan lipstik ombre bernuansa merah muda itu.Kinan mendekati Vina sembari menunduk. “Mari, Tante.”Mata Kinan yang tadi hanya menengadah ke bawah sembari melihat lantai rumahnya saat berjalan keluar, kini sudah berubah. Ia memfokuskan matanya lurus ke depan sesaat ketika langkahnya terhenti.“Panggil saya ‘mama’ jangan ‘tante’ lagi. Saya kan mama kamu dan Mas Alan.”Kinan menoleh perlahan kepada sumber suara di sampingnya.“Eh? Iya, Ma.”&
Senja ini Kinan berdiri di sebuah cermin panjangnya. Ia melihat perawakannya sendiri yang sudah lengkap dengan dandanan sederhana namun manis. Rok batik A-line berwarna mix pastel di bawah lutut dan baju putih lengan panjang.Kedua perpaduan itu membuat kulitnya tampak bersinar dan cantik. Namun Kinan tak menyadari hal itu.Ia mengembuskan napas rendah dirinya. “Mau dandan secantik apa aku tetap nggak cantik,” batinnya bersedih.Telinga Kinan kemudian mendengarkan suara panggilan dari luar kamar. Pertanda ia harus segera keluar dari dalam kamarnya. Sudah pasti Rita memanggilnya.Selama ia berjalan menuju pintu, ia pun mendengar bunyi yang semakin mendekati rumahnya.Brum brumIa pun membuka pintu dengan sedikit rasa heran. Mungkin mamanya sedang akan menerima tamu.“Ma, ak
“Mmm,” lirih Kinan sembari menggigit bibirnya yang sedang gemetaran. Ia masih memejamkan matanya lekat-lekat.“Ngapain kamu?!”Alan seketika berkata seperti itu setelah melihat Kinan yang seperti es. Mematung dingin.“Ng-nggak, kok!”Kinan langsung salah tingkah dan mencoba merapi-rapikan bajunya. Meski tak ada yang salah dengan bajunya yang sudah ia pakai sejak tadi.KLIK!Siapa yang membuka pintu? Sedangkan Kinan dan Alan masih saling berhadapan. Apakah Vina?“Eh? Maaf maaf! Aku nggak tau kalau kalian berdua sedang ber … berpacaran.”Muncul ucapan dari seorang wanita. Langsung setelah pintu kamar terbuka.“Kita nggak ngapa-ngapain, Stev! A
Krik krik krikKeheningan ini membuat Kinan tak bisa menyembunyikan pikirannya. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam. Ia masih tak bisa tidur. Mengingat ia sedang berada di sebuah ruangan asing baginya. Hanya ditemani oleh bunyi jangkrik nan kadang menyita ketertarikannya.Meski katanya kamar calon suaminya ini jarang ditempati, aromanya masih khas parfum Alan yang selalu bersliweran di hidungnya setiap kali mereka bertemu.Kinan sangat merapatkan kelopak matanya mencoba untuk melabuhi pulau kapuknya. Namun usaha itu tampak tak berarti.Aduh? Aku nggak bisa tidur nyenyak ini mah!Sampai ratusan domba pun ia hitung. Ia hanya bergerak ke sana ke mari tanpa adanya tanda-tanda terlelap.Tiba-tiba Kinan iseng. Ia mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di nakas. Di bawah lampu tidur.“Udah tidur?”Setelah me
Waktu sudah berganti petang dengan ngebutnya. Rasa cemas yang dialami Kinan dan Vina sudah berangsur turun.“Aku nggak apa-apa, Ma,” kata Alan tenang tetapi sembari melirik sinis pada Kinan. Seolah menyalahkan keaadaan ini semua karena Kinan.“Mas,” ucap Kinan dan hampir menyentuh tangan kiri Alan yang terluka.“Apa sih?! Nggak usah pegang-pegang,” bentak Alan. Meski ada mamanya di situ jugaSetelah melihat Alan memasuki kamarnya, Kinan menunjukkan wajah sedih.“Ma, Kinan pulang dulu,” pamitnya pada Vina.“Alan? Antar Kinan dulu?” ucap Vina saat Alan sudah hampir menutup pintu kamarnya.“Eh? Nggak, Ma. Kinan pulang pakai ojek online aja.”“Beneran kamu?”Kinan mengan